• Tidak ada hasil yang ditemukan

1. Efektifitas Program SMD di Provinsi Sumatera Barat, Jawa Barat dan Nusa Tenggara Barat

Efektifitas menurut Hidayat (1995) merupakan sebuah pengukuran dimana suatu target telah tercapai sesuai perencanaan. Efektifitas suatu program dapat diukur dari pencapaian indikator keberhasilannya. Efektifitas program SMD di tiga provinsi sampel diukur dengan melihat capaian indikator program SMD yang telah dituangkan dalam pedoman pelaksanaan program SMD. Indikator tersebut terdiri dari indikator ekonomis, indikator teknis, dan indikator kelembagaan.Indikator ekonomis diukur dengan perkembangan asset kelompok SMD dan diversifikasi usaha kelompok SMD. Indikator teknis diukur melalui peningkatan populasi ternak kelompok SMD dan penerapan teknologi.Sedangkan indikator kelembagaan diukur melalui meningkatnya status kelas kelompok, berkembangnya kelembagaan usaha dan kelompok ternak sebagai tempat magang/pelatihan bagi masyarakat.

a. Efektivitas program SMD di provinsi Sumatera Barat 1) Indikator Ekonomis

Indikator ekonomi dinilai dari peningkatan aset kelompok.Asset kelompok yang diukur terdiri kandang, ternak, dan tabungan kelompok. Dalam kurun waktu 2010-2012 kelompok SMD komoditi sapi potong di provinsi Sumatera Barat mengalami penurunan asset rata-rata 7% per tahun

Tabel 50 Perkembangan Data Aset Kelompok SMD Komoditi Sapi Potong Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2012

No Tahun Aset Awal (RUK) (Rp)

Aset Saat Ini (Rp) Peningkatan (%) 1 2010 6.375.000.000 6.167.060.366 -3,26 2 2011 6.952.000.000 6.458.461.000 -7,09 3 2012 3.075.000.000 2.713.364.525 -11,76

Diversifikasi usaha yang telah dilakukan kelompok ternak SMD di provinsi Sumatera Barat adalah penjualan pupuk kompos.

2) Indikator Teknis

Pada tahun 2010-2012 populasi sapi potong kelompok SMD di provinsi Sumatera Barat selalu mengalami penurunan. Persentase penurunannya selalu meningkat setiap tahun, dimana pada tahun 2010 penurunan populasi sapi provinsi Sumatera Barat sebesar 10,04%, meningkat menjadi 12,01% pada tahun 2011, kemudian meningkat lagi menjadi 23,38%. Selain populasi, capaian indikator teknis juga dapat diukur dari penerapan teknologi budidaya. Penerapan teknologi budidaya yang dilakukan oleh SMD Sumatera Barat antara lain pengolahan pakan ternak, pengolahan pupuk, penerapan inseminasi buatan (IB), dan biogas.

Tabel 51 Populasi Sapi Potong Kelompok SMD Provinsi Sumatera Barat Tahun 2010-2012

No Tahun Populasi Awal (RUK) (ekor) Populasi Saat Ini (ekor) Peningkatan (%) 1 2010 498 448 -10,04 2 2011 716 630 -12,01 3 2012 231 177 -23,38 3) Indikator Kelembagaan

Dari total 214 kelompok SMD komoditi sapi potong di provinsi Sumatera Barat, sebanyak 5 kelompok SMD telah meningkatkan status kelompok ternaknya menjadi koperasi dan badan usaha lainnya.

Tabel 52 Kelompok SMD yang Telah Berbadan Hukum dan Menjadi Koperasi Provinsi Sumatera Barat

No Nama Badan Usaha

Bidang Usaha Nomor Badan Hukum 1 UD. Blasteran Pembibitan,

Penggemukan, Pemotongan & Perdagangan Domestik Sapi Potong 31055202346 2 PT. Guntala Jaya Farm Perdagangan Bibit Ternak/ikan/pertanian, Perdagangan Ternak & Hasil Pertanian Kemen.Huk.HAM No. AHU-23215.AH.01.01 Tahun 2011 TDP 031014600067 3 PT. Revo Agro Mandiri

Agribisnis dan Agro Industry

Akta Notaris: Nasrul SH No. 75 Tanggal 9 Desember 2008

4 KD Farm Peternakan Sapi dan pabrik pakan Nomor TDP 031050103214 SIUP No. 515//74/PK/KP3M/II/2013 5 Koperasi Sarjana Membangun Desa Sumatera Barat Budidaya Ternak, Pengolahan Hasil Ternak & Perdagangan Ternak

No.

