BAB IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PENANAMAN MODAL ASING DI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR
6.2 Definisi dan Tujuan Desentralisasi .1 Definisi Desentralisasi .1 Definisi Desentralisasi
6.2.2 Tujuan Desentralisasi
Brian C Smith dalam Hidayat (2010) membedakan tujuan desentralisasi menjadi dua kategori. Yaitu tujuan dari sisi kepentingan pemerintah pusat dan dari sisi kepentingan pemerintah daerah. Dari perspektif kepentingan pusat, terdapat tiga tujuan utama dari desentralisasi. Pertama, pendidikan politik. Pendapat Brian C Smith ini diperkuat oleh Maddick (1963). Menurut Maddick (1963) tujuan hakiki dari desentralisasi adalah untuk menciptakan pemahaman politik yang sehat bagi masyarakat, khususnya terkait dengan mekanisme penyelenggaraan negara. Kedua, sebagai media pelatihan kepemimpinan politik. Asumsi yang digunakan sebagai pijakan adalah bahwa pemerintah daerah merupakan media yang tepat bagi politisi dan birokrat sebelum terjun ke level nasional. Dalam konteks ini desentralisasi diharapkan dapat memotivasi dan melahirkan calon-calon pemimpin nasional di berbagai sektor. Ketiga, untuk menciptakan stabilitas politik. Kebijakan desentralisasi akan mampu mewujudkan kehidupan sosial yang harmonis dan kehidupan politik yang stabil. Partisipasi masyarakat lokal yang diimbangi dengan kepekaan dan kemampuan penyelenggara pemerintahan di daerah akan menghasilkan rasa aman, nyaman dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Hal ini merupakan prasyarat dari terciptanya stabilitas politik.
Tujuan desentralisasi jika dilihat dari perspektif kepentingan daerah, terdapat tiga tujuan penting. Pertama, untuk mewujudkan kesetaraan politik. Dalam hal ini, desentralisasi diharapkan mampu membuka lebih banyak kesempatan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik di tingkat lokal dan membuka ruang kebebasan bagi masyarakat dalam mengekspresikan kepentingannya. Kedua, untuk menciptakan akuntabilitas lokal. Desentralisasi kewenangan yang diberikan kepada pemerintah daerah berpotensi untuk disalahgunakan oleh aparatur daerah. Namun karena desentralisasi ini berjalan seiring dengan demokratisasi di tingkat lokal, peran serta masyarakat untuk melakukan pengawasan kepada penyelenggara pemerintahan di daerah, diharapkan mampu mewujudkan keterbukaan dalam pelaksanaan desentralisasi kewenangan dan
pertanggungjawabannya. Ketiga, Untuk meningkatkan local responsiveness. Pemerintah
pembangunan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerahnya, sehingga permasalahan-permasalahan masyarakat dapat lebih mudah diselesaikan.
6.3 Permasalahan Otonomi Daerah 6.3.1. Korupsi
Dugaan korupsi yang terjadi tidak lama setelah pelaksanaan otonomi daerah memperlihatkan terjadinya locus dan modus baru kasus korupsi di Indonesia. Setelah otonomi daerah, korupsi di tingkat lokal terjadi dalam jumlah dan cakupan yang sangat luas. Jika pada era orde baru korupsi terjadi terpusat di pemerintah pusat, pada era otonomi daerah, korupsi menyebar di daerah, baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif daerah (pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten atau pemerintah kota), maupun yang dilakukan oleh lembaga legislatif daerah (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dengan modus operandi yang beragam.
Berdasarkan hasil pengamatan Indonesian Corruption Watch dan Komite
Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah salah satu simpul utama korupsi di era otonomi daerah ini adalah otoritas daerah (Pemda dan DPRD). Implementasi otonomi daerah yang diiringi dengan peningkatan dana yang dikelola daerah berimplikasi pada terbukanya peluang oleh pemegang otoritas daerah untuk melakukan korupsi.
