• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

2.4. Etnik Tamil Katolik di Kota Medan

2.4.1 Sejarah Kedatangan Etnik Tamil di Medan

Pada tanggal 7-7-1863, mendaratlah para pedagang tembakau dari Jawa yaitu Kuypers dan Nienhuys. Mereka mendapat hak konsesi tanah di Martubung dari Sultan Mahmud Deli untuk menanam tembakau deli yang kualitasnya baik dan berbau harum sebagai pembalut cerutu. Kemudian Nienhuys berhasil memperoleh kontrak tanah di Tg.Sepassai dari Sultan Deli untuk jangka waktu 99 tahun. Dengan kuli yang dimulai dengan berjumlah delapan puluh delapan orang cina dari Penang dan penduduk Melayu, sudah didapat keuntungan besar sehingga berduyun-duyunlah investor asing datang.

Karena banyak perkebunan yang dibuka, maka banyak pula dibutuhkan buruh perkebunan.Buruh Cina yang didatangkan dari Malaya dan tiongkok terhambat karena berbagai peraturan yang memberatkan yang diterapkan pembesar-pembesar diwilayah tersebut. Disamping itu kuli Cina tidak mau menandatangani perpanjangan kontrak,tetapi minta kepada Deli Makapai agar bisa meminjam tanah konsesi mereka yang tidak ditanami supaya mereka bisa membuka kebun sayur dan memelihara ternak.

Sejak 1875 maskapai perkebunan belanda mendatangkan kuli dari Jawa yang biayanya murah karena diperlakukan sebagai setengan budak. Pada tahun 1877 banyak migrasi dari wilayah India Selatan ke Deli dengan alasan bahaya kelaparan yang selalui menghantui. Mereka bekerja sebagai kuli di perkebunan.

Pada tahun 1886 sudah ada 2000 orang kuli Tamil. Sejak 1875 dengan datangnya ribuan kuli kontrak dari Jawa, maka tidak dipakai lagi kuli asing. Orang India yang datang ke Sumatera Timur kemudian datang secara bebas.

Selain mereka yang didatangkan oleh perusahaan-perusahaan perkebunan sebagai kuli, migran orang Cina, India, dan juga Arab mulai berdatangan ke Sumatera Timur untuk berdagang dan menjadi pekerja di bidang-bidang lain. Migran dari India yang datang untuk berdagang antara lain adalah orang-orang dari India Selatan (Tamil Muslim) dan juga orang Bombay serta Punjabi. A. Mani (1980:58) menyebutkan bahwa di luar pekerja kontrak di perkebunan, orang- orang India yang lain juga banyak datang ke Medan untuk berpartisipasi memajukan berbagai sektor usaha yang sedang tumbuh di kota ini; seperti kaum Chettiars atau Chettis (yang berprofesi sebagai pembunga uang, pedagang, dan pengusaha kecil); kaum Vellalars dan Mudaliars (kasta petani yang juga terlibat

dalam usaha dagang); kaum Sikh dan orang-orang Uttar Pradesh. Selain itu juga terdapat orang-orang Sindi, Telegu, Bamen, Gujarati, Maratti (Maharasthra), dll. Tetapi orang-orang Indonesia pada umumnya tak mengenali perbedaan mereka dan secara sederhana menyebutnya sebagai orang Keling dan orang Benggali saja.

Pada masa pendudukan tentara Jepang, masyarakat Tamil dipersenjatai dengan membentuk pemerintah boneka India Merdeka dikepalai oleh Subhas Chandra Bose. Dia lalu membentuk tentara Indian National Srmy direkrut dari kalangan orang India bekas tentara Inggris yang ditawan Jepang. Dari Medan beberapa orang Tamil juga masuk Indian National Army dan dikirim ke front Burma Assam dan tidak pernah pulang kembali.

Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, pada tanggal 10 oktober-5 november 1945 berbagai unit tentara Inggris/Sekutu dari Divisi 26 yang didatangkan dari front Burma mendarat di Belawan. Divisi ini sepenuhnya terdiri dari bangsa India. Pada masa pertempuran dengan pejuang Indonesia, mereka para prajurit India ini banyak yang membelot dan menyeberang ke pihak Indonesia. Oleh para pemimpin tentara Indonesia, para prajurit India ini digabung didalam laskar unit bangsa India yang dipimpin oleh seorang bekas petinju, Young Sattar.

