• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN OGANIK

Petani dalam penelitian ini terdiri dari tiga kategori berdasarkan sistem penerapan pertaniannya, yaitu petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. Petani organik ialah petani yang dalam penerapan usaha taninya hanya menggunakan bahan-bahan input alami saja tanpa ada bahan sintetik. Bahan- bahan input alami yang digunakan seperti penggunaan pupuk alami, pengendali hama alami, dan bibit lokal. Petani semi organik ialah petani yang dalam penerapan usaha taninya menggunakan sebagian besar bahan-bahan input alami, namun masih menggunakan bahan-bahan input sintetik dalam jumlah yang lebih sedikit. Petani non organik ialah petani yang dalam penerapan usaha taninya hanya menggunakan bahan-bahan input sintetik saja tanpa menggunakan bahan- bahan input alami. Dari ketiga kategori petani akan dilihat apakah terdapat perbedaan sikap antara petani organik, petani semi organik, dan petani non organik.

Gambar 6 Perbedaan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik Berdasarkan data pada Gambar 6, dapat dilihat bahwa petani organik memiliki sikap yang lebih positif dibandingkan petani semi organik, dan non organik. Pada petani organik, sebagian besar responden menunjukkan sikap yang lebih positif sebanyak 85.7 persen atau sekitar 30 responden. Sebesar 14.3 persen atau sekitar lima responden yang memiliki sikap negatif terhadap penerapan pertanian organik. Sementara itu, sebanyak 68.6 persen atau sekitar 24 responden pada petani semi organik memiliki sikap yang cenderung positif. Sebanyak 31.4 persen atau sekitar 11 responden memiliki sikap yang cenderung negatif. Berbeda dengan petani non organik. Pada petani non organik, hampir sebagian besar responden menujukkan sikap yang lebih negatif sebanyak 57.1 persen atau sekitar 20 responden. Sisanya sekitar 42.9 persen atau sekitar 20 respon memiliki sikap yang positif terhadap penerapan pertanian organik. Berdasarkan hasil uji analisis

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Organik Semi organik Non organik

97.1% 94.3%

5.7%

2.9% 5.7%

94.3% Negatif

52

Chi Square menunjukkan nilai hitung sebesar 14.457 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.001 < 0.05 (α). Dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan sikap secara nyata antara petani organik, petani semi organik, dan petani non organik.

Perbedaan Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Gambar 7 menunjukkan bahwa, baik petani organik maupun petani semi organik, memiliki tingkat kognitif yang lebih positif dengan jumlah presentase yang sama, yaitu sebesar 97.1 persen atau sekitar 34 responden. Sisanya memiliki tingkat kognisi yang negatif sebesar 2.9 persen atau sekitar satu responden. Berbeda dengan petani non organik, sebanyak 74.3 persen atau sekitar 26 responden memiliki tingkat kognisi yang negatif dan 25.7 persen atau sekitar 9 responden memiliki tingkat kognisi yang positif.

Gambar 7 Perbedaan tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik

Pada petani organik dan semi organik, hampir sebagian besar responden mengetahui manfaat dari penggunaan pupuk organik dan merotasi tanaman. Pada pernyataan menggunakan pupuk organik dapat menjadikan lahan menjadi semakin gembur dan mudah diolah, sebagian besar petani organik dan semi organik menjawab setuju dengan presentase 94.3 persen dan 85.7 persen.

Untuk pernyataan menggunakan pupuk organik tidak meningkatkan produksi padi, sebagian besar petani organik dan semi organik menjawab tidak setuju dengan presentase 62.9 persen dan 48.6 persen. Pada petani semi organik, masih terdapat responden yang kurang percaya bahwa pupuk organik dapat meningkatkan produksi padi. Petani organik yang telah menerapkan pertanian organik, dapat melihat langsung hasil dari penggunaan pupuk organik pada tanaman padi mereka. Bagi petani organik, menggunakan pupuk organik hanya

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Organik Semi organik Non organik

97.1% 97.1%

25.7%

2.9% 2.9%

74.3% Negatif

53 menurunkan hasil produksi sementara, dan akan berangsur-angsur meningkat. Berbeda dengan petani semi organik. Penerapan pupuk organik pada lahan mereka ternyata menurunkan hasil produksi beras dan tidak sebanyak menggunakan pupuk kimia. Oleh karenanya, petani semi organik masih menggunakan pupuk sintetis jenis Urea dan KCL pada tanaman padi agar hasil produksi padi dapat meningkat.

Selanjutnya, sebagian besar responden pada petani organik (91.4 persen) dan petani semi organik (80 persen) menjawab setuju pernyataan merotasi tanaman akan menjaga lahan tetap subur. Kemudian, pada pernyataan menggunakan pupuk organik lahan menjadi lebih subur, sebagian besar responden pada petani organik dan petani semi organik menjawab setuju dengan presentase masing-masing 94.3 persen dan 85.7 persen. Pengetahuan ini didapat petani dari temuan di lahan petani sendiri, penyuluhan, pelatihan, dan dari antar petani. Pengetahuan ini dianggap petani sebagai pengetahuan umum dari pertanian organik.

Sementara itu, pada pernyataan pengendali hama sintetis dapat membahayakan tanaman, Sebagian besar responden pada petani organik menjawab setuju (91.4 persen). Sebagian besar responden pada petani semi organik menjawab agak setuju (22.9 persen). Pengetahuan ini diyakini petani semi organik tidak terlalu membahayakan tanaman mereka. Bagi petani semi organik, penggunaan pengendali hama sintetis pada tanaman padi mereka tidak dapat dihentikan sepenuhnya. Hama pada tanaman padi mereka tidak dapat dihindari hanya dengan pengendali hama alami. Penggunaan pengendali hama sintetis diyakini petani semi organik masih aman digunakan jika digunakan hanya sedikit.

Kegiatan bertani pada petani semi organik merupakan peralihan dari yang sebelumnya bertani secara non organik. Pada masa Revolusi Hijau, petani tergantung pada penggunaan bahan-bahan sintetis, hingga akhirnya secara perlahan-lahan kembali kecara-cara tradisional. Kebiasaan petani yang pernah menggunakan bahan-bahan sintetis, seperti pupuk kimia dan pesitisida kimia tidak mudah dihilangkan. Petani semi organik mengakui belum dapat berorganik secara murni karena hasil produksi padi tidak dapat optimal jika hanya bergantung pada bahan-bahan organik. Oleh karenanya, masih banyak petani yang menganggap bahwa penggunaan bahan-bahan sintetis tidak akan menimbulkan dampak negatif jika hanya digunakan dalam takaran yang sedikit.

“…kalau ada hama, Bapak masih pakai pestisida yang kimia, tapi cuma sedikit. Kalau cuma sedikit yang dipakai, ga akan berbahaya. Pake pupuk juga gitu, tanaman bapak belum bisa tumbuh kalau ga pake kimia dulu, tapi cuma sedikit, bapak kasih waktu umur 2-3 minggu. Baru seterusnya pake pupuk kandang..”(NGH, 49 tahun)

Pernyataan ini kemudian diperkuat oleh yang disampaikan oleh Pak NGK, selaku ketua BP2K. Menurut beliau, untuk berorganik tanaman padi yang sebelumnya menggunakan bahan-bahan sintetis yang dominan, tidak dapat langsung hanya menggunakan bahan-bahan organik murni. Kembali berorganik, perlu dilakukan secara perlahan-lahan dimiluai dengan mengurangi menggunakan bahan-bahan sintetis sedikit demi sedikit. Berbeda dengan yang disampaikan Pak WDG, salah satu petani organik. Beliau memiliki keyakinan bahwa berorganik

54

artinya sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan sintetis sama sekali. Penggunaan bahan-bahan sintetis walau pun sedikit sama saja dengan kegiatan bertani secara non organik. Bertani secara organik murni dapat dilakukan jika petani mau bekerja keras dan tekun mengurus lahannya. Kegiatan bertani yang dilakukan beliau sama sekali tidak menggunakan bahan-bahan kimia. Beras yang dihasilkan pun berbeda dengan yang dihasilkan dengan cara semi organik maupun non organik. Beras jenis Mentik Wangi Susu yang dihasilkan dengan menerapkan organik murni akan terasa lebih manis dibandingkan beras Mentik Wangi Susu yang dihasilkan secara semi organik. Selain itu, beras organik tidak cepat basi dan tidak bau jika didiamkan sampai tiga hari. Hal ini berbeda dengan beras semi organik yang hanya bertahan dua hari.

Selanjutnya, sedikit dari petani non organik yang memiliki tingkat kognisi yang positif. Petani non organik memiliki keyakinan bahwa menggunakan bahan- bahan alami tidak akan membuat tanamannya lebih subur, atau tahan diserang hama. Sebagian besar petani menjawab agak setuju (45.7 persen) pada pernyataan pupuk organik dapat membuat lahan subur dan mudah di olah (42.9 persen). Petani mengetahui bahwa pupuk organik dapat membuat subur lahan, tetapi petani tidak meyakini sepenuhnya pernyataan tersebut. Menurut salah satu petani non organik, beliau mengetahui jika menggunakan pupuk alami dapat menyuburkan tanaman, dan menggunakan pestisida kimia berbahaya bagi tanaman. Akan tetapi, penggunaan bahan-bahan alami pada tanaman padi miliknya menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Beliau mengeluhkan hasil produksi padi yang menurun milikinya.

“…Saya pernah, Mba, pakai pupuk organik dan pestisida tumbuhan. Sayangnya, hasil produksi padi saya malah menurun. Saya ga mau lagi pakai pupuk alami atau pun pestisida tumbuhan. Lebih baik saya pakai pupuk Urea saja, tanaman saya lebih cepat numbuh..”(BMG, 54 tahun)

Selanjutnya, sebagian besar responden petani non organik menjawab setuju (65.7 persen) untuk pernyataan menggunakan pupuk organik tidak meningkatkan produksi padi. Umumnya, petani non organik kurang mengetahui bahwa menggunakan bahan-bahan alami memang akan menurunkan hasil produksi sekitar 2-3 kali masa panen. Setelahnya, hasil produksi padi akan kembali meningkat secara perlahan-lahan. Pupuk organik tidak seperti pupuk kimia yang menjadikan tumbuhan cepat berbuah. Untuk mendapatkan hasil yang optimal dari pupuk organik, tanah yang sudah teresidu oleh bahan-bahan input sintetis perlu didiamkan sekitar dua tahun. Petani merasa dirugikan jika harus membiarkan lahannya kosong karena itu artinya petani akan merugi.

Sebagian besar responden pada petani non oraganik menjawab kurang setuju pernyataan bahwa merotasi tanaman akan menjaga lahan menjadi subur (62.9 persen), dan pestisida alami berbahaya bagi tanaman (40 persen). Pernyataan kurang setuju mengindikasikan petani tidak sepenuhnya tidak yakin atau mengetahui tentang rotasi tanaman dan pengendelai hama alami. Kegiatan bertani pada petani non organik bersifat individualis. Tidak adanya kelompok yang menaungi petani non organik menyebabkan petani kurang mendapatkan informasi atau pengetahuan baru tentang pertanian.

55 Berdasarkan hasil perhitungan melalui analisis Chi Square yang menunjukkan nilai hitung sebesar 60.877 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.000 < 0.05 (α). Dapat dismpulkan hasil bahwa terdapat perbedaan secara nyata pada tingkat kognisi antar petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. Adanya perbedaan pada tingkat kognisi petani tidak hanya adanya perbadaan tidak hanya pengetahuan dan keyakinan, tetapi juga fakta yang ditemukan oleh masing-masing petani dari penerapan pertanian yang dilakukan.

Perbedaan Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Gambar 8 menunjukkan bahwa petani organik memiliki tingkat afeksi yang lebih positif dibandingkan petani semi organik dan petani non organik. Pada petani organik, 97.1 persen atau 34 responden memiliki tingkat afeksi yang lebih positif, dan sisanya memiliki tingkat afeksi yang negatif sebesar 2.9 persen atau satu orang responden. Sementara itu, sebagian besar responden pada petani semi organik memiliki tingkat afeksi yang lebih positis sebesar 85.7 persen atau 30 responden. Sebanyak 14.3 persen atau lima orang responden memiliki tingkat afeksi yang negatif. Berbeda dengan petani non organik, sebanyak 94.3 persen atau 33 responden memiliki tingkat afeksi yang lebih negatif. Sebanyak 5.7 persen atau dua orang responden memiliki tingkat afeksi yang positif.

Gambar 8 Perbedaan tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik

Perasaan yang positif ditunjukkan oleh petani organik dan petani semi organik. Petani organik dan petani semi organik tidak merasakan adanya kerumitan dalam menggunakan pupuk organik. Petani organik mengakui adanya kemudahan karena petani diajak secara bersama-sama saat membuat pupuk dan pengendali hama alami. Adanya pembuatan pupuk bersama-sama dapat menjadi

0% 20% 40% 60% 80% 100%

Organik Semi organik Non organik 97.1% 85.7% 5.7% 2.9% 14.3% 94.3% Negatif Positif

56

wadah partisipasi petani. Selain itu, dengan adanya pembuatan pupuk bersama- sama meningkatkan kerja sama antar petani dan meningkatkan rasa saling membutuhkan diantara sesama petani. Kegiatan pelatihan yang dilakukan bersama-sama membantu petani dalam menyebarkan dan menerima informasi baru, dan membantu petani dalam neyediakan bahan-bahan input alami. Petani merasa adanya kegiatan yang dilakukan bersama-sama dalam mebuat bahan- bahan input alami memudahkan petani dalam mengakses bahan-bahan input pertanian. Perasaan yang berbeda ditunjukkan oleh petani non organik. Petani non organik merasa menggunakan pupuk organik terlalu rumit. Petani non organik sudah terbiasa menggunakan bahan-bahan input sintetis yang bersifat instan atau setelah didapatkan dapat langsung digunakan.

Dari segi harga, petani organik dan petani semi organik merasa pengendali hama alami tidak lebih mahal daripada pengendali hama sintetis. Tetapi berbeda bagi petani non organik yang merasa pengendali hama alami lebih mahal dibanding pengendali hama sintetis. Menurut petani, pengendali hama alami dapat dibuat sendiri. Pada petani organik, pengendali hama alami dibuat secara bersama-sama. Oleh karenanya, tiap anggota kelompok akan membawa pulang pengendali hama alami. Berbeda dengan petani semi organik. Petani yang mengakui adanya kemudahan dalam membuat pengendali hama alami adalah petani yang pernah mengikuti penyuluhan atau pun pelatihan yang diadakan oleh BP2KP. Tidak banyak dari petani yang mengetahui cara membuat pengendali hama alami. Hal ini dikarenakan petani kurang aktif dalam mencari informasi, baik dengan mengikuti pelatihan maupun bertanya ke sesama petani lainnya. Meskipun terdapat petani yang mengetahui cara membuat pengendali hama alami, bukan berarti petani akan menyebarkan informasi tersebut. Petani hanya akan memberikan informasi apabila terdapat petani yang bertanya. Hal ini menimbulkan rasa ketidakadilan dan ketidakpercayaan antar sesama anggota.

“…Bapak kurang tau bikin pestisida yang bener. Cuma tau bahan- bahannya, itu juga ga lengkap taunya. Ikutan kelompok juga bapak jarang dikasih tau. Kalau ada pertemuan pelatihan, yang ga ikut ya ga dikasih tau. Petaninya mau untung sendiri, ga mau bagi-bagi..” (MSN, 47 tahun)

Terdapat 91.4 persen responden pada petani organik dan 51.4 persen responden pada petani semi organik yang mengaku lebih senang menggunakan pengendali hama alami karena tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Pengendali hama alami tidak membuat sesak nafas seperti pengendali hama sintetis. Bagi petani non organik, petani mengaku kurang menyukai dampak buruk dari pengendali hama alami pada kesehatan petani. Untuk itu, petani non organik menggunakan masker penutup muka sebelum menggunakan pengendali hama alami. Dengan cara ini, menurut petani, dampak buruk terhadap kesehatan petani dapat diminimalisir.

Sebanyak 68.6 persen responden petani organik dan 42.9 persen responden petani semi organik yang mengaku suka merotasi tanaman. Sebanyak 71.4 persen responden petani non organik mengaku tidak suka merotasi tanaman. Petani mengaku tidak suka merotasi tanaman karena hanya akan mengurangi hasil padi selama setahun. Kemudian, sebanyak 94.3 persen responden petani organik dan

57 68.6 persen responden petani semi organik menjawab suka menggunakan bibit lokal. Sebanyak 45.7 persen responden petaani non organik menjawab agak suka. Bibit lokal jenis Mentik Wangi Susu merupakan bibit unggulan karena rasanya yang lebih enak dibandingkan bibit lainnya.

Sebagian besar responden pada petani organik dan petani semi organik memiliki perasaan yang lebih positif terhadap penerapan pertanian organik. Perasaan positif terhadap penerapan pertanian organik ini karena petani sudah terbiasa dalam menerapkan pertanian organik, sehingga timbul rasa kemudahan dalam menerapkan pertanian organik. Petani organik dan petani semi organik suka menerapkan pertanian organik karena mudah untuk diterapkan, lebih murah, dan tidak berdampak buruk bagi kesehatan. Petani non organik memiliki perasaan yang lebih negatif terhadap penerapan pertanian organik. Hal ini dikarenakan petani tidak terbiasa bekerja lebih keras, terutama dalam membuat pupuk dan pengendali hama alami. Petani non organik merasa penerapan pertanian organik tidak mudah untuk diterapkan, lebih mahal, dan dapat mengurangi hasil produksi padi petani.

Berdasarkan hasil perhitungan melalui analisis Chi Square yang menunjukkan nilai hitung sebesar 74.406 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.00 < 0.05 (α). Dapat dismpulkan hasil bahwa terdapat perbedaan secara nyata dan signifikan pada tingkat afeksi antar petani terhadap penerapan pertanian organik. Adanya perbedaan pada tingkat afeksi petani muncul dari perbandingan pengetahuan yang dimiliki petani dengan praktek langsung yang dilakukan petani di lahan mereka.

Perbedaan Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik Gambar 9 menunjukkan bahwa petani organik memiliki tingkat konasi yang lebih positif dibandingkan petani semi organik dan petani non organik. Pada petani organik, 97.1 persen atau 34 responden memiliki tingkat konasi yang lebih positif, dan sisanya memiliki komponen sikap konasi yang negatif sebesar 2.9 persen atau satu orang responden. Pada petani semi organik, sebesar 65.7 persen atau 23 responden memiliki tingkat konasi yang positif dan 34.3 persen atau 12 responden memiliki tingkat konasi yang negatif. Sebesar 97.1 persen atai 34 responden pada petani non organik memiliki tingkat konasi yang negatif. Sisanya sebesar 2.9 persen atau satu orang responden memiliki tingkat konasi yang positif. Petani organik dan petani semi organik memiliki tendensi atau keinginan untuk terus menerapkan pertanian organik. Petani organik memiliki tendensi yang lebih positif dibandingkan petani semi organik dan petani non organik dalam hal merotasi tanaman. Tidak banyak dari petani semi organik yang berkeinginan merotasi tanamannya karena membutuhkan lahan yang lebih luas. Selain itu, bagi petani non organik, merotasi tanaman membutuhkan biaya produksi tambahan, seperti membeli bibit, pupuk, dan pengendali hama. Untuk keinginan mengggunakan pengendali hama alami, 91.4 persen responden petani organik, dan 34.4 persen pada petani semi organik menyatakan setuju akan menggunakan pengendali hama alami. Sebanyak 82.9 persen pada petani non organik menjawab tidak akan menggunakan pengendali hama alami. Menurut petani non organik, menggunakan pengendali hama saja tidak akan menjaga tanaman mereka dari

58

hama. Jika tanaman mereka terkena hama, petani khawatir tanaman mereka mati yang akhirnya membawa kerugian bagi petani non organik.

