• Tidak ada hasil yang ditemukan

Salah satu tahapan paling penting dalam penelitian ini adalah menentukan model umum yang akan digunakan dalam penelitian ini. Variabel-variabel dependent terpilih, akan dimasukkan ke dalam model umum ini. Untuk mendapatkan tujuan penelitian ini digunakan metode ekonometrika yaitu regresi linier berganda. Data yang digunakan untuk regresi adalah data panel, yang merupakan kombinasi antara data time series periode 1993-2008 dan data cross section 26 provinsi di Indonesia, dengan memasukkan kebijakan otonomi daerah sebagai variabel dummy.

Model yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan modifikasi dari model yang dikembangkan dalam penelitian empiris sebelumnya oleh Sarwedi (2002), Asiedu (2002), Aqeel & Nishat (2005), Firdaus (2006), Tsen

(2006), Udo & Obiora (2006) dan Vittorio & Ugo (2008). Spesifikasi model yang digunakan dalam penelitian ini dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut :

LOGPMALit = α0 + α1LOGPDRBRKit + α2LOGIHKit + α3LOGUPAHit + α4PENDIKit + α5JALANit + α6LogLISTRit + α7Dpelab + α8Dkrim + Dotda + ε

Dimana:

it

PMALit

periode t (dalam ribu US $).

= Jumlah PMA langsung di sektor manufaktur di provinsi i pada

PDRBRKit

periode t (dalam ribu rupiah)

= Produk domestik regional bruto perkapita di provinsi i pada

IHKit UPAH

= Index harga konsumen di provinsi i pada periode t. it

PENDIK

= Upah minimum di provinsi i pada periode t (dalam Rp/bulan). it

SLTA Terhadap total jumlah penduduk di provinsi i pada periode = Prosentase penduduk yang lulus sekolah paling rendah setingkat

t (dalam persen). JALANit

panjang jalan di provinsi i pada periode t (dalam persen). = Prosentase panjang jalan dalam kondisi baik terhadap total

LISTRit

(dalam KVA).

= Jumlah kapasitas listrik tersambung di provinsi i pada periode t

Dpelab

1 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan kelas 1 atau yang = Dummy Pelabuhan

lebih baik.

0 untuk Propinsi yang mempunyai pelabuhan di bawah kelas 1 Dkrim

1 untuk Propinsi yang rawan = Index Kerawanan daerah

0 untuk Propinsi yang tidak rawan

Dotda = Variabel dummy, kebijakan otonomi daerah 1 untuk periode 2001-2008 0 untuk periode 1993-2000 α ε = Koefisien Regresi it = Error term

BAB IV. GAMBARAN UMUM INDUSTRI MANUFAKTUR DAN PENANAMAN MODAL ASING DI SEKTOR INDUSTRI MANUFAKTUR

4.1. Industri Manufaktur dan Perekonomian Nasional

Badan Pusat Statistik (2009) mendefinisikan industri manufaktur atau industri pengolahan sebagai suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dan sifatnya lebih dekat kepada pemakai akhir, termasuk dalam kegiatan ini adalah jasa industri dan pekerjaan perakitan (assembling).

Eksistensi industri manufaktur di Indonesia sudah mapan jauh sebelum Indonesia merdeka. Namun sejak merdeka sampai dengan berakhirnya rezim orde lama, industri manufaktur di Indonesia tidak mengalami perkembangan berarti. Pada masa ini, sumbangan industri manufaktur terhadap PDB nasional kurang dari 10 persen. Wee (1994) berpendapat bahwa hal itu terjadi karena rezim orde lama lebih menekankan pada aspek politik daripada aspek ekonomi, dan karena kebijakan pemerintah yang mengarah kepada intervensi dalam segala aspek ekonomi, inward oriented dan penguasaan kepemilikan oleh pemerintah.

Prawiro (2004) menyatakan bahwa evaluasi pembangunan ekonomi seringkali dilakukan dengan melihat seberapa jauh sebuah negara berorientasi ke dalam (inward looking) atau berorientasi ke luar (outward looking). Biasanya negara yang berorientasi ke dalam adalah negara yang mencoba untuk mempromosikan industrialisasi melalui substitusi impor. Dalam prakteknya seringkali berpedoman pada perencanaan ekonomi dan industri milik negara. Perekonomian yang berorientasi ke dalam biasanya tidak ramah terhadap investasi asing dan cenderung mempertahankan rezim perdagangan yang restriktif. Sebaliknya negara yang berpola dasar dan berorientasi ke luar berusaha untuk memperluas perdagangan luar negeri dengan tetap membuka ekspor dan penanaman modal asing.

