• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sabun& Detergen

3.7 Evolusi Kebijakan Pemerintah

Perkembangan agrobisnis minyak sawit sebagaimana diuraikan pada bab-bab sebelumnya tidak dapat dilepaskan dari kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintah, khususnya sejak tahun 1970. Kebijakan ekonomi yang dimaksud baik kebijakan yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit maupun kebijakan secara tidak langsung yakni dalam kerangka pengelolaan makro ekonomi, termasuk dalam perdagangan internasional.

122 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI Kebijakan pemerintah yang secara langsung ditujukan pada agrobisnis minyak sawit antara lain kebijakan alokasi penggunaan CPO untuk kebutuhan domestik yang disertai dengan kebijakan harga CPO maksimum, kebijakan Perkebunan Inti Rakyat dan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), dan kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya.

Meskipun pangsa pengeluaran konsumen minyak goreng di Indonesia relatif kecil (sekitar 4% dari pengeluaran total), sehingga konstribusinya dalam laju inflasi relatif kecil, intervensi pemerintah pada agrobisnis minyak sawit cukup intensif agar harga minyak goreng relatif murah di Indonesia. Hal ini menarik untuk didiskusikan lebih lanjut, apakah kebijakan yang demikian masih perlu dipertahankan ke depan.

Kebijakan PIR dan PBSN. Keberhasilan Indonesia menjadi

produsen CPO terbesar dunia tahun 2006 di mana sekitar 40% bersumber dari perkebunan rakyat, tidak datang sendiri melainkan hasil dari (by design) kebijakan ekonomi benar dalam agrobisnis minyak sawit. Kebijakan ekonomi yang dimaksud adalah kebijakan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Pengembangan Perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN), yang oleh banyak pihak diakui keberhasilannya.

Dalam kebijakan PIR, yang bertindak sebagai inti adalah perkebunan negara (BUMN) dan perkebunan swasta. Sedangkan plasma adalah (calon- calon) perkebunan rakyat. Tugas dan tanggung jawab inti antara lain membangun dan memelihara kebun-kebun calon plasma, mempersiapkan, dan membina kemampuan calon plasma sejak awal pembangunan kebun, serta ikut memelihara dan mengelola kebun di bawah bimbingan inti.

Mengingat peran inti sangat penting dalam keberhasilan PIR, perlu terlebih dahulu dilakukan penyehatan dan penguatan inti, melalui kebijakan bantuan pembiayaan (fasilitas kredit) yang dimulai pada 7 (tujuh) BUMN/Perusahaan Besar Swasta Nasional (tahun 1969-1978). Kemudian dilanjutkan dengan kebijakan fasilitas kredit (modal dengan suku bunga murah) kepada perkebunan Besar Swasta Nasional (PBSN) I (1977-1981), dilanjutkan dengan PBSN II (1981-1986), dan PBSN III (1986-1990).

Simultan dengan kebijakan penyehatan dan penguatan inti tersebut, tahun 1978 dimulailah PIR pertama yang dibiayai oleh Bank Dunia yang dikenal dengan proyek Nucleus estate and small holders (NES), mulai dari NES I sampai NES VII. Keberhasilan NES tersebut memberi keyakinan pada pemerintah untuk melanjutkan dan memperluas pola PIR dengan pendanaan dalam negeri (APBN) yakni

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 123 PIR khusus dan PIR lokal pada 12 provinsi di Indonesia pada tahun 1980. Melalui serangkaian pola PIR tersebut, berkembang sekitar 231.535 ha perkebunan kelapa sawit baru yakni kebun inti (67.754 ha) dan kebun plasma (163.781 ha). Melalui PIR inilah perkebunan rakyat ikut dalam agrobisnis minyak sawit nasional di mana sebelum tahun 1980 pelaku agrobisnis minyak sawit hanya ada perusahaan negara dan swasta.

Pengalaman keberhasilan pelaksanaan PIR tersebut dan dikaitkan dengan pengembangan ekonomi daerah melalui program transmigrasi, pemerintah mengombinasikan pola PIR dengan program transmigrasi melalui pola PIR Transmigrasi (PIR-Trans) sejak tahun 1986. Pada Pola PIR-Trans, perusahaan swasta bertindak sebagai inti dan petani transmigrasi sebagai plasma. Kebijakan PIR-Trans ini dilaksanakan pada 11 provinsi dan berhasil menumbuhkembangkan perkebunan kelapa sawit baru sekitar 566 ribu hektar di mana 70% kebun plasma dan 30% kebun inti.

