• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP

PETANI PADI SAWAH TERHADAP PENERAPAN

PERTANIAN ORGANIK

CINTYA ARISTY DEBY

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

CINTYA ARISTY DEBY. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik. Dibimbing oleh RATRI VIRIANITA.

Pertanian organik salah satu alternatif solusi bagi kerusakan lingkungan pertanian akibat penggunaan bahan-bahan input sintetis. Oleh karenanya, tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sikap petani padi sawah, menganalisis perbedaan sikap antara petani non, semi, dan organik, dan menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani padi sawah terhadap penerapan pertanian organik. Penelitian ini menggunakan metode survei yang dilakukan pada bulan April di Kabupaten Magelang, di dua kecamatan. Terdapat 105 responden terpilih dengan menggunakan pengambilan sampel sensus dan snowball sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petani di Kabupaten Magelang memiliki sikap yang cenderung positif terhadap penerapan pertanian organik. Terdapat perbedaan sikap di antara petani organik, semi organik, dan non organik. Faktor-faktor yang memiliki pengaruh nyata terhadap sikap petani, adalah pendidikan non formal, pengalaman bertani, kepemilikan modal, akses sarana produksi dan nilai-nilai kelompok.

Kata kunci: penerapan, pertanian organik, sikap

ABSTRACT

CINTYA ARISTY DEBY. Factors Influences of Rice Field Farmers Attitudes Towards Organic Farming. Supervised by RATRI VIRIANITA.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Komunikasi dan Pengembangan masyarakat

pada

Fakultas Ekologi Manusia

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP

PETANI PADI SAWAH TERHADAP PENERAPAN

PERTANIAN ORGANIK

CINTYA ARISTY DEBY

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik

Nama : Cintya Aristy Deby NIM : I34090093

Disetujui oleh

Ratri Virianita, S.Sos, M.Si Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani Padi Sawah terhadap Penerapan Pertanian Organik” ini dengan baik. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi persyaratan kelulusan di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi penelitian ini. Terimakasih kepada Ibu Ratri Virianita S.Sos, M.Si selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan waktu dan bimbingannya selama proses penulisan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian dengan baik. Terimakasih kepada Prof. Dr.Endriatmo Soetarto, MA selaku penguji utama, serta bapak Ir. Hadiyanto, MSi selaku dosen penguji perwakilan departemen atas saran dan kritik yang membangun guna kesempurnaan skripsi. Terimakasih kepada Bapak Widagdo beserta keluarga, Bapak Udih, dan Mas Nungki selaku tokoh desa. Terimakasih kepada keluarga baru di Magelang, Mba Siwi, Mas Dodo, Bopy, Andre yang telah membantu penulis dalam mencari dan mengumpulkan data. Terimakasih kepada warga Desa Mangunsari dan Desa Madugondo yang telah membantu penulis mengumpulkan data. Terimakasih juga disampaikan kepada ayah, Herry Hairudin, ibu, Euis Jamilah, kaka, Putri Haditya, Ifi Maya, adik, Dicki Chandra, dan keluarga yang telah memberikan doa, kasih sayang, dan dukungannya. Tak lupa terimakasih kepada Wahyuni Latifah Sari, Yeni Agustien Harahap, Indah Permata Sari, Amatul Jalieli, Rizki Budi Utami dan Rizki Amela sahabat-sahabat yang selalu memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis, beserta teman-teman SKPM lainnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 5

Manfaat Penelitian 5

TINJAUAN PUSTAKA 7

Pertanian Organik 7

Penerapan Pertanian Organik 9

Petani Pertanian Organik 11

Sikap 12

Faktor-Faktor Pembentuk Sikap 14

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani terhadap

Penerapan Pertanian Organik 15

Kerangka Pemikiran 19

Hipotesis Penelitian 20

Definisi Operasional 21

METODE 25

Lokasi dan Waktu 25

Teknik Pengumpulan Data 25

Teknik Sampling 26

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 26

GAMBARAN UMUM PENELITIAN 29

Kabupaten Magelang 29

Kecamatan Sawangan 30

Kegiatan Pertanian di Desa Mangunsari 31

Kecamatan Kajoran 32

(10)

Karakteristik Responden 34 SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK 45 Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik 46 Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik 47 Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik 49 PERBEDAAN SIKAP PETANI TERHADAP PENERAPAN

PERTANIAN OGANIK 51

Perbedaan Tingkat Kognisi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik 52 Perbedaan Tingkat Afeksi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik 55 Perbedaan Tingkat Konasi Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik 57 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI SIKAP PETANI

TERHADAP PENERAPAN PERTANIAN ORGANIK 61

Pengaruh Pendidikan Formal terhadap Sikap 61

Pengaruh Pendidikan Non Formal terhadap Sikap 62

Pengaruh Pengalaman Bertani terhadap Sikap 63

Pengaruh Kekosmopolitan terhadap Sikap 65

Pengaruh Kepemilikan Modal terhadap Sikap 66

Pengaruh Akses Sarana Produksi terhadap Sikap 66

Pengaruh Nilai-Nilai Kelompok terhadap Sikap 68

SIMPULAN DAN SARAN 71

Simpulan 71

Saran 71

DAFTAR PUSTAKA 73

LAMPIRAN 75

(11)

DAFTAR TABEL

1 Perbandingan anatomi konsep pertanian organik dan konvensional 9 2 Luas panen, rata-rata produksi dan produksi tanaman bahan makanan

utama menurut kecamatan 2011 30

3 Luas tanam dan luas panen tanaman pangan Kecamatan Kajoran

tahun 2011 33

4 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

umur 35

5 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan jenis

kelamin 35

6 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

pendidikan formal 36

7 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

pendidikan non formal 37

8 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

pengalaman bertani 38

9 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

kekosmopolitan 39

10 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

kepemilikan modal 40

11 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

akses sarana produksi 41

12 Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat

nilai- nilai kelompok 42

13 Hasil uji regresi pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi sikap

petani terhadap penerapan pertanian organik 61

14 Sikap petani menurut pendidikan formal 62

15 Sikap petani menurut pendidikan non formal 63

16 Sikap petani menurut pengalaman bertani 64

17 Sikap petani menurut kekosmopolitan 65

(12)

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi sikap petani

terhadap penerapan pertanian organik 20

2 Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik 45 3 Tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik 47 4 Tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik 48 5 Tingkat konasi petani terhadap penerapan pertanian organik 49 6 Perbedaan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik 51 7 Perbedaan tingkat kognisi petani terhadap penerapan pertanian organik 52 8 Perbedaan tingkat afeksi petani terhadap penerapan pertanian organik 55

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi Kabupaten Magelang 75

2 Dokumentasi Penelitian 76

3 Hasil reduksi data 78

4 Hasil pengolahan data uji Chi Square 81

5 Hasil pengolahan data uji Regresi Linear Sederhana 84

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan jumlah penduduk sejalan dengan peningkatan kebutuhan pangan karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang paling dasar. Setiap negara berkewajiban untuk menciptakan ketahanan pangan bagi warga negaranya. Untuk mencukupi kebutuhan pangan, maka kegiatan produksi tanaman pangan perlu ditingkatkan. Upaya untuk meningkatkan hasil produksi tanaman pangan semakin mudah tercapai apabila terdapat teknologi pendukung di sektor pertanian. Oleh karenanya, kebutuhan input teknologi tinggi pada sektor pertanian berupa pupuk makin meningkat, demikian juga kebutuhan pestisida akan lebih besar daripada yang diperlukan sekarang. Dengan makin meningkatnya kebutuhan input yang tinggi, maka biaya produksi yang diperlukan akan semakin besar (Sutanto 2000).

Sehubungan dengan itu, pemerintah menggalakkan teknologi Revolusi Hijau pada tahun 1984. Tujuan dari diadakannya Revolusi Hijau adalah untuk mengatasi krisis pangan yang sempat terjadi pada masa itu dengan cara meningkatkan hasil produksi pangan, terutama padi. Teknologi Revolusi Hijau ini menerapkan tiga komponen inti, yaitu penggunaan bahan-bahan kimia sintetis, seperti pupuk kimia, pestisida kimia, dan bibit rekayasa. Melalui penerapan teknologi Revolusi Hijau, Indonesia mampu berswasembada beras pada tahun 1984-1989. Akan tetapi, pada tahun-tahun berikutnya hasil produksi pangan mengalami penurunan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan tiga komponen inti dari Revolusi Hijau yang mengakibatkan berbagai krisis lingkungan.