...Saya pernah ko mba pake pestisida yang dari tumbuhan, tapi hama di taneman saya ga hilang, yang ada taneman saya banyak yang gagal. Kalo taneman saya gagal, pendapatan saya juga jadi berkurang. Mending pake pestisida yang biasa saya beli di pasar,

cepet itu, Mba, ngilangin hama…” (SPN, 60 tahun)

Untuk tendensi menggunakan bibit rekayasa, sebagian besar responden pada petani organik (91.4 persen) dan petani semi organik (51.4 persen) menjawab tidak akan menggnakan bibit rekayasa. Sebanyak 54.3 persen responden petani non organik menjawab akan menggunakan bibit rekayasa. Petani non organik mengaku lebih menyukai bibit lokal jenis Mentik Wangi Susu. Akan tetapi, bibit lokal membutuhkan waktu panen yang lebih lama dan membutuhkan lebih banyak air dibandingkan bibit rekayasa jenis IR 64. Oleh karenanya, biasanya ¾ dari lahan ditanami bibit rekayasa, dan ¼ ditanami bibit lokal.

Gambar 9 Perbedaan tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik

Untuk tendensi menggunakan pupuk organik, sebagian besar petani organik (91.4 persen) dan petani semi organik (37.1 persen) mengaku akan menggunakan pupuk organik walau pun panen bisa gagal. Sebagian besar responden petani non organik (82.9 persen) mengaku tidak akan menggunakan pupuk organik. Walaupun sebagian besar responden pada petani semi organik memiliki tendensi positif, tetapi presentasenya masih lebih kecil dibandingkan pada petani organik. Petani semi organik lebih memilih menggunakan pupuk sintetis apabila terjadi gagal panen agar tidak kembali merugi. Namun bagi petani organik, gagal panen bukan menjadi alasan menggunakan pupuk sintetis. Apabila

0% 20% 40% 60% 80% 100% 120%

Organik Semi organik Non organik 97.1% 65.7% 2.9% 2.9% 34.3% 97.1% Negatif Positif

59 petani mengalami gagal panen, petani cenderung pasrah dan menganggap sebagai takdir. Kemudian, pada petani non organik yang menggunakan pupuk sintetis, petani mengaku tanaman padi mereka lebih cepat tumbuh dan meningkatkan hasil produksi. Sehingga, sebanyak 94.3 persen pada petani non organik menyatakan akan menggunakan pupuk sintetis karena akan lebih menguntungkan. Berbeda dengan petani organik yang menjawab tidak akan menggunakan pupuk sintetis. Menurut petani, menggunakan pupuk sintetis tidak menguntungkan secara ekonomi. Meskipun hasil produksi meningkatkan, tetapi padi yang dihasilkan kurang berkualitas dibandingkan menggunakan pupuk organik. Dengan menggunakan pupuk organik, walau pun hasil produksi lebih sedikit dibanding menggunakan pupuk sintetis, namun harga jual padi dapat lebih tinggi. Oleh karenanya, bagi petani organik maupun semi organik menggunakan pupuk organik lebih menguntungkan secara ekonomi.

Hampir sebagian besar organik mengaku ingin terus menerapkan pertanian organik. Petani menyadari dengan menerapkan pertanian organik, akan memperbaiki lingkungan pertanian yang sempat tercemar karena penggunaan bahan-bahan sintetik. Meskipun hasil panen bisa gagal, petani mengaku akan terus menggunakan bahan-bahan organik dan tidak tergoda untuk menggunakan pupuk kimia yang dapat menyuburkan tanaman dengan cepat. Selain itu, dengan bertani organik, petani mengaku lebih terjamin secara ekonomi. Dalam penerapan pertanian organik, petani organik tidak lagi hanya mempertimbangkan aspek ekonomi saja, tetapi juga mempertimbangkan adanya aspek jangka panjang pada kesehatan lingkungan termasuk kesehatan petani sendiri. Dilain pihak, petani non organik kurang memiliki keinginan untuk menerapkan pertanian organik. Dengan berorganik, petani non organik merasa kurang mendapatkan keuntungan karena hasil panen yang lebih sedikit dibanding dengan bernon organik. Karenanya, petani non organik lebih memilih menggunakan bahan input sintetik yang dapat mempercepat hasil panen dibanding harus bekerja lebih keras dalam berorganik.

Berdasarkan hasil perhitungan melalui analisis Chi Square yang menunjukkan nilai hitung sebesar 65.249 lebih besar dari nilai tabel sebesar 5.991 dan menunjukkan p-value 0.00 < 0.05 (α). Dapat dismpulkan hasil bahwa terdapat perbedaan secara nyata pada tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik. Adanya perbedaan pada tingkat konasi petani dikarenakan

Dokumen terkait