Industrialisasi di Indonesia baru berkembang pesat setelah rezim orde baru mengambil alih kekuasaan dari tangan Presiden Soekarno. Pada periode awal kekuasaan orde baru (1966-1969), pemerintah berusaha memulihkan stabilitas makro ekonomi dengan melakukan deregulasi di bidang intervensi perdagangan internasional dan sistem

devisa, serta dengan memberikan insentif terhadap penanaman modal, baik PMA maupun PMDN.

Kontribusi industri manufaktur terhadap total ekspor nasional sangat kecil pada periode awal pemerintahan orde baru sampai dengan awal tahun 1980an terjadi karena strategi pengembangan industri yang dilakukan, pada masa itu melalui program pembangunan Repelita I sampai dengan Repelita III lebih menitik beratkan pada pembangunan industri substitusi impor dan berorientasi inward looking sehingga output industrialisasi lebih banyak dipergunakan untuk pemenuhan kebutuhan domestik.

Industri nasional baru melakukan penguatan struktur industri dan pengembangan industri berbasis teknologi tinggi mulai tahun 1982, dan sekaligus merubah orientasi menjadi outward looking (berorientasi ekspor) pada tahun 1986. Implikasi positifnya, tahun 1987 menjadi titik balik kontribusi sektor non migas terhadap total ekspor. Dari total ekspor senilai US $ 17.135,6 Juta, jumlah ekspor non migas mencapai 50,1 persen dari total ekspor, dengan nilai US $ 8.579,6 Juta. Dari total ekspor non migas tersebut, industri manufaktur menyumbang 77,90 persen, dengan nilai mencapai US $ 6.683,7 Juta.

4.1.1 Kontribusi Industri Manufaktur terhadap Ekspor

Industri manufaktur terbukti mampu bertahan menghadapi krisis ekonomi. Setidaknya, hal itu terlihat dari catatan kontribusi industri manufaktur terhadap ekspor nasional. Dimana, pada periode puncak krisis tahun 1997-1999 nilai ekspor industri manufaktur stabil pada kisaran 33.330 US $ sampai dengan 34.840 US $. Prosentase kontribusi ekspor industri manufaktur bahkan membukukan catatan paling tinggi pada tahun 1998 dengan kontribusi sebesar 70,8 persen.

Justru setelah periode krisis, trend kontribusi manufaktur terhadap ekspor semakin menurun, walaupun secara nominal jumlah ekspor industri manufaktur mengalami peningkatan. Untuk gambaran lebih lengkap, berikut Gambar 4.1 menunjukkan kontribusi industri manufaktur non migas terhadap ekspor nasional tahun 1993-2008 (dalam persen).

Gambar 4.1 : Kontribusi Sektor Industri Manufaktur Non Migas Terhadap Ekspor

Sumber : BPS (diolah)

Selama lima tahun terakhir, ekspor industri manufaktur didominasi oleh 12 sektor saja dengan proporsi ekspor mencapai 89,5 persen dari ekspor total industri manufaktur. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak sektor industri manufaktur yang perlu dikembangkan agar dapat memberikan kontribusi positif yang signifikan bagi perekonomian nasional. Seperti misalnya sektor pengolahan rotan olahan, rokok dan pupuk. Tabel 4.1 menunjukkan data perkembangan 12 besar ekspor hasil industri tahun 2004-2008. Angka rata-rata selama lima tahun (2004-2008) menunjukkan bahwa sektor industri tekstil menunjukkan kontribusi yang paling besar, di susul sektor pengolahan kelapa/sawit, sektor industri besi baja, mesin dan otomotif, sektor elektronika, sektor industri pengolahan kayu, sektor pengolahan tembaga dan timah, sektor industri pulp dan kertas, sektor industri kimia dasar, sektor industri makanan dan minuman, disusul industri kulit dan barang kulit dan sektor yang paling kecil dari dua belas sektor tersebut adalah industri alat-alat listrik.