Suhartini et al. (2006) berpendapat bahwa sistem pertanian intensif yang selama puluhan tahun dilakukan menimbulkan dampak negatif dari pemakaian pupuk kimia dan pestisida kimia. Dampak negatif yang ditimbulkan mengakibatkan terjadinya krisis lingkungan di bidang pertanian. Sejalan dengan ini, Tata (2000) mengemukakan beberapa krisis yang dialami akibat Revolusi Hijau. Pertama, terjadinya degradasi lingkungan di lahan pertanian dan berkurangnya pendapatan serta menurunnya kualitas hidup terutama yang dialami oleh petani kecil. Hal ini dapat dilihat dari kegiatan yang dilakukan petani dalam pemakaian pupuk kimia yang berlebihan tanpa diimbangi pemberian bahan organik yang cukup ke dalam tanah menyebabkan kerusakan tanah. Kerusakan tanah yang terjadi, seperti tanah menjadi lebih keras, kandungan hara yang semakin berkurang, dan menurunnya fauna makro dan mikro, seperti belut, cacing, dan juga kepiting (Wibowo dalam Suhartini et al. 2006). Selain itu, penggunaan pestisida kimia berdampak negatif terhadap lingkungan karena zat racun yang terkandung di dalamnya. Zat racun tersebut telah mencemari lingkungan fisik seperti tanah dan air, matinya serangga berpengaruh negatif terhadap kehidupan fauna di lahan pertanian, serta berbahaya bagi kesehatan manusia baik secara langsung melalui kontak fisik saat melakukan penyemprotan maupun secara tidak langsung melalui residu zat racun tersebut di dalam hasil pertanian (Suhartini et al. 2006)

(14)

2

tersebut. Menurut Salikin (2003), petani telah meyakini dengan menggunakan pupuk buatan dan input buatan pabrik yang lainnya cenderung meningkatkan hasil produksi secara signifikan. Oleh karenanya, proses produksi pun menjadi sangat tergantung kepada ketersediaan dan pemakaian bahan-bahan kimia tersebut. Ketiga, krisis-kirisis sebelumnya menimbulkan pengaruh lanjutan terhadap sikap, pola tanam, dan cara pandang petani terhadap lingkungannya. Pertanian non organik yang berfokus pada komoditas tunggal dengan pola tanam yang seragam atau monocultur menekankan pada maksimalisasi komoditas tertentu dan bukan pada produksi pertanian secara keseluruhan. Hal ini dapat menyebabkan tumbuhan saling bersaing dengan tanaman lain yang dibudidayakan, untuk mendapatkan air, unsur hara, dan cahaya, yang juga dianggap sebagai gulma. Selain itu, pertanian non organik menitikberatkan petani pada produktivitas jangka pendek yang menyebabkan petani menggunakan bahan-bahan kimia untuk mempercepat produksi dan pada akhirnya mengesampingkan dampak lingkungan dalam jangka panjang (Reijntjes et al. 1994).

Dari berbagai krisis yang terjadi menuntut petani untuk menciptakan sistem pertanian yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan untuk mengatasi permasalahan yang diakibatkan oleh teknologi Revolusi Hijau. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah menuju pertanian yang berkelanjutan, yaitu melalui sistem pertanian organik. Pertanian berkelanjutan lebih dikenal dengan istilah LEISA (Low External Input Sustainable Agriculture) atau LISA (Low Input Sustainable Agriculture), yaitu sistem pertanian yang berupaya meminimalkan penggunaan input (benih, pupuk kimia, pestisida, dan bahan bakar) dari luar ekosistem, yang dalam jangka panjang dapat membahayakan kelangsungan hidup sistem pertanian (Salikin 2003).

Sutanto (2000) mengungkapkan dalam bukunya bahwa istilah pertanian organik menghimpun seluruh pengertian yang dimiliki petani dan masyarakat yang secara serius dan bertanggung jawab menghindarkan bahan kimia dan pupuk yang bersifat meracuni lingkungan dengan tujuan memperoleh kondisi lingkungan yang sehat. Mereka juga berusaha untuk menghasilkan produksi tanaman yang berkelanjutan dengan cara memperbaiki kesuburan tanah menggunakan sumber daya alami seperti mendaur ulang limbah pertanian. Dengan demikian pertanian organik merupakan suatu gerakan “kembali ke alam”. Lebih jauh lagi Sutanto (2000) mengemukakan bahwa apabila pertanian organik dilaksanakan dengan baik maka dengan cepat akan memulihkan tanah yang sakit akibat penggunaan bahan kimia pertanian. Hal ini terjadi apabila fauna tanah dan mikroorganisme yang bermanfaat dipulihkan kehidupannya, dan kualitas tanah ditingkatkan dengan pemberian bahan organik karena akan terjadi perubahan sifat fisik, kimia dan biologi tanah.

(15)

3 Hasil penelitian terdahulu menunjukkan adanya perbaikan kualitas lahan pertanian setelah menerapkan pertanian organik. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Putri (2011) menunjukkan bahwa secara ekonomi, hasil produksi padi menjadi lebih meningkat dan memiliki harga jual lebih tinggi dibandingkan dengan hasil produksi non organik. Secara ekologis, petani merasa dapat menjaga kesuburan tanah, dapat mencegah terjadinya polusi udara karena tidak menggunakan pestisida kimia, mengurangi pencemaran air di lingkungan sekitar, serta tidak membunuh tanaman atau hewan di sekitarnya. Dalam lingkungan sosial, setelah bertani organik, petani merasa bangga karena mampu meningkatkan prestige diri mereka dari yang sebelumnya hanya petani yang dikenal miskin dan bodoh. Sekarang, dapat menjadi petani yang dikenal sebagai sosok yang sangat berperan dalam menjaga kelestarian lingkungan dan menjaga keamanan pangan konsumen. Kemudian, Widiarta (2011) menambahkan bahwa meskipun usahatani organik membutuhkan biaya input produksi rata-rata per musim yang lebih besar daripada usahatani non organik, tetapi penerimaan usahatani organik jauh lebih besar daripada usahatani non organik, sehingga keuntungan rata-rata usahatani organik per musim pun lebih besar dibandingkan usahatani non organik.

Pertanian organik bisa dikatakan bahwa secara ekologis bersifat sustainable atau berkelanjutan. Namun demikian, untuk mengembangkan pertanian organik secara luas tidaklah mudah. Dalam pemupukan misalnya, sulit untuk mengubah kebiasaan petani yang sudah terbiasa selama puluhan tahun menggunakan pupuk kimia yang praktis dan bereaksi cepat terhadap pertumbuhan tanaman. Demikian juga dalam pengendalian hama, petani sudah terbiasa memusnahkan hama dengan cara menyemprot dengan pestisida kimia yang bereaksi cepat dalam membunuh hama. Suatu hal yang tidak mudah bagi petani untuk sama sekali tidak menggunakan pestisida kimia dalam pengendalian hama dan beralih ke pengendalian hama secara hayati tanpa pestisida kimia (Suhartini et al. 2006).

Masih sedikitnya petani yang mau beralih ke pertanian organik dapat ditunjukkan dari hasil penelitian-penelitian terdahulu. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Widiarta (2011) di Desa Ketapang menunjukkan bahwa meskipun pertanian organik terbukti lebih menguntungkan secara ekonomi, namun dari 372 petani hanya 14 orang petani yang menerapkan pertanian organik. Begitu pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Khairina (2006) di Desa Citeko. Dari 100 petani, hanya 10 orang petani yang menerapkan pertanian organik. Berbagai hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa masih sedikit petani yang mau beralih dari sistem pertanian non organik ke sistem pertanian organik.

(16)

4

Motivasi intrinsik adalah dorongan yang berasal dari dalam diri seseorang. Mengingat sikap merupakan proses yang terbentuk dari dalam diri individu, maka diduga bahwa sikap mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik.

Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa sikap mempengaruhi perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik adalah dari penelitian yang dilakukan oleh Karami et al. (2008). Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa, petani yang memiliki sikap yang tinggi cenderung menerapkan sistem pertanian yang lebih berkelanjutan. Dengan mengkaji apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik, dapat membantu menumbuhkan sikap petani yang lain agar mau menerapkan pertanian organik karena sikap dapat diperteguh atau dirubah. Akan tetapi, masih sedikit penelitian-penelitian sebelumnya yang meneliti faktor-faktor sikap yang mempengaruhi petani dalam penerapan pertanian organik. Sehubungan dengan itu maka dirasa perlu untuk melakukan penelitian untuk melihat faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi sikap petani dalam menerapkan pertanian organik.

