• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANAH: MODAL DASAR PEMBANGUNAN PERTANIAN

Dalam dokumen Menuju Keadilan Agraria menuju70 (Halaman 172-182)

Siswono Yudo Husodo

TANAH: MODAL DASAR PEMBANGUNAN PERTANIAN

Luas tanah seluruh Indonesia sekitar 192 juta hektar. Kondisi iklim tropis memungkinkan untuk membudidayakan sebagian besar tanah di Indonesia untuk usaha pertanian. Jumlah penduduk pada saat ini telah mencapai hampir 210 juta, sekitar 110 juta (52%) bertempat tinggal di Pulau Jawa yang luasnya hanya 13,3 juta hektar atau 7% dari luas daratan Indonesia. Pulau Jawa dibandingkan dengan pulau-pulau lainnya memiliki keung-gulan dalam kesuburan tanahnya. Pulau Sumatera yang luasnya sekitar 47 juta hektar dan Sulawesi merupakan pulau harapan, bukan saja

kesub-urannya yang cukup baik, melainkan juga kondisi iklim dan topograinya

memungkinkan untuk pembangunan pertanian secara intensif. Pulau-pulau

% Usaha Tani Luas Rata-rata (Ha) % Usaha Tani Luas Rata-rata (Ha) < 0,5 40,8 0,26 48,5 0,17 0,5 - 1,99 44,9 0,94 39,6 0,90 2,0 - 4,99 11,9 2,72 10,6 3,23 1983 1993

Distribusi Usaha Tani

Kelompok Luas Usaha Tani (Ha) No

besar lainnya, seperti Kalimantan dan Papua ibarat raksasa yang sedang tidur. Di masa depan dengan teknologi yang dapat dikuasai akan mampu menjadi penggerak pembangunan dan pengembangan wilayah.

Pola penguasaan tanah sangat tidak seimbang. Pulau Jawa telah 80% dibu-didayakan sangat intensif, sebaliknya Papua yang luasnya sekitar 43 juta hektar baru sekitar 700 ribu hektar atau 1,5% