• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kabupaten Magelang

Kabupaten Magelang memiliki luas wilayah 1 085.75 yang terbagi atas 21 kecamatan, 367 desa, dan lima kelurahan. Secara administratif kabupaten ini memiliki batas-batas sebagai berikut:

Sebelah utara : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Semarang, Sebelah barat : Kabupaten Temanggung dan Kabupaten Wonosobo, Sebelah timur : Kabupaten Semarang dan Kabupaten Boyolali, Sebelah selatan : Kabupaten Purworejo dan DI Yogyakarta.

Secara umum morfologi wilayah Kabupaten Magelang merupakan dataran tinggi yang berbentuk basin (cekungan) dengan dikelilingi gunung-gunung (Merapi, Merbabu, Andong, Telomoyo, Sumbing) dan pegunungan Menoreh. Terdapat dua sungai besar di tengahnya, Sungai Progo dan Sungai Elo, dengan beberapa cabang anak sungai yang bermata air di lereng gunung-gunung tersebut. Topografi datar 8.5999 ha, bergelombang 44.784 ha, curam 41.037 ha dan sangat curam 14.155 ha. Ketinggian wilayah tingginya 153-3.065 m di atas permukaan laut. Ketinggian rata-rata 360 m di atas permukaan laut. Tahun 2011, penggunaan luas lahan pertanian mengalami penurunan sebesar 0.003 persen, sedangkan pada luas lahan bukan pertanian meningkat sebesar 0.007 persen. Penggunaan luas lahan pertanian berupa lahan sawah memiliki luas 37.219 ha dengan luas terbesar adalah luas lahan sawah irigasi sederhana yaitu 23.67 persen dan terkecil adalah lahan sawah irigasi setengah teknis yaitu 14.16 persen. Untuk lahan kerung dengan luas 42 218 ha dengan 85.82 persen berupa tegal/kebun/ladang.

Menurut sensus penduduk tahun 2011, jumlah penduduk Kabupaten Magelang adalah 1 193 569 jiwa yang terdiri dari 600 050 jiwa penduduk laki-laki dan 593 519 jiwa penduduk perempuan. Kecamatan yang memiliki penduduk terbanyak adalah Kecamatan Mertoyudan dengan jumlah penduduk sebanyak 106 406 jiwa atau 8.91 persen. Kemudian diikuti secara berturut-turut Kecamatan Grabag dengan jumlah penduduk 82.388 jiwa atau 6.9 persen, Kecamatam Secang dengan jumlah penduduk 76 195 jiwa atau 6.83 persen dan Kecamatan Muntilan dengan jumlah penduduk 75 547 jiwa atau 6.33 persen. Selanjutnya, dalam bidang ekonomi, hampir sebagian besar dari total penduduk usia kerja di Kabupaten Magelang bekerja di sektor pertanian dengan presentase sebesar 41.56 persen. Sektor lain yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa dengan presentase masing-masing sebesar 20.41 persen dan 14.36 persen. Kabupaten Magelang merupakan salah satu kabupaten dengan penghasil pangan terbesar di Provinsi Jawa Tengah. Pada Tabel 2 dapat dilihat luas panen, rata-rata produksi, dan produksi menurut kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang. Kecamatan yang memiliki hasil produksi terbesar lebih dari 20 000 ton adalah Kecamatan Salaman, Kecamatan Sawangan, Kecamatan Kajoran, Kecamatan Bandongan, Kecamatan Secang, dan Kecamatan Grabag. Dari data yang tersaji pada Tabel 2, produksi tanaman bahan makanan Kecamatan Sawangan mencapai 20 083 ton. Tanaman pangan pokok yang menjadi komoditas untama diantaranya adalah padi, jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, dan

30

kedelai. Luas panen padi tahun 2011 tercatat 50 695 ha dengan rata-rata produksi padi sebesar 59 792 kw/ha.

Berikutnya, untuk tanaman sayuran yang menjadi komoditas utama ialah kentang dan kubis. Tanaman sayuran yang lainnya, seperti bawang daun, sawi, dan cabe merah. Untuk buah-buahan yang menjadi komoditas utama ialah buah jeruk, alpukat, dan mangga. Buah-buahan yang lainya, seperti duku, jambu biji, sawo, nanas, pisang, rambutan, salak, dan semangka. Untuk hewan ternak, yang menjadi komoditas unggulan, seperti kambing dan domba, dan yang lainya adalah kelinci.

Tabel 2 Luas panen, rata-rata produksi dan produksi tanaman bahan makanan utama menurut kecamatan 2011

Kecamatan Luas LahanPanen (ha) Rata-rata produksi (kw/ha) Produksi (Ton) Salaman 3 611 58.21 21 021 Borobudur 1 229 65.71 8 076 Ngluwar 2 479 58.06 14 392 Salam 3 091 60.55 18 717 Srumbung 1 710 64.43 11 017 Dukun 1 152 61.56 7 092 Muntilan 2 535 59.93 15 193 Mungkid 2 697 67.22 18 128 Sawangan 3 432 58.52 20 083 Candimulyo 2 053 62.25 12 780 Mertoyudan 2 706 61.38 16 610 Tempuran 1 678 58.08 9 745 Kajoran 4 438 50.24 22 296 Kaliangkrik 2 006 55.85 11 204 Bandongan 4 088 59.95 24 507 Windusari 2 618 56.51 14 795 Secang 3 527 60.73 21 420 Tegalrejo 2203 61.21 13 485 Pakis 183 48.20 882 Grabag 3 103 66.30 20 574 Ngablak 156 46.47 725 Jumlah 2011 50 695 59.72 302 742

Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Magelang Kecamatan Sawangan

Kecamatan Sawangan merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Magelang yang memiliki luas wilayah 70 . Adapun batas-batas kecamatan Sawangan sebagai berilut:

Sebelah Utara : Kecamatan Pakis Sebelah Timur : Kecamatan Boyolali Sebelah Selatan : Kecamatan Dukun Sebelah Barat : Kecamatan Mungkid

31 Menurut topografi lokasi desa, hampir sebagian besar desa atau sebanyak 11 desa di Kecamatan Sawangan berada di tanah hamparan, dan hanya empat desa yang berada di tanah lereng gunung. Ketinggian wilayah Kecamatan Sawangan antara 300 sampai dengan lebih dari 700 mDpl. Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 tercatat jumlah penduduk di Kecamatan Sawangan sebanyak 53 624 jiwa dengan rincian 27 191 jiwa penduduk laki-laki dan 26 433 jiwa penduduk perempuan. Desa Wonolelo tercatat sebagai desa dengan jumlah penduduk paling tinggi yaitu 6 401 jiwa, sedangkan jumlah penduduk terendah adalah Desa Soronalan sebanyak 2 051 jiwa.

Berdasarkan distribusi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) tahun 2010 sektor pertanian memberikan kontribusi penyumbang PDRB terbesar di Kecamatan Sawangan, yaitu sebesar 44.68 persen, disusul dengan sektor jasa sebesar 16.78 persen. Hal ini mencerminkan bahwa hampir sebagian besar penduduk Kecamatan Sawangan bekerja di sektor pertanian. Dilihat dari luas lahan pertanian, sektor pertanian memiliki luas lahan terluas sebesar 54 persen atau seluas 5 723.3 ha, dan hanya 10 persen atau seluar 1 042 ha digunakan untuk lahan non pertanian. Selain itu, luas lahan sawah memiliki luas sebesar 16 persen atau seluas 1 698 ha dan luas non sawah sebesar empat persen atau seluas 4026 ha. Luas lahan sawah terbagi menjadi luas sawah irigasi sebesar 8 persen atau seluas 858 ha, dan sawah non irigasi delapan persen atau seluas 840 ha

.

Kegiatan Pertanian di Desa Mangunsari

Desa Mangunsari merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Sawangan. Letak Desa Mangunsari berdekatan dengan objek wisata Gardu Pandang dan Candi Borobudur. Desa Mangunsari memiliki 29 Rukun Tetangga dan delapan RukunWarga, serta enam dusun, diantaranya Dusun Mranggen, Dusun Wonolobo, Dusun Wonosari, Dusun Gadingsari, Dusun Beran, danDusun Glagahombo. Jumlah penduduk Desa Mangunsari sebanyak 2 629 jiwa dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1 247 jiwa, dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 1 382 jiwa. Desa Mangunsari merupakan salah satu kawasan pertanian di Kecamatan Sawangan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya penduduk yang bermatapencaharian di sektor pertanian. Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebanyak 626 jiwa, yang diantaranya 412 jiwa bekerja sebagai petani dan 214 jiwa sebagai buruh tani.

Banyaknya penduduk yang bekerja di sektor pertanian didukung oleh luas lahan pertanian yang lebih luas dibandingkan luas lahan non pertanian, yaitu 247.9 ha dan 19 ha. Dari luas lahan pertanian, 210 ha merupakan lahan sawah, dan 47 ha merupakan lahan non sawah. Komoditas utama tanaman pangan di Desa Mangunsari adalah padi jenis Mentik Wangi Susu, disusul dengan jenis Raja Lele dan IR 64. Jenis padi Mentik Wangi Susu merupakan salah satu jenis padi yang paling digemari oleh masyarakat, tidak hanya di Desa Mangunsari tetapi juga di Kabupaten Magelang. Jeni padi Mentik Wangi Susu terkenal dengan rasanya yang lebih manis, lebih pulen, dan lebih wangi dibandingkan jenis padi lainnya. Sementara itu, komoditas utama tanaman holtikultura di Desa Mangunsari diantaranya cabai merah, kacang panjang, dan ketimun.

Penerapan kegiatan pertanian di Desa Mangunsari dari waktu ke waktu semakin mengarah kepada pertanian organik. Berdasarkan penuturan dari salah

32

satu tokoh masyarakat, sebelum program Panca Usaha Tani dipopulerkan pemerintah, petani tidak menggunakan bahan-bahan input kimia. Akan tetapi, kegiatan penerapan pertanian mulai berubah saat pemerintah meluncurkan PELITA. Program PELITA mewajibkan petani menggunakan bahan-bahan input kimia yang disediakan oleh pemerintah, seperti pupuk Urea, pestisida, dan bibit hibrida. Sampai tahun 1990-an, para tokoh penggerak pertanian mulai berusaha mengajak petani lainnya untuk mulai kembali berorganik..

Penerapan pertanian organik di Desa Mangunsari mendapatkan dukungan dari berbagai kalangan, baik dari kalangan pemerintah, LSM, maupun tokoh masyarakat. Dari kalangan pemerintah desa, baik Kepala Desa Mangunsari maupun BP2K, sering mengadakan penyuluhan-penyuluhan kepada petani. Selain mengadakan penyuluhan, diadakan juga pelatihan pertanian. Pelatihan pertanian yang pernah diadakan, seperti SLPHT, pembuatan pupuk kompos, dan pengendali hama alami. Dari kalangan LSM, seperti lembaga KRKP yang membantu petani dalam pemasaran produk beras organik ke berbagai wilayah dan mengadakan diskusi terkait pertanian organik yang biasanya dihadiri oleh ketua kelompok tani. Selanjutnya, dari kalangan tokoh masyarakat turut memberikan dukungan. Ada pun Bapak WGD, selaku ketua kelompok tani Beras Tuton yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Desa Mangunsari selama dua periode. Beliau memiliki wawasan yang luas, semangat yang tinggi, dan tegas. Beliau mendirikan kelompok tani Beras Tuton karena keinginannya untuk mewujudkan pertanian yang tidak menggunakan bahan sintetis sama sekali. Tidak sedikt dari petani yang ragu menggunakan bahan-bahan input alami karena petani menyadari produksi tanaman tidak akan seoptimal dengan menggunakan bahan sintetis. Untuk itulah, pada saat masih menjabat sebagai kepala desa, beliau membuat lahan percontohan padi organik pada lahan bengko. Lahan bengko merupakan lahan yang diwariskan kepada pemerintah desa. Akan tetapi, lahan percontohan padi organik tidak berjalan lancar karena perubahan masa kepemimpinan. Lahan bengko kini hanya digunakan untuk kepentingan pribadi saja. Kemudian, pada tahun 2011, beliau berhasil mengembangkan beras organik dengan nama Beras Tuton. Keberhasilannya ditandai dengan produk beras miliki Pak Widagdo dapat diterima oleh pasar. Harga jual dari beras tuton pun mencapai Rp15 000/kg. Selain keberhasilan dari segi ekonomi, dengan berorganik, dapat mengembalikan tingkat kesuburan tanah.

Penggunaan bahan-bahan input alami dipercaya Pak WGD dapat meningkatkan kualitas padi. Hal ini dapat dibuktikan melalui beras organik yang dikembangkan oleh Pak WGD memiliki rasa yang lebih manis dan pulen, bau yang lebih wangi, dan memiliki ketahanan lebih lama dibandingkan beras lainnya dengan jenis yang sama. Penerapan pertanian organikyang dilakukan oleh Pak WGD sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan input sintetis. Hal ini dilakukan beliau untuk memberikan contoh kepada petani lainnya.

Kecamatan Kajoran

Kecamatan Kajoran merupakan salah satu dari kecamatan yang ada di Kabupaten Magelang yang memiliki luas wilayah seluas 83.41 . Adapun batas-batas wilayah Kecamatan Kajoran sebagai berikut:

33 Sebelah Utara : Kecamatan Kaliangkrik,

Sebelah Timur : Kecamatan Tempuran, dan Sebelah Selatan : Kecamatan Salaman.

Secara topografi Kecamatan Kajoran merupakan dataran tinggidengan ketinggian wilayah antara 300 sampai 700 mDpl dan memiliki curah hujan yang tinggi. Banyaknya curah hujan ditahun 2011 tercatat sebanyak 2 027 mm dengan curah hujan paling banyak terjadi di bulan September sebesar 534 mm, sedangkan paling sedikit dibulan Maret sebesar dua mm. Kemudian, berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010, penduduk Kecamatan Kajoran sebanyak 51 508 jiwa yang terdiri dari 26 021 jiwa penduduk laki-laki, dan sebanyak 25 487 jiwa penduduk perempuan. Desa Sutopati tercatat memiliki jumlah penduduk terbesar sebanyak 6 754 jiwa. Dan penduduk paling sedikit terdapat di Desa Ngargosari sebanyak 575 jiwa.

Sektor pertanian menyerap tenaga kerja sebesar 64.83 persen, disusul dengan sektor perdagangan yang menyerap tenaga kerja sebesar 13.18 persen. Kecamatan Kajoran yang berada di dataran tinggi di kaki gunung Sumbing memiliki lahan yang subur sehingga tak heran sektor pertanian menjadi unggulan. Menurut kegunaannya, lahan pertanian memiliki luas 57.94 dan lahan non pertanian memiliki luas 25.47 . Lahan sawah seluas 20.94 , lahan bukan sawah atau tegalan sebesar 37 . Lahan sawah terbagi menjadi sawah irigasi seluas 16.63 dan sawah non irigasi seluas 4.31 .Luas panen tanaman padi Kecamatan Kajoran tahun 2011 tercatat seluas 4 438 ha, luas panen tanaman jagung sebesar 1 361 ha, dan luas panen tanaman ubi kayu sebesar 221 ha. Dari seluruh lahan pertanian yang ada di Kecamatan Kajoran tahun 2011, untuk jenis tanaman pangan luas tanam bersih tanaman padi seluas 3 892 ha, luas tanam bersih tanaman jagung seluas 1 602 ha, dan tanaman ubi kayu seluas 214 ha. Tabel 3 Luas tanam dan luas panen tanaman pangan Kecamatan Kajoran tahun

2011

Jenis Tanaman Luas tanam

(hektar) Luas panen (hektar) Padi 3 892 4 438 Jagung 1 602 1 361 Ubi kayu 214 221

Kegiatan Pertanian di Desa Madugondo

Desa Madugondo merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Kajoran. Desa Madugondo memiliki delapan Rukun Tetangga, dua Rukun Warga, dan dua dusun. Jumlah penduduk Desa Madugondo tercatat sebanyak 1111 jiwa, dengan jumlah penduduk laki-laki sebanyak 467 jiwa, dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 644 jiwa. Luas wilayah Desa Madugondo yaitu 83 ha, dengan luas lahan pertanian seluas 63 ha dan luas lahan non pertanian seluas 20 ha. Dari luas lahan pertanian, 60 ha adalah luas lahan sawah dan tiga ha adalah luas lahan non sawah. Kegiatan pertanian di Desa Madugondo sebagian besar didominasi oleh tanaman pangan padi. Selain tanaman pangan, tanaman holtikultura yang menjadi komoditas utama adalah cabe merah, cabe rawit, dan pisang.

34

Desa Madugondo memiliki topografi tanah berlereng dan terletak di perbukitan. Kondisi alam ini mendukung petani untuk tidak hanya menanam padi, tetapi juga sayuran. Dikarenakan kondisi tanahnya yang tidak rata, sangat sedikit dari petani yang menggunakan mesin traktor sebagai alat bantu membajak sawah. Oleh karenanya, banyak petani yang memiliki kerbau untuk membantu membajak sawah mereka, atau pun menyewakannya ke petani lainnya. Kegiatan pertanian organik di Desa Madugondo semakin berkembang. T Petani diajak untuk mengikuti berbagai pelatihan pembuatan pupuk dan pengendali hama alami. Kegiatan bersama penyuluh ini diadakan setiap bulan. Terdapat salah satu tokoh masyarakat yang masih muda dan disegani di Desa Madugondo, yaitu Pak NGK. Beliau adalah salah satu pemuda desa yang peduli dengan kehidupan petani di desanya. Pak NGK mengungkapkan bahwa hasil produksi padi di desanya selalu berlebih dan kegiatan pemasaran beras organik hanya di lingkungan desa saja. Melihat hal ini, Pak NGK pun berusaha memasarkan produk beras organik ke daerah lainnya. Sebagai penggerak di bagian pemasaran, Pak NGK mengaku tidak pernah memaksa petani untuk menjual beras kepadanya. Beliau membebaskan petani untuk menjual beras kepada siapa pun. Akan tetapi, Pak NGK secara tegas menghimbau petani yang ingin menjual beras kepadanya haruslah beras organik.

Kegiatan bertani organik di Desa Madugondo tidak jauh berbeda dengan Desa Mangunsari. Penggunaan bahan-bahan alami adalah prioritas utama. Petani tidak lagi menambahkan bahan-bahan sintetis ke dalam tanamannya. Jenis padi yang digunakan di Desa Madugondo adalah Mentik Wangi Susu. Pertanian di Desa Madugondo bukan hanya sekedar aktifitas menanam padi, tetapi juga termasuk budaya. Biasanya, setiap pascapanen tiba akan diadakan kesenian Jaran Kepang untuk merayakan hasil panen. Kegiatan ini seperti makan bersama-sama warga sekitar sebagai bentuk syukur keberhasilan panen. Jalinan kekerabatan antar warga di Desa Madugondo pun terlihat kuat. Istri-istri petani selalu mengadakan pertemuan dalam bentuk kegiatan pengajian atau pun arisan. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menjaga tali kekerabatan diantara petani.

Karakteristik Responden Umur

Responden dalam penelitian ini terdiri atas rentang usia antara 30 sampai dengan 80 tahun dengan rataan umur 52 tahun. Penentuan penggolongan usia berdasarkan pengurangan nilai mean dan nilai standar deviasi. Responden dibagi ke dalam tiga golongan usia. Responden yang berusia 30-40 tahun, yaitu responden yang berada dalam kategori petani muda. Responden yang berusia 41- 52 tahun, yaitu responden yang berada dalam kategori petani menengah. Dan responden yang berusia 53-60 tahun, yaitu responden yang berada dalam kategori petani tua. Penentuan golongan umur didasarkan pada nilai standar deviasi yang didapat.

Umur sebagian besar responden (50.5 persen) berada pada kelompok umur 53-80 tahun, sisanya berada pada kelompok umur 41-52 tahun (21 persen), dan kelompok umur 30-40 tahun (28.6 persen). Berdasarkan data yang disajikan pada Tabel 4, sebagian besar petani organik berada pada kelompok umur 41-52 tahun dengan jumlah presentase 37.2 persen. Sementara itu, sebagian besar petani semi organik berada pada kelompok umur 53-80 tahun dengan jumlah presentase

35 54.3 persen. Dan sebagian besar petani non organik berada pada kelompok umur 53-80 tahun dengan presentase 65.7 persen. Banyaknya petani yang berumur tua menggambarkan bahwa sangat sedikit dari golongan muda yang berminat untuk menjadi petani. Pemuda di sana cenderung mencari pekerjaan dibidang lain di luar pertanian, seperti menjadi buruh pabrik, buruh bangunan, tukang ojek, atau pedagang baik di wilayah kabupaten maupun merantau ke kota besar.

Tabel 4 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat umur Umur

Petani

Petani Organik Petani Semi Organik Petani Non Organik Total Responden n % n % n % n % 30-40 11 31.4 7 20.0 4 11.4 22 21.0 41-52 13 37.2 9 25.7 8 22.9 30 28.6 53-80 11 31.4 19 54.3 23 65.7 53 50.5 Total 35 100.0 35 100.0 35 100.0 105 100.0 Jenis Kelamin

Responden dalam penelitian ini mencakup petani dengan jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Terdapat 93.3 persen atau 98 orang dengan jenis kelamin laki-laki dan 6.7 persen atau tuju orang dengan jenis kelamin perempuan (Tabel 5). Lebih banyaknya jumlah laki-laki yang menjadi petani menunjukkan laki-laki dianggap memiliki peranan yang lebih dominan dalam mengurus langsung lahan pertanian. Meskipun begitu, perempuan pun tetap memiliki peranan meskipun tidak dominan. Kegiatan bertani dianggap sebagai kegiatan unit rumah tangga. Perempuan memiliki peranan yang lebih dominan pada saat pascapanen berlangsung. Pada saat pascapanen, petani laki-laki biasanya membutuhkan tenaga lebih untuk membantunya di ladang. Untuk menghemat biaya produksi, petani laki-laki lebih memilih anggota keluarganya dibandingkan harus membayar tenaga upahan.

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 5, baik petani organik, semi organik maupun non organik, sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki, yaitu sebanyak 94.3 persen pada petani organik, 97.1 persen pada petani semi orgaik, dan 88.6 persen pada petani non organik. Dan sisanya adalah berjenis kelamin perempuan, yaitu sebanyak 5.2 persen pada petani organik, 2.9 persen pada petani semi organik, dan 11.4 persen pada petani non organik

Tabel 5 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan jenis kelamin Jenis

Kelamin

Petani Organik Petani Semi Organik Petani Non Organik Total Responden n % n % n % n % Laki-laki 33 94.3 34 97.1 31 88.6 98 93.3 Perempuan 2 5.2 1 2.9 4 11.4 7 6.7 Total 35 100.0 35 100.0 35 100.0 105 100.0 Pendidikan Formal

36

responden. Responden dibedakan ke dalam dua kategori, yaitu responden dengan tingkat pendidikan rendah, dan tinggi. Sebaran responden menunjukkan bahwa responden memiliki tingkatan pendidikan yang bervariasi mulai dari tidak sekolah, tidak tamat sampai tamat SD (Sekolah Dasar), tidak tamat sampai tamat Sekolah Menengah Pertama (SMP)/sederajat, tidak tamat sampai tamat Sekolah Menengah Atas (SMA)/sederajat, dan tamat Perguruan Tinggi. Tingkatan pendidikan formal total responden masih rendah, terlihat dari banyaknya responden yang hanya bersekolah sampai SD saja, yaitu sebanyak 40 persen atau 42 orang. Rendahnya tingkat pendidikan responden petani diakui petani karena kurangnya minat petani untuk bersekolah dan mahalnya biaya sekolah yang harus dikeluarkan. Petani lebih memilih membantu orang tuanya yang bertani di ladang.