Perumusan Masalah

Munculnya pertanian organik sebenarnya bukanlah hal yang baru di kalangan petani. Pertanian organik atau pertanian tradisional sebenarnya sudah dikenal oleh petani jauh sebelum penerapan pertanian modern yang sarat dengan bahan-bahan kimia. Penggunaan bahan-bahan kimia di kalangan petani diketahui meningkatkan hasil produksi dan membunuh hama lebih cepat. Petani cenderung hanya mengejar hasil yang bersifat jangka pendek saja tanpa memperhitungkan dampak jangka panjang. Hal ini mempengarui sikap petani terhadap alam sekitarnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Rukka (2003) di Desa Purwasari menunjukkan bahwa terdapat 74 persen dari 50 responden yang masih menggunakan pupuk kimia murni dengan anggapan produksi akan menurun jika tidak diberi pupuk kimia. Anggapan bahwa bahan-bahan kimia sangat mempengaruhi peningkatan produksi hasil pertanian mengenyampingkan akan dampak negatif dari penggunaan bahan-bahan kimia tersebut. Jika petani terus mempertahankan sikap yang positif terhadap pemakaian bahan-bahan kimia, sedangkan kerusakan lingkungan yang diakibatkan pemakaian bahan-bahan kimia semakin kritis maka dampak yang akan terjadi di masa yang akan datang akan semakin parah dan semakin tidak mudah untuk memperbaiki alam yang telah rusak.

Sikap mempengaruhi tingkah laku seseorang. Sikap timbul dari pengalaman. Tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah (Sears et al. 1985). Apabila sikap mempengaruhi tingkah laku seseorang, menjadi sangat menarik untuk meneliti faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi sikap yang dimiliki oleh petani terhadap penerapan organik. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana sikap petani terhadap penerapan pertanian organik?

(17)

5 3. Faktor-faktor apa sajakah yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan

pertanian organik?

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

2. Menganalisis perbedaan sikap terhadap penerapan pertanian organik pada petani organik, petani semi organik, dan petani non organik.

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

Manfaat Penelitian

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi seluruh kalangan baik bagi sivitas akademika, masyarakat umum, maupun bagi pemerintah. Adapun manfaat yang diperoleh dari masing-masing pihak adalah sebagai berikut:

1. Sivitas akademik

Bagi sivitas akademik, penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan tentang pertanian organik. Lebih jauh, peneltian ini berupaya memaparkan pengaruh sikap terhadap penerapan pertanian organik pada perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahan literatur dan menjadi landasan bagi penelitian lebih lanjut mengenai sikap dan perilaku petani dalam menerapkan pertanian organik.

2. Petani

Bagi petani, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan petani mengenai pertanian organik.

3. Pemerintah

(18)
(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Pertanian Organik

Sutanto (2000) mengemukakan bahwa pertanian organik ialah sistem produksi pertanaman yang berasaskan daur ulang hara secara hayati. Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan “hukum pengembalian (low of return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan memberi makan pada tanaman. Sutanto menjelaskan lebih jauh lagi bahwa filosofi yang melandasi pertanian organik adalah mengembangkan prinsip-prinsip memberi makan pada tanah yang selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman (feeding the soil that feeds the plans), dan bukan memberi makan langsung pada tanaman.

Menurut Departemen Pertanian dan Kehutanan (2002) yang dikutip oleh Khairina (2006) pertanian organik adalah sebagai usaha budidaya pertanian yang hanya menggunakan bahan-bahan alami, baik yang diberikan melalui tanah maupun yang langsung kepada tanaman budidaya. Praktek pertanian organik dilakukan dengan cara: (1) menghindari penggunaan benih atau bibit hasil rekayasa genetika; (2) menghindari penggunaan pestisida sintetis; (3) menghindari penggunaan zat pengatur tumbuh; (4) menghindari penggunaan hormon tumbuh dan bahan aditif sintetis dalam makanan ternak.

Widiarta (2011) mendefinisikan bahwa pertanian organik merupakan suatu sistem usahatani yang mengelola sumber daya alam secara bijaksana dan holistik untuk memenuhi kebutuhan manusia khususnya pangan, dengan memanfaatkan bahan-bahan organik secara alami sebagai input dalam pertanian tanpa input luar tinggi yang bersifat kimiawi, dan dikembangkan sesuai budaya lokal setempat, sehingga mampu menjaga keseimbangan aspek lingkungan, ekonomi, sosial budaya, serta mendorong terwujudnya fair trade bagi petani secara berkelanjutan. Widiarta menambahkan, filosofi pertanian organik adalah siklus kehidupan menurut hukum alam, kembali ke alam, selaras dengan alam, melayani alam secara ikhlas, utuh, holistik, sehingga alam pun akan memberikan hasil peroduksi pertanian yang maksimal kepada manusia. Jadi, hubungan ini bersifat timbal balik.

Kemudian Khairina (2006) menyatakan bahwa konsep awal pertanian organik yang ideal adalah menggunakan seluruh input yang berasal dari dalam pertanian organik itu sendiri, dan membatasi input dari luar. Sementara itu, Indriana (2010) yang berpendapat bahwa sistem pertanian organik meliputi cara produksi yang didasarkan pada prasyarat yakni meminimalisasi penggunaan input eksternal atau zat-zat kimia sintetis, menghindari penggunaan benih atau bibit rekayasa genetik, menggunakan input yang dapat didaur ulang dan memanfaatkan pengetahuan lokal setempat.

(20)

8

dari sistem usaha tani konvensional ke sistem usaha tani yang seimbang secara ekonomis, ekologis, dan sosial memerlukan suatu proses transisi, yaitu penyesuaian terhadap perubahan yang dilakukan secara sadar untuk membuat sistem usaha tani lebih seimbang dan berkelanjutan. Transisi berhubungan dengan tenaga kerja, lahan atau uang dan pengambilan resiko, sehingga dibutuhkan strategi yang sesuai dengan kondisi lahan pertaniannya. Dukungan, kepercayaan diri, dan imaginasi, serta perbaikan pemasaran dan kebijakan harga yang cocok sangat diperlukan petani di dalam proses transis ini.

Adapun prinsip-prinsip pertanian organik menurut IFOAM dalam Indriana (2010) didasarkan pada: (1) Prinsip Kesehatan, (2) Prinsip Ekologi, (3) Prinsip Keadilan, (4) Prinsip Perlindungan. Prinsip-prinsip ini harus digunakan secara menyeluruh dan dibuat sebagai prinsip-prinsip etis yang mengilhami tindakan. Lebih lanjut lagi IFOAM mengemukakan bahwa pertanian organik bertujuan untuk: (1) menghasilkan produk pertanian yang berkualitas dengan kuantitas memadai, (2) membudidayakan tanaman secara alami, (3) mendorong dan meningkatkan siklus hidup biologis dalam ekosistem pertanian, (4) memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah jangka panjang, (5) menghindarkan seluruh bentuk cemaran yang diakibatkan penerapan teknik pertanian, (6) memeliharan keragaman genetik sistem pertanian dan sekitarnya, dan (7) mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis yang lebih luas dalam sistem usaha tani.

Pertanian organik memiliki beberapa keungguluan seperti menjamin kelangsungan ekosistem pertanian, biaya produksi lebih hemat dengan harga jual yang lebih tinggi, produknya lebih sehat, menjamin keberlanjutan, turut membangun kemandirian petani, dan berperspektif gender. Jadi, pertanian organik memberi manfaat baik dari aspek ekologi, sosial, budaya, dan ekonomi (Indriana 2010). Sementara itu, Salikin (2003) mengemukakan bahwa sistem pertanian organik paling tidak memiliki tujuh keunggulan dan keutamaan sebagai berikut: Orisinil, rasional, global, aman, netral, internal, kontinuitas.

Kegunaan budidaya organik pada dasarnya ialah meniadakan atau membatasi kemungkinan dampak negatif yang ditimbulkan oleh budidaya kimiawi. Pupuk organik dan pupuk hayati mempunyai berbagai keunggulan nyata dibanding dengan pupuk kimia. Pupuk organik dengan sendirinya merupakan keluaran setiap budidaya pertanian, sehingga merupakan sumber unsur hara makro dan mikro yang dapat dikatakan cuma-cuma. Pupuk organik dan pupuk hayati berdaya ameliorasi ganda dengan bermacam-macam proses yang saling mendukung bekerja menyuburkan tanah dan sekaligus mengkonversikan dan menyehatkan ekosistem tanah serta menghindarkan kemungkinan terjadinya pencemaran lingkungan (Rukka 2003). Tabel 1 menyajikan perbandingan konsep penerapan pertanian organik dengan penerapan pertanian konvensional.