58 60 62 64 66 68 70 72 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 persen

Tabel.4.1 Perkembangan 12 Besar Ekspor Hasil Industri Tahun 2004-2008 Dalam US$ Juta

No Sektor

Tahun

rata-rata

2004 2005 2006 2007 2008

1 Pengolahan Kelapa/Kelapa Sawit 4840,3 5419,2 6407,3 10476,8 16168,1 8662,34 2 Besi Baja, Mesin-Mesin dan Otomotif 4581,8 5949,7 7712,7 9606,9 11814,9 7933,21

3 Tekstil 7626,2 8584,9 9422,8 9790,1 10116,4 9108,08

4 Pengolahan Karet 2954,1 3545,8 5465,2 6179,9 7579,7 5144,94

5 Elektronika 7142,5 7853,0 7200,2 6359,7 6806,7 7072,42

6 pengolahan Tembaga,Timah dll 2165,1 3133,5 4133,9 6156,0 5660,7 4249,84

7 Pulp dan Kertas 2817,6 3257,5 3983,3 4440,5 5219,6 3943,71

8 Pengolahan Kayu 4461,6 4476,3 4757,6 4485,1 4206,1 4477,34

9 Kimia Dasar 2640,1 2750,2 3521,4 4492,5 3738,4 3428,52

10 Makanan dan Minuman 1440,1 1647,9 1866,0 2374,8 3104,9 2086,74

11 Alat-alat listrik 1232,7 1456,0 1770,9 2148,9 2390,2 1799,74

12 Kulit,Barang Kulit dan Sepatu/Alas Kaki 1553.0 1683,7 1913,2 2006,6 2260,5 1883,41 12 Besar Industri 43455,2 49757,7 58154,4 68517,9 79066,1 59790,26 Total Industri 48660,1 55566,9 64990,3 76429,6 88351,7 66799,72 Peran 12 besar thd total industri (persen) 89,3 89,6 89,5 89,7 89,5 89,52 Peran industri terhadap ekspor non migas

(persen) 86,99 83,7 81,7 83,1 81,9 83,48

Peran industri terhadap total ekspor (persen) 67,98 64,9 64,5 66,9 64,5 65,76

Sumber : BPS diolah Pusdatin Depperin (2009)

Selama periode 2004-2008, sektor yang meningkat paling tajam dari 12 sektor industri itu adalah pengolahan kelapa/kelapa sawit dengan prosentase peningkatan mencapai 234 persen, atau nilai ekspor pengolahan kelapa/kelapa sawit pada tahun 2008 meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun 2004. Di bawah pengolahan kelapa/kelapa sawit berturut-turut adalah sektor pengolahan tembaga, timah dan lain lain (161 persen), besi baja, mesin-mesin dan otomotif (157 persen), pengolahan karet (156 persen), alat- alat listrik (93 persen), pulp dan kertas (85 persen), kulit, barang kulit dan sepatu (45 persen), kimia dasar (41 persen) dan tekstil (32 persen). Sedangkan sektor yang mengalami penurunan dari 12 sektor tersebut adalah elektronika (4 persen) dan pengolahan kayu (5 persen).

4.1.2 Kontribusi Industri Manufaktur Terhadap PDB

Sedangkan dari aspek kontribusi terhadap PDB Nasional, pada periode tahun 1993 sampai dengan 2008, kontribusi industri manufaktur non migas rata-rata mencapai 23,32 persen. Sampai tahun 2004, kontribusi industri manufaktur menunjukkan trend meningkat. Namun, memasuki tahun 2005 sampai 2008, terjadi perubahan yang cukup mengkhawatirkan. Trend kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Nasional mulai menurun. Hal ini cukup mengkhawatirkan, mengingat selama tahun-tahun krisis ekonomi tahun 1997-1999, kontribusi industri manufaktur terhadap perekonomian selalu menunjukkan trend positif. Jika tidak disikapi dengan tepat, permasalahan ini dapat menjadi penyebab tidak optimalnya pencapaian target-target pertumbuhan ekonomi Pemerintah. Gambar 4.2 menunjukkan kontribusi industri manufaktur non migas terhadap PDB Tahun 1993-2008 (dalam persen).

