BAB II TINJAUAN PUSAKA
A. Kepuasan Kerja
3. Faktor-faktor Kepuasan Kerja
Banyak faktor-faktor yang berhubungan dengan kepuasan kerja pegawai.
Faktor-faktor itu sendiri dalam peranannya memberikan kepuasan kerja
kepada pegawai tergantung pada pribadi masing-masing pegawai (As’ad
pekerjaan terbaik bagi penelitian terkait kepuasan kerja pegawai adalah
dengan memperhatikan faktor-faktor yang ada baik faktor organisasi maupun
faktor individu dari pekerja.
a. Faktor Individu yang Berhubungan dengan Kepuasan Kerja Pegawai
Menurut Baron dan Byrne (2005) serta Gibson (1997), terdapat
beberapa faktor atau karakteristik individu yang dapat mempengaruhi
kepuasan kerja, yaitu :
1. Umur
Gibson (1997) mengungkapkan bahwa hubungan umur dengan
kepuasan kerja menunjukkan hubungan yang positif, artinya semakin
tua umur pegawai semakin tinggi tingkat kepuasan kerjanya,
setidak-tidaknya sampai umur pegawai menjelang pensiun pada pekerjaan
yang dikuasainya.
Greenberg dan Baron dalam Nurhayani (2006) mengemukakan
pendapat bahwa kepuasan kerja meningkat pada usia 30-an, kemudian
menurun pada usia 40-an dan akan meningkat lagi pada usia 50-an
sampai mereka pensiun. Ghiselli dan Brown (1950) dalam As’ad (2004) mengungkapkan bahwa ada hubungan antara kepuasan kerja
dengan umur pegawai. Umur diantara 25 tahun sampai 34 tahun dan
umur 40 sampai 45 tahun merupakan umur yang dapat menimbulkan
perasaan kurang puas terhadap pekerjaan.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Gilmer (1966) dalam As’ad
saat pegawai berusia 25-30 tahun. Pernyataan tersebut juga didukung
oleh pendapat dari Atliselli & Brown (1955) dalam As’ad (2004) yang
memberi batasan umur antara 25-30 tahun sebagai masa timbulnya
rasa kurang puas seseorang terhadap pekerjaannya.
Hasibuan (2005) dan Moekijat (1995) dalam Tauhid (2004),
Siagian (2008), Handoko (2001) dan Davis dan Newstrom (1995)
menyatakan bahwa pekerja yang berumur lebih tua memiliki
kecenderungan puas terhadap pekerjaannya dibandingkan dengan
pekerja yang berumur lebih muda. Hal ini dikarenakan terjadinya
penurunan harapan dan penyesuaian yang lebih baik terhadap situasi
pekerjaan. Sebaliknya, pekerja-pekerja yang masih berusia muda
cenderung kurang puas karena tingginya harapan, penyesuaian yang
kurang dan sebab-sebab lainnya.
Siagian (2008) mengungkapkan bahwa terdapat berbagai alasan
yang sering dikemukakan menjelaskan fenomenon ini antara lain :
a. Bagi pegawai yang telah memasuki usia lanjut akan semakin sulit
memulai karir baru di tempat lain,
b. Sikap yang dewasa dan matang mengenai tujuan hidup, harapan,
keinginan dan cita-cita,
c. Gaya hidup yang telah mapan,
d. Sumber penghasilan yang relatif terjamin,
e. Adanya ikatan batin dan tali persahabatan antara yang
Penelitian Erminda (2003) dan Tauhid (2004) menunjukkan bahwa
terdapat hubungan yang bermakna antara umur dengan kepuasan kerja
seseorang. Sementara, penelitian Widodo (2003) menunjukkan bahwa
tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan kepuasan
kerja seseorang.