(21)

9 Tabel 1 Perbandingan anatomi konsep pertanian organik dan konvensional

Uraian Pertanian Organik Pertanian Konvensional yang dapat merusak kesuburan tanah

Menggunakan alat-alat semi sampai full mekanis dalam setiap tahap pekerjaan

Bibit Berasal dari varietas bibit-bibit lokal

Berasal dari bibit unggu, hibrida, dan transgenik (transformasi gen) Pola tanam Ditanam secara tumpangsari,

pergiliran tanaman, dan sebagainya (mix cropping)

Monokultur (satu jenis tanaman pada satu hampar lahan)

Pengairan Sederhana dan berkelanjutan Mekanis, Sehingga

mempercepat pengurasan air yang tersedia pada lahan Bentuk fisik

tanaman

kokoh, tidak mengandung banyak air

Lemah, mengandung banyak air, sehingga mudah diserang hama dan penyakit

Umur tanaman Panjang Pendek

Pertumbuhan Agak lambat, karena tumbuh secara alami

cepat tumbuh

Resistensi hama penyakit

Tahan hama dan penyakit Mudah diserang hama dan penyakit

Pemupukan Menggunakan bahan-bahan kimia organis (asli dan mudah terurai mengandung gizi yang seimbang, tahan disimpan lama, dan

Sumber: Data perbandingan antara pertanian organik dan konvensional berdasarkan pada pengalaman dari petani-petani organik yang menjadi rekan PAN Indonesia. Jakarta, 15 Maret 2000, dalam Widiarta (2011)

Penerapan Pertanian Organik

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991) penerapan adalah suatu proses, cara, atau perbuatan menerapkan. Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini, yaitu penerapan pertanian organik, beberapa prinsip dalam budidaya pertanian organik dengan pola System Rice Intensification (SRI) diantaranya (Sutanto 2000):

(22)

10

pintu masuk dan keluarnya air agar tanah dan unsur hara tidak terbawa hanyut. Setelah perataan tanah selesai, dibuat saluran air tengah dan saluran air di pinggir di sekeliling pematang.

2. Persiapan benih/persemaian, merupakan kegiatan yang disesuaikan dengan kebutuhan dan pola tanam yang akan digunakan seperti:

a) Persemaian dilakukan pada baki/pipiti/bak kecil yang terbuat dari kayu. b) Benih = 10-15 kg/ha, benih bukan berasal dari hasil rekayasa dan tidak

diperlakukan dengan bahan kimia sintetik ataupun zat pengatur tumbuh dan bahan lain yang mengandung zat aditif.

c) Media = campuran tanah dengan pupuk organik dengan perbandingan 1:1. d) Umur persemaian = 8-10 Hari Setelah Semai (HSS).

3. Penanaman, merupakan kegiatan dimana benih padi di tanam di lokasi dengan rincian sebagai berikut:

a) Umur benih = 8-10 Hari Setelah Semai (HSS). b) Jumlah tanam/lubang = 1 batang/tunas.

c) Jarak tanam yang disesuaikan dengan kebutuhan setempat (20 cm × 20 cm, 22,5 cm × 22,5 cm, 25 cm × 25 cm).

d) Dianjurkan untuk menggunakan tanam sistem legowo 2:1, 3:1, atau 4:1. 4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman, merupakan kegiatan untuk menekan

kerusakan dan kehilangan hasil, dengan rincian sebagai berikut: a) Program rotasi tanaman yang sesuai.

b) Perlindungan musuh alami hama melalui penyediaan habitat yang cocok (yang bertujuan agar hama tersebut tidak memakan tanaman padi petani, namun akan memakan tanaman lainnya), seperti pembuatan pagar hidup dan tempat sarang, zona penyangga ekologi yang menjaga vegetasi asli dari hama predator setempat.

c) Pemberian musuh alami, termasuk pelepasan predator dan parasit. d) Penggunaan pestisida nabati dan bahan alami lainnya.

e) Pengendalian mekanis, seperti penggunaan perangkap, penghalang cahaya dan suara.

5. Pemeliharaan tanaman merupakan kegiatan mempertahankan kelembaban tanah, yaitu dengan mengatur pemberian air dengan menggunakan saluran pengairan keliling pematang dan saluran bedengan, sehingga keadaan tanah tidak tergenang. Serta, pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) yang tidak menggunakan bahan kimia sintetik, tetapi berupa pengaturan sistem budidaya, pestisida nabati dan bahan alami lainnya.

6. Panen merupakan kegiatan dimana pengelolaan produk harus dipisah dari produk non organik (jika di sekitar produk organik terdapat produk non organik) dan tidak menggunakan bahan yang mengandung zat aditif.

Widiarta (2011) menjelaskan bahwa praktik pertanian organik secara umum, tidak jauh berbeda dengan praktik pertanian konvensional. Namun, ada beberapa variabel yang menjadi perhatian utama apakah sistem pertanian tersebut dikategorigakan sebagai pertanian organik atau bukan, yaitu:

1. Lahan pertanian harus dikonversi dari lahan non organik menjadi organik tanpa tercemar bahan kimia sintetik selama ≥ 3 tahun.

2. Menggunakan pupuk organik.

(23)

11 4. Pengendalian hama dan penyakit tanaman dengan menggunakan pestisida

organik

5. Lahan dan sumber air irigasi untuk pertanian organik harus dipisahkan dari pertanian konvensional.

Lebih jauh lagi Widiarta dalam hasil penelitiannya mengungkapkan beberapa variabel diatas merupakan variabel sensitif yang telah banyak disyaratkan dalam pertanian organik dan telah dilaksanakan oleh petani organik di Desa Ketapang.

Sementara itu, Putri (2011) mengemukakan bahwa terdapat beberapa unsur teknologi pada penerapan inovasi pertanian organik, seperti:

1. Penggunaan pupuk organik dengan dosis rata-rata 7 000 kg/ha, 2. Keadaan air yang macak-macak

3. Media tanam yang menggunakan campuran tanah dan pupuk organik dengan perbandingan 1:1

4. Benih padi yang bukan hasil rekayasa dan tidak mengandung bahan kimiawi sebanyak 10-15 kg/ha

5. Umur benih muda (8-10 Hari Setelah Semai/HSS),

6. Jumlah tanam= 1 batang/tunas, jarak tanam yang dianjurkan (20 cm X 20 cm; 22.5 cm X 22.5 cm; atau 25 cm X 25 cm),

7. Sistem tanam legowo (2:1, 3:1, atau 4:1), 8. Penggunaan pestistida nabati,

9. Memisahkan hasil produk organik dan non organik.

Semakin petani menerapkan beberapa prinsip penting di atas, maka penerapan pertanian yang dilakukan akan makin mengarah pada penerapan pertanian organik.

Dari berbagai definisi yang telah diuraikan, maka penerapan pertanian organik dalam penelitian ini adalah cara bercocok tanam yang dilakukan dengan cara bertahap. Tahap pertama, dalam proses pemupukkan dan pengendalian hama masih dicampur dengan bahan-bahan kimia dalam jumlah yang sedikit. Pada tahap kedua, proses pemupukkan dan pengendaluan hama hanya menggunakan bahan-bahan yang berasal dari bahan-bahan organik tanpa dicampur bahan-bahan kimia. Serta, dalam pembibitan hanya menggunakan bibit padi varietas lokal.

Petani Pertanian Organik

Menurut Shinta (2011), petani adalah setiap orang yang melakukan usaha untuk memenuhi sebagian atau seluruh kebutuhan hidupnya di bidang pertanian dalam arti luas yang meliputi usahatani pertanian, peternakan, perikanan dan pemungutan hasil laut. Sehingga secara umum petani adalah mereka yang bercocok tanam dan tinggal di pedesaan.

Lebih lanjut lagi, Rukka (2003) mengungkapkan bahwa petani pertanian organik ialah petani yang dalam upaya bercocok tanam padi sawahnya dilakukan dengan cara tidak menggunakan bahan-bahan kimia atau mengurangi pupuk dan pestisida kimia pada lahannya. Fuady (2010) berpendapat bahwa petani pertanian organik ialah petani yang dalam mempraktekan usahataninya dilakukan dengan cara mempraktekan penanaman polikultur, rotasi tanaman, penggunaan bibit lokal, pemanfaatan pupuk organik, pengendalian hama dengan pestisida organik, pemanenan dan penangan pascapanen menggunakan bahan-bahan organik.

(24)

12

pertanian organik yang murni diperlukan waktu yang cukup sebagai masa transisi atau masa konversi. Pada awalnya dimulai dengan cara pengurangan penggunaan pupuk kimia dan pestisida kimia yang disertai dengan penambahn bahan organik ke dalam tanah. Selanjutanya pemupukan masih tetap menggunakan pupuk kimia dengan jumlah yang semakin sedikit namun tanpa pestisida kimia sama sekali atau bisa disebut sebagai pertanian semi organik. Tahap selanjutnya adalah organik murni yaitu tanpa pupuk kimia dan pestisida kimia. Sedangkan Indriana (2010) mengemukakan bahwa tahapan-tahapan yang dilakukan petani dalam budidaya organik ialah meliputi aktivitas pengadaan benih, perlakuan benih, pembuatan persemaian, pengolahan/persiapan lahan, penanaman, pengaturan air, pemeliharaan tanaman, pengendalian hama dan penyakit tanaman, panen. Dimana kesemua tahapan dalam prosesnya menggunakan bahan-bahan organik.