Gambar 4.2 : Kontribusi industri manufaktur terhadap PDB Sumber : Departemen Perindustrian RI (diolah)

Fenomena menurunnya kontribusi sektor industri manufaktur terhadap PDB nasional selama empat tahun terakhir ini diidentifikasi sebagai gejala deindustrialisasi (Kompas, 26 Oktober 2009). Gejala deindustrialisasi ini ditunjukkan dengan pertumbuhan industri manufaktur yang menurun drastis sejak krisis moneter 1997/1998. Sepuluh tahun menjelang krisis (1987-1996), industri manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 12 persen per tahun, lebih tinggi 5,1 persen daripada PDB nasional saat itu yang tumbuh rata-rata sebesar 6,9 persen.

Sedangkan setelah krisis (2000-2008), industri manufaktur nonmigas rata-rata hanya tumbuh 5,7 persen per tahun, hanya sedikit lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan PDB 5,2 persen. Bahkan kini pertumbuhan industri manufaktur cenderung lebih rendah daripada PDB. Selama lima tahun terakhir (2004-2008), industri

18 20 22 24 26 28 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

persen

manufaktur nonmigas tumbuh rata-rata 5,6 persen per tahun, lebih rendah daripada rata- rata pertumbuhan PDB 5,7 persen. Lebih jauh, Basri menjelaskan bahwa gejala deindustrialisasi ini disebabkan oleh banyak faktor, mulai dari struktur industri yang rapuh, infrastruktur yang buruk, lemahnya dukungan perbankan, krisis energi, masalah ketenagakerjaan hingga ketergantungan pada produk impor, terutama pada produk pangan.

Sektor industri yang paling dominan kontribusinya terhadap PDB adalah industri makanan, minuman dan tembakau. Walaupun demikian, kontribusinya menunjukkan trend yang semakin menurun dalam rentang waktu 2004-2008, dengan besaran penurunan mencapai 3,74 persen. Sektor lain yang kontribusinya terhadap PDB menurun dalam kurun waktu lima tahun terakhir (2004-2008) adalah industri pupuk, kimia dan barang dari karet dengan penurunan mencapai 0,12 persen, dan industri logam dasar besi dan baja dengan penurunan sebesar 0,33 persen. Sedangkan sektor yang mengalami peningkatan kontribusinya terhadap PDB adalah industri alat angkut, mesin dan peralatannya dengan peningkatan sebesar 5,41 persen, industri barang kayu dan hasil hutan lainnya dengan peningkatan sebesar 0,82 persen, industri kertas dan barang cetakan dengan peningkatan sebesar 0,6 persen, industri tekstil, bahan kulit dan alas kaki dengan peningkatan sebesar 0,58 persen, industri semen dan barang galian bukan logam dengan peningkatan sebesar 0,06 persen. Berikut tabel kontribusi industri manufaktur terhadap PDB berdasarkan sektor.

Sedangkan jika dilihat dari rata-rata kontribusi ekspor sektor industri manufaktur, sektor yang paling tinggi kontribusinya adalah sektor industri makanan dan minuman (8,25 persen), alat angkut, mesin dan peralatannya (6,16 persen), pupuk, kimia dan barang dari karet (3,29 persen),tekstil, barang kulit dan alas kaki (2,59 persen), barang kayu dan hasil hutan lainnya (1,39 persen), kertas dan barang cetakan (1,15 persen), semen dan barang galian bukan logam (0,93 persen), logam dasar besi dan baja (0,75 persen), dan jenis barang industri manufaktur lainnya (0,10 persen).

Tabel 4.2 Kontribusi Industri Manufaktur terhadap PDB Berdasarkan Sektor (dalam persen)

No Sektor Industri Tahun Rata-

Rata 2004 2005 2006 2007 2008

1

Makanan, Minuman dan Tembakau

11,56 7,23 7,17 7,48 7,82 8,25 2

Tekstil, Brg. kulit & Alas kaki

1,79 3,14 3,04 2,65 2,37 2,59 3

Brg. kayu & Hasil hutan lainnya.