2. Jenis Kelamin
Gibson (1997) mengungkapkan bahwa berkaitan dengan jenis
kelamin, dapat dikatakan bahwa secara umum tidak ada perbedaan
yang signifikan antara jenis kelamin dengan kepuasan kerja. Penelitian
yang dilakukan oleh Gleen, Taylor, dan Wlaver (1977) dalam As’ad
(2004) menemukan dalam penelitiannya adanya perbedaan kepuasan
kerja diantara pria dan wanita, yang mana kebutuhan wanita untuk
merasa puas dalam bekerja ternyata lebih rendah dibandingkan dengan
pria.
Sementara, Wicaksono (1982) dalam As’ad (2004) menyimpulkan
bahwa tidak ada perbedaan antara kepuasan kerja pegawai pria dengan
wanita. Hal tersebut serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh
Utomo (2008), Erminda (2003), Widodo (2003) dan Tauhid (2004)
terkait kepuasan kerja menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara variabel jenis kelamin dengan kepuasan kerja
3. Ras/suku
Menurut Gibson (1997) ras/suku merupakan salah satu faktor yang
dapat mempengaruhi kepuasan kerja seseorang. Seseorang akan lebih
merasa puas dalam bekerja dengan adanya kesamaan ras/suku dengan
rekan kerjanya.
4. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu karakteristik demografis yang
perlu untuk dipertimbangkan karena jenjang pendidikan seseorang
memberi pengaruh dalam menentukan posisi dalam pekerjaannya
kelak. Penelitian Adib Farchan (1984) dalam As’ad (2004)
menyimpulkan bahwa tidak ada hubungan positif antara tingkat
pendidikan dengan kepuasan kerja. Hal serupa juga dikemukakan oleh
Klein & Maher (1996) dalam Abdurrahman (2000) yang menyatakan
bahwa terdapat hubungan yang negatif antara tingkat pendidikan dan
kepuasan kerja.
Dilain sisi, Gilmer (1966) dalam As’ad (2004) menyimpulkan
bahwa pegawai yang berpendidikan lanjutan atas merasa sangat puas
dengan pekerjaan yang mereka lakukan. Sementara itu, penelitian lain
yang dilakukan oleh Widodo (2003), Erminda (2003) dan Tauhid
(2004) terkait kepuasan kerja menunjukkann bahwa tidak ada
5. Masa Kerja
Greenberg dan Baron (2003) dalam Nurhayani (2006) menyatakan
bahwa pegawai dengan masa kerja lebih lama memiliki kepuasan kerja
lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai dengan masa kerja baru.
Menurut Robbins (2001) bukti menunjukkan bahwa antara masa kerja
dan kepuasan saling berhubungan positif. Bila masa kerja tinggi maka
akan diperoleh kepuasan kerja yang tinggi dan sebaliknya bila masa
kerja rendah maka kepuasan kerja rendah. Seseorang yang telah
bekerja sekian lama akan mampu melakukan penyesuaian diri
terhadap lingkungan pekerjaannya sehingga dapat mencapai kepuasan
dalam menjalankan pekerjaannya.
Menurut Simmamora (2004), pegawai dengan masa kerja di bawah
10 tahun merupakan pegawai dalam tahap karir awal. Dalam masa
mempersiapkan karir dikemudian hari, karir awal pegawai tidak akan
selalu berjalan dengan mulus, dimana dalam menjalani karir tersebut
seseorang dapat memperoleh masalah yang mungkin timbul, seperti :
a. frustasi dan ketidakpuasan yang disebabkan karena
pengharapannya tidak sesuai dengan realita yang ada.
b. penyelia yang tidak kompeten.
c. intensitivitas terhadap aspek politis organisasi.
d. pasivitas dan kegagalan dalam memantau lingkungan internal dan
e. pengabaian kriteria sesungguhnya untuk pengevaluasian kinerja
dari pegawai yang baru diangkat atau baru memulai karir.
f. ketegangan antara professional muda dengan yang lebih tua serta
manajer yang diakibatkan oleh perbedaan pengalaman, kebutuhan
dan minat.
g. ketidakpastian mengenai tipe dan batasan loyalitas yang dituntut
oleh organisasi.
h. kegelisahan mengenai integritas, komitmen dan dependensi.
i. dilemma etis.