Tabel 6 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pendidikan formal

Tingkat Pendidikan Formal

Petani Organik Petani Semi Organik Petani Non Organik Total Responden n % n % n % n % Tidak sekolah 3 8.6 1 2.9 - - 4 3.8 SD 11 31.4 12 34.3 19 54.3 42 40.0 SMP 14 40.0 10 28.6 11 31.4 35 33.3 SMA 5 14.3 11 31.4 4 11.4 20 19.0 PT 2 5.7 1 2.9 1 2.9 4 3.8 Total 35 100.0 35 100.0 35 100.0 105 100.0 Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 6 menunjukkan bahwa, responden pada petani organik sebagian besar memiliki tingkat pendidikan setara SMP sebanyak 40 persen atau sekitar 14 orang. Pada petani semi organik dan non organik, sebagian besar responden memiliki tingkat pendidikan setara SD sebanyak 34.3 persen atau 12 orang dan 54.3 persen atau 19 orang. Hal ini menunjukkan bahwa, baik petani organik, semi organik, maupun non organik, tergolong kedalam kategori rendah, dengan presentasi masing-masing 77.1 persen, 65.7 persen, dan 85.7 persen.

Tingkat pendidikan yang ditempuh seseorang akan memberikan pengetahuan yang lebih baik tentang cara berpikir, penerimaan suatu informasi, maupun penilaian terhadap suatu masalah yang terjadi. Sehingga semakin tinggi pendidikkannya maka kemampuan berfikirnya juga semakin baik, pengetahuannya semakin luas, dan analisisnya terhadap permasalahan semakin tajam (Sunarti 2010).

Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal petani adalah banyaknya kursus atau pelatihan yang pernah diikuti oleh responden. Tingkat pendidikan non formal dibagi ke dalam dua ketagori, yaitu kategori rendahdan kategori tinggi. Kategori rendah apa bila responden tidak pernah mengikuti pelatihan atau pernah mengikuti 1-2 kali pelatihan. Kategori tinggi apabila responden pernah mengikuti 3-4 kali pelatihan

37 atau lebih dari empat kali pelatihan. Sebaran responden menurut tingkat pendidikan non formal menunjukkan bahwa petani yang berada pada kategori rendah sebesar 56.2 persen dan pada kategori tinggi sebesar 43.8 persen. Besarnya kategori tingkat pendidikan non formal rendah menunjukkan masih kurangnya kesadaran petani untuk menambah pengetahuan dan keterampilan petani.

Berdasarkan data yang tersaji pada Tabel 7 menunjukkan bahwa total responden yang tidak pernah mengikuti pelatihan sebanyak 37.1 persen atau sebanyak 39 orang. Responden pada petani organik menunjukkan pernah mengikuti pelatihan lebih dari empat kali sebanyak 80 persen atau 28 orang. Dan sebagian besar responden, baik petani semi organik maupun petani non organik, menunjukkan tidak pernah mengikuti pelatihan sebesar 42.9 persen dan 65.7 persen. Sementara itu, sebagian besar responden pada petani organik masuk ke dalam kategori tinggi dengan presentasi 97.1 persen. Sebagian besar responden pada petani semi organik dan petani non organik tergolong dalam kategori rendah, yaitu sebesar 68.6 persen dan 97.1 persen. Hal ini menunjukkan bahwa petani organik memiliki tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi dibandingkan petani semi organik dan petani non organik

Tabel 7 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat pendidikan non formal

Tingkat Pendidikan Non Formal

Petani Organik Petani Semi

Dokumen terkait