0,83 1,43 1,50 1,55 1,65 1,39 4

Kertas dan Barang cetakan

0,57 1,38 1,34 1,29 1,17 1,15 5

Pupuk, Kimia & Barang dari karet

3,60 3,10 3,17 3,14 3,48 3,29 6

Semen & Brg. Galian bukan logam

0,85 1,00 0,98 0,93 0,91 0,93 7

Logam Dasar Besi & Baja

0,99 0,75 0,70 0,65 0,66 0,75 8

Alat Angkut, Mesin & Peralatannya

2,04 7,04 7,06 7,20 7,45 6,16 9 Barang lainnya 0,06 0,24 0,24 0,21 0,21 0,19 Sumber : BPS (diolah)

4.1.3 Kebijakan Pengembangan Industri Manufaktur

Peran penting dan strategis industri manufaktur bagi perekonomian nasional dan tantangan terjadinya deindustrialisasi dini membuat Departemen Perindustrian RI berupaya memperkuat lagi sektor industri manufaktur sehingga dapat kembali menjadi andalan industri nasional. Dalam rangka meraih semua capaian itu, pembangunan industri manufaktur di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan pemikiran- pemikiran terbaru yang berkembang, mengutamakan daya kreasi dan ketrampilan serta profesionalisme sumber daya manusia.

Format yang digunakan dalam pembangunan industri manufaktur adalah konsep clustering industry, dengan membangun kluster-kluster industri berdasarkan karakteristik teknis industri, kondisi ekonomi serta perkembangan industri yang telah dicapai, dengan esensi pembangunan jejaring untuk memaksimalkan daya saing secara kolektif.

Klaster-klaster inti industri manufaktur tersebut adalah: 1. industri makanan dan minuman.

3. industri tekstil dan produk tekstil. 4. industri alas kaki.

5. industri kelapa sawit.

6. industri barang kayu (termasuk rotan dan bambu) 7. industri karet dan barang karet.

8. industri pulp dan kertas.

9. industri mesin listrik dan peralatan listrik. 10. industri petrokimia.

Tujuan dari diterapkannya model clustering industry ini adalah untuk meningkatkan daya saing industri nasional, sebagai hasil dari efisiensi biaya produksi seluruh industri dalam satu cluster, dan untuk meningkatkan nilai tambah serta produktivitas seluruh industri dalam satu cluster baik industri inti maupun industri penunjang.

Hal itu secara tegas dituangkan dalam rancang bangun kebijakan industri nasional tahun 2005-2009. Di mana sasaran pembangunan sektor industri yang menjadi titik berat adalah :

1. Kuatnya industri yang mempunyai daya saing berkelanjutan sehingga menjadi industri kelas dunia dengan didukung basis ilmu pengetahuan yang kuat. 2. Kuatnya struktur industri manufaktur, termasuk kuatnya jaringan kerjasama

antara industri kecil & menengah (IKM) dengan industri besar.

3. Seimbangnya sumbangan IKM terhadap PDB dibandingkan dengan sumbangan industri besar.

4. Terdistribusinya industri ke seluruh wilayah tanah air, sesuai dengan daya dukung dan potensi setiap wilayah.

Pada tahun 2025, secara internal, industri manufaktur diharapkan sudah mampu berperan sebagai mesin penggerak utama (prime mover) perekonomian nasional, sehingga dapat menjadi tumpuan dalam penciptaan lapangan kerja, penciptaan nilai tambah (added value), penguasaan pasar domestik dan penghasil utama devisa.

Sedangkan secara eksternal, pada tahun 2025, industri manufaktur diharapkan mampu menjawab tantangan globalisasi ekonomi dunia dan mampu memenangkan persaingan di pasar internasional. Faktor input mempunyai peran penting dan signifikan dalam menentukan output dari sistem industri yang berjalan. Jika faktor input baik, dan

proses yang terjadi juga baik, dapat dipastikan output yang dihasilkan juga baik. Sebaliknya, jika input buruk dan proses yang berlangsung juga buruk, dapat dipastikan output yang dihasilkan juga buruk.

Faktor penting yang akan menentukan terwujud atau tidaknya visi 2025 di bidang industri manufaktur itu adalah kecukupan dana untuk menjalankan usaha/industri tersebut. Tanpa adanya dukungan modal yang cukup, niscaya industri manufaktur akan berjalan lambat.

Dokumen terkait