Berkembangnya sentra-sentra baru perkebunan kelapa sawit melalui PIR-Trans, tidak melupakan pengembangan PIR lokal sebelumnya yang mengilhami PIR-Trans. Sejak Tahun 1996, PIR lokal dikembangkan (naik kelas) baik dari segi pembiayaan maupun dari segi kelembagaan yang dikaitkan dengan pengembangan koperasi yang dikenal dengan PIR KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Para Anggotanya). PIR KKPA ini dibiayai dengan subsidi kredit koperasi melalui 74 Koperasi Unit Desa (KUD) yang ada di sekitar perkebunan kelapa sawit (swasta, negara) yang telah ada.

Melalui kebijakan PIR dengan berbagai variasi pelaksanaannya, telah membawa perubahan revolusioner dalam agrobisnis minyak sawit di Indonesia khususnya perkebunan kelapa sawit. Luas areal perkebunan kelapa sawit meningkat dari hanya sekitar 294 ribu ha tahun 1980, menjadi sekitar 4 juta hektar tahun 2000 atau meningkat hampir 20 kali lipat. Hal yang lebih revolusioner lagi adalah meningkatnya perkebunan rakyat dari hanya 6 ribu hektar menjadi 1,1 juta hektar atau hampir 200 kali lipat dalam periode yang sama.

Melihat keberhasilan kebijakan PIR yang menghasilkan percepatan pengembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia, ternyata membangun kepercayaan (trust) baru kepada agrobisnis minyak sawit, baik investor, individu masyarakat, maupun dunia perbankan. Hal ini tercermin dari peningkatan luas perkebunan kelapa sawit yang cepat setelah tahun 2000 di mana tidak ada lagi fasilitas bantuan pemerintah. Dalam waktu 10 tahun (2000-2010), perkebunan kelapa sawit Indonesia naik dari 4,1 juta hektar menjadi sekitar 8 juta

124 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI hektar atau naik dua kali lipat. Peningkatan yang cepat terjadi pada perkebunan rakyat yang meningkat sekitar 3 kali lipat dari 1,1 juta hektar menjadi 3,3 juta hektar pada periode yang sama.

Pada tahun 2006 pemerintah memberikan fasilitas kredit (subsidi bunga kredit) pengembangan energi nabati dan revitalisasi perkebunan (Permenkeu No:117/PMK.06/2006) untuk rakyat. Namun demikian, sebagian besar masyarakat dari percepatan luas perkebunan kelapa sawit selama periode 2000-2010 diperkirakan dimotori oleh kepercayaan investor baru (perusahaan, individu) dan perbankan pada agrobisnis minyak sawit. Apalagi dalam periode tersebut harga minyak sawit dunia makin membaik sehingga memberi keyakinan bahwa investasi di perkebunan kelapa sawit sangat menguntungkan.

Kebijakan PIR dan PBSN di atas, dapat dikategorikan sebagai kebijakan ekonomi yang sukses (success policies). Kebijakan tersebut bergerak dari fase bantuan modal, kemudian naik kelas menjadi fase subsidi modal dan kemudian menuju fase modal komersial (mandiri).

Dikatakan sebagai kebijakan sukses karena berbagai alasan. Pertama, kebijakan tersebut berhasil (meningkatkan luas perkebunan khususnya perkebunan rakyat sesuai dengan target/sasaran kebijakan). Kedua, kebijakan tersebut berhasil secara bertahap memperbesar peran dunia usaha dan makin mengurangi tanggung jawab/beban pemerintah sehingga tidak menciptakan ketergantungan pada bantuan pemerintah. Ketiga, kebijakan tersebut berhasil menstimulus investasi swasta dan masyarakat sehingga dengan investasi pemerintah yang tidak terlalu besar dikeluarkan, dapat menarik investasi swasta/masyarakat yang jauh lebih besar (triggering effect besar). Keempat, kebijakan tersebut mampu memenuhi kewajibannya dalam pembangunan. Artinya, keberhasilan pemerintah dalam memberdayakan dunia usaha, secara tidak langsung menyelesaikan tugas dan tanggung jawab pemerintah dalam pembangunan ekonomi seperti penciptaan kesempatan kerja, peningkatan pendapatan dan lain-lain.