Pergeseran penting dalam penyelenggaraan kekuasaan daerah adalah diberikannya kewenangan kepada DPRD untuk memilih dan memberhentikan Kepala Daerah. Hal ini membuat DPRD mempunyai kedudukan politik yang sangat kuat. Kewenangan DPRD memilih kepala daerah ini dicabut sejak tahun 2005, namun posisi politik DPRD masih tetap kuat, karena DPRD masih mempunyai kewenangan untuk menyusun dan mengesahkan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah dan kewajiban kepala daerah untuk menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada
DPRD. Posisi politik yang kuat ini mendorong anggota DPRD melakukan abuse of
power, sehingga marak dugaan kasus korupsi yang melibatkan anggota DPRD. Padahal seharusnya DPRD bertindak sebagai pengawas penyelenggaraan kekuasaan oleh pemerintah daerah.
Daerah Jenis Kasus dan Tahun Peristiwa Diungkap ke Publik Nilai Kerugian Negara (Rp.
Miliar)
Aceh Korupsi Pembelian Helikopter M2, tahun 2004 12,5
Sumatera Barat Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001 2,78
Cirebon Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2001 0,99
DI Yogyakarta Korupsi Dana asuransi sebagai APBD oleh DPRD,
tahun 2001
4
Padang Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002 4,67
Kalimantan Selatan
Korupsi penyalahgunaan anggaran belanja rutin pos kepala daerah, tahun 2001-2004
5,47
Toli-Toli Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2002 4,5
Mentawai Manipulasi Keuangan oleh Sekda,tahun 2002 7,9
Sumatera Barat Perjalanan dinas fiktif DPRD, tahun 2003 5,93
Donggala Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2003 5,2
NTB Korupsi APBD oleh DPRD,tahun 2004 23
Sumbawa Manipulasi APBD oleh DPRD,tahun 2004 6,4
Madiun Markup proyek APBD oleh DPRD, tahun 2004 8,8
Blitar Manipulasi APBD oleh Bupati, tahun 2004 73
Kapuas Hulu Korupsi dana sumber daya hutan oleh Bupati, Tahun
2005
150
Sukabumi Korupsi APBD oleh DPRD, tahun 2007 3,6
Situbondo Korupsi APBD, tahun 2005-2007 45,75
Makassar Pengadaan mobil pemadam kebakaran, tahun 2003 4,31
Kendal Korupsi dana Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD), Dana Tak Tersangka (DTT) dan Dana Alokasi Umum (DAU) dalam APBD Kabupaten Kendal, 2003-2005
52,9
Boven Digul Papua
penunjukan langsung pengadaan kapal tanker LCT 180 dan penggelapan dana kas daerah, 2006-2007
Tidak ada data
setelah ditetapkannya kebijakan desentralisasi. Tidak adanya pengungkapan kasus-kasus korupsi di daerah pada era orde baru, bukan karena benar-benar tidak terjadi korupsi, melainkan karena faktor dominasi birokrasi yang sangat kuat dan sekaligus penegakan hukum yang lemah. Akibatnya, kasus-kasus korupsi pada era orde baru
tidak tersentuh dan tidak ter-ekspose media massa. Dalam konteks ini, desentralisasi
hanya memberikan panggung baru bagi pentas korupsi di tingkat lokal.
Hasil Survey rutin dua tahunan yang dilakukan oleh Transparency
International Indonesia memperlihatkan bahwa kondisi daerah terkait dengan korupsi
masih memprihatinkan. Dengan range skor 0 sampai dengan 10, dimana 0
menyatakan kondisi paling korup dan 10 menyatakan kondisi paling bersih, selama survey tahun 2002, 2004, 2006 dan 2008, skor paling tinggi yang berhasil dicapai oleh suatu daerah adalah 6,61.Skor ini diraih oleh Kota Palangkaraya pada tahun 2006. Sedangkan skor paling rendah dibukukan oleh Kabupaten Maumere Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan nilai 3,22 pada tahun survey 2006. Data lengkap pada lampiran 3 dan 4.