Kemudian Rukka (2003) berpendapat bahwa usahatani organik yang dilakukan oleh petani dengan cara tidak menggunakan bahan-bahan kimia atau mengurangi pupuk dan pestisida kimia pada lahan usahataninya. Kemudian Fuady (2011) mengemukakan bahwa dalam mempraktekkan budidaya organik petani hanya memanfaatkan sumberdaya lokal dalam proses penanaman polikultur, rotasi tanaman, pembibitan, pemupukkan, penyiraman dan penyiangan, pengendalian hama penyakit, dan pemanenan. Sedangkan Khairina (2006) menyatakan bahwa yang dapat membedakan petani organik dengan petani konvensional dilihat dari faktor produksi yang digunakan, seperti pembibitan, penggunaan pupuk, obat-obatan, dan tenaga. Dimana petani organik menggunakan bahan-bahan input yang berasal dari pertanian organik itu sendiri dan membatasi input dari luar. Begitu pula dengan yang disampakan oleh Karami et al. (2007) yang berpendapat bahwa praktek yang dilakukan oleh petani ekologis mencakup penggunaan pupuk hijau, rotasi tanaman, pengendalian gulma secara non-kimia, dan pengendalian hama secara alami.

Dari berbagai definisi yang telah diurakan, penulis merumuskan bahwa petani pertanian organik adalah petani yang dalam cara berocok tanamnya dilakukan secara bertahap dalam cara produksinya dengan meminimalisir penggunaan bahan kimia sintetis hingga tidak menggunakannya sama sekali dan beralih menggunakan bahan-bahan input, seperti pupuk, pengendali hama, dan benih yang berasal dari sumber daya lokal.

Sikap

Sarwono (2010) mengemukakan dalam bukunya bahwa sikap adalah pencerminan rasa senang, tidak senang atau perasaan biasa-biasa saja (netral) dari seseorang bisa terhadap benda, kejadian, situasi orang atau kelompok. Adapun Rahmat (2005) mengemukakan lima hal yang berkaitan dengan sikap, yaitu: 1. Sikap adalah kecenderungan bertindak, berpersepsi, berpikir, dan merasa

dalam menghadapi objek, ide situasi atau nilai. Sikap bukan perilaku, tetapi kecenderungan untuk berperilaku dengan cara-cara tertentu terhadap objek sikap. Objek sikap boleh berupa benda, orang, tempat, gagasan atau situasi, atau kelompok.

(25)

13 terhadap sesuatu; menentukan apa yang disukai, diharapkan, dan diinginkan, mengesampingkan apa yang tidak diinginkan, apa yang harus dihindari.

3. Sikap lebih menetap. Berbagai studi menunjukkan sikap politik kelompok cenderung dipertahankan dan jarang mengalami perubahan.

4. Sikap mengandung aspek evaluatif: artinya mengandung nilai menyenangkan atau tidak menyenangkan.

5. Sikap timbul dari pengalaman: tidak dibawa sejak lahir, tetapi merupakan hasil belajar. Karena itu sikap dapat diperteguh atau diubah.

Kemudian Gerungan (2004) mengungkapkan bahwa Sikap dapat juga diterjemahkan sebagai sikap terhadap objek tertentu yang dapat merupakan sikap pandangan atau sikap perasaan tetapi sikap tersebut disertai dengan kecenderungan untuk bertindak sesuai sikap objek itu. Jadi, sikap bisa diterjemahkan dengan tepat sebagai sikap dan kesediaan beraksi terhadap suatu hal. Sikap senantiasa terarahkan kepada sesuatu hal, objek. Tidak ada sikap tanpa ada objeknya

Atkinson et al. (1983) menyatakan bahwa sikap meliputi rasa suka dan tidak suka, mendekati atau menghindari situasi, benda, orang, kelompok, dan aspek lingkungan yang dapat dikenal lainnya, termasuk gagasan abstrak dan kebijakan sosial. Selain itu, Sears et al. (1985) mengungkapkan bahwa sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang bersifat menetap dengan komponen-komponen kognitif, afektif, dan perilaku. Di dalam bukunya, Walgito memaparkan sikap sebagai organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek atau situasi yang relative ajeg, yang disertai adanya perasaan tertentu, dan memberikan dasar kepada orang tersebut untuk membuat respons atau berperilaku dalam cara yang tertentu yang dipilihnya. Sementara itu, Sarwono (2010) berpendapat bahwa sikap dinyatakan dalam tiga domain ABC, yaitu Affect, Behaviour, dan Cognitif. Affect adalah perasaan yang timbul(senang, tidak senang), Behaviour adalah perilaku yang mengikuti perasaan itu (mendekat, menghindar), dan Cognitif adalah penilaian terhadap objek sikap (bagus, tidak bagus).

Menurut Azwar (2003), ketiga komponen sikap itu disebut sebagai struktur sikap. Ketiga komponen itu yaitu:

1. Komponen kognitif

Aspek sikap yang berkenaan dengan penilaian individu terhadap obyek atau subyek. Informasi yang masuk ke dalam otak manusia, melalui proses analisis, sintesis, dan evaluasi akan menghasilkan nilai baru yang akan diakomodasi atau diasimilasikan dengan pengetahuan yang telah ada di dalam otak manusia. Nilai – nilai baru yang diyakini benar, baik, indah, dan sebagainya, pada akhirnya akan mempengaruhi emosi atau komponen afektif dari sikap individu.

2. Komponen Afektif

Merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional. Aspek emosional inilah yang biasanya berakar paling dalam sebagai komponen sikap dan merupakan aspek yang paling bertahan terhadap pengaruh-pengaruh yang mungkin adalah mengubah sikap seseorang komponen afektif disamakan dengan perasaan yang dimiliki seseorang terhadap sesuatu.

(26)

14

Merupakan kecenderungan untuk bertindak atau untuk bereaksi terhadap sesuatu dengan cara-cara tertentu. Kecenderungan berperilaku secara konsisten, selaras dengan kepercayaan dan perasaan ini akan membentuk sikap individual.

Ketiga komponen tersebut mengorganisasikan sikap secara bersamaan. Apabila salah satu saja di antara ketiga komponen sikap tersebut tidak konsisten satu sama lain, maka akan terjadi ketidak–selarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap hingga konsistensi tersebut kembali tercapai. Sikap individu muncul akibat adanya proses tertentu yang bisa muncul dari dalam dan luar lingkungannya. Sikap terbentuk dari adanya interaksi dengan lingkungan sosialnya. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruhi perilaku manusia.

Dari berbagai definisi sikap yang telah dikemukakan, penulis menyimpulkan bahwa sikap adalah penilaian suka atau tidak suka, setuju atau tidak setuju pada objek tertentu, seperti orang, kelompok, kejadian, situasi, benda, dan memiliki komponen kognisi, afeksi, dan konasi.

Faktor-Faktor Pembentuk Sikap

Baron dan Byrne (2003) mengemukakan dalam bukunya Psikologi Sosial bahwa pembentukan sikap melalui proses pembelajaran sosial. Pembelajaran tersebut melibatkan classical conditioning, instrumental conditioning, atau pembelajaran melalui observasi (observational learnging). Sikap juga terbentuk berdasar pada perbandingan sosial (social comparison) dalam rangka menyerupai pandangan orang lain dan sering kali mempengaruhi sikap yang dimiliki. Penelitian yang dilakukan terhadap kembar identik menunjukkan bahwa sikap juga dipengaruhi oleh faktor genetik, walaupun besarnya pengaruh tersebut bervariasi untuk sikap yang berbeda.

Selain itu, Azwar (2003) berpendapat bahwa ada beberapa faktor yang dapat membentuk dan merubah sikap, diantaranya:

1.Pengalaman Pribadi

Pengalaman pribadi dapat menjadi dasar pembentukan sikap apabila pengalaman tersebut meninggalkan kesan yang kuat. Sikap akan lebih mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang melibatkan faktor emosional.

2.Kebudayaan

Kebudayaan dapat memberi corak pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya. Sebagai akibatnya, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap kita terhadap berbagai masalah.

3.Pengaruh orang lain yang dianggap penting

Individu pada umumnya cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap seseorang yang dianggap penting. Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk berafiliasi dan untuk menghindari konflik dengan orang yang dianggap penting tersebut.

4.Media Massa

Dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif berpengaruh terhadap sikap konsumennya.

