• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh antara variabel- variabel pembentuk sikap dengan tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Variabel-variabel pembentuk sikap yang detiliti adalah tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, tingkat pengalaman, tingkat kekosmopolitan, tingkat kepemilikan modal, tingkat akses sarana produksi, dan tingkat nilai-nilai kelompok. Untuk mengetahui pengaruh antara variabel-variabel pembentuk sikap dengan tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik dihunakan uji Regresi. Rumusan hipotesis diuji dengan membandingkan nilai t-hitung dengan nilai t-tabel menggunakan tingkat kepercayaan α = 0.05. Jika nilai t-hitung < t-tabek berarti terima atau tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel-variabel pembentuk sikap dengan tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

Tabel 13 Hasil uji regresi pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik

Variabel p R Nilai F pada

α=0.05 Nilai t pada α=0.05 Tingkat pendidikan formal 0.109 0.121 0.055 1.534 1.239 Tingkat pendidikan non formal 0.000 0.355 0.126 14.825 3.850 Tingkat pengalaman 0.002 0.283 0.08 8.962 2.994 Tingkat kekosmopolitan 0.126 0.113 0.013 1.323 1.150 Tingkat kepemilikan modal 0.008 0.236 0.056 6.097 2.469 Tingkat akses sarana produksi 0.000 0.388 0.151 18.262 4.273 Tingkat nilai- nilai kelompok 0.000 0.450 0.203 26.218 5.120

Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Sikap

Pendidikan formal adalah jenjang pendidikan terakhir yang pernah ditempuh oleh responden. Berdasarkan data pada Tabel 14, hampir sebagian besar responden yang memiliki sikap yang positif pada penerapan pertanian organik

62

memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kesadaran petani untuk menerapkan pertanian organik tidak bergantung dari tingkat pendidikan yang dimiliki petani. Petani mengaku, kegiatan bertani organik merupakan warisan dari leluhur mereka terdahulu. Kegiatan bertani tidak hanya untuk menambah penghasilan petani, tetapi juga untuk merawat kesehatan keluarga petani sendiri.

Tabel 14 Sikap petani menurut pendidikan formal Sikap Pendidikan Formal Rendah Tinggi n % n % Negatif 30 37.5 6 24.0 Positif 50 62.5 19 26.0 Total 80 100.0 25 100.0

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.121 dengan signifikansi 0.109 > 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang lemah dan tidak signifikan antara variabel tingkat pendidikan formal dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Untuk menguji kelayakan model regresi ialah dengan menggunakan angka F hitung yang dibandingkan dengan angka F tabel. Berdasarkan Tabel 13, nilai F hitung = 1.531 < F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.218 > 0.05. Ini artinya, model regresi belum benar dan layak atau tidak ada hubungan linear antara pendidikan formal dengan sikap. Cara menguji hipotesis satu adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 1.239 < t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis satu yang menyebutkan: “tingkat pendidikan formal berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” ditolak. Oleh karenanya, tingkat sikap petani bukan berasal dari pendidikan formal yang ditempuh.

Petani belum menyadari akan pentingnya arti pendidikan. Fenomena ini dapat dilihat dari rendahnya tingkat pendidikan formal petani. Pendidikan formal tidak mengajarkan petani mengenai penerapan pertanian organik, tetapi hanya mengajarkan pengetahuan umum. Pengetahuan yang didapatkan dari pendidikan formal tidak sesuai dengan pengetahuan yang dibutuhkan petani seputar penerapan pertanian. Seperti yang diutarakan oleh Rukka (2006) dalam penelitiannya bahwa rendahnya pendidikan merupakan salah satu faktor penghambat pengembangan sektor pertanian di pedesaan karena pendidikan yang rendah akan mempengaruhi petani dalam menerapkan teknologi.