Dengan kata lain, kebijakan PIR dan PBSN yang demikian merupakan kebijakan yang bersifat pareto improvement, yakni memberi manfaat bagi semua pihak baik petani/perkebunan rakyat, perusahaan perkebunan swasta dan negara (BUMN), pemerintah maupun masyarakat secara keseluruhan. Manfaat tersebut bahkan juga dinikmati masyarakat dunia baik melalui ketersediaan minyak nabati yang lebih murah maupun jasa lingkungan yang dihasilkan perkebunan kelapa sawit.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 125

Kebijakan Alokasi dan Harga Maksimum CPO Domestik. Pada

periode tahun 1973-1990, pemerintah pernah menempuh kebijakan pengalokasian dan harga CPO domestik. Tujuan kebijakan waktu itu adalah untuk memenuhi kebutuhan bahan baku minyak goreng yang saat ini mengalami kekurangan bahan baku dari kelapa/kopra.

Pada awalnya (1973-1978) pemerintah menetapkan harga pembelian CPO bagi industri minyak goreng dangan harga Rp120 per kg. Namun karena tidak efektif, melalui SKB Menteri (Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, Menteri Perdagangan dan Koperasi) No: 275/ KPB/XII/1978, 252/M/SK/12/1978, 764/KPTS/UM/1978 tanggal 16 Desember 1978 pemerintah mengeluarkan kebijakan mengharuskan penggunaan produksi CPO domestik diutamkan untuk kebutuhan dalam negeri dan dengan harga CPO ditetapkan pemerintah secara periodik (tiga bulan sekali) oleh Menteri Perdagangan dan Koperasi pada waktu itu.

Dengan kebijakan pengaturan harga (harga maksimum) CPO domestik, harga penetapan CPO berubah dari Rp120/kg (pertengahan tahun 1978) berubah menjadi Rp198/kg sampai akhir tahun 1979. Kemudian diubah tiga bulan sekali sampai dengan awal tahun 1991 menjadi Rp550/kg.

Selain menetapkan harga CPO domestik, pemerintah juga mengharuskan penggunaan produksi CPO di Indonesia diutamakan untuk kebutuhan dalam negeri, baik untuk industri minyak goreng maupun industri lain. Kebijakan pengutamaan pasar domestik ini bukan hanya berlaku bagi CPO tetapi juga berlaku untuk palm kernel oil (PKO).

Dampak dari kebijakan tersebut adalah pangsa untuk ekspor CPO mengalami penurunan dan untuk konsumsi domestik meningkat. Bila sebelum tahun 1978 sebagian besar produksi CPO Indonesia adalah untuk tujuan ekspor, setelah tahun 1978 berangsur-angsur turun (Tabel 9.2). Hal yang sama juga terjadi pada PKO, pangsa untuk ekspor makin menurun dan pangsa untuk konsumsi domestikmeningkat. Dengan kata lain, untuk pertama kali dalam sejarah agrobisnis minyak sawit Indonesia terjadi perubahan drastis dalam orientasi pasar, yakni semula berorientasi ekspor (export orientation) yakni sebelum tahun 1978, menjadi berorientasi pada pasar domestik (domestik market orientation).

Dengan perubahan orientasi pasar yang demikian, berarti Indonesia meninggalkan pasar ekspornya baik CPO maupun PKO. Hal ini tercemin dari penurunan pangsa Indonesia dalam pasar ekspor CPO

126 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI dunia yang semula (sebelum tahun 1978) memiliki pangsa di atas 10%, turun menjadi di bawah 10% setelah tahun 1978. Pasar ekspor yang ditinggalkan Indonesia ini kemudian diambil alih Malaysia yang secara konsisten berorientasi ekspor.

