• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dx 3 : kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik

5. Evaluasi Keperawatan

Evaluasi dilakukan setiap hari, pada partisipan I dilakukan selama 6 hari dan pada partisipan II dilakukan selama 5 hari. Berikut adalah hasil evaluasi yang dilakukan pada kedua partisipan.

Tabel 4.5 Evaluasi Keperawatan

Partisipan I Partisipan II

Evaluasi berdasarkan observasi dan wawancara peneliti :

Setelah dilakukan implementasi keperawatan berdasarkan diagnosa

Evaluasi berdasarkan observasi dan wawancara peneliti :

Setelah dilakukan implementasi keperawatan berdasarkan

resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak didapatkan evaluasi pada hari pertama yaitu : S : keluarga mengatakan pasien mengalami penurunan kesadaran O : pasien mengalami penurunan kesadaran, kesadaran pasien apatis GCS 12, pasien belum bisa berinteraksi A : masalah belum teratasi P: intervensi dilanjutkan. Pada hari keempat pasien mengatakan kepalanya tidak sakit, pasien tampak tenang.

Setelah dilakukan implementasi keperawatan pada diagnosa nyeri akut berhubungan dengan agen cedera fisik didapatkan evaluasi pada hari pertama yaitu : S : keluarga mengatakan pasien sering memegang kepalanya dan gelisah O : pasien tampak pucat, meringis, TD: 120/90 mmHg, nadi: 80 x/i, RR : 20 x/i. A : Masalah belum teratasi, P : Intervensi dilanjutkan. Pada hari kelima : pasien mengatakan nyeri kepalanya sudah mulai hilang, masalah sudah teratasi, intervensi duhentikan.

Setelah dilakukan implementasi keperawatan pada diagnosa kerusakan integritas kulit berhubungan dengan faktor mekanik, didapatkan evaluasi pada hari pertama yaitu : S : keluarga mengatakan luka gores dikaki sebelah kiri pasien, O: luka tampak belum kering, kemerahan dan ada pus A : masalah belum teratasi P : intervensi dilanjutkan. Pada hari ke empat luka pasien sudah sedikit kering, tidak ada pus dan tidak kemerahan.

ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan gangguan neurologis pada hari pertama yaitu : S : keluarga mengatakan nafas pasien sesak O : pasien terpasang oksigen nasal kanul 4 l/I, pasien tampak sesak. A : masalah belum teratasi P: intervensi dilanjutkan. Pada hari ke lima (Tn. S ) tampak sudah tidak sesak , pasien tidak memakai oksigen, RR : 20 x/menit, masalah teratasi, intervensi dihentikan.

Setelah dilakukan implementasi keperawatan pada diagnosa resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak, didapatkan evaluasi pada hari pertama yaitu : S : keluarga mengatakan pasien mengalami penurunan kesadaran O : kesadaran pasien delirium, GCS 10, TTV dalam batas normal. A : masalah belum teratasi P: intervensi dilanjutkan. pada hari keempat GCS pasien 13, pasien masih tampak bingung, TTV dalam batas normal, masalah belum teratasi, intervensi dilanjutkan. Setelah dilakukan tindakan keperawatan pada diagnosa ketidakefektifan perfusi jaringan perifer berhubungan dengan penurunan sirkulasi oksigen ke otak didapatkan evaluasi pada hari pertama S: keluarga mengatakan akral pasien teraba dingin O : akral pasien teraba dingin, CRT > 2 detik A : masalah belum teratasi P : intervensi dilanutkan. Pada hari kelima akral pasien teraba hangat, CRT < 2 detik, suhu normal. Masalah teratasi, intervensi dihentikan

C. Pembahasan

Setelah didapatkan data pasien dengan metode wawancara, observasi, studi dokumentasi serta pemeriksaan fisik pada 2 orang partisipan melalui pendekatan proses keperawatan, pengkajian, menegakkan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi, maka peneliti akanmembahas mengenai kesenjangan antara teori dengan kenyataan yang ditemukan pada pasien dengan cedera kepala yang dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Pengkajian

Pengkajian keperawatan merupakan tahap awal dari proses keperawatan dan landasan dari proses keperawatan dari pengkajian dapat dilihat dari perbedaan kasus dengan teori yaitu :

a. Identitas pasien

Identitas pasien (Tn. Z dan Tn. S) diperoleh dari keluarga dan status, partisipan 1 dan 2 sama- sama megalami cedera kepala sedang dan sama– sama berjenis kelamin laki-laki. Menurut peneliti ada kecendrungan pengaruh jenis kelamin dalam kasus cedera kepala lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan.