Pengaruh Pendidikan Non Formal terhadap Sikap

Berdasarkan data pada Tabel 15, sebagian besar responden dengan tingkat pendidikan non formal yang rendah memiliki sikap yang negatif. Dan sebagian besar responden yang memiliki tingkat pendidikan non formal yang sedang dan tinggi memiliki sikap yang positif. Kemudian, sebagian besar petani yang memiliki sikap yang positif memiliki tingkat pendidikan non formal yang tinggi.

63 Petani yang mengikuti pelatihan/kursus pertanian akan menambah wawasan dan pemahaman petani tentang pertanian.

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.355 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat pendidikan non formal dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.355 dan R square = 0.126 atau 12.6 persen. Ini artinya, tingkat pendidikan formal mempengaruhi sikap sebesar 12.6 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain.

Tabel 15 Sikap petani menurut pendidikan non formal Sikap Pengalaman Bertani Rendah Tinggi n % n % Negatif 29 49.2 7 15.2 Positif 30 50.8 39 84.8 Total 59 100.0 46 100.0

Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 14.825 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara pendidikan non formal dengan sikap. Cara menguji hipotesis dua adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 3.850 < t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis dua yang menyebutkan: “tingkat pendidikan non formal berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sunarti (2010) bahwan pendidikan non formal mempengaruhi sikap petani. Materi pendidikan non formal yang didapat petani dari pelatihan banyak memberikan pengetahuan mengenai penerapan pertanian organik, seperti cara pembuatan pupuk organik serta bagaimana cara mengatasi berbagai gangguan pada tanaman tanpa mencemari lingkungan. Dengan semakin banyak mengikuti pendidikan non formal maka sikap petani terhadap penerapan pertanian organik dapat semakin baik. Kegiatan penyuluhan mapun pelatihan sangat penting karena melalui pertemuan tersebut petani dapat bertukar pikiran dalam memecahkan masalah yang dihadapi secara bersama-sama, memperoleh informasi yang berguna bagi usahataninya, bimbingan, saran bahkan petunjuk yang berkaitan dengan pertanian organik, sehingga dapat meningkatkan keterampilan dalam mengelola usahataninya.

Pengaruh Pengalaman Bertani terhadap Sikap

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.283 dengan signifikansi 0.002 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat pengalaman dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.107 dan

64

R square = 008 atau 8 persen. Ini artinya, tingkat pengalaman mempengaruhi sikap sebesar 8 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain.

Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 8.962 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.003 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara pengalaman dengan sikap. Cara menguji hipotesis tiga adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t- tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 2.994 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis tiga yang menyebutkan: “tingkat pengalaman bertani berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima.

Tabel 16 Sikap petani menurut pengalaman bertani Sikap Pengalaman Bertani Rendah Tinggi n % n % Negatif 16 57.1 20 26.0 Positif 12 42.9 57 74.0 Total 28 100.0 77 100.0

Petani dengan sikap yang positif dan petani dengan sikap yang negatif sebagian besar adalah petani yang memiliki tingkat pengalaman bertani yang tinggi (Tabel 16). Pengalaman bertani yang tinggi memberikan petani banyak pelajaran dan pengetahuan secara langsung dan mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertaniannya. Hal ini sesuai dengan yang diutarakan oleh Reza (2007) dalam penelitiannya mengenai sikap terhadap PHT yang mengatakan bahwa bila petani memiliki pengalaman yang positif terhadap PHT, petani akan bersikap positif juga terhadap PHT. Sebaliknya bila petani memiliki pengalaman yang negatif terhadap PHT, petani akan cenderung bersikap negatif. Sika negatif pada petani dapat berasal dari pengalaman bertani yang negatif atau tidak menyenangkan. Berdasarkan pengalaman pada petani non organik, menggunakan bahan-bahan input alami kurang praktis dan kurang memberikan hasil produksi yang memuaskan. Petani lebih memilih menggunakan bahan-bahan input sintetis karena dinilai lebih praktis dan menghasilkan produksi yang lebih banyak. Selain pengalaman yang tidak menyenangkan, terdapat pula petani yang memiliki pengalaman yang positif atau menyenangkan terhadap penerapan pertanian organik. Pada saat menerapakan pertanian organik, petani menilai pertanian organik lebih menguntungkan karena harga jual beras organik lebih tinggi dibandingkan beras non organik. Selain itu, dengan bertani organik, petani merasa bangga karena berperan dalam menjaga lingkungan pertanian dan keamanan pangan konsumen. Petani dengan sikap yang positif sebagian besar adalah petani yang memiliki tingkat pengalaman bertani yang tinggi. Dengan pengalaman yang tinggi, petani dapat membandingkan manfaat, keuntungan, dan kerugian dari penerapan pertanian yang dilakukan.