516/80/BH/KPK.1/VI/2011 Selain peningkatan status kelompok, capaian indikator kelembagaan juga dapat dilihat dari keberadaan kelompok ternak menjadi tempat magang/pelatihan kelompok ternak lainnya.

Tabel 53 Kelompok SMD Provinsi Sumatera Barat yang diusulkan menjadi Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S)

NO Nama SMD Kelompok/P4

S

Alamat Komoditi/

Diklat

Ket

1 Ir. Reni Saswita Kel. S3 (Sairiang, Saiyo, Sakato)

Jln.raya Paingan, S Limau, Korong Pasar Paingan, Nagari Guguek

Sapi potong, Buah Naga,

Kuranji hilir, Kec. Sungai Limau, Kab. Padang Pariaman 2 Yongki

Salmeno

P4S Kelok Dama

Nagari Kinari, Kec. Bukit Sundi, Kab.solok

Sapi potong, kompos, Pakan,tanam an organic Sudah terdaftar sebagai P4S, klasifikasi Madya 3 Febrisa Nofika sari, P4S Karya Darek

Jorong Bawah Masjid, Nagari Parambahan, Kec. Bukit Sundi, Kab. Solok Sapi Potong, Kompos, Petasan, Tanaman Organik Sudah Terdaftar Sebagai P4S, Klasifikasi Madya 4 Nofa Oktalia KTT. Sawah

Boncah

Jorong Saruaso Timur, Nagari Saruaso, Kec. Tanjung emas, Kab. Tanah datar

Sapi Potong Diusulkan

5 Delmon Horizon

Blasteran Jorong Pasar Baru Nagari Cupak,kab. Solok Sapi Potong,Biog as, Pakan Diusulkan

b. Efektivitas program SMD di provinsi Jawa Barat 1) Indikator Ekonomis

Indikator ekonomi dinilai dari peningkatan aset kelompok.Asset kelompok yang diukur terdiri kandang, ternak, dan tabungan kelompok. Dalam kurun waktu 2010-2012 kelompok SMD komoditi sapi potong di provinsi Jawa Barat meningkat rata-rata 0,07% per tahun. Mengalami peningkatan pada tahun 2010 dan 2011, tetapi menurun pada tahun 2012.

Tabel 54 Perkembangan Data Aset Kelompok SMD Komoditi Sapi Potong Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2012

No Tahun Aset Awal (RUK) (Rp)

Aset Saat Ini (Rp) Peningkatan (%) 1 2010 1.447.500.000 1.474.200.262 1,84 2 2011 2.888.000.000 3.215.004.201 11,32 3 2012 15.090.000.000 13.228.930.644 -12,33

Diversifikasi usaha yang telah dilakukan kelompok ternak SMD di provinsi Jawa Barat adalah penjualan pupuk kompos dan pemasaran daging

2) Indikator Teknis

Populasi sapi potong kelompok SMD di provinsi Jawa Barat pada tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 2%, tetapi pada tahun 2011 justru mengalami penurunan sebesar 23,35%, kemudian pada tahun 2012 mengalami penurunan kembali sebesar 21,90%.

Tabel 55 Populasi Sapi Potong Kelompok SMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2010-2012

No Tahun Populasi Awal (RUK) (ekor) Populasi Saat Ini (ekor) Peningkatan (%) 1 2010 100 102 2,00 2 2011 197 151 -23,35 3 2012 379 296 -21,90

Sementara penerapan teknologi budidaya yang dilakukan oleh SMD Jawa Barat antara lain pengolahan pakan ternak, pengolahan pupuk, penerapan inseminasi buatan (IB), dan biogas.

3) Indikator Kelembagaan

Dari total 381 kelompok SMD di provinsi Jawa Barat, sebanyak 4 kelompok SMD telah meningkatkan status kelompok ternaknya menjadi koperasi dan badan usaha lainnya.