Menurut peneliti Awaloei (2016), bahwa jenis kelamin laki-laki yang tersering mengalami cedera kepala dibandingkan dengan perempuan. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Brunner & Suddart (2013) yang mengatakan bahwa yang berisiko tinggi yang mengalami cedera kepala adalah laki-laki dibandingkan dengan perempuan dengan perbandingan 2:1.

Menurut peneliti biasanya pasien cedera kepala lebih banyak dialami pada pasien laki-laki yang disebabkan karena kecelakaan lalu lintas.

Pada diagnosa medis didapatkan diagnosa partisipan I yaitu CKS GCS 12 + EDH, sedangkan diagnosa partisipan II yaitu CKS GCS 10 + ICH. Perbedaan dari EDH dengan ICH yaitu, EDH adalah perdarahan yang

menuju ke ruang antara tengkorak dan durameter. Kondisi ini terjadi karena laserasi dari arteri meningea media. Sedangkan ICH adalah perdarahan menuju ke jaringan serebral. Biasanya terjadi akibat cedera langsung dan sering didapat pada lobus frontal atau temporal (Rendy dan Margareth, 2012).

b. Riwayat Kesehatan 1) Keluhan utama

Berdasarkan hasil pengkajian pada partisipan I dan II, keluhan utama pasien mengalami penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas, adanya muntah proyektif dan keluar darah dari telinga (+). Dari keluhan utama pada kedua partisipan tidak didapatkan adanya tanda fraktur basis cranii karena kedua partisipan keluar darah dari telinga tidak disertai adanya cairan lendir. Hal ini dijelaskan oleh teori Rendy dan Margareth (2012), fraktur basis cranii berupa jaringan pembuluh darah dan saraf-saraf otak, merobek burameter yag mengakibatkan perembesan cairan serebros spiner, dimana dapat membuka satu jalan untuk terjadinya infeksi intrapranial. Tanda – tanda fraktur servikal yaitu terdapatnya jejas diatas clavikula kearah cranial, adanya memar di sekitar leher, nyeri ketika menggerakkan lengan. Menurut peneliti kedua partisian tidak ada mengalami tanda-tanda adanya fraktur servikal.

Menurut teori Rendy dan Margareth (2012), umumnya pasien dengan cedera kepala datang kerumah sakit dengan penurunan kesadaran (GCS dibawah 15), sering bingung , muntah, dispnea/takipnea, sakit kepala, lemah, hemiparise, luka dikepala, akumulasi sputum di saluran pernafasan, dan adanya kejang. Menurut peneliti pada pasien cedera kepala masuk karena penurunan kesadaran, kejang dan adanya muntah.

Pada partisipan I dan II ada perbedaan pada keluhan utama yaitu pada partisipan I ada kejang setelah kecelakaan, tapi partisipan II tidak ada

kejang. Menurut peneliti pasien cedera kepala yang mengalami kejang setelah kecelakaan lalu lintas disebabkan karena adanya benturan yang mengenai saraf pada otak.

2) Riwayat kesehatan sekarang

Saat dilakukan pengkajian pada pasien Tn. Z, Selasa, 06 Maret 2018 pukul 09.00 WIB, keluarga mengatakan pasien sering terasa mual saat membuka mata. Keluarga mengatakan pasien sering memegang kepalanya. Sedangkan pada pasien Tn. S, saat dilakukan pengkajian pada hari Selasa, 07 Maret 2018 pukul 10.00 WIB, keluarga mengatakan pasien mengalami penurunan kesadaran, pasien sering meracau dan gelisah.

Menurut peneliti Yolanda (2017), pada pasien cedera kepala biasanya mengalami penurunan kesadaran dan adanya luka disekitar kepala pasien.

Dalam teori Wijaya dan Putri (2013), adapun hasil yang sama antara lain terjadinya penurunan kesadaran, sakit kepala,perdarahan otak dan lainnya sehingga mengakibatkan otak tidak dapat bekerja secara efektif. Menurut peneliti partisipan I dan II sama-sama mengalami penurunan kesadaran dan adanya perdarahan otak yang disebabkan karena benturan kecelakaan lalu lintas yang mengakibatkan adanya peningkatan TIK. Menurut teori Borley dan Grace (2007), bila trauma mengenai ekstra kranial akan dapat menyebabkan adanya laserasi pada kulit kepala dan pembuluh darah sehingga terjadi perdarahan. Apabila perdarahan terjadi terus menerus akan terganggunya aliran darah dan menyebabkan hipoksia. Akibat hipoksia otak mengalami edema serebri dan peningkatan volume darah di otak sehinga tekanan intrakranial akan meningkat.

3) Riwayat kesehatan dahulu

Keluarga Tn. Z mengatakan pasien sedang mengendarai motor bersama anaknya untuk pergi mancing, kemudian setelah sampai

ditempat pemancingan pasien memberhentikan motornya, pada saat pasien berhenti tiba-tiba datang motor lain menabrak pasien sehingga pasien terjatuh dan kepalanya terbentur dan robek. Sedangkan keluarga Tn. S mengatakan pasien sedang mengendarai motor kemudian pasien disenggol oleh mobil dan pasien terjatuh dari motornya, pasien langsung pngsan dan dibawa langsung ke RSUD Solok.

Salah satu penyebab cedera kepala berdasarkan teori Muttaqin (2008) adalah kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian , dan trauma langsung ke kepala. Menurut penelit antara partisipan I dan partisipan II sama-sama mengalami cedera kepala karena kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan pasien menjadi cedera kepala.

4) Riwayat kesehatan keluarga

Keluarga Tn. Z mengatakan tidak mengetahui anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit DM, hipertensi dan penyakit keturunan lainnya. Pada keluarga Tn. S mengatakan tidak mengetahui anggota keluarga pasien yang memiliki penyakit DM, hipertensi dan penyakit keturunan lainnya.

Teori Muttaqin, A (2008), berpendapat bahwa perlu dilakukan pengkajian tentang riwayat kesehatan pasien yang dapat memperlambat pemulihan, meliputi adanya riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes melitus, jantung koroner, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, dan konsumsi alkohol.

Menurut peneliti cedera kepala bukan penyakit keturunan, namun terjadi karena kecelakaan.

c. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik Tn. Z didapatkan, kesadaran pasien apatis GCS 12, Pada kepala tampak luka jahit dibagian pariental sepanjang 8 cm, luka jahit sudah tampak kering, tidak ada pus. Tampak lebam pada mata sebelah kanan, berwarna kebiruan, pada sudut lateral sclera tampak

kemerahan. N. III (Occulomotorius) pupil isokor dengan diameter Ø OD/OS : Ø 2/2 mm. Pada N. X (Vagus) pasien bisa menelan saat diberikan air minum. Pada N.VIII (akustikus) pasien menoleh saat dipanggil dengan suara sedang.

Pada pemeriksaan fisik Tn. S, kesadaran pasien delirium GCS 10 (E2M5V3). Pada kepala dan wajah terdapat luka gores diwajah sebelah kanan panjang 3 cm, luka tampak masih belum kering. Pada mata N II ( occulomotorius ) pupil isokor dengan diameter Ø OD/OS : Ø 2/2 mm. terdapat luka gores dibatang hidung pasien sepanjang 4 cm, luka tampak belum kering, ada pus. Tampak pernafasan cuping hidung, pasien terpasang oksigen nasal kanul 4 liter/menit, pasien terpasang NGT. Telinga tampak simetris, tidak ada luka. Masih ada tampak sisa darah yang keluar dari telinga.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan pada partisipan I dan partisipan II sama-sama mengalami penurunan kesadaran. Menurut teori Muttaqin (2008), menjelaskan bahwa bertambahnya volume otak akibat perdarahan dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan tekanan intracranial yang ditandai dengan kejang, penurunan kesadaran dan nyeri kepala. Menurut peneliti, penurunan kesadaran pada pasien terjadi akibat adanya tanda-tanda peningkatan TIK.

Namun ada perbedaan pada 2 partisipan yaitu pada partisipan I ditemukan adanya luka robek dikepala pariental, disekitar mata sebelah kiri pasien lebam berwarna kebiruan, pada nervus vagus dapat dinilai karena pasien bias menelan saat diberikan air minum, sedangkan pada partisipa II ada luka di wajah, luka gores di batang hidung, pasien terpasang oksigen nasal kanul, tampak pernafasan cuping hidung dan terpasang NGT. Menurut peneliti tanda – tanda yang dialami kedua partisipan merupakan tanda dan gejala dari cedera kepala. Pada pemeriksaan nervus partisipan I N.VIII dan N.X dapat di nilai sedangkanpada partisipan II tidak dapat di nilai karena pada partisipan II mengalami penurunan kesadaran.

Hal tersebut sama dengan teori Brunner & Suddart (2013) yang menjelaskan bahwa manifestasi klinis cedera kepala adalah tingkat kesadaran yang berubah, terganggunya pola nafas, adanya gangguan pendengaran, disfungsi sensorik.

Dokumen terkait