Sarwono (2002) mengatakan bahwa pengalaman langsung dengan objek sikap merupakan variabel utama dalam pembentukan sikap terhadap objek sikap. Hal yang sama diutarakan oleh Baron dan Byrne (2004) yang mengatakan bahwa

65 sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung sering kali memberikan pengaruh yang lebih kuat pada tingkah laku daripada sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman tidak langsung atau pengalaman orang lain. Sikap yang terbentuk berdasarkan penglaman langsung akan lebih mudah diingat. Semakin lama pengalaman bertani petani, semakin positif sikapnya. Kurniawan (2011) yang mengatakan bahwa semakin banyak pengalaman petani berusahatani secara organik, maka semakin baik sikapnya terhadap pertanian organik yang bisa mewujudkan kemandirian petani. Sehingga, pengalaman yang dimiliki semakin terus bertambah, pengalaman yang semakin bertambah menjadikan petani lebih matang dalam mengambil sikap dan keputusan terutama mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pertanian organik yang bisa mewujudkan kemandirian petani.

Pengaruh Kekosmopolitan terhadap Sikap

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.113 dengan signifikansi 0.126 > 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang lemah dan tidak signifikan antara variabel tingkat kekosmopolitan dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organic. Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 1.323 < F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.253 > 0.05. Ini artinya, model regresi belum benar dan layak atau tidak ada hubungan linear antara kekosmopolitan dengan sikap. Cara menguji hipotesis empat adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 1.323 < t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis empat yang menyebutkan: “tingkat kekosmopolitan berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” ditolak.

Tabel 17 Sikap petani menurut kekosmopolitan Sikap Kekosmopolitan Rendah Tinggi n % n % Negatif 35 35.7 1 14.3 Positif 63 64.3 6 85.7 Total 98 100.0 7 100.0

Merujuk pada Tabel 17, petani dengan sikap positif dan sikap yang negatif sebagian besar adalah responden dengan tingkat kekosmopolitan yang rendah. Sebagian besar responden kurang aktif mencari informasi di luar lingkungan sosialnya. Petani merasa informasi pertanian sudah dapat tercukupi dari interaksi dengan sesama anggota tani lainnya dalam satu kelompok tani. Hal ini sesuai dengan pendapat yang diutarakan Reza (2007) bahwa petani dengan sifat yang tidak kosmopolit merasa sudah cukup dengan informasi yang dimiliki petani.

66

Pengaruh Kepemilikan Modal terhadap Sikap

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.236 dengan signifikansi 0.008 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat kepemilikan modal dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.236 dan R square = 0.056 atau 5.6 persen. Ini artinya, tingkat pendidikan formal hanya mempengaruhi sikap sebesar 5.6 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain.

Tabel 18 Sikap petani menurut tingkat kepemilikan modal Sikap Kepemilikan Modal Rendah Tinggi n % n % Negatif 14 53.3 22 27.8 Positif 12 46.2 57 72.3 Total 26 100.0 79 100.0

Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 6.097 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.015 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara kepemilikan modal dengan sikap. Cara menguji hipotesis lima adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t- tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 2.469 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis lima yang menyebutkan: “tingkat kepemilikan modal berpengaruh nyata dan signifikan terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima.

