• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kerangka Teoritik

2.1.2 Investasi Asing atau Penanaman Modal Asing

Accoley (2005) mendefinisikan penanaman modal asing sebagai penanaman modal yang dilakukan di luar negeri baik dengan membangun fasilitas poduksi baru, ataupun dengan mengakuisisi saham perusahaan yang sudah mapan dalam jumlah minimum tertentu. Tidak jauh berbeda dengan Accoley, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengartikan penanaman modal asing sebagai kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

Lebih jauh, Asiedu (2002) berpendapat bahwa dalam menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi penanaman modal asing, sangat penting untuk membedakan dua jenis PMAL, yaitu market seeking dan non market seeking. Tujuan utama dari jenis PMAL market seeking adalah untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Barang-barang diproduksi di negara tujuan PMAL (host country) dan dijual di negara tersebut. Konsekwensinya, permintaan pasar domestik yang terlihat dari populasi yang besar dan pendapatan yang tinggi dari masyarakat host country sangat menentukan keberadaan PMAL. Oleh karena itu, di negara-negara miskin, jenis PMAL market seeking sangat kecil jika dibandingkan dengan jenis PMAL non market seeking. Di negara-negara miskin, barang-barang diproduksi di host country, tetapi di jual ke luar negeri. Sedangkan untuk jenis PMAL non market seeking, penanaman modal lebih dominan berbasis sumber daya alam dan berorientasi ekspor. Oleh sebab itu, faktor permintaan pasar domestik tidak berpengaruh terhadap PMAL jenis ini. Faktor yang lebih berpengaruh terhadap

PMAL jenis non market seeking adalah kemudahan bagi perusahaan untuk meng-export barang-barang yang diproduksinya ke luar negeri.

Teori-teori tentang faktor yang mempengaruhi PMAL dapat diklasifikasikan menjadi dua kategori yaitu, micro level theory yang fokus pada keadaan yang membuat perusahaan melakukan produksi di luar negeri, dan macro level theory yang mencoba mencari faktor-faktor apa yang menentukan tingkat PMAL yang terjadi pada suatu negara (Accoley, 2005). Teori-teori yang termasuk dalam kategori micro level theory adalah the internationalizaton models of the Uppsala School, Vernon’s product life cycle hypothesis, dan the industrial organization theories. Sedangkan faktor-faktor yang termasuk dalam kategori macro level theory adalah Exchange Rate, Economic Growth, Market Size dan Faktor-faktor lainnya (tingkat keterbukaan ekonomi, tingkat upah, privatisasi, hambatan-hambatan perdagangan, stabilitas makro ekonomi dan kebijakan pemerintah tentang penanaman modal asing.

The Internalization Models of the Uppsala School.

Model ini dikembangkan oleh Johanson dan Widersheim-Paul (1975) dari Universitas Uppsala Swedia. Mereka menjelaskan bahwa perusahaan multi nasional biasanya tidak memulai aktivitas usahanya dengan melakukan PMAL ke negara lain. Melainkan melalui empat tahapan proses untuk masuk ke pasar internasional. Pada tahap pertama perusahaan beroperasi di pasar domestik dan secara perlahan memperluas aktivitas usahanya ke pasar luar negeri. Selama tahapan pertama ini, perusahaan multi nasional hanya akan memproduksi dan menjual produknya di dalam negeri. Pada tahapan kedua perusahaan mulai melibatkan diri dalam perdagangan internasional dengan melakukan ekspor produknya ke negara tetangga dan negara-negara yang dikenal dengan baik melalui kantor perwakilan atau agen di negara tersebut. Perbedaan antara negara asal dengan negara tujuan ekspor, baik dalam hal perbedaan bahasa, budaya, sistem politik, tingkat pendidikan dan tingkat industrialisasi mempunyai pengaruh yang sangat kuat terhadap keputusan melakukan ekspor.

Tahapan ketiga dari penanaman modal asing ditandai dengan pendirian perusahaan penjualan di luar negeri. Besar atau kecilnya potensi pasar akan menjadi faktor yang menentukan lokasi didirikannya perusahaan penjualan tersebut.

