• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR-FAKTOR PEMICU GERAKAN PETANI

Dalam dokumen Menuju Keadilan Agraria menuju70 (Halaman 186-191)

Syaiful Bahari

FAKTOR-FAKTOR PEMICU GERAKAN PETANI

Berbagai tulisan mengenai sejarah gerakan sosial pedesaan, khususnya gerakan petani, telah berupaya mencari penjelasan rasional tentang latar belakang munculnya gerakan petani. Mengapa petani pedesaan yang jauh tinggal di wilayah pedalaman dan hidup bersahaja menjadi kelas sosial yang sangat gigih dan tak henti-hentinya melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem kekuasaan yang menyingkirkan mereka? Motif-motif apa yang menyertai gerakan tersebut ?

Beberapa studi yang pernah dilakukan oleh Scott dan Popkin di pedesaan Asia (Indonesia, Filipina, Vietnam, Cina dan Burma), mengenai gerakan petani di masa kolonial, menunjukkan tiga faktor utama yang menimbul-kan kemarahan kaum petani pedesaan, yaitu perubahan struktur agraria, meningkatnya eksploitasi, dan kemerosotan status sosial atau deprivasi

Scott secara mendalam menelusuri faktor-faktor eksogen dan endogen yang menciptakan pergolakan agraria selama periode kolonialisasi. Ia menunjuk penetrasi sistem kapitalisme kolonial melalui komersialisasi pertanian, pasar dan pembentukan negara baru di wilayah pedesaan Asia menjadi pemicu utama munculnya gerakan petani. Sistem tersebut telah mengisolasi dan menghancurkan kelembagaan sosial-ekonomi tradisional masyarakat desa yang selama ini berfungsi sebagai tempat perlindungan petani gurem agar tetap survive dan penjaga keseimbangan stratiikasi

sosial.

Kapitalisme kolonial membawa dan menanamkan mode produksi baru (mode of production) yang kemudian mengubah sistem dan kelembagaan tradisional pedesaan. Penduduk desa di Asia pada masa prakapitalis um-umnya merupakan sebuah unit rumah tangga yang bertumpu pada perta-nian tradisional, produksinya sebagian besar ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pokok keluarga dan komunitasnya. Pertukaran produksi dalam mekanisme pasar hampir jarang terjadi dan dianggap tidak wajar. Mer-eka hidup dalam satu desa yang memiliki nilai-nilai dan tanggung jawab kolektif dalam pemenuhan kebutuhan sosial-ekonomi dan pembayaran pajak kepada para penguasa. Di dalamnya tidak dikenal hak kepemilikan pribadi atas alat produksi seperti tanah dan sumber-sumber ekonomi lain-nya. Tanah dikuasai dan dikelola oleh desa. Kalaupun ada kepemilikan tanah maka kepemilikan tersebut diatur agar tetap mempunyai fungsi sosial. Mereka juga memiliki kekhususan kultural sehingga batasan antara mereka dan dunia luar sangat jelas.

Desa prakapitalis mempunyai fungsi dan peran yang sangat penting untuk memberikan jaminan keamanan pada warganya (petani gurem) agar tetap

mendapatkan pendapatan minimum dan memberikan perlindungan bagi mereka yang mengalami musibah. Hal ini terjadi karena dalam kehidupan-nya petani selalu berada dekat dengan garis risiko yang sewaktu-waktu dapat menenggelamkan mereka kedalam bencana ekonomi. Ada semacam

asuransi sosial yang hidup dan berlaku di komunitas pedesaan, yang oleh

Scott disebut sebagai etika subsistensi. Etika inilah yang mencegah atau menyelamatkan keluarga-keluarga petani miskin jatuh ke dalam bencana kelaparan akibat kerawanan ekologis.

Komunitas desa prakapitalis digambarkan sebagai potret masyarakat manusiawi, penuh nilai-nilai kebersamaan dan solidaritas sesama warganya. Masyarakat yang selalu mempertahankan keseimbangan sosial (social equilibrium) sehingga ada mekanisme kontrol sosial terhadap perilaku warga desa yang status sosial ekonominya lebih tinggi agar tetap menjalankan kewajiban sosialnya kepada warga miskin dan kena musibah. Konsep patron-klien memegang peranan penting dalam menjaga keseimbangan sosial dan mencegah kemarahan serta aksi perlawanan petani miskin kepada golongan kaya.

Hubungan-hubungan di antara pemilik tanah dan penggarap tidak hanya didasarkan pada ikatan ekonomis, tetapi mereka menjalin hubungan berdasarkan ikatan-ikatan solidaritas sosial. Bila ada rumah tangga yang anggota keluarganya sakit atau mengalami gagal panen maka beban ini ditanggung oleh anggota komunitas lainnya, termasuk para pemilik tanah yang bertindak sebagai patronnya. Dalam sistem sosial prakapitalis, pola hubungan yang dikembangkan antara petani penggarap (klien) dan pemilik tanah (patron) adalah pola hubungan multistranded. Dalam pola ini, patron tidak hanya memberikan kesempatan kepada si klien dalam penggarapan tanah, tapi juga memberikan bantuan input produksi, tempat

tinggal, kebutuhan-kebutuhan darurat lainnya dan menerima hasil produksi dengan sistem bagi hasil. Singkatnya, klien hanya berhubungan dengan satu patron. Di sini patron berperan sebagai katup pengaman bagi klien.