Apakah kebijakan pengutamaan pasar domestik yang disertai dengan penetapan harga maksimum berhasil? Hal ini menarik untuk didesikasikan lebih lanjut. Bila diperhatikan, data harga CPO penetapan pemerintah dengan harga CPO aktual di dalam negeri selama masa periode kebijakan tersebut menunjukan hal-hal yang menarik. Pertama, harga CPO aktual di pasar domestik pada umumnya di atas harga CPO penetapan pemerintah (harga maksimum) baik dalam rupiah maupun dalam dolar Amerika Serikat. Kedua, terjadi disparitas harga CPO antara pasar domestik (aktual) dengan harga ekspor (f.o.b Belawan) yang cukup besar apalagi dibandingkan dengan harga dunia (Rotterdam).

Disparitas harga CPO antara harga aktual di pasar domestik dengan harga yang ditetapkan pemerintah mengindikasikan terjadinya penyelundupan (smugling) dari pasar domestik ke luar negeri. Hal ini dimungkinkan karena adanya intensif yang cukup besar yakni disparitas harga CPO antara harga yang ditetapkan pemerintah dengan harga ekspor. Volume CPO yang diselundupkan keluar negeri ini diperkirakan cukup besar sedemikian rupa, sehingga melalui mekanisme di pasar domestik, harga aktual menjadi lebih tinggi dari harga yang ditetapkan pemerintah.

Kemudian, disparitas harga CPO antara pasar ekspor (f.o.b. Belawan) dengan pasar dunia (Rotterdam) yang cukup besar, mengindikasikan bahwa kebijakan orientasi pasar domestik yang ditempuh pemerintah waktu itu juga dimanfaatkan oleh para pedagang perantara/pembeli CPO internasional dengan cara menekan harga pembelian CPO dari Indonesia. Kebijakan orientasi pasar domestik tersebut dibaca para pemain CPO dunia sebagai ketidakpastian supply CPO dari Indonesia, sehingga direspons dengan cara menekan harga (manage risk).

Lantas siapa yang diuntungkan dengan kebijakan tersebut? Apakah kebijakan tersebut efektif menjaga stabilitas minyak goreng domestik sebagaimana tujuan kebijakan? Untuk menjawab hal ini mari kita lihat perkembangan harga minyak goreng dalam negeri dalam kurun waktu tahun 1980-1994.

Harga minyak goreng di Indonesia mengalami fluktuasi selama periode tahun 1980-1994. Tingkat penurunan harga minyak goreng tertinggi terjadi tahun 1990 yakni 18%. Sedangkan kenaikan tertinggi terjadi tahun 1983 yang mencapai 24%. Secara keseluruhan, rata-rata

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 127 kenaikan harga minyak goreng di Indonesia selama kebijakan tersebut mencapai 6,4%, atau kurang lebih sama dengan laju inflasi selama periode tersebut. Dengan demikian, kebijakan tersebut gagal menjaga stabilitas minyak goreng di dalam negeri.

Tomich dan Mawardi (1995) menganalisis dampak kebijakan tersebut selama periode tahun 1978-1987 mengungkapkan bahwa kebijakan tersebut merugikan produsen dan konsumen. Kebijakan tersebut menciptakan proteksi nasional sampai 9% pada perkebunan kelapa sawit. Sementara konsumen minyak goreng membayar 6%-12% di atas harga paritas impor minyak goreng. Selama periode 1982-1987 saja, total kerugian konsumen mencapai Rp880 miliar dan kerugian produsen Rp387 miliar. Selain itu, Indonesia kehilangan kesempatan memperoleh devisa yang cukup besar dan kehilangan pasar di pasar dunia

Kebijakan Pajak Ekspor Minyak Sawit. Sebagai bagian dari paket

deregulasi, pada waktu itu dikenal sebagai paket deregulasi Juni tahun 1991 (Pakjun 91), pemerintah mengubah kebijakan perdagangan minyak sawit di dalam negeri. Perubahan yang dimaksud mencakup 3 aspek yakni, (1) Penerapan pajak ekspor minyak sawit dan produk turunannya, (2) Pengelolaan buffer-stock CPO oleh Badan Urusan Logistik (BULOG) dan memberikan subsidi impor olein bila diperlukan, dan (3) Melanjutkan kebijakan penggunaan 80% produksi CPO perkebunan sawit negara (PTP) untuk kebutuhan dalam negeri dengan harga di bawah harga pasar.