Sedangkan pada tahap keempat, perusahaan mulai mendirikan perusahaan atau melakukan akuisisi terhadap perusahaan industri di luar negeri. Keputusan untuk mendirikan atau melakukan akuisisi perusahaan manufaktur di luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu jarak, hambatan tarif dan non tarif, biaya transportasi dan lain-lain.

The Industrial Organization Theories

Kerangka teori ini berangkat dari argumentasi bahwa penyebab perusahaan melakukan penanaman modal asing sama dengan penyebab perusahaan ini melakukan perluasan usaha di dalam negeri. (Penrose, 1956; Caves, 1971; Accoley, 2005). Caves meneliti karakteristik intrinsik dari industri yang mempunyai potensi menarik PMAL. Caves membagi PMAL menjadi dua, yaitu horizontal investment dan vertical investment. Untuk horizontal investment, PMAL terjadi pada industri yang mempunyai karakter oligopoli dengan diferensiasi produk, baik di host country maupun di home country. Sedangkan untuk vertical investment, PMAL akan lebih menyukai industri yang mempunyai karakter oligopoli, dengan tidak ada diferensiasi produk di home country.

Menurut Hymer (1960), perusahaan melakukan horizontal investment karena mereka memiliki aset-aset khusus yang menghasilkan return tinggi di pasar luar negeri dengan hanya melalui produksi di luar negeri. Sebagaimana yang terjadi dalam kasus ekspansi di pasar domestik, alasan dibalik terjadinya integrasi vertikal di antara perusahaan domestik adalah untuk menghindari ketidakpastian pasar oligopolistik dan untuk menghindari ketegangan dengan pesaing baru karena ada hambatan untuk masuk ke pasar.

Product Life Cycle Theory

Pada tahun 1960-an, Raymond Vernon mengembangkan teori yang populer dengan nama product life cycle theory. Teori ini menggabungkan antara kaidah inovasi, ekspansi pasar, keunggulan komparatif dan respon strategis terhadap persaingan global dalam hal keputusan industri, perdagangan dan investasi.

Teori product life cycle ini menggambarkan bahwa pergeseran produksi, perdagangan dan investasi internasional terbentuk melalui tiga tahapan. Tahapan pertama, the new product stage. Dalam tahap ini, perusahaan mengembangkan dan

memperkenalkan produk baru untuk memenuhi kebutuhan pasar domestik. Karena produk baru, belum dapat dipastikan penerimaan produk dan keuntungan perusahaan yang memproduksinya. Perusahaan harus memantau secara dekat dan langsung untuk mengetahui kepuasan konsumen terhadap produk tersebut. Umpan balik dari pasar yang cepat sangat penting. Awalnya produk baru diproduksi di negara yang tradisi penelitian dan pengembangannya sangat kuat. Seperti Jepang, Jerman dan USA. Kemudian, karena pasar juga tidak pasti, perusahaan biasanya akan meminimalisasi kapasitas investasi untuk produk baru tersebut. Sehingga sebagian besar produk awalnya dijual di pasar domestik, dan hanya sedikit yang dijual di pasar ekspor.

Tahap kedua dari product life cycle theory adalah the maturing product stage. Permintaan pasar terhadap produk meningkat secara tajam setelah konsumen mengetahui nilai produk tersebut, sehingga perusahaan harus membangun pabrik baru untuk meningkatkan kapasitas produk dan memenuhi permintaan konsumen, baik permintaan domestik maupun permintaan luar negeri. Dalam tahap ini, pesaing bisnis mulai bermunculan, karena prospek bisnis yang menjanjikan keuntungan besar.

Tahapan ketiga dari teori ini adalah the standardized product stage. Dalam tahap ini, produk menjadi lebih dari sekedar komoditas, dan perusahaan dipaksa untuk menurunkan biaya produksinya semurah mungkin, sehingga perusahaan harus memindahkan atau mengalihkan produksinya ke negara yang ongkos tenaga kerjanya murah. Konsekwensinya, negara asal (home country) tempat perusahaan induk harus mengimpor produk tersebut untuk memenuhi kebutuhan domestik.