Tabel 56 Kelompok SMD yang Telah Berbadan Hukum dan Menjadi Koperasi Provinsi Jawa Barat

No Nama Badan Usaha

Bidang Usaha Nomor Badan Hukum

1 Kopnakci Budidaya Ternak,

Pengolahan Hasil Ternak, Perdagangan dan Pakan Ternak

Belum Berbadan Hukum

2 KSU Gapoknak KASABA

Budidaya Ternak, Pengolahan Hasil Ternak, Perdanganan dan Pakan Ternak

Belum Berbadan Hukum, terbentuk sejak tahun 2010 3 KSU Gapoknak

KASABA

Budidaya Ternak, Pengolahan Hasil Ternak, Perdanganan dan Pakan Ternak

Belum Berbadan Hukum, terbentuk sejak tahun 2010 4 CV. Guna Bakti

Mandiri

Perdagangan Umum, Budidaya & Pengolahan Hasil Ternak

TDP.10.24.3.51.06476

Selain peningkatan status kelompok, capaian indikator kelembagaan juga dapat dilihat dari keberadaan kelompok ternak menjadi tempat magang/pelatihan kelompok ternak lainnya.

Tabel 57 Kelompok SMD Provinsi Jawa Barat yang diusulkan menjadi Pusat Pelatihan Pertanian Pedesaan Swadaya (P4S)

NO Nama SMD Kelompok/P4S Alamat Komoditi/

Diklat

1 Ir. Setyorini Satwa Manik Kp Gunung Manik, Desa Nagrak, Kec. Pacet, Kab. Bandung Sapi potong, Kompos, Kapsul Cacing Diusulkan 2 Ibrahim Zamzam, A.Md Kelompok Ternak Domba Bangkit Sejahtera Ds. Sukamukti Kec. Banyuresmi Kab. Garut Kambing/ Domba Diusulkan

c. Efektivitas program SMD di provinsi Nusa Tenggara Barat 1) Indikator Ekonomis

Berdasarkan perhitungan indikator ekonomis, provinsi NTB selalu mengalami peningkatan, dengan rata-rata peningkatan 19,2% per tahun Tabel 58 Perkembangan Data Aset Kelompok SMD Komoditi Sapi Potong

Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010-2012 No Tahun Aset Awal (RUK)

(Rp)

Aset Saat Ini (Rp) Peningkatan (%) 1 2010 3.575.000.000 5.000.633.541 39,87 2 2011 4.551.000.000 5.762.117.670 26,61 3 2012 1.250.000.000 1.403.457.172 12,27

Diversifikasi usaha yang telah dilakukan kelompok ternak SMD di provinsi Nusa Tenggara Barat adalah penjualan pupuk kompos

2) Indikator Teknis

Berbeda dengan kedua provinsi sebelumnya, populasi sapi potong kelompok SMD di provinsi NTB selalu mengalami peningkatan setiap tahunnya. Rata-rata peningkatan populasi sapi potong kelompok SMD tahun 2010-2011 adalah 19,35%. Peningkatan terbesar terjadi pada tahun 2011 sebesar 25,95%

Sementara penerapan teknologi budidaya yang dilakukan oleh SMD Jawa Barat antara lain penerapan inseminasi buatan (IB)

Tabel 59 Populasi Sapi Potong Kelompok SMD Provinsi Nusa Tenggara Barat Tahun 2010-2012

No Tahun Populasi Awal (RUK) (ekor) Populasi Saat Ini (ekor) Peningkatan (%) 1 2010 525 604 15,05

2 2011 474 590 25,95

3 2012 88 103 17,05

3) Indikator Kelembagaan

Dari total kelompok SMD di provinsi Nusa Tenggara Barat, baru1 kelompok SMD yang telah meningkatkan status kelompok ternaknya menjadi koperasi dan badan usaha lainnya.Kelompok tersebut adalah CV. Samada di Kabupaten Lombok Tengah.Belum ada kelompok SMD di provinsi NTB yang diusulkan menjadi Pusat pelatihan oleh kelompok ternak lainnya.