Merujuk pada Tabel 18, petani yang memiliki sikap yang positif sebagian besar adalah petani dengan tingkat kepemilikan modal yang tinggi. Dengan tersedianya modal, membantu meningkatkan keyakinan dan rasa percaya diri petani dalam mengembangkan usahataninya. Hal ini seperti yang diutarakan oleh Rukka (2006) yang mengatakan bahwa modal merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan produksi pertanian. Tanpa modal yang memadai sulit bagi petani untuk mengembangkan usahataninya hingga mencapai produksi yang optimal dan keuntungan yang maksimal.

Pengaruh Akses Sarana Produksi terhadap Sikap

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.137 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang lemah dan signifikan antara variabel tingkat akses sarana produksi dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.388 dan R square = 0.151 atau 1.51 persen. Ini artinya, tingkat akses sarana produksi mempengaruhi sikap sebesar 1.51 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain.

Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 18.262 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar

67 dan layak atau ada hubungan linear antara akses sarana produksi dengan sikap. Cara menguji hipotesis enam adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 4.273 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis enam yang menyebutkan: “tingkat akses sarana produksi berpengaruh nyata terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” ditolak.

Tabel 19 Sikap petani menurut tingkat akses sarana produksi Sikap

Akses Sarana Produksi

Rendah Tinggi

n % n %

Negatif 25 55.6 11 18.3

Positif 20 44.4 49 81.7

Total 45 100.0 60 100.0

Responden dengan sikap yang positif sebagian besar adalah yang memiliki tingkat akses sarana produksi yang tinggi. Sebaliknya, responden dengan sikap yang negatif sebagian besar memiliki tingkat akses sarana produksi yang rendah (Tabel 19). Semakin petani merasakan adanya kemudahan dalam mendapatkan sarana produksi, semakin positif sikapnya terhadap penerapan pertanian organik.

“..apa sulitnya bertani organik. Pupuk tinggal bikin ko, apa lagi dibuat bareng-bareng, kerjaan lebih ringan. Bahan-bahannya juga gampang, bisa dicari di dapur, di sawah, di hutan...” (NYD, 50 thn) Berbeda dengan Pak SRD, salah satu petani non organik yang menuturkan sebagai berikut:

“ saya pupuk pake Urea udah lama. Lebih gampang, lebih murah,

taneman cepet tumbuh. Pake organik saya harus cari kotoran kerbaunya, belum lagi ngolahnya nambahin tenaga. Kalau organik lebih capek mbak, enakan pake Urea, gampang, tingaal beli terus di tebar..” (SRD, 56 thn)

Sarana produksi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah bahan-bahan input alami, seperti pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal. Rasa kemudahan mempengaruhi penilaian petani terhadap penerapan pertanian organik. Apabila petani tidak merasakan kemudahan dalam menyediakan sarana produksi berupa bahan-bahan input alami, maka sikapnya akan cenderung negatif terhadap penerapan pertanian organik. Apabila petani merasa mudah dalam menyediakan sarana produksi berupa bahan-bahan input alami, maka sikapnya akan positif terhadap penerapan pertanian organik.

68

Pengaruh Nilai-Nilai Kelompok terhadap Sikap

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 13, didapat nilai r sebesar 0.450 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Artinya, terdapat hubungan yang cukup kuat dan signifikan antara variabel tingkat nilai-nilai kelompok dengan tingkat sikap terhadap penerapan pertanian organik. Dari Tabel 13 juga dapat dilihat nilai R = 0.450 dan R square = 0.203 atau 20.3 persen. Ini artinya, tingkat nilai-nilai kelompok mempengaruhi sikap sebesar 20.3 persen dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain.