Simmamora (2004) juga mengemukakan bahwa pegawai dengan
masa kerja di atas 20 tahun dalam tahap karir akhir, yaitu bersiap-siap
untuk memasuki usia pensiun, dimana ada sebagian pegawai mulai
melepaskan diri dari belitan-belitan tugas. Namun, ada juga sebagian
pegawai tetap produktif dan menyiapkan diri untuk pensiun yang
efektif, sehingga kepuasan kerja pegawai yang bersangkutan masih
tinggi dibandingkan pegawai dengan masa kerja di bawah 10 tahun.
Penelitian yang dilakukan oleh Tauhid (2004) menunjukkan tidak
ada hubungan bermakna antara masa kerja dengan kepuasan kerja
pegawai. Sementara, penelitian yang dilakukan oleh Widodo (2003)
dan Erminda (2003) terkait kepuasan kerja menunjukkan bahwa ada
hubungan yang bermakna antara masa kerja dengan kepuasan kerja
6. Status kepegawaian
Baron dan Byrne (2005) menyatakan bahwa status kerja yang
rendah dan pekerjaan yang rutin akan mendorong pegawai untuk
mencari pekerjaan lain. Sebaliknya, semakin tinggi status
pekerjaannya semakin besar pula kepuasan yang dirasakan.
Hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Utomo (2008)
memperoleh hasil bahwa status pekerjaan tidak memiliki pengaruh
pada kepuasan kerja seseorang. Hal ini dikarenakan pegawai dengan
status kontrak maupun tetap memperoleh fasilitas yang sama dalam
organisasi terkecuali bagi mereka yang memiliki jabatan tertentu.
Penelitian Widodo (2003) menunjukkan bahwa pegawai dengan
status pekerjaan honorer cenderung tidak puas dibandingkan dengan
pegawai dengan status pekerjaan pegawai tetap. Sementara, penelitian
Erminda (2003) menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara
status pegawai dengan kepuasan kerja pegawai.
b. Faktor Psikologis yang Berhubungan dengan Kepuasan Kerja Pegawai
Menurut Gibson (1997) faktor-faktor psikologis yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja antara lain :
1. Persepsi
Gibson (1997) menyebutkan bahwa kepuasan kerja berhubungan
proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang
melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangsangan
dalam suatu pengalaman psikologis. Hal serupa juga dikemukakan
oleh Robbins (2001) yang menyatakan bahwa persepsi dapat
didefinisikan sebagai suatu proses dengan mana individu-individu
mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indera mereka agar
memberi makna kepada lingkungan mereka.
Dimaksudkan bahwa persepsi dari seseorang merupakan suatu
bentuk dari pengalaman psikologis pekerja dalam usaha memahami
lingkungan disekitarnya dengan menggunakan penafsiran yang ada
dalam dirinya. Artinya, persepsi psikologis seseorang dapat diketahui
melalui bagaimana penafsiran seseorang terhadap kehidupan
organisasionalnya yang terkait dengan lingkungan pekerjaan serta
pengalaman kerja yang dirasakan selama bekerja pada suatu instansi.
2. Sikap
Gibson (1997) menyatakan bahwa sikap sebagai perasaan positif
atau negatif atau keadaan mental yang selalu disiapkan, dipelajari dan
diatur melalui pengalaman yang memberikan pengaruh khusus pada
respon seseorang terhadap orang, obyek ataupun keadaan. Sikap lebih
merupakan determinan perilaku seseorang dalam merasakan sesuatu,
3. Kepribadian
Gibson (1997) menyatakan bahwa kepribadian merupakan
himpunan karakteristik dan kecendrungan yang stabil dalam
menentukan sifat umum dan perbedaan dalam perilaku seseorang.
Tinjauan determinan yang membentuk kepribadian menunjukkan
bahwa para pimpinan diharapkan mampu untuk memperhatikan
permasalahan yang menggerakkan emosi yang kuat pada pegawainya,
karena emosi yang kuat seringkali mengubah persepsi seseorang.