Evaluasi Efektivitas Program Sarjana Membangun Desa Tingkat Nasional Setelah melakukan evaluasi efektivitas program SMD di tiga provinsi sampel, dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan program SMD masih belum efektif. Oleh sebab itu perlu diidentifikasi penyebab belum efektifnya program tersebut.Identifikasi dilakukan melalui evaluasi CIPP (Context, Input, Process, Product) yang diperkenalkan oleh Stufflebeam.

Evaluasi Context

Evaluasi konteks menilai ketepatan pelaksanaan program SMD dibandingkan dengan tujuan dan kebutuhan pembangunan peternakan.Esensi kebijakan publik adalah untuk memecahkan masalah yang tumbuh kembang di masyarakat.Secara context, proram SMD dinilai telah sesuai dengan tujuan dan permasalahan dalam pembangunan peternakan di Indonesia.Terdapat tiga aspek yang dapat menggambarkan bahwa context

program SMD telah mengakomodasi permasalahan-permasalahan dalam bidang peternakan. Aspek-aspek tersebut adalah:

a. Pendampingan

Salah satu karakteristik peternak di Indonesia adalah tingkat pendidikan yang masih rendah.Oleh sebab itu pendampingan sangat dibutuhkan oleh peternak dalam menjalankan usaha peternakannya. Pendampingan biasanya dilakukan oleh penyuluh pertanian dan dinas yang membidangi peternakan dan kesehatan hewan di tingkat kabupaten/kota. Pendampingan oleh penyuluh dinilai masih kurang, hal ini disebabkan penyuluh pertanian tidak hanya membina kelompok ternak saja tetapi kelompok tani secara umum.Mayoritas penyuluh pertanian berlatang belakang pendidikan pertanian, hanya sedikit yang berlatar belakang peternakan.Oleh sebab itu pembinaan terhadap peternakan masih belum optimal, karena ilmu peternakan sangat berbeda dengan ilmu pertanian lainnya.

Sementara pendampingan oleh dinas peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota juga masih belum optimal. Penyebabnya adalah kurangnya jumlah tenaga teknis di kabupaten/kota dibandingkan dengan jumlah kelompok ternak yang harus didampingi.Program SMD memberikan solusi terhadap masih belum optimalnya pendampingan. Pendampingan yang dilakukan oleh sarjana pendamping terhadap kelompoknya dilakukan secara intensif, karena satu sarjana akan mendampingi satu kelompok ternak.

Transfer teknologi dari perguruan tinggi maupun lembaga riset pemerintah kepada peternak masih belum efektif. Teknologi-teknologi baru di bidang peternakan dan kesehatan hewan telah banyak dihasilkan dari riset-riset tersebut.Namun hasil riset tersebut masih belum diterapkan oleh peternak secara efektif. Pada program SMD, salah satu tugas sarjana pendamping adalah melakukan transfer teknologi kepada anggota kelompoknya, sehingga kelompok tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan daya saingnya. c. Sarjana

Keberadaan seorang sarjana pendamping pada program SMD merupakan perbedaan antara kelompok SMD dengan kelompok penerima bantuan lainnya. Adanya sarjana pendamping yang memberikan pendampingan dan transfer teknologi secara langsung kepada anggota kelompok merupakan poin lebih untuk kelompok SMD. Oleh sebab itu kelompok SMD seharusnya menjadi kelompok yang dapat dijadikan contoh oleh kelompok ternak lain.

Indikator penilaian evaluasi konteks lainnya adalah adanya rencana kerja strategis terkait dengan program, minimal 5 tahun, dilengkapi dengan rencana kerja program per tahun. Mikkelsen (1987) mengatakan bahwa suatu proyek disebut berkesinambungan bila mampu menghasilkan tingkat manfaat yang tepat dalam jangka waktu yang lama setelah berakhirnya bantuan keuangan utama, bantuan manajerial dan teknik dari donor internal.Untuk mampu mewujudkan hal tersebut maka diperlukan suatu rencana kerja strategis minimal 5 tahun. Program SMD tidak akan berhasil jika hanya berdasarkan program jangka pendek saja, sebab nilai strategis program tahunan sangat rendah.

