• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Penelitian Terdahulu

Penelitian terdahulu ini sangat penting untuk mengetahui bukti-bukti

empirik dari penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, baik penelitian yang dilakukan dengan kasus Indonesia maupun penelitian yang dilakukan dengan kasus di luar negeri.

Penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing yang mengambil kasus Indonesia tergolong masih jarang. Untuk mendapatkan gambaran dan landasan empirik yang lebih kuat, penulis juga menggunakan hasil penelitian yang dilakukan di negara lain dengan metode penelitian dan periode waktu yang beragam.

2.3.1 Market Size

Market size menunjukkan aktivitas perekonomian suatu wilayah, baik dalam lingkup negara maupun provinsi. Semakin tinggi aktivitas perekonomian suatu wilayah, berarti semakin besar market wilayah tersebut.

Tingginya aktivitas perekonomian suatu wilayah akan menjadi daya tarik bagi penanaman modal karena memberikan peluang bagi industri dan usaha di wilayah tersebut mendapatkan keuntungan dari terjadinya economies of scale dan dampak lanjutannya (spillover effects) (Firdaus:2006)

Beberapa penelitian menunjukkan adanya pengaruh positif dari market size terhadap arus masuknya PMA langsung. Dengan mengambil lokus penelitian yang berbeda, Aqeel & Nishat (2005) di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) di Turki, Firdaus (2006) di Indonesia, Tsen (2006) di Malaysia dan Udo & Obiora (2006) di Kawasan Afrika Barat, menemukan bukti adanya pengaruh positif tersebut. Hanya saja, Erdal & Tatoglu (2001) dan Tsen (2006) memberikan catatan tambahan bahwa market size mempunyai pengaruh positif terhadap PMA namun secara statistik tidak signifikan.

Aqeel dan Nishat (2005) menggunakan PDB perkapita sebagai proxy untuk variabel market size di Pakistan, Erdal & Tatoglu (2001) menggunakan laju pertumbuhan PDB riil, Firdaus (2006) menggunakan PDB riil, Tsen (2006) menggunakan gross national index (GNI) dan Udo & Obiora menggunakan PDB perkapita. Sedangkan Sarwedi (2002), walaupun tidak menggunakan istilah market size, dalam penelitiannya juga menemukan bukti adanya pengaruh positif dari PDB dan pertumbuhan ekonomi dengan PMA langsung. Dalam penelitiannya ini, Sarwedi mengklasifikasikan faktor yang mempengaruhi PMA menjadi dua, yaitu faktor ekonomi dan non ekonomi. Variabel PDB dan pertumbuhan ekonomi ke dalam kategori faktor ekonomi.

2.3.2 Infrastruktur

Iklim investasi yang baik perlu ditopang dengan tersedianya infrastruktur yang memadai. Kondisi infrastruktur yang buruk merupakan ekstra biaya yang ditanggung oleh pelaku usaha dan masyarakat. Oleh karenanya, penyediaan infrastruktur yang ada saat ini harus segera ditingkatkan seperti membangun jalan baru dan memperbaiki jalan yang rusak, menyediakan alat transportasi massal yang murah, aman dan nyaman untuk mengurangi kemacetan jalan, mengembangkan pembangkit listrik denga energi alternatif, memperbaiki sistem irigasi dan pengairan dan lain-lain (Departemen Keuangan RI, 2007).

Terjadinya perbedaan pembangunan di antara Asia dan Afrika selama beberapa dekade bisa ditelusuri sebagiannya akibat ketidaksamaan infrastruktur di kedua kawasan tersebut, dan perbedaan prioritas sektor yang memperoleh investasi di negara di dua kawasan tersebut. Infrastruktur yang baik menjadi esensi bagi pengurangan waktu transportasi dan komunikasi serta efisiensi distribusi pasokan energi, sedangkan infrastruktur yang lemah dipandang sebagai hambatan besar bagi pertumbuhan sektor swasta di sebagian besar negara di kawasan Amerika Latin.

Hampir semua hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya hubungan positif antara infrastruktur dengan PMA. Tsen (2006) menggunakan proxy panjang jalan, Erdal & Tatoglu (2002) menggunakan share of transportation,

energy and communication expenditures in GDP, dan Firdaus (2006) menggunakan

Berbeda dengan mereka, Asiedu (2002) dengan menggunakan jumlah sambungan telepon sebagai proxy infrastruktur, menemukan bukti bahwa infrastruktur tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap PMA langsung di negara kawasan Sub Sahara Afrika. Dalam analisisnya, Asiedu menjelaskan bahwa infrastruktur tidak berpengaruh signifikan di negara kawasan Sub Sahara karena PMA langsung di kawasan ini berbasiskan pada exploitasi sumber daya alam, selain itu juga karena proxy yang digunakan tidak relevan dengan penanaman modal yang berbasiskan sumber saya alam.