(27)

15 Konsep moral dan ajaran dari lembaga pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan. Tidaklah mengherankan apabila pada gilirannya konsep tersebut mempengaruhi sikap.

6.Faktor emosional

Kadang kala, suatu bentuk sikap merupakan pernyataan yang didasari emosi yang berfungsi sebagai sebagai semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego.

Sementara itu, Sarwono S (2010) berpendapat bahwa pembentukan sikap terjadi melalui suatu proses tertentu, melalui kontak sosial terus-menerus antarindividu-individu lain di sekitarnya. Dalam hubungan ini, faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap adalah:

1.Faktor internal

Faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti faktor pilihan. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan-kecenderungan dalam diri seseorang. Karena harus memilih, seseorang harus menyusun sikap positif terhadap suatu hal dan membentuk sikap negatif terhadap hal lain.

2.Faktor eksternal

Pembentukan sikap yang tentukan oleh faktor-faktor yang berada di luar diri seseorang, yaitu:

a) Sifat objek, sikap itu sendiri, bagus, atau jelek dan sebagainya. b) Kewibawaan

c) Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut d) Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap e) Situasi pada saat sikap itu dibentuk

Tidak semua faktor harus dipenuhi untuk membentuk suatu sikap. Satu atau dua faktor sudah cukup. Akan tetapi, makin banyak faktor yang ikut mempengaruhi, semakin cepat sikap dapat terbentuk (Sarwono S 2010).

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa sikap dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal sikap terdiri dari pengalaman pribadi, pemahaman mengenai objek sikap, dan faktor emosional individu. Faktor eksternal sikap terdiri dari kebudayaan, pengaruh orang lain yang dianggap penting, media massa, situasi pada saat sikap itu dibentuk.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Sikap Petani terhadap Penerapan Pertanian Organik

Petani yang menerapkan pertanian organik diduga memiliki sikap yang positif terhadap pertanian organik. Fokus penelitian ini adalah mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Berbagai faktor yang diduga mempengaruhi sikap petani dalam menerapkan pertanian organik adalah sebagai berikut:

Pendidikan Formal

(28)

16

tinggi tingkat pendidikan formal petani, semakin besar pula adopsi pupuk organik. Pendidikan pada dasarnya adalah suatu proses seseorang mampu berpikir lebih maju dan rasional. Semakin tinggi pendidikan seseorang menyebabkan seseorang mampu berpikir sustainable farming lebih jauh ke depan. Petani yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung memiliki pandangan yang baik terhadap pemanfaatan bahan organik secara berkelanjutan. Pendidikan merupakan suatu proses pembentukan watak seseorang sehingga memperoleh pengetahuan, pemahaman, dan cara bertingkah laku. Semakin tinggi pendidikan yang ditempuh, maka itu artinya semakin lama pula waktu yang perlu untuk ditempuh. Lamanya seseorang menghabiskan waktunya untuk mengenyam pendidikan berpengaruh kepada pengetahuan yang ia peroleh.

Dari uraian di atas, maka yang dimaksud pendidikan formal dalam penelitian ini adalah jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki oleh responden yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah pertama, pendidikan menengan atas, dan perguruan tinggi.

Pendidikan Non Formal

Pendidikan non formal menurut Undang-Undang No.20 Tahun 2003 adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstrukur dan berjenjang. Pendidikan non formal berfungsi mengembangkan potensi peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Satuan pendidikan non formal terdiri atas lembaga kursus, lembaga pelatihan kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Soekartawi (1986) menyatakan bahwa pengalaman kursus (pendidikan non formal) yang dimiliki seseorang akan mempengaruhi kecepatan dalam mengambil keputusan, karena dari kursus atau latihan pertanian yang diperoleh menambah pengetahuan, dan kecakapan dalam mengelola usahataninya.

Dari uraian diatas, maka yang dimaksud pendidikan non formal dalam penelitian ini adalah frekuensi atau banyaknya kursus/pelatihan yang pernah diikutin oleh responden, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah, swasta, maupun lembaga swadaya masyarakat.

Pengalaman

Mardikanto (1996) dalam Sunarti (2010) mengungkapkan bahwa pengalaman dalam melakukan kegiatan bertani tercermin dari kebiasaan-kebiasaan yang mereka (petani) terapkan dalam kegiatan bertani dan merupakan hasil belajar dari pengalamannya. Sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung seringkali memberikan pengaruh yang lebih kuat dari pada pengalaman tidak langsung atau pengalaman orang lain. Sikap yang terbentuk berdasarkan pengalaman langsung lebih mudah diingat (Baron dan Byrne 2003). Dengan pengalaman langsung terhadap objek sikap, individu akan lebih tepat memaknainya. Bila ia memiliki pengalaman yang menyenangkan dengan objek sikap, maka objek itu akan dimaknai positif. Namun bila ia memiliki pengalaman yang tidak mengenakan, maka objek itu akan dimaknai negatif (Reza 2007).

(29)

17 organik. Meskipun begitu, masih sedikit bukti penelitian yang menunjukkan bahwa tingkat pengalaman petani menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik. Dari uraian diatas, maka yang dimaksud pengalaman dalam penelitian ini adalah lamanya kegiatan bertani yang dialami oleh petani.

Kekosmopolitan

Kekosmopolitan adalah sifat keterbukaan (openess) petani yang selalu berusaha mencari informasi baru mengenai usahatani organik untuk meningkatkan motivasi mereka dalam hal menerapkan usahatani (Rukka 2003). Wiriaatmadja (1983) dalam Rukka (2003) menyatakan bahwa melalui sifat kosmopolit, dimungkinkan terjadinya peningkatan wawasan dan belajar di kalangan petani atas keberhasilan orang yang berada di luar daerahnya sehingga petani tersebut dapat terpacu, dan tanggap terhadap peluang pasar yang berpotensi dapat meningkatkan pendapatan dengan banyaknya output produksi yang dihasilkan. Petani yang saling bertukar pengalaman dan informasi, baik dengan petani lain maupun peneliti atau penyuluh, akan menambah pengetahuan mereka terhadap hal-hal baru dan mengganti pengetahuan lama dengan pengetahuan yang baru. Masih sedikitnya bukti penelitian yang menunjukan bahwa kekosmopolitan mempengaruhi sikap petani. Sehingga peneliti berasumsi bahwa diduga kekosmopolitan mempengaruhi pembentukan sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

Dari uraian pemaparan di atas, maka yang dimaksud dengan kekosmopolitan dalam penelitian ini adalah sifat keterbukaan petani dalam mencari sumber informasi baru mengenai pertanian. Sumber informasi tersebut diperoleh baik dari dalam sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain yang masih di dalam satu desa dan penyuluh) maupun dari luar sistem sosial petani (ke sesama petani dari kelompok tani lain di luar desa dan lembaga pertanian), serta media massa (koran, majalah, radio, televisi).

Kepemilikan Modal

Rukka (2003) menyatakan bahwa modal usaha merupakan faktor penunjang utama dalam kegiatan produksi pertanian. Tanpa modal yang memadai sulit bagi petani untuk mengembangkan usahatani hingga mencapai produksi yang optimal dan keuntungan yang maksimal. Modal diartikan sebagai persediaan (stok) barang-barang dan jasa yang tidak segera digunakan untuk konsumsi, namun digunakan untuk meningkatkan volume konsumsi di masa mendatang melalui proses produksi. Pembentukan modal diartikan sebagai suatu proses beberapa bagian pendapatan yang ada disisihkan atau diinvestasikan untuk memperbesar output dikemudian hari.

(30)

18

seharusnya penerapan pertanian organik tidak memerlukan banyak biaya produksi. Namun demikian, Widiarta (2011) menjabarkan bahwa biaya input pada petani organik lebih tinggi dibandingkan dengan petani non organik. Hal ini dikarenakan mahalnya harga bibit lokal dan tingginya biaya tenaga kerja tambahan. Oleh karena itu, diduga tingkat kepemilikan modal mempengaruhi faktor pembentukan sikap pada petani.

Dari yang telah dijabarkan di atas, maka yang dimaksud kepemilikan modal dalam penelitian ini adalah barang (berupa uang, kerbau, dan traktor) dan jasa (berupa tenaga kerja) yang dimiliki petani yang digunakan petani untuk membantu kelancaran proses produksi selama satu musim tanam.