Perilaku pegawai tidak dapat dipahami tanpa mempertimbangkan
konsep kepribadian seseorang.
4. Belajar
Robbins (2001) menyatakan belajar merupakan perubahan perilaku
yang relatif permanen yang terjadi sebagai hasil dari suatu
pengalaman. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan
suatu proses yang melibatkan perubahan dan perubahan tersebut harus
relatif permanen dan pembelajaran berlangsung ketika terjadi
perubahan tindakan. Dimana, perubahan tindakan tersebut didasarkan
pada pengalaman yang dirasakan seseorang.
5. Motivasi
Gibson (1997) menjelaskan bahwa motivasi merupakan konsep
yang digunakan untuk menggambarkan dorongan yang timbul pada
diri seseorang yang mampu menggerakkan dan mengarahkan
perbedaan-perbedaan dalam intensitas perilaku dan untuk
menunjukkan arah tindakan. Seorang pimpinan sering kali lebih
menyukai memotivasi karyawannya secara positif agar pegawai
tersebut dapat menjalankan pekerjaannya. Sehingga, pegawai yang
termotivasi akan menghasilkan pekerjaan yang memiliki kualitas
tinggi.
c. Faktor Organisasi yang Berhubungan dengan Kepuasan Kerja Pegawai
Menurut Baron dan Byrne (2005), Herzberg (1968) dalam Utomo
(2008) serta Gibson (1997), faktor-faktor organisasi yang dapat
mempengaruhi kepuasan kerja antara lain :
1. Gaji
Menurut Gibson (1997) gaji adalah sejumlah uang yang diterima
dan dianggap wajar oleh pegawai. Sedangkan, Hasibuan (2005)
menjelaskan gaji adalah balas jasa yang dibayar secara periodik
kepada pegawai tetap serta mempunyai jaminan yang pasti. Dengan
kata lain, gaji akan tetap dibayarkan walaupun pekerja tersebut tidak
masuk kerja. Gilmer (1966) dalam As’ad (2004) menyatakan bahwa gaji lebih banyak menimbulkan ketidakpuasan dan jarang orang
mengekspresikan kepuasan kerjanya dengan sejumlah uang yang
Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) menyatakan bahwa bagi
pegawai, gaji merupakan faktor penting untuk memenuhi kebutuhan
diri sendiri dan keluarganya. Gaji selain berfungsi memenuhi
kebutuhan pokok bagi setiap pegawai juga dimaksudkan untuk
menjadi daya dorong bagi para pegawai agar dapat bekerja dengan
penuh semangat. Tidak ada satupun organisasi yang dapat
memberikan kekuatan baru bagi tenaga kerjanya atau meningkatkan
produktifitas, jika tidak memiliki sistem kompensasi yang realistis.
Gaji bila digunakan dengan benar akan memberikan kepuasan bagi
pegawai itu sendiri.
Dalam hal ini, hal penting yang harus diperhatikan adalah gaji
yang baik adalah gaji yang dianggap adil dan jumlahnya memuaskan.
Namun, gaji juga dapat menimbulkan ketidakpuasan apabila sistem
kompensasi yang ada tidak memadai (Simmamora, 2004). Penelitian
yang dilakukan oleh Nurhayani (2006) menyimpulkan bahwa terdapat
hubungan positif antara gaji dengan kepuasan kerja seseorang.
2. Pengakuan
Amstrong (2003) dalam Utomo (2008) mengartikan pengakuan
sebagai kebutuhan untuk diakui atas apa yang telah dicapai. Menurut
Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) sumber pengakuan dapat
berasal dari atasan, manajemen, klien, group, kolega professional atau
publik. Oleh karena itu, seseorang yang memperoleh pengakuan akan
catatan, celaan dan kritik termasuk dalam kriteria pengakuan, biasanya
disebut pengakuan negatif. Sedangkan pengakuan positif dapat berupa
pujian, promosi atau kenaikan gaji.