Masuknya sistem kapitalisme kolonial ke pedesaan telah menimbulkan ancaman dan keresahan bagi petani-petani gurem. Sistem tersebut meng-hancurkan dan mengubah tatanan sosial-ekonomi serta budaya masyarakat desa sebagaimana digambarkan di muka. Desa-desa yang awalnya ber-sifat tertutup dan otonom diintegrasikan kedalam sistem kapitalis global (pasar dunia) sehingga menjadi desa terbuka. Tidak ada lagi batas yang tegas antara desa dan dunia luar. Nilai-nilai baru diperkenalkan, seperti kepemilikan pribadi dan produksi untuk pasar. Banyak petani dipaksa menanam tanaman ekspor serta diberlakukannya sistem sewa tanah dan upah. Intinya alat produksi (tanah) dan tenaga kerja menjadi komoditas. Pengintegrasian sistem baru ini didukung oleh sistem kelembagaan modern (birokrasi) sebagai alat dari negara kolonial untuk melaksanakan aku-mulasi dan mengamankan surplus dari desa ke pusat kekuasaan kolonial dan kapitalis.

Desa yang tadinya menjadi alat pelindung dan penjamin keamanan sub-sistensi bagi warganya yang dekat garis risiko pada akhirnya berubah fungsinya menjadi pelayan negara kolonial. Etika subsistensi dan asuransi sosial yang selama ini menjadi katup pengaman dan equilibrium sosial terkikis habis oleh berkembangnya nilai-nilai dan cara pandang baru yang lebih bersifat komersial. Keluarga-keluarga petani gurem tidak lagi punya gantungan yang dapat menyelamatkan kelangsungan hidupnya. Patronnya yang dulu berfungsi sebagai pelindung bila terjadi bencana, kini menjadi pihak yang turut memperkuat proses eksploitasi. Akumulasi kekayaan dalam bentuk perluasan penguasaan tanah dan sarana produksi

oleh petani-petani kaya telah menjadi kebiasaan lumrah meskipun mereka tidak lagi menjalankan tanggung jawab sosialnya untuk menanggung sebagian beban yang diderita para petani gurem.

Perubahan-perubahan yang sangat drastis tersebut telah menimbulkan rasa frustrasi di kalangan petani-petani miskin, terlebih lagi ketika mereka mengalami gagal panen karena bencana alam berkepanjangan atau krisis ekonomi. Ditambah dengan beban eksploitasi dalam bentuk pemungutan pajak atau kerja paksa yang dilakukan birokrasi negara kolonial. Kondisi semacam itu membuka jalan bagi para petani untuk melakukan gerakan perlawanan menentang sistem yang ada dan memimpikan kembalinya sistem sosial lama. Gerakan-gerakan semacam ini seringkali dibungkus dengan ideologi Mesianisme dan Milenarisme yang tumbuh subur selama periode kolonial. Intinya adalah mengembalikan tatanan masyarakat tra-disional yang mereka anggap sebagai tatanan masyarakat ideal.

Pandangan ini berbeda dengan yang dikemukakan Popkin. Menurut Popkin, latar belakang petani melakukan gerakan perlawanan terhadap sistem kekuasaan kapitalis kolonial bukan karena adanya keinginan untuk merestorasi kembali tatanan masyarakat tradisional, melainkan karena ada keinginan untuk mengubah nasib agar lebih baik dan menolak bentuk-bentuk eksploitasi yang menambah beban ekonomi mereka. Sebagian besar pemberontakan-pemberontakan petani yang terjadi di pedesaan Asia selama masa kolonial bertujuan menentang kebijakan-kebijakan pemerintah kolonial dalam pemungutan pajak, kerja paksa, dan sistem sewa atau kontrak tanah.

Gambaran komunitas desa prakapitalis yang manusiawi dan mempunyai sentimen anti pasar yang kuat juga masih diragukan. Benarkah etika subsistensi itu ada dan berlaku secara riil di pedesaan? Benarkah sistem

sosial-ekonomi yang berkembang pada masa prakapitalis lebih bermoral –

sehingga disebut moral ekonomi petani — dari pada sistem kapitalis yang

muncul kemudian? Bukankah semua itu bagian dari bentuk hegemoni para petani kaya terhadap petani miskin yang dibungkus nilai-nilai dan tradisi budaya setempat? Masih banyak lagi yang perlu dipertanyakan terhadap premis-premis yang dibangun Scott.

Dalam dokumen Menuju Keadilan Agraria menuju70 (Halaman 186-191)