Akses terhadap Sarana Produksi

Penerapan pertanian organik menggunakan sarana produksi, seperti pupuk dan pengendali hama alami, serta bibit lokal. Tersedianya sarana produksi merupakan salah satu faktor penting dalam bercocok tanam. Tanpa sarana produksi, hasil produksi tidak dapat dicapai secara optimal dan mempengaruhi pada kualitas produk. Dari penelitian Widiarta (2011), salah satu alasan petani non organik masih ragu dalam menerapkan pertanian organik karena petani tidak yakin dapat menyediakan pupuk kandang dan pupuk cair sendiri dalam jumlah yang cukup besar untuk kebutuhan lahan pertanian mereka. Diduga semakin petani mudah mendapatkan sarana produksi, maka semakin positif sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

Dari uraian di atas, maka yang dimaksud akses terhadap sarana produksi dalam penelitian ini adalah kemudahan yang dirasakan petani dalam mendapatkan dan mengolah sarana produksi berupa pupuk organik, pengendali hama alami, dan bibit lokal.

Nilai-Nilai Kelompok

Prasetyo (2011) memaparkan arti dari nilai menurut para ahli adalah sebagai berikut:

1. Nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya diantara cara-cara tindakan alternatif.

2. Gordon Allport mendefinisikan nilai adalah keyakinan yang membuat seseorang bertindak atas dasar pilihannya.

3. Kluckhohn mengemukakan nilai sebagai konsepsi dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir tindakan.

4. Mulyana berpendapat bahwa nilai adalah rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa nilai adalah sesuatu yang dianggap penting, baik dan berharga. Dalam nilai terkandung sesuatu yang ideal, harapan yang dicita-citakan untuk kebajikan. Di dalam menilai, terdapat proses menimbang, kegiatan menghubungkan sesuatu dengan yang lain dan kemudian mengambil keputusan.

(31)

19 dilakukan Rukka (2003) menunjukkan bahwa penerapan pertanian organik dapat diterima petani dikarenakan memiliki kesesuaian dengan nilai-nilai yang ada. Oleh karena itu, penelitian ini menduga bahwa nilai-nilai kelompok pada kelompok tani mempengaruhi sikap petani dalam penerapan pertanian organik.

Dari pemaparan di atas, maka yang dimaksud dengan nilai kelompok dalam penelitian ini adalah keyakinan yang dimiliki oleh petani dalam menentukan pilihan penerapan pertanian mereka yang dipengaruhi oleh kelompok. Berdasarkan uraian di atas maka diduga bahwa tingkat pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman langsung, kekosmopolitan, kepemilikan modal, akses sarana produksi, dan nilai-nilai kelompok akan mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

Kerangka Pemikiran

Penerapan pertanian organik dapat dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah sikap. Sikap secara umum diartikan sebagai suatu kecenderungan yang dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk berperilaku. Sikap mengandung penilaian positif dan negatif yang dapat dilihat melalui tiga komponen, yaitu komponen kognisi, afeksi, dan konasi. Setiap individu memiliki tingkat kognisi, afeksi dan konasi yang berbeda-beda pada suatu objek. Adanya perbedaan sikap pada tiap individu juga dapat terbentuk dari interaksi dengan lingkungan sosialnya. Oleh karenanya, pada penelitian ini diduga ada perbedaan sikap terhadap petani organik, petani semi organik, dan petani non organik. Begitu banyak faktor-faktor internal dan eksternal dari dimensi masa lalu, saat ini, dan masa datang yang ikut mempengaruihi perilaku manusia. Pada penelitian ini, sikap petani diduga dipengaruhi oleh pendidikan formal, pendidikan non formal, pengalaman, kekosmopolitan, kepemilikan modal, akses terhadap sarana produksi, dan nilai-nilai kelompok petani.

(32)

20

Kekosmopolitan adalah keaktifan seseorang dalam mencari informasi. Petani yang aktif mencari informasi memungkinkan petani memperbaharui dan menambah pengetahuannya. Sehingga, diduga semakin tinggi kekosmopolitan petani, semakin positif sikapnya terhadap penerapan pertanian organik. Lalu, kepemilikan modal adalah barang atau jasa yang dimiliki petani yang dapat membantu kelancaran produksi pertanian. Dengan tersedianya modal yang dibutuhkan petani, memungkinkan petani mengembangkan usahataninya. Dengan demikian, diduga semakin tinggi tingkat kepemilikan modal petani, semakin positif sikapnnya terhadap penerapan pertanian organik.Kemudian, akses terhadap sarana produksi adalah kemudahan dalam mendapatkan dan membuat sarana produksi pertanian organik. Semakin petani merasakan adanya kemudahan dalam mendapatkan dan membuat sarana produksi, diduga semakin positif sikapnya terhadap penerapan pertanian organik. Selanjutnya, nilai-nilai kelompok adalah keyakinan, pandangan yang dimiliki oleh petani yang dipengaruhi oleh kelompok. Diduga, semakin tinggi nilai-nilai kelompok petani, semakin tinggi sikapnya.

Keterangan: : Mempengaruhi - - - - : Fokus Penelitian

Gambar 1 Kerangka analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi sikap petani terhadap penerapan pertanian organik

Hipotesis Penelitian

1. Diduga terdapat perbedaan sikap antara petani organik, semi organik, dan non organik terhadap penerapan pertanian organik.

1. Pendidikan Formal

2. Pendidikan Non Formal

3. Pengalaman 4. Kekosmopolitan 5. Kepemilikanmo

dal

6. Akses terhadap sarana produksi 7. Nilai-Nilai

Kelompok Tani

Sikap Petani

Terhadap Penerapan Pertanian Organik 1. Kognisi 2. Afeksi

3. Konasi Penerapan Pertanian

(33)

21 2. Diduga tingkat pendidikan formal berpengaruh nyata pada sikap petani

terhadap penerapan pertanian organik.

3. Diduga tingkat pendidikan non formal berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

4. Diduga tingkat pengalaman berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

5. Diduga tingkat kekosmopolitan berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

6. Diduga tingkat kepemilikan modal berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik.

7. Diduga tingkat akses terhadap sarana produksi berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik

8. Diduga tingkat nilai-nilai kelompok berpengaruh nyata terhadap sikap petani terhadap penerapan pertanian organik

Definisi Operasional

Definisi untuk masing-masing variabel adalah sebagai berikut:

1). Tingkat pendidikan formal adalah jenjang pendidikan terakhir yang dimiliki responden/petani. Indikator dari tingkat pendidikan formal yaitu:

Tidak sekolah : 1

SD : 2

SMP : 3

SMA : 4

Perguruan Tinggi : 5

2). Tingkat Pendidikan Non Formal adalah banyaknya kursus/pelatihan yang pernah diikuti oleh responden/petani sebanyak 4 kali dalam setahun, yang ditentukan menjadi:

Tidak pernah mengikuti : 1

1-2 kali : 2

3-4 kali : 3

> 4 kali : 4

3). Pengalaman bertani adalah lamanya petani bertani padi sawah dari awal bertani sampai wawancara penelitian ini dilakukan dengan indikator sebagai berikut:

< 3 tahun : 1

3-5 tahun : 2

6-10 tahun : 3

>10 tahun : 4

(34)

22

petani dalam mencari sumber informasi baru mengenai pertanian dan memiliki skor, yaitu:

Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2

Agak Setuju :3

Setuju :4

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Kekosmopolitan petani terhadap penerapan pertanian organik rendah,

dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 6≤x≤15 diberi kode 1

2. Kekosmopolitanpetani terhadap penerapan pertanian organik tinggi, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 16≤x≤24 diberi kode 2

5). Tingkat kepemilikan modal adalah barang dan jasa yang dimiliki responden/petani yang digunakan untuk membantu kelancaran proses produksi selama satu musim tanam. Modal dapat berasal dari milik sendiri, hasil menggadai, atau hasil pinjaman. Modal berupa barang, seperti kepemilikan uang, traktor atau kerbau. Kepemilikan jasa, seperti tenaga kerja yang digunakan. Tingkat kepemilikan modal diukur dengan pertanyaan tentang:

a) Kepemilikan lahan dengan pilihan jawaban yang memiliki skor: 1. Bagi Hasil

2. Sekap 3. Sewa

4. Milik Sendiri

b) Kepemilikan uang dengan pilihan jawaban yang memiliki skor berjenjang: 1. Bagi hasil

2. Pinjam 3. Gadai 4. Milik sendiri

c) Kepemilikan kerbau dengan pilihan jawaban yang memiliki skor berjenjang:

1. Tidak punya 2. Bagi hasil 3. Sewa

4. Milik sendiri

(35)

23 4. Anggota Keluarga

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Kepemilikan modal petani terhadap penerapan pertanian organik rendah,

dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 5≤x≤12 diberi kode 1

2. Kepemilikan modal petani terhadap penerapan pertanian organik tinggi, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 13≤x≤20 diberi kode 2