Penelitian yang dilakukan oleh Locke (1976) dalam As’ad (2004)
menunjukkan bahwa pengakuan dapat menimbulkan kepuasan kerja
seseorang, terutama bagi mereka yang merupakan pegawai golongan
rendah. Hal ini dikarenakan kebutuhan untuk merasa dihargai akan
terpenuhi sebagaimana halnya dengan kebutuhan harga diri dan
konseptualisasi diri. Penelitian Muhaimin (1985) dalam As’ad (2004) juga menyebutkan bahwa semakin tinggi penghargaan yang diterima
seseorang atas pengakuan dirinya dalam organisasi akan semakin
meningkatkan kepuasan kerja yang dimilikinya.
3. Kebijakan Organisasi
Menurut Syafdewiyani (2002) kebijakan organisasi merupakan
aturan tertulis yang dibuat rumah sakit yang berisi tentang kebijakan
yang diberlakukan untuk seluruh pegawai. Kebijakan organisasi
sebaiknya diberitahukan kepada seluruh pegawai agar pegawai
memperoleh kejelasan tentang kebijakan organisasi yang ada.
Suatu kebijakan dibuat untuk meningkatkan hasil pekerjaan
pegawai yang optimal. Suatu kebijakan organisasi juga akan
membentuk iklim kerja yang sesuai dengan tujuan organisasi. Adapun
kebijakan organisasi yang diberikan kepada pegawai dapat berupa
meningkatkan kualitas kerja pegawai, kebijakan akan pemberian
pengembangan karir dan promosi, reward dan punishment serta
kesehatan dan keselamatan di tempat kerja.
Apabila terjadi ketidaksesuaian dalam pemberian kebijakan
organisasi tersebut kepada pegawai maka hal tersebut dapat
menimbulkan konflik dalam diri pegawai dan pada akhirnya akan
menurunkan penampilan kerja mereka (Syafdewiyani, 2002).
Penelitian yang dilakukan oleh Caugemi dan Claypool (1978) dalam
As’ad (2004) menemukan hal-hal yang menyebabkan ketidakpuasan salah satunya adalah kebijakan organisasi.
4. Hubungan Interpersonal
Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) menyatakan bahwa untuk
dapat melaksanakan pekerjaan dengan baik, haruslah didukung oleh
suasana kerja atau hubungan kerja yang harmonis, yaitu terciptanya
hubungan yang akrab, kekeluargaan dan saling mendukung baik itu
hubungan antara sesama pegawai atau antara pegawai dengan atasan.
Faktor hubungan interpersonal merupakan faktor yang
berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh
Tauhid (2004) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang
bermakna antara hubungan interpersonal dengan kepuasan kerja
5. Tanggung Jawab
Tanggung jawab merupakan kesanggupan seseorang dalam
menyelesaikan pekerjaan yang diserahkan kepadanya dengan akurat
dan berani mengambil resiko atas keputusan yang dibuat atau tindakan
yang dilakukan. Tanggung jawab akan membentuk hubungan tertentu
antara pemberi wewenang dan penerima wewenang. Dimana, hal
tersebut sudah merupakan kewajiban bagi penerima wewenang untuk
mempertanggung jawabkan semua yang telah dilakukan kepada si
pemberi wewenang (Litwin & Meyer, 1971 dalam Syafdewiyani,
2002).
Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) menyatakan bahwa setiap
orang yang bekerja pada suatu organisasi ingin dipercaya memegang
jabatan dan tanggung jawab, serta wewenang yang lebih besar dari apa
sekedar yang telah diperolehnya. Tanggung jawab bukan saja atas
pekerjaan yang baik, tetapi juga tanggung jawab berupa kepercayaan
yang diberikan orang sebagai suatu potensi. Setiap orang ingin
diikutsertakan dan ingin diakui sebagai orang yang mempunyai
potensi, dan pengakuan ini akan menimbulkan rasa percaya diri dan
siap memikul tanggung jawab yang lebih besar.