Ilustrasi dari tahap ini misalnya terjadi dalam kasus industri komputer, di mana perusahaan di Amerika Serikat harus meng-impor dari produsen baru seperti Hyundai dan Samsung (Korea Selatan) atau Lenovo dari China. Perusahaan-perusahaan industri manufaktur Taiwan seperti MITAC International, Tatung dan TECO Information System secara rutin setiap tahun mengekspor jutaan komputer ke Amerika Serikat, beberapa diantara perusahaan manufaktur Taiwan melakukan kontrak produksi dengan distributor asing.

Berdasarkan teori Product Life Cycle ini, secara ringkas dapat dijelaskan bahwa produksi domestik mulai tumbuh pada tahap 1, mencapai puncaknya pada

tahap 2 dan merosot pada tahap 3. Ekspor oleh perusahaan inovatif (innovating firms) mulai pada tahap 1, mencapai puncak pada tahap 2, dan pada tahap 3, perusahaan inovatif itu menjadi net importir produk yang pertama kali diperkenalkannya. Kompetitor asing mulai tumbuh pesat pada akhir tahap 1, karena perusahaan di negara industri lain mulai mengetahui potensi pasar produk tersebut, pada tahap 2, kompetitor asing mulai memperluas kapasitas produksi untuk memenuhi peningkatan permintaan pasar domestik, dan mungkin juga menjadi net eksportir. Karena kompetisi yang sangat ketat pada tahap 2, the innovating firms dan pesaing-pesaingnya (baik lokal maupun asing) berupaya menurunkan biaya produksinya dengan mengalihkan produksinya di negara-negara berkembang yang masih murah upah tenaga kerjanya. Sehingga pada tahap ketiga, negara-negara berkembang dapat menjadi net eksportir produk tersebut.

Teori Eklektik Dunning

Dunning (1960) dengan teori eklektik untuk menjelaskan tentang kenapa dalam melakukan produksi suatu perusahaan memilih di luar negeri. Dalam teori ini, perusahaan akan melakukan proses produksi di luar negeri jika tiga hal berikut memuaskan: 1). Ownership advantage. Perusahaan harus memiliki keunggulan kompetitif yang unik daripada perusahaan di negara tujuan (host country). 2). Location advantage. Aktivitas usaha di luar negeri harus menguntungkan daripada aktivitas usaha di negara asal. Contohnya, PT. Caterpillar memproduksi Buldoser di Brazil karena upah tenaga kerja lebih murah dan untuk menghindari tarif ekspor yang tinggi di Amerika Serikat. 3). Internalization advantage. Aktivitas perusahaan mengelola atau mengawasi langsung usaha di luar negeri harus lebih menguntungkan daripada menyewa perusahaan lokal untuk menyediakan jasa tersebut.

Ownership Advantages merupakan kekayaan yang dimiliki oleh

perusahaan, baik yang tangible maupun yang intangible yang mempunyai keunggulan kompetitif yang tidak dimiliki oleh perusahaan lain. Dengan asumsi bahwa perusahaan lokal di negara tujuan (host country) lebih memahami kondisi di dalam negerinya dari pada perusahaan asing, maka perusahaan asing yang ingin masuk ke pasar host country harus mempunyai ownership advantage agar dapat mengatasi hambatan-hambatan tentang kondisi pasar yang belum diketahuinya

dengan baik, baik menyangkut informasi tentang negara tujuan, kondisi politik maupun budaya-budaya negara tujuan.

Location Advantages merupakan faktor-faktor yang membuat perusahaan

lebih lebih menguntungkan melakukan produksi di negara tujuan (host country) dari pada di negara asal (home country). Dalam menentukan tempat melakukan produksi, perusahaan-perusahaan secara seksama membandingkan karakter ekonomi dan non ekonomi dari negara asal (home country) dengan karakter negara tujuan (host country). Jika melakukan produksi di negara asal lebih menguntungkan daripada melakukan produksi di negara tujuan, perusahaan akan lebih memilih masuk ke pasar negara tujuan melalui ekspor. Pilihan seperti ini dilakukan oleh Siam Cement-perusahaan semen Thailand- yang lebih mengandalkan ekspor untuk memasok semen ke Kamboja, Semen dan Laos. Namun jika melakukan produksi di negara tujuan lebih menguntungkan, maka perusahaan asing akan memilih melakukan penanaman modal di negara tujuan atau memberikan lisensi penggunaan teknologi dan merk kepada perusahaan lokal di negara tujuan.

Banyak faktor yang digunakan sebagai pertimbangan untuk sampai kepada pilihan yang lebih menguntungkan tersebut. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah tingkat upah, harga sewa lahan, peluang pasar di negara tujuan, akses terhadap pengembangan SDM, dukungan logistik, biaya administrasi, resiko politik, keamanan, korupsi birokrasi, stabilitas pemerintahan dan kebijakan pemerintah.

Internalization advantages merupakan faktor-faktor yang membuat

perusahaan lebih menguntungkan untuk melakukan sendiri proses produksi barang dan jasa daripada menyerahkan proses produksi kepada perusahaan di negara tujuan. Besarnya biaya produksi, baik biaya negosiasi, biaya pengawasan dan biaya enforcing agreement menjadi faktor penentu untuk memilih model dalam melakukan penanaman modal. Jika biaya-biaya tersebut mahal, perusahaan asing akan lebih memilih penanaman modal asing secara penuh atau joint venture. Namun jika biaya-biaya tersebut murah, maka perusahaan asing akan lebih memilih model franchising, lisencing atau contract manufacturing.

Griffin & Pustay (2007) membuat klasifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi PMA langsung ke dalam tiga kategori, yaitu supply factors, demand factors dan political factors. Faktor yang termasuk ke dalam kategori supply factors

adalah biaya produksi, logistik, ketersediaan sumber daya alam dan akses terhadap teknologi. Sedangkan faktor yang termasuk ke dalam demand factors adalah akses kepada pelanggan, keunggulan pemasaran, exploitation of competitive advantages dan mobilitas pelanggan. Sedangkan faktor yang termasuk dalam political factors adalah penghilangan hambatan perdagangan dan insentif pengembangan ekonomi.

Lebih jauh, Griffin & Pustay menjelaskan ada tiga metode dalam melakukan PMA langsung. Yaitu, greenfield strategy, Acquisition strategy dan joint venture. Pada prinsipnya, greenfield strategy ini adalah metode PMA langsung dengan cara membangun sarana & prasarana produksi baru. Perusahaan membeli atau menyewa lahan, membangun fasilitas baru menyewa atau menempatkan manajer dan pekerja di tempat baru ini, lalu melakukan operasi bisnis baru.

Greenfield strategy mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, perusahaan dapat memilih tempat yang terbaik untuk bertemu langsung dengan pelanggan (pasar), dan membangun fasilitas produksi yang modern dan canggih. Kedua, biasanya pemerintahan di suatu negara menawarkan insentif bagi kegiatan pengembangan ekonomi, karena menciptakan lapangan kerja baru. Ketiga, perusahaan tidak memulai usaha dengan permasalahan warisan. Seperti peralatan yang usang, tanggung jawab terhadap utang ataupun permasalahan dengan karyawan. Keempat, perusahaan juga dapat menemukan atau menciptakan budaya bisnis yang baru. Faktor adanya perbedaan budaya yang sangat tajam antara home country dengan host country, biasanya membuat perusahaan multinasional memilih membangun perusahaan baru daripada memebli perusahaan yang sudah berjalan.

Tetapi, green field strategy juga mempunyai kelemahan. Pertama, untuk meraih keberhasilan membutuhkan waktu dan kesabaran. Dalam hal ini, perusahaan baru harus memulai semua proses dari nol, sehingga tidak bisa langsung meraih keberhasilan. Kedua, lokasi yang diinginkan seringkali tidak tersedia (unavailable) atau sangat mahal. Ketiga, dalam membangun pabrik baru, perusahaan harus menyesuaikan dg berbagai macam peraturan lokal dan peraturan perundang-undangan nasional, seperti AMDAL, ijin gangguan dan lain-lain. Keempat, perusahaan harus mengawasi proses pembangunan gedung dan sarana perusahaan, agar sesuai dengan kualifikasi dan standard yang ditetapkan. Kelima, perusahaan harus merekrut pekerja lokal dan melatihnya sesuai dengan standard perusahaan.

Keenam, dengan membangun pabrik baru, anggapan masyarakat bahwa pabrik tersebut merupakan perusahaan asing akan sangat kuat.

Strategi kedua dikenal dengan akuisi. Pada prinsipnya, srategi akusisi ini adalah dengan mengambil alih perusahaan yang sudah berjalan di host country. Proses akuisisi sangat kompleks dan melibatkan banyak pihak, mulai dari bankir, pengacara, dan ahli-ahli merger & akuisisi perusahaan. Motivasi dasar dari akuisisi ini sederhana, melalui akuisisi perusahaan yang sudah berjalan, pembeli dapat langsung melakukan kontrol terhadap perusahaan, tenaga kerja, teknologi dan jaringan kerja perusahaan. Tidak seperti greenfield strategy, tidak ada penambahan kapasitas produksi baru dalam industri. Seringkali, perusahaan asing melakukan akuisisi sebagai cara untuk masuk ke pasar baru. Sebagai contohnya, Produsen semen asal Mexico, Cemex SA, pada tahun 1998 membeli 14 persen saham PT Semen Gresik, untuk mendapatkan keuntungan dari penguasaan pasar PT Semen Gresik di Indonesia. Atau juga, PT. Philip Morris yang mencoba masuk ke pasar rokok kretek Indonesia dengan membeli 40 persen saham PT. HM. Sampoerna pada tahun 2005. Dalam kepentingan yang lain, akuisisi dilakukan untuk melakukan perubahan strategis secara besar-besaran. Seperti yang dilakukan perusahaan minyak Arab Saudi, dengan membeli perusahaan pemurnian Korea Selatan, untuk mengurangi ketergantungan terhadap produksi minyak mentah.

Strategi akuisisi mempunyai beberapa kelemahan. Dalam proses akuisisi, perusahaan yang mengakuisisi harus mengambil alih semua tanggung jawab perusahaan yang diakuisisi. Jika perusahaan yang diakuisisi mempunyai catatan yang buruk terkait dengan hubungan industrial (hubungannya dengan tenaga kerja) atau catatan buruk dalam pengelolaan lingkungan, maka perusahaan akan terbebani untuk mengambil alih tanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

Strategi lain untuk melakukan penanaman modal adalah melalui joint venture. Joint venture terbentuk ketika dua atau lebih perusahaan menyetujui untuk bekerja bersama dan membuat perusahaan bersama yang terpisah dari perusahaan induknya untuk mempromosikan kepentingan bersama mereka. Beberapa pertimbangan yang digunakan dalam melakukan joint venture adalah perkembangan yang sangat cepat dalam hal teknologi, komunikasi dan kebijakan-kebijakan pemerintah yang melampaui kemampuan perusahaan internasional untuk

mendapatkan keuntungan atau peluang bisnis. Bentuk pengelolaan perusahaan joint venture ini ada tiga. Pertama, perusahaan pendiri bergabung bersama-sama dengan melakukan share manajemen, dengan masing-masing menempatkan key person yang mewakili perusahaan pendiri. Kedua, salah satu perusahaan pendiri diberi tanggung jawab untuk mengelola perusahaan secara lebih dominan. Atau ketiga, menyewa tim manajemen independen untuk mengelola perusahaan joint venture tersebut. Joint venture mempunyai beberapa keunggulan, yaitu, dapat menjadi pintu masuk untuk masuk ke pasar potensial, dan kemudahan berbagi pengetahuan dan pengalaman antar partner perusahaan, meningkatkan sinergi dan keunggulan kompetitive dari pasangan bisnis.

Dokumen terkait