Kebijakan pasar ekspor yang ditetapkan bersifat variable, yang tergantung pada perkembangan harga minyak sawit dan turunannya di pasar dunia. Waktu itu ditetapkan harga dasar (HD)—harga tertinggi yang tidak dikenakan pajak—dan harga ekspor (HE) yakni harga ekspor FOB Belawan. Tingkat tarif ditetapkan dan tergantung pada selisih HE dengan HD. Formula Pajak Ekspor (PE) untuk persatuan volume dalam rupiah adalah PE = tarif x (HE-HD) x KURS.

Kebijakan tersebut untuk pertama sekali ditetapkan melalui SK Menteri Keuangan No: 434/KMK 0.17/1994 tanggal 31 Agustus 1994 Formula Perhitungan PE berdasarkan SK tersebut disajikan pada Tabel 3.22.

128 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI

Tabel 3.22. Formula Penetapan Pajak Ekspor CPO dan Produk Turunan Berdasarkan

SK Menkeu No: 434/KMK 0.17/1994 Tanggal 31 Agustus 1994

Tingkat Harga (US$/ton) Pajak Ekspor (%)

1. Crude Palm Oil (CPO)

*Harga Dasar 435 0%

* Harga Ekspor FOB 0%

a. 435-505 60 % (HE-HD) b. 470-505 56 % (HE-HD) c. 505-540 52 % (HE-HD) d. 540-575 48% (HE-HD) e. 575-610 44 % (HE-HD) f. Di atas 610 40 % (HE-HD) 2. RBD Palm Oil * Harga Dasar 460 0%

* Harga Ekspor FOB 0%

a. 460-500 60 % (HE-HD) b.500-540 56 % (HE-HD) c. 540-580 52 % (HE-HD) d. 580-620 48% (HE-HD) e. 620-660 44 % (HE-HD) f. Di atas 660 40 % (HE-HD) 3. CRD Olein * Harga Dasar 0%

* Harga Ekspor FOB 0%

a. 465-510 75 % (HE-HD) b, 510-600 70 % (HE-HD) c. 555-600 65 % (HE-HD) d. 600-645 60 % (HE-HD) e. 645-690 55 % (HE-HD) f. Di atas 690 50 % (HE-HD) 4.RBS Olein * Harga Dasar 0%

* Harga Ekspor FOB 0%

a. 500-550 75 % (HE-HD) b. 550-600 70 % (HE-HD) c. 600-650 65 % (HE-HD) d. 650-700 60 % (HE-HD) e. 700-750 55 % (HE-HD) f. Di atas 750 50 % (HE-HD)

Harga Ekspor (HE) tersebut ditetapkan setiap bulan oleh Menteri Keuangan baik untuk CPO, maupun produk turunanya RBD Olein, CRD Olein, dan RBD Palm Olein. Pada bulan September 1994, misalnya melalui SK Menteri Keuangan No: 440/MK.017/1994 tanggal 31 Agustus 1994 menetapkan HE CPO (US$ 540/ton), RBD Palm Oil (US$ 591/ ton), CRD Olein (US$ 612/ton) dan RBD Olein (US$ 642/ton).

Realisasi kebijakan pajak ekspor misalnya dalam periode September 1994 sampai dengan November 1995 (Tabel 9.6)

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 129 menunjukan bahwa pajak ekspor CPO mencapai 11,9% dari harga ekspor CPO, atau sekitar US$ 72/ton CPO yang diekspor. Untuk RBD Palm Oil mencapai 12.4% dari harga ekspor RBD Palm Oil atau sekitar US$ 79/ton. Sementara untuk produk CRD olein, pajak ekspor mencapai 15,4% atau US$ 97/ ton yang diekspor. Untuk RBD olein, pajak ekspor mencapai 14,8% atau sekitar US$ 99/ton RBD olein yang diekspor.

Dengan demikian, kebijakan pajak ekspor tersebut akan menghasilkan pajak yang lebih tinggi pada produk turunan (olahan) daripada pajak ekspor bahan mentah (CPO). Pajak ekspor RBD Olein lebih tinggi dari CRD Olein. Demikian juga pajak ekspor CRD olein lebih tinggi daripada RBD Palm Oil dan pajak ekspor RBD Palm Oil lebih tinggi daripada pajak ekspor CPO.

Dengan tingkat pajak ekspor yang demikian, di mana pajak ekspor produk turunan lebih tinggi daripada pajak ekspor bahan baku (CPO), tidak memberi intensif untuk industrialisasi (pengolahan lebih lanjut) di dalam negeri. Apakah kebijakan yang demikian menguntungkan konsumen minyak goreng dalam negeri?.

Secara teoritis, kebijakan pajak ekspor yang demikian menciptakan distorsi ekonomi yang secara neto mengurangi/menurunkan kesejahteraan masyarakat keseluruhan. Kebijakan tersebut meningkatkan penerimaan pajak pemerintah dan kesejahteraan konsumen minyak goreng. Namun, mengurangi/menurunkan penerimaan devisa dan pendapatan para usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat. Dapat dipastikan bahwa peningkatan pendapatan pemerintah dan peningkatan kesejahteraan konsumen minyak goreng di dalam negeri lebih kecil dibandingkan dengan kerugian yang dialami perkebunan kelapa sawit.

Hasil Studi Larson (1996) untuk periode tersebut membuktikan teoritis tersebut. Nilai penurunan pendapatan usaha perkebunan kelapa sawit termasuk perkebunan rakyat di dalamnya, lebih besar daripada nilai pajak ekspor yang diterima pemerintah ditambah dengan manfaat (consumer surplus) yang dinikmati konsumen minyak goreng di dalam negeri. Selain itu, nilai penurunan penerimaan ekspor akibat kebijakan tersebut jauh lebih besar dari pajak ekspor yang diterima pemerintah.

Dengan kata lain, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara keseluruhan menurunkan kesejahteraan masyarakat (worse-off). Mereka yang menikmati peningkatan manfaat (better-off) yakni pemerintah dan konsumen, lebih kecil (dalam ukuran moneter) dibandingkan dengan kerugian (worse-off) yang dialami para pelaku perkebunan kelapa sawit termasuk di dalamnya perkebunan rakyat skala kecil.

130 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI Selain itu, dilihat dari segi kemudahan perhitungan tarif, kebijakan penetapan pajak ekspor yang demikian cukup rumit karena harus terlebih dahulu menetapkan harga tertinggi (HD) tidak dikenakan tarif untuk masing-masing produk dan menetapkan harga ekspor. Kelemahan lainnya adalah pajak ekspor produk olahan lebih tinggi daripada bahan baku (CPO) sehingga tidak ada intensif untuk mengolah CPO di dalam negeri.

Dalam rangka diregulasi 7 Juli 1997, pemerintah akhirnya mengubah kebijakan penetapan pajak ekspor CPO dan produk turunanya. Melalui keputusan Menteri Keuangan No: 300/ KMK.01/1997 kebijakan pajak ekspor diubah menjadi pajak advalorem yakni %tase tertentu dari nilai ekspor yang diterapkan semula berkisar 10%-12%, kemudian berubah secara periodik dan pada juli 1998 ketika krisis ekonomi melanda Indonesia pajak ekspor mencapai 60%, lalu diturunkan menjadi 40% sampai Juni 1999 dan menjadi 10% pada September 1999. Sampai Februari 2001, pajak ekspor sudah tinggal 5% dan menjadi 3% pada tahun 2002 sampai 2005.

Setelah tahun 2005, kebijakan pajak ekspor CPO dan produk turunannya semakin intensif baik dilihat dari cakupan produk maupun besaran tarif melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 92/ PMK-02/2005 cakupan pajak ekspor mencakup 5 jenis. Selain 4 jenis sebelumnya, komoditi buah dan inti sawit dikenakan pajak ekspor sebesar 3%.

Kemudian, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 61/ PMK.001/2007 kebijakan pajak ekspor diperluas menjadi 9 jenis produk/komoditi dengan kisaran pajak ekspor 6,5%-10%. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 72/PMKO11/2011 diperluas menjadi 14 jenis produk dengan kisaran pajak ekspor 0%-40% (buah dan inti sawit dikenakan pajak tertinggi yakni 40%). Perhitungan pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada formula: Tarif x Nilai ekspor FOB x KURS.