6). Akses terhadap sarana produksi adalah kemudahan dalam mendapatkan dan mengolah pupuk dan pengendali hama alami, serta bibit lokal, serta jarak tempuh dari tempat tinggal respon ke tempat sarana produksi tersedia. Akses terhadap sarana produksi diukur dengan memberikan respon atau tanggapan yang berkaitan dengan kemudahan dalam mendapatkan dan mengolah pupuk dan pengendali hama alami, serta bibit lokal, serta jarak tempuh dari tempat tinggal respon ke tempat sarana produksi tersedia. Perhitungan skor untuk setiap jawaban adalah sebagai berikut:

Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2

Agak Setuju :3

Setuju :4

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Aspek sarana produksi petani terhadap penerapan pertanian organik rendah,

dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval7≤x≤17 diberi kode 1

2. Aspek sarana produksi petani terhadap penerapan pertanian organik tinggi, dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 18≤x≤28 diberi kode 2

7). Nilai-nilai kelompok adalah keyakinan yang dimiliki oleh petani dalam menentukan pilihan penerapan pertanian mereka yang dipengaruhi oleh kelompok. Tingkat nilai-nilai kelompok diukur memberikan respon atau tanggapan yang berkaitan dengan nila-nilai kelompok. Kemudian responden diminta memberikan respon pada setiap butir pernyataan yang diajukan dengan jawaban setuju, agak setuju, kurang setuju, atau tidak setuju. Jawaban yang diberikan responden diberi skor sebagai berikut:

Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2

Agak Setuju :3

Setuju :4

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, petani akan digolongkan menjadi: 1. Nilai-nilai kelompok petani terhadap penerapan pertanian organik rendah,

dengan total skor aspek sarana produksi berada pada interval 4≤x≤10 diberi kode 1

(36)

24

8). Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik adalah kecenderungan responden/petani untuk suka atau tidak suka, mendukung atau tidak mendukung yang dilakukan oleh petani terhadap penerapan pertanian organik dalam hal pengetahuan (kognitif), perasaan suka atau tidak suka (afektif), dan kecenderungan bertindak (konatif) terhadap penerapan pertanian organik. Tingkat sikap petani terhadap penerapan pertanian organik diukur dengan memberikan respon atau tanggapan pernyataan positif maupun negatif mengenai penerapan pertanian organik.Kemudian responden diminta memberikan respon pada setiap butir pernyataan yang diajukan dengan jawaban setuju, agak setuju, kurang setuju, atau tidak setuju.

a) Kognisi adalah pengetahuan, persepsi dan keyakinan yang dimiliki petani terhadap penerapan pertanian organik. Terdapat 5 butir pernyataan mengenai kognisi petani terhadap pertanian organik dengan skor berjenjang.

b) Afeksi adalah perasaan emosional dan suasan hati yang dimiliki petani terhadap penerapan pertanian organik. Terdapat 5 butir pernyataan mengenai Afeksi petani terhadap pertanian organik dengan skor berjenjang.

c) Konasi adalah kecenderungan petani untuk melakukan suatu tindakan tertentu atau meniru dalam menerapkan pertanian organik. Terdapat 5 butir pernyataan mengenai kognisi petani terhadap pertanian organik dengan skor berjenjang.

Skor untuk 3 komponen sikap (kognisi, afeksi, konasi) untuk pernyataan positif adalah:

Tidak Setuju :1 Kurang Setuju :2

Agak Setuju :3

Setuju :4

Skor untuk pernyataan negatif adalah: Tidak Setuju :4

Kurang Setuju :3

Agak Setuju :2

Setuju :1

Berdasarkan jumlah skor yang diperoleh, sikap petani dikategorikan menjadi: 1. Sikap petani terhadap penerapan pertanian organik negatif, dengan skor

total sikap berada pada interval 15≤x≤37 diberi kode 1

(37)

METODE

Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan pada bulan April 2013 di Kabupaten Magelang yang merupakan salah satu sentra produksi beras organik di Indonesia. Seiring dengan meningkatnya permintaan beras organik di Kabupaten Magelang, pemerintah Kabupaten Magelang melalui Badan Pelaksana Penyuluhan dan Ketahanan Pangan (BP2KP) mulai mengembangkan produk beras organik. Pengembangan yang dilakukan dengan perluasan lahan seluas 600 ha di lima kecamatan. Kelima kecamatan tersebut adalah Kecamatan Sawangan, Kecamatan Bandongan, Kecamatan Kajoran, Kecamatan Salaman, dan Kecamatan Ngluwar1. Lokasi yang dipilih sebanyak dua kecamatan, yaitu Kecamatan Sawangan dan Kecamatan Kajoran. Menurut data BPS tahun 2011, Kecamatan Sawangan memiliki luas lahan pertanian padi sawah yang lebih luas dibandingkan luas lahan padi sawah Kecamatan Kajoran, yaitu 3 432 ha dan 2 697 ha. Akan tetapi, Kecamatan Kajoran memiliki rata-rata produksi yang lebih tinggi dibandingkan Kecamatan Sawangan, yaitu 67.22 kw/ha dan 58.52 kw/ha. Pada setiap Kecamatan dipilih satu desa, yaitu Desa Mangunsari di Kecamatan Sawangan, dan Desa Madugondo di Kecamatan Kajoran. Desa yang dipilih adalah desa yang memiliki petani yang menerapkan pertanian organik. Berdasarkan informasi dari Kepala Desa Mangunsari, terdapat sekitar 412 petani yang menerapkan pertanian organik dan semi organik. Akan tetapi, hasil temuan lapang menunjukkan hanya 15 petani yang menerapkan pertanian organik. Oleh karenanya, untuk mencukupi sampel yang diambil, dipilih satu desa dari kecamatan lain, yaitu Desa Madugondo, Kecamatan Kajoran. Selain itu, kedua desa dipilih berdasarkan adanya perbedaan agroekosistem, khususnya pada perbedaan pola tanam. Desa Mangunsari memiliki topografi lahan datar dengan pola tanam monokultur. Desa Madugondo memiliki topografi lahan berlereng dengan pola tanam polikultur. Pemilihan kedua desa dipilih selain sebagai salah satu sentra produksi padi sawah di Kabupaten Magelang, juga karena adanya kesesuaian permasalahan dan tujuan penelitian, serta kecukupan sampel yang akan diambil.

Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif diperoleh menggunakan metode survei. Metode survei adalah penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok (Singarimbun dan Effendi 2008). Instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah kuesioner yang berisi sejumlah pertanyaan dan pernyataan yang berkaitan dengan variable-variabel penelitian, yaitu tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, tingkat pengalaman bertani, tingkat kekosmopolitan, tingkat kepemilikan modal, tingkat akses sarana produksi, tingkat nilai-nilai kelompok, dan sikap petani dalam penerapan pertanian organik. Data kuantitatif dikumpulkan dengan cara memberikan panduan pertanyaan yang ada pada kuesioner kepada responden

1

Gambar

Tabel 1  Perbandingan anatomi konsep pertanian organik dan konvensional
Gambar 1   Kerangka analisis faktor-faktor yang diduga mempengaruhi sikap
Tabel 2 Luas panen, rata-rata produksi dan produksi tanaman bahan makanan
Tabel 4  Sebaran responden di Kabupaten Magelang berdasarkan tingkat umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Seperti telah dinyatakan sebelumnya, masalah kesehatan fisik yang utama adalah penyakit-penyakit menular yang lazim pada anak dan jatuh, luka bakar, keracunan

Klortalidon adalah merupakan suatu derivat tiazid yang bersifat seperti hidroklorotiazid. Memiliki ,asa kerja yang panjang dank arena itu sering digunakan untuk

Pada awal berdirinya Pegadaian pada tahun 1746 produk utama dari Pegadaian adalah penyaluran kredit dengan sistem gadai, karena latar belakang berdirinya Pegadaian hanya

Perkembangan dan Kemajuan teknologi komunikasi sangat mempengaruhi gaya hidup masyarakat Kota Manado yang sangat senang dengan penampilan yang glamour agar

Dalam hal ini, BBPOM Aceh yang mengemban amanat sebagai Unit Pelaksana Teknis di lingkungan BPOM RI untuk mengawasi produk AMDK di wilayah Aceh, terutama

(D) Importing victuals from outside and withholding them for selling at higher prices is not monopolistic. This stands to reason; for a sinful monopolist buys from the

Dalam merancang arsitektur sistem informasi PT.Sumber Sehat akan digunakan metodologi Enterprise Architecture Planning karena EAP dibuat berdasarkan visi dan misi perusahaan

Dari tahap-tahap yang telah dilakukan sebelumnya, maka dihasilkan Game Edukasi “ Pengenalan Angka Dan Aksara Jawa untuk Sekolah Dasar Khusunya Kelas 3”.. 4.1.1