2.3.3 Tingkat Pendidikan

Salah satu faktor utama keberhasilan pembangunan di suatu negara adalah tersedianya SDM berkualitas dalam jumlah yang cukup memadai. Kualitas SDM ini akan dapat diraih melalui jalur pendidikan, baik formal maupun nonformal. Merujuk pada jenjang pendidikan formal, penduduk usia sekolah biasanya diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kelompok umur, yaitu 7-12 tahun untuk jenjang sekolah dasar), 13-15 tahun untuk jenjang sekolah menengah pertama, 16-18 tahun untuk jenjang sekolah menengah atas dan 19-24 tahun untuk jenjang pendidikan perguruan tinggi (Badan Pusat Statistik, 2008). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tsen (2006) di Malaysia dan Firdaus (2006) di Indonesia, menunjukkan bahwa variabel pendidikan mempunyai pengaruh positif terhadap PMA.

2.3.4 Tingkat Upah

Penanaman modal asing yang jenis non market seeking akan mencari daerah tempat melakukan usaha yang dapat meminimumkan biaya usaha. Tenaga kerja sebagai salah satu faktor produksi mempunyai peran penting dalam struktur biaya usaha, karena perusahaan harus membayarkan upah sebagai kompensasi terhadap kontribusi tenaga kerja sehingga upah menjadi salah satu faktor yang sangat sensitif. Besaran atau tingkat upah dapat ditentukan melalui berbagai cara. Seringkali upah ditentukan melalui collective bargaining, di mana upah pekerja tidak ditentukan oleh kondisi kesetimbangan penawaran dan permintaan, tetapi ditentukan oleh posisi tawar menawar kolektif antara pimpinan serikat pekerja dan manajemen perusahaan (Mankiw, 2006). Model ini populer di Jepang dan negara-negara Eropa (Blanchard, 2006).

Upah yang rendah akan secara langsung berpengaruh terhadap biaya usaha yang rendah. Namun diskursus tentang upah tidak cukup sekedar dikaitkan dengan biaya usaha. Upah juga harus dilihat keterkaitannya dengan produktivitas tenaga kerja. Teori efisiensi upah menekankan bahwa upah yang tinggi akan membuat pekerja lebih produktif, karena dengan upah yang tinggi pekerja akan mempunyai kesempatan untuk membeli nutrisi yang lebih baik. Dengan nutrisi yang lebih baik, maka hasil kerja pekerja akan meningkat.

Studi yang dilakukan oleh Aqeel & Nishat (2005) menunjukkan bahwa upah mempunyai pengaruh positif terhadap PMA langsung, itu artinya bahwa semakin tinggi tingkat upah, maka PMA langsung juga akan semakin tinggi. Lebih jauh, Aqeel & Nishat (2005) menjelaskan bahwa PMA langsung lebih menyukai tenaga kerja yang mempunyai keterampilan tinggi, walaupun tingkat upahnya lebih tinggi daripada tenaga kerja yang keterampilannya rendah. Berbeda dengan temuan Aqeel & Nishat (2005), Tsen (2006) dalam penelitiannya di Malaysia justru menemukan hubungan negatif antara tingkat upah dengan PMA langsung.

Sedangkan Sarwedi (2002) menemukan bukti bahwa tingkat upah mempunyai hubungan positif dengan PMA langsung dalam hubungan jangka pendek, namun dalam jangka panjang hubungan tingkat upah dengan PMA langsung mempunyai hubungan negatif. Sarwedi menjelaskan bahwa perbedaan pengaruh tersebut terjadi karena terjadinya fluktuasi nilai variabel yang mendorong terjadinya perubahan dalam keseimbangan jangka panjang.

2.3.6 Stabilitas Sosial Politik

Pengusaha dalam melakukan penanaman modal berharap return di waktu yang akan datang. Oleh karenanya, penanam modal lebih menyukai kondisi stabil. Studi yang dilakukan Sarwedi (2002) menunjukkan bahwa jumlah kerusuhan yang digunakan sebagai proxy stabilitas politik mempunyai hubungan negatif dengan PMA langsung baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang. Senada dengan itu, Vittorio & Ugo (2008) juga menemukan bukti adanya hubungan negatif antara arus masuk PMA langsung dengan tingkat kriminalitas di Italia. Berbeda dengan kedua penelitian tersebut, hasil studi Asiedu (2002) di negara kawasan Sub Sahara Afrika menunjukkan bahwa stabilitas politik yang dilihat dari jumlah

pembunuhan dan revolusi pemerintahan tidak berpengaruh signifikan terhadap masuknya PMA langsung ke negara di kawasan Sub Sahara Afrika.

Terkait dengan iklim investasi di daerah, KPPOD melakukan kajian secara rutin setiap tahun mulai 2001. Berdasarkan kajian KPPOD, terdapat 5 (lima) faktor yang dianggap mempengaruhi daya tarik investasi di daerah. Pertama, faktor kelembagaan. Faktor ini mencakup aspek kepastian hukum, aparatur dan pelayanan, kebijakan daerah dan kepemimpinan lokal. Kedua, faktor keamanan, politik dan sosial budaya. Faktor ini mencakup aspek keamanan, politik dan budaya. Ketiga, faktor ekonomi daerah. Faktor ini mencakup aspek potensi ekonomi dan struktur ekonomi. Keempat, faktor tenaga kerja. Faktor ini meliputi aspek ketersediaan tenaga kerja, kualitas dan biaya tenaga kerja. Kelima, faktor infrastruktur fisik. Faktor ini meliputi aspek ketersediaan infrastruktur fisik dan kualitas infrastruktur fisik.

Dokumen terkait