KebijakanpajakeksporCPOdanprodukturunannyamakinintensif lagi, melalui Peraturan Menteri Keuangan No: 223/PMK.011/2008 tanggal 17 Desember 2008. Setidak ada tiga perubahan dari pajak ekspor sejak tanggal 17 Desember 2008 tersebut dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya: (1) Cakupan produk yang dikenakan pajak ekspor mencakup 15 jenis termasuk RBD Olein dalam kemasan; (2) Besarnya pajak ekspor (advalorem) didasarkan pada kisaran harga referensi masing-masing jenis produk, di mana semakin meningkat harga referensi, pajak ekspor juga akan semakin meningkat (progressive advalorem tax), dan (3) Harga Patokan Ekspor (HPE) ditetapkan secara periodik.

II. Evaluasi Perkembangan Mutakhir Minyak Sawit Indonesia 131 Harga Patokan Ekspor (HPE) adalah harga patokan yang ditetapkan secara periodik oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perdagangan setelah berkoordinasi dengan menteri/ kepala lembaga pemerintah non kementerian/kepala badan teknis terkait. HPE ini ditetapkan denan berpedoman pada harga rata-rata internasional atau harga rata-rata FOB satu bulan terakhir sebelum penetapan HPE. HPE ini merupakan dasar penghitungan/penetapan harga ekspor dalam perhitungan bea keluar. Sedangkan harga referensi (HR) merupakan harga rata-rata internasional komoditi/tertentu (CIF Rotterdam, bursa Malaysia, bursa Jakarta) satu bulan sebelum penetapan HPE. Harga referensi ini digunakan untuk menghitung tarif bea keluar.

Kemudian, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.128/ PMK.011/2011 tanggal 15 Agustus 2011, cakupan produk diperluas menjadi 29 jenis produk dan besaran tarif didasarkan pada harga referensi masing-masing produk. Menteri Perdagangan melalui Peraturan Menteri Perdagangan No: 22/M-DAG/PER/8/2011 dan No: 26/M- DAG/PER/8/2011 menetapkan HPE masing-masing produk berlaku 1 September-30 September 2011. Ringkasan ketiga peraturan menteri tersebut disajikan pada.

Harga patokan ekspor dan besaran tarif tersebut akan selalu mengalami perubahan tergantung pada perubahan harga produk- produk tersebut di pasar internasional. Tujuan kebijakan pajak ekspor tersebut adalah untuk stabilisasi harga minyak goreng sawit dan percepatan pengembangan industri hilir (hilirisasi) di dalam negeri.

Secara umum, kebijakan pajak ekspor tersebut telah lebih rasional dibandingkan dengan kebijakan pajak sebelumnya. Besaran tarif untuk produsen yang belum diolah dan produk akhir sudah dibedakan. Pajak ekspor buah dan inti sawit lebih besar dibandingkan dengan CPO dan CPKO. Demikian juga pajak ekspor CPO dan CPKO lebih tinggi dibandingkan dengan produk-produk olahan lebih lanjut. Di sisi ini, kebijakan pajak ekspor yang demikian secara teoritis dapat mendorong hilirisasi di dalam negeri dan stabilisasi harga minyak goreng domestik.

Berbagai studi (Susila 2004; Obado, dkk. 2009; Purba 2011) mengungkapkan bahwa selain meningkatkan penerimaan pemerintah, pajak ekspor dapat menurunkan harga CPO domestik, menaikkan konsumsi CPO domestik, meningkatkan produksi minyak goreng domestik, dan meningkatkan kesejahteraan konsumen. Namun, berbagai studi (termasuk di atas) juga mengungkapkan bahwa kebijakan pajak ekspor yang ditempuh pemerintah juga menurunkan

132 GAPKI -Industri Minyak Sawit Indonesia Menuju 2050 - PASPI areal tanaman penghasil kelapa sawit, produksi, nilai tambah, ekspor, pendapatan petani kebun, menurunkan penyerapan tenaga kerja, dan produktivitas yang lebih besar.

Artinya, tambahan manfaat yang ditimbulkan kebijakan pajak ekspor CPO dan turunannya harus dibayar dengan pengurangan menfaat yang lebih besar dari produsen minyak sawit dan masyarakat yang ikut dalam proses produksi minyak sawit. Pengurangan manfaat tersebut terjadi pada daerah-daerah sentra produksi CPO yang

Dokumen terkait