Davis dan Newstrom (1995) mengemukakan bahwa tingkat
tanggung jawab yang tinggi akan memberikan kepuasan kerja yang
menunjukkan bahwa tanggung jawab berhubungan secara bermakna
dengan kepuasan kerja.
6. Prestasi Kerja
Prestasi kerja merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas
yang dicapai oleh seseorang dalam melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya (Mangkunegara,
2009). Hal serupa juga dikemukakan oleh Ilyas (1999) yang
menyatakan bahwa prestasi kerja merupakan penampilan hasil karya
personel baik secara kuantitas dan kualitas dalam suatu organisasi.
Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) menyatakan bahwa setiap
orang menginginkan keberhasilan dalam tugas yang dilaksanakan.
Pencapaian prestasi dalam melakukan suatu pekerjaan akan
menggerakkan seseorang untuk melakukan tugas-tugas berikutnya.
Hal ini dikarenakan prestasi kerja merupakan faktor yang penting
untuk meningkatkan dan mengembangkan karir pegawai. Dimana,
kemajuan karir sebagian besar pegawai tergantung pada prestasi kerja
yang dihasilkan pegawai tersebut.
Kreitner dan Kinicki (2001) dalam Wibowo (2007) menyatakan
bahwa prestasi kerja memiliki hubungan positif rendah terhadap
kepuasan kerja. Sedangkan, Gibson (2000) mengungkapkan bahwa
kemungkinan timbul hubungan timbal balik yang menunjukkan tidak
adanya arah atau hubungan yang spesifik antara kepuasan kerja
Davis dan Newstroom (1995) serta Siagian (2008) menyatakan
bahwa seorang pegawai yang puas tidak dengan sendirinya merupakan
pegawai yang berprestasi tinggi, melainkan sering hanya berprestasi
biasa-biasa saja. Seorang pegawai yang puas belum tentu terdorong
untuk berprestasi karena kepuasannya tidak terletak pada motivasinya,
akan tetapi terletak pada faktor lainnya, seperti imbalan yang diperoleh
oleh pekerja. Dimana, pegawai yang berprestasi akan memperoleh
imbalan yang sesuai dengan tingkat prestasinya.
Seorang pimpinan menurut Herzberg harus selalu mendorong
bawahannya agar mempunyai prestasi yang baik. Prestasi yang dicapai
seorang pegawai bukan saja untuk meningkatkan motivasi yang
bersangkutan, melainkan hal tersebut juga akan memberikan
keuntungan kepada rumah sakit dalam usaha meningkatkan
produktifitas.
7. Jenis Pekerjaan
Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) menyatakan bahwa pegawai
cenderung menyukai pekerjaan yang bersifat menarik dan bukan rutin.
Melalui teknik pemerkayaan pekerjaan dapat menjadi sarana motivasi
pegawai dan membuat pekerjaan itu menjadi menarik serta membuat
tempat bekerja menjadi lebih menantang dan memuaskan. Pegawai
dalam organisasi akan merasa puas apabila adanya kesesuaian tugas
yang diberikan oleh organisasi kepada pekerja. Dimana, jenis
pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki. Oleh karena itu,
organisasi harus mampu menempatkan pegawai pada tempat yang
tepat.
As’ad (2004) menyatakan bahwa banyak faktor yang
mempengaruhi kepuasan kerja pegawai. Faktor-faktor tersebut dalam
peranannya memberikan kepuasan kepada pegawai tergantung pada
pribadi masing-masing, yaitu tergantung pada jenis pekerjaannya.
8. Jaminan Pekerjaan
Menurut Ghiselli dan Brown (1950) dalam As’ad (2004)
menyatakan bahwa jaminan ini meliputi masalah finansial dan
masalah jaminan sosial. Tujuan utama dari jaminan pekerjaan adalah
untuk membuat pegawai mengabdikan hidupnya pada organisasi
dalam jangka panjang (Flippo, 1994 dalam Saragih, 2006). Jaminan
pekerjaan untuk pegawai diberikan berdasarkan kebijaksanaan
organisasi terhadap semua pegawai dalam usaha untuk meningkatkan
kesejahteraan mereka. Jaminan pekerjaan yang dapat diberikan kepada
pegawai dapat berupa tunjangan hari raya, uang pensiun, tunjangan
kesehatan bagi pegawai dan keluarganya, mengikutsertakan pegawai
ke dalam asuransi kesehatan serta izin memperoleh cuti (Hasibuan,
2005).