Untuk menguji kelayakan model regresi, didapat nilai F hitung = 26.218 > F tabel = 2.105 dengan signifikansi 0.00 < 0.05. Ini artinya, model regresi benar dan layak atau ada hubungan linear antara nilai-nilai kelompok dengan sikap. Cara menguji hipotesis tujuh adalah dengan membandingkan nilai t-hitung dengan t-tabel pada masing-masing variabel. Nilai t-hitung yang disajikan pada Tabel 13 adalah 5.12 > t-tabel (1.98) pada taraf nyata 0.05 persen. Ini artinya, hipotesis tujuh yang menyebutkan: “tingkat nilai-nilai kelompok berpengaruh nyata dan signifikan terhadap sikap petani dalam menerapkan pertanian organik” diterima. Tabel 20 Sikap petani menurut tingkat nilai-nilai kelompok

Petani yang memiliki sikap yang positif sebagian besar adalah responden dengan tingkat nilai-nilai kelomopok yang tinggi. Sebaliknya, petani yang memiliki sikap yang negatif sebagian besar adalah responden dengan tingkat nilai- nilai kelompok yang rendah. Rendahnya nilai-nilai kelompok petani disebabkan kurang kuatnya rasa memiliki kelompok pada tiap anggota. Pertemuan kelompok biasanya hanya dihadiri oleh beberapa orang saja. Selain itu, adanya rasa saling tidak percaya atau curiga antar sesama anggota. Rasa curiga ini disebabkan oleh adanya beberapa anggota yang merasa tidak meratanya pembagian modal usaha, baik berupa lahan maupun uang.

“…saya ikut aturan kelompok selama nda merugikan saya. Ikut kumpul kalau acaranya lagi buat pupuk. Ini juga kelompoknya belum dibentuk. Belum ada itu ketuanya siapa, sekertarisnya siapa, bendaharanya siapa. Pak D itu bukan ketua. Dia memang yang

mengajak kumpul bikin pupuk. Tapi dia bukan ketua..”(TRY, 70thn)

“..saya kurang percaya dengan Pak D. Seharusnya saya dapat lahan, anggota dapat lahan. Ini yang pake lahan dia semua. Kan seharusnya uang dari pemerintah udah dibagi buat modal. Tapi

mana, belum ada yang menerima..”(MHD, 40 thn)

Sikap Nilai-nilai kelompok Rendah Tinggi n % n % Negatif 28 57.1 8 14.3 Positif 21 42.9 48 65.7 Total 49 100.0 56 100.0

69 Menurut penuturan salah satu responden, Pak D, beras organik di desa dipandang sebagai bisnis oleh beberapa pihak. Tingginya permintaan beras organik merupakan salah satu alasan semakin berkembangnya penerapan pertanian organik. Tiap kelompok saling bersaing dalam memberikan citra yang positif pada produk berasnya. Semakin produk berasnya dipandang baik, harga jual dan jangkauan pemasarannya pun dapat semakin tinggi dan luas.

Masing-masing petani memiliki keyakinan dan pandangan yang dianggapnya benar. Petani yang tergabung dalam suatu kelompok tani akan membandingkan nilai yang dimiliki petani dengan nilai yang dimiliki kelompok. Apabila keyakinan dan pandangan yang dimiliki oleh kelompok dianggap benar oleh petani, maka keyakinan tersebut dapat mempengaruhi keyakinan dan pandangan petani. Petani dengan tingkat nilai-nilai kelompok yang tinggi memiliki keyakinan dan pandangan yang sama dengan keyakinan dan pandangan yang dimiliki kelompok. Hal ini sesuai dengan pendapat Baron dan Byrne (2004) yang mengatakan bahwa seseorang cenderung membandingkan dirinya sendiri dengan orang lain untuk menentukan apakah pandangannya terhadap kenyataan sosial benar atau salah. Kecenderungan untuk memiliki pandangan berupa ide, sikap, atau pendapat yang sama dengan orang yang dianggap penting, sering kali dapat mengubah sikap seseorang. Sikap seseorang terbentuk dari informasi sosial yang berasal dari orang lain dan keinginan diri untuk menjadi serupa dengan orang lain.

Dokumen terkait