Sesudah selesai perang kemerdekaan, kebanyakan dari mereka yang masih tingggal di Medan menjadi warga Negara Indonesia dan berpencar mencari nafkah ke berbagai tempat. ( Tuanku Luckman Sinar Basarsyah-II,SH: Orang India di Sumatera Utara. Forkala 2008)

2.4.2. Perkembangan Sosial Budaya Tamil di Medan

Pada masa kolonial, orang-orang Tamil bermukim di sekitar lokasi-lokasi perkebunan yang ada di sekitar kota Medan dan Sumatera Timur. Setelah masa kemerdekaan, mereka pada umumnya berdiam di sekitar kota, yang terbanyak di kota Medan, juga di Binjai, Lubuk Pakam, dan Tebing Tinggi. Pemukiman mereka yang tertua di kota Medan terdapat di suatu tempat yang dulu dikenal dengan nama Kampung Madras, yaitu di kawasan bisnis Jl. Zainul Arifin (dulu bernama Jalan Calcutta). Kawasan ini lazim juga dikenal dengan sebutan Kampung Keling. Lokasi perkampungan mereka terletak di pinggiran Sungai Babura, sebuah sungai yang membelah kota Medan dan menjadi jalur utama transportasi di masa lampau. Di kawasan ini hingga sekarang masih mudah ditemuka n situs-situs yang menandakan keberadaan orang Tamil, misalnya tempat ibadah umat Hindu Shri Mariamman Kuil (sebagai kuil terbesar) yang dibangun tahun 1884 dan sejumlah kuil lainnya; juga pemukiman dan mesjid yang dibangun oleh orang Tamil Muslim sejak tahun 1887. Pada masa sekarang ini permukiman orang Tamil sudah menyebar di sejumlah tempat di seluruh Medan dan sekitarnya.

Pada perkembangan terakhir penduduk Tamil terbagi atas 66 % yang menganut agama Hindu, 28 % agama Budha, 4,5 % beragama Katolik dan Kristen, dan 1,5 % yang beragama Islam. Pastor James Bharataputra,SJ pimpinan Graha Annai Maria Velankanni di Medan, menyebutkan bahwa jumlah umat Tamil Katolik di kota Medan saat ini ribuan orang.

Di masa lalu pekerjaan orang-orang Tamil banyak diasosiasikan dengan pekerjaan kasar, seperti kuli perkebunan, kuli pembuat jalan, penarik kereta lembu, dan pekerjaan- pekerjaan lainnya yang lebih mengandalkan otot. Hal ini terkait dengan latar belakang

orang Tamil yang datang ke Medan, yaitu mereka yang berasal dari golongan rendah di India, yang tentu saja memiliki tingkat pendidikan yang amat rendah pula. Mereka inilah yang dipekerjakan di zaman kolonial sebagai kuli di perkebunan-perkebunan milik orang Eropa. Di masa sekarang keturunan mereka banyak yang bekerja sebagai karyawan swasta, buruh, dan juga sebagai sopir. Kalau di masa kolonial sebagian dari mereka menjadi penarik kereta lembu dan pembuat jalan, di masa kini keturunan mereka banyak yang sudah mengusahakan jasa transportasi angkutan barang (truk pick up) dan juga menjadi pemborong pembangunan jalan. Keahlian mereka dalam kedua bidang pekerjaan ini banyak diakui orang. Ada juga yang menjadi pedagang, di antaranya menjadi pedagang tekstil dan pedagang rempah-rempah di pusat-pusat pasar di Medan. Selain itu mereka juga banyak yang bekerja sebagai supir angkutan barang, bekerja di toko-toko Cina, dan menyewakan alat-alat pesta. Selain itu banyak juga yang melakoni usaha sebagai penjual makanan, misalnya martabak keling.

Warga Tamil yang ada di kota Medan terdiri dari berbagai agama, ada yang Hindu,Islam, Protestan dan Katolik. Warga Tamil Katolik juga memiliki sebuah gereja Katolik yang dibangun pada tahun 1912, yang sebagian besar anggotanya juga tergolong Tamil Adi-Dravida, bahwa sejak tahun 1912 telah ada missionaris Katolik khusus untuk orang-orang India Tamil di Medan. Sebuah gereja lain dibangun pada tahun 1935 oleh pastor Reverend Father James. Warga Tamil Kristen dan Katolik bermukim di sebuah lokasi yang disebut Kampung Kristen. (Zulkifli B.Lubis : Kajian Awal Tentang

Komunitas Tamil dan Punjabi di Medan. Jurnal Antropologi Sosial Budaya. USU 2005)

Pastor James Bharataputra,SJ yang datang ke Indonesia tahun 1967 dan bertugas di Medan sejak 1972, pernah mendirikan sekolah khusus untuk orang-orang India Tamil yang miskin, bernama Lembaga Sosial dan Pendidikan Karya Dharma. Sekarang sekolah itu diambil alih oleh Yayasan Don Bosco, dan menjadi SD St. Thomas 56. Kemudian Pastor James Bharataputra membeli sebidang tanah di kawasan Tanjung Selamat pada

orang Tamil Katolik yang menumpang di sekitar Jl. Hayam Wuruk. Pada tahun 2001 beliau membangun sebuah Kapel untuk umat Tamil Katolik di atas tanah tersebut, yang diresmikan oleh Uskup Agung Medan (Mgr A.G.P. Datubara, OFM,Cap); dan di sebelah bangunan kapel berukuran kecil itu sekarang berdiri sebuah gedung yang bernama Graha Annai Maria Velangkanni.

Dokumen terkait