Jaminan pekerjaan lebih banyak dikaitkan dengan pemberian
lebih merasa nyaman dan merasa mendapat perhatian dari atasan
(Wibowo, 2007).
9. Pengawasan
Pengawasan merupakan suatu kegiatan pembinaan dengan
menerapkan prinsip merencanakan, mengajar, mengarahkan,
membimbing, mengobservasi, mendorong, memperbaiki, memerintah
dan mengevaluasi secara terus menerus pada setiap pegawai dengan
sabar, adil, bijaksana sehingga setiap pegawai dapat melakukan
pekerjaan dengan baik, terampil, aman, cepat dan tepat secara
menyeluruh sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan tugas mereka
(Kron, 1997 dalam Syafdewiyani, 2002).
Menurut Azwar (1996) dalam Syafdewiyani (2002) pengawasan
merupakan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan
terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan dan apabila
ditemukan masalah segera diberikan petunjuk atau bantuan yang
bersifat langsung guna mengatasi permasalahan tersebut.
Dilain sisi, Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) menyatakan
bahwa pengawasan yang dilakukan supervisi dikoordinasikan dalam
tiga hal penting, yaitu memberi pengarahan, memantau proses
pelaksanaan pekerjaan serta menilai hasil dari sistem kerja pegawai.
Dari definisi pengawasan yang telah dikemukakan oleh para ahli
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa pengawasan merupakan
perbaikan atas pekerjaan yang salah, memberikan dorongan untuk giat
bekerja, memantau dan menilai hasil pekerjaan yang dilakukan
pegawai secara berkala.
Menurut Ghiselli dan Brown (1950) dalam As’ad (2004) hubungan
antara pegawai dengan pihak pimpinan sangat penting artinya dalam
menaikkan produktifitas kerja. Kepuasan pegawai dapat ditingkatkan
melalui perhatian dan hubungan yang baik dari pimpinan kepada
bawahan, sehingga pegawai akan merasa bahwa dirinya merupakan
bagian yang penting dari organisasi kerja (sense of belonging).
Gilmer (1966) dalam As’ad (2004) mengemukakan bahwa
pengawasan yang buruk dapat berakibat pada ketidakpuasan kerja
yang ditunjukkan melalui absensi dan turn over yang tinggi. Penelitian
yang dilakukan oleh Widodo (2003) dan Nurhayani (2006)
menunjukkan adanya hubungan antara pengawasan dengan kepuasan
kerja.
10.Kondisi kerja
Herzberg (1968) dalam Utomo (2008) menyatakan bahwa kondisi
kerja yang aman, nyaman dan tenang serta didukung oleh sarana dan
prasarana yang memadai tentu akan membuat pegawai betah untuk
bekerja. Dengan kondisi kerja yang nyaman, pegawai akan merasa
aman dan produktif dalam bekerja.
Menurut Robbins (2001) pegawai peduli akan lingkungan kerja,
mengerjakan tugas yang baik. Banyak penelitian menyimpulkan
bahwa pegawai lebih menyukai keadaan fisik disekitarnya yang tidak
berbahaya atau merepotkan, temperatur, pencahayaan, kebisingan, dan
faktor lingkungan lain seharusnya tidak ekstrem (terlalu banyak atau
sedikit).
Disamping itu, kebanyakan pegawai lebih menyukai bekerja dekat
rumah, fasilitas yang bersih dan relatif modern serta peralatan yang
memadai. Penelitian yang dilakukan oleh Tauhid (2004)
menyimpulkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara
kondisi kerja dengan kepuasan kerja pegawai.