Walaupun sejak tahun 2007-2012 program SMD dilaksanakan setiap tahun, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan belum menyusun rencana kerja strategis pelaksanaan program SMD. Dasar pelaksanaan program SMD adalah Petunjuk Pelaksanaan Program SMD yang disusun setiap tahun.Program SMD dilaksanakan setiap tahun namun belum berkesinambungan.Tidak ada proyeksi realitas dari tujuan program, jadwal waktu dan pentahapan proyek.Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan program SMD belum mampu mencapai tujuannya.

Evaluasi Input

Salah satu faktor yang menghambat atau memperlancar pelaksanaan suatu program adalah siapa dan berapa banyak unsur pelaksana program. Dalam evaluasi input

dilakukan evaluasi terhadap peranan dan kinerja kelembagaan yang terlibat dalam program SMD dan ketersediaan dana pelaksanaan program. Kelembagaan yang terlibat dalam program SMD berdasarkan Petunjuk Pelaksanaan SMD adalah Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, dinas yang membidangi peternakan tingkat provinsi, dinas yang membidangi peternakan tingkat kabupaten, dan Perguruan Tinggi. Lembaga yang terlibat dalam program SMD sangat variatif, mulai dari Pemerintah, pemerintah daerah hingga perguruan tinggi.Namun peran lembaga tersebut masih didominasi oleh Ditjen PKH.

Ditjen PKH melaksanakan program SMD sejak perencanaan hingga evaluasi.Dinas provinsi terlibat dalam pelaksanaan seleksi wawancara, seleksi lapangan, pelaksanaan workshop dan pembinaan. Dinas kabupaten/kota hanya terlibat dalam pengesahan kelompok, seleksi lapangan, dan pembinaan, sedangkan keterlibatan perguruan tinggi dalam program SMD adalah dalam seleksi tertulis, seleksi wawancara, seleksi lapangan, dan pembinaan.

Anggaran program SMD disediakan melalui Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN).Belum ada dukungan anggaran dari APBD dan Perguruan Tinggi.Karena anggaran hanya tersedia dari APBN, menyebabkan keterbatasan pelaksanaan program terutama pembinaan, monitoring dan evaluasi. Pemerintah sangat mengharapkan agar pemerintah daerah dapat mengalokasikan APBD untuk pelaksanaan program SMD, namun karena masing-masing daerah telah memiliki pos tersendiri untuk APBD sesuai dengan kebutuhan daerahnya, hal ini sulit dilaksanakan. Sementara perguruan tinggi juga belum menyediakan anggaran tersendiri dalam pembinaan SMD.Oleh sebab itu perlu ditingkatkan koordinasi antar lembaga pelaksana program SMD terkait penyediaan anggaran.

Melalui evaluasi input dapat dilihat bahwa pelaksanaan program SMD belum mengikuti azas “Money Follows Function” yang dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Money Follows Function

berarti besarnya distribusi keuangan didasarkan oleh distribusi kewenangan tugas dan tanggung jawab yang telah ditentukan terlebih dahulu (Mahi, 2001). Peranan kelembagaan SMD dapat dilihat pada Tabel 60.

Evaluasi Process

Evaluasi proses terdiri dari evaluasi terhadap proses perencanaan, pelaporan, monitoring dan evaluasi program SMD.

a. Proses perencanaan program SMD

Proses perencanaan program SMD dilaksanakan secara top down, artinya proses perencanaan hanya dilaksanakan oleh pemerintah pusat dalam hal ini Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan. Perencanaan yang bersifat top downdilakukan melalui pengambilan keputusan secara satu arah tanpa melalui proses dialogis yang interaktif bersama para pihak (stakeholders). Menurut Dalal-Clayton dan Dent (2001) dalam Rustiadi (2011) penyebab dari kegagalan perencanaan yang bersifat top down adalah: (1) kegagalan menangkap isu yang berkembang di masyarakat, (2) kegagalan informasi akibat ketiadaan data atau tidak diperolehnya data secara memadai, (3) kegagalan menyatukan upaya dan sasaran dari berbagai aktivitas/proyek yang ada, (4) kegagalan institusi yakni akibat tidak bekerjanya institusi yang ada secara memadai, serta (5) kegagalan mempersatukan visi seluruh stakeholders. Dari hasil pengamatan di lapangan proses perencanaan program SMD yang bersifat top down merupakan salah satu faktor yang menyebabkan belum efektifnya pelaksanaan program SMD.

Tabel 60 Peranan Kelembagaan Program SMD No Kegiatan Ditjen PKH Dinas Provinsi Dinas Kabupaten/Kota Perguruan Tinggi Tokoh Masyarakat/Desa 1 Perencanaan X - - - - 2 Pengesahan Kelompok - - X - X 3 Penyusunan Soal X - - - -

Seleksi 4 Seleksi Administrasi X - - X - 5 Seleksi Tertulis X - - - - 6 Seleksi Wawancara X X - X - 7 Seleksi Lapangan X X X X - 8 Penetapan SMD Terpilih X - - - - 9 Anggaran Workshop X X - - - 10 Anggaran Pembinaan X X - - - 11 Anggaran Evaluasi X - - - - 12 Pelaksanaan Workshop X X - - - 13 Pelaporan X - - - - 14 Pembinaan X X X X - 15 Evaluasi X - - - - b. Proses Seleksi

Proses seleksi merupakan suatu proses yang sangat menentukan keberhasilan program SMD. Proses seleksi terdiri dari penetapan kriteria penerima program dan metode seleksi. Menurut Philips (2014) Penetapan kriteria sangat penting dilakukan agar tujuan program dapat tercapai.Kriteria penerima program SMD telah ditetapkan melalui Pedoman Pelaksanaan Program SMD yang terdiri dari kriteria sarjana pendamping dan kriteria kelompok ternak.Namun di lapangan masih ditemukan penerima program yang tidak sesuai kriteria yang ditentukan, yaitu kriteria untuk kelompok ternak. Dalam Pedoman Pelaksanaan Program SMD disebutkan bahwa kriteria kelompok ternak binaan SMD adalah kelompok yang sudah ada dan aktif, dapat dipercaya serta mampu mengembangkan usaha melalui kerjasama kelompok, tetapi fakta di lapangan masih terdapat kelompok penerima program SMD yang masih baru atau baru dibentuk saat mengikuti seleksi program SMD.

c. Proses Pelaporan

Proses pelaporan terdiri dari tiga tahap yaitu:

a. SMD bersama kelompok binaannya wajib melaporkan perkembangan pelaksanaan kegiatan dan usaha setiap bulan kepada Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan c.q Direktur Budidaya Ternak dan Dinas Peternakan atau yang membidangi fungsi peternakan provinsi. Form laporan sudah ditetapkan pada petunjuk pelaksanaan program SMD.

b. Dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan kabupaten/kota melakukan rekapitulasi seluruh laporan

perkembangan yang diterima dari SMD untuk disampaikan ke Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya dengan tembusan Direktur Budidaya Ternak, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

c. Dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan provinsi melakukan rekapitulasi seluruh laporan perkembangan yang diterima dari kabupaten/kota dan selanjutnya setiap triwulan menyampaikan kepada Direktur Budidaya Ternak Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan selambat-lambatnya tanggal 15 bulan berikutnya.

Form laporan yang terdapat pada petunjuk pelaksana program SMD dinilai masih belum efektif. Form tersebut hanya berisi perkembangan kelompok, perkembangan populasi ternak yang dimiliki kelompok, serta jumlah penjualan ternak dan keuntungan yang didapat oleh kelompok. Dalam form laporan tidak disampaikan kendala apa saja yang dihadapi oleh kelompok. Laporan perkembangan kelompok hanya terdiri dari jumlah anggota awal dan saat laporan dibuat. Tidak dilaporkan bagaimana status kelompok ternak, dan bantuan lain yang diterima oleh kelompok ternak.

Proses penyampaian laporan yang telah diatur dalam petunjuk pelaksanaan tidak terlaksana sesuai dengan petunjuk pelaksanaan. Rata-rata laporan pelaksanaan program SMD hanya tertib dilakukan pada tahun pertama pelaksanaan program, tahun berikutnya banyak SMD yang tidak mengirimkan laporan.Dinas peternakan kabupaten/kota dan provinsi juga tidak menyampaikan laporan secara kontiniu kepada Ditjen PKH, sehingga laporan yang terkumpul di Ditjen PKH hanya 30-35% saja.

d. Proses Monitoring dan Evaluasi

Monitoring dan evaluasi SMD dimaksudkan untuk mengetahui dengan pasti pencapaian hasil, kemajuan, kendala dalam pelaksanaan penguatan kelembagaan ekonomi peternak pada SMD sehingga dapat dinilai dan dipelajari untuk perbaikan pelaksanaan rencana di masa yang akan datang. Monitoring dan evaluasi dilakukan oleh unsur Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Perguruan Tinggi, Dinas Peternakan atau Dinas yang membidangi fungsi Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi dan Kabupaten/Kota. Hasil monitoring dan evaluasi yang dilakukan secara berkala tersebut meliputi:

a. Kemajuan pelaksanaan kegiatan sesuai indikator kinerja (fisik dan keuangan) b. Perkembangan dan dinamika usaha serta kelembagaan

c. Identifikasi masalah dan solusi pemecahan

Monitoring dan evaluasi SMD dilakukan oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan setiap tahun. Tetapi monitoring dan evaluasi hanya pada tahap output yang dihasilkan oleh SMD dan kelompok binaannya, sementara evaluasi terhadap proses perencanaan dan pelaksanaan program SMD tidak dilakukan. Hasil monitoring dan evaluasi program SMD belum digunakan sebagai bahan dalam perbaikan pelaksanaan program SMD tahun berikutnya.Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya perubahan pada pelaksanaan program SMD setiap tahunnya.

Dinaspeternakan kabupaten/kota tidak melakukan evaluasi program SMD secara khusus. Dinas kabupaten/kota hanya melakukan monitoring program SMD bersamaan

dengan monitoring program lainnya. Menurut dinas kabupaten/kota tidak adanya anggaran untuk monitoring dan evaluasi dari APBN yang menjadi penyebab mereka tidak melakukan monitoring dan evaluasi secara khusus.

Evaluasi Product

Evaluasi product dilakukan dengan melihat outcome atau dampak yang dihasilkan oleh suatu program. Dalam evaluasi product terhadap program SMD, dampak yang dilihat dibagi menjadi dua yaitu dampak terhadap sarjana pendamping dan dampak terhadap kelompok ternak.

a. Dampak terhadap sarjana pendamping

Sarjana pendamping program SMD telah memiliki organisasi nasional yaitu Asosiasi SMD.Selain itu di tingkat provinsi juga terdapat Asosiasi SMD provinsi. Asosiasi SMD dibentuk sejak tahun 2011, dengan tujuan untuk tetap menjaga penegakan disiplin profesi, mengembangkan orientasi usaha agribisnis yang dikelola dan mengoptimalkan kerjasama antar sejawat melalui jaringan yang terintegrasi serta kerjasama dengan pihak lain yang menguntungkan. Berdasarkan hasil Musyawarah Kerja Nasional Asosiasi SMD pada tanggal 29- 30 Mei 2013 di Kabupaten Solok , Sumatera Barat, diputuskan untuk membentuk sebuah perseroan terbatas dengan nama PT. Esemde Agribisnis Indonesia sebagai holding company dan wadah integrasi usaha para SMD. Pada tahun 2014 PT. Esemde Agribisnis Indonesia telah melakukan Memorandum of Understanding dengan beberapa stakeholders yaitu:

1) Asosiasi Pengolah Daging Skala UKM dan Rumah Tangga (Aspedata) untuk kemitraan inti-plasma sapi potong

2) Koperasi Karyawan Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan berupa pembentukan Holding Product daging dalam kontribusi Program SMD terhadap pemenuhan kebutuhan daging ibukota.

Asosiasi SMD merupakan bentuk modal sosial dalam program SMD. Asosiasi SMD dapat membentuk rasa percaya (trust) serta jejaring (network) antar penerima program SMD. Modal sosial dapat menurunkan biaya untuk bekerjasama dan memfasilitasi kerjasama. Melalui aktivitas bersama (collective activity) yang dilakukan asosiasi SMD akan mendorong anggota asosiasi untuk lebih meningkatkan usaha peternakannya.

Menurut Narayan and Pritchett (1997) modal sosial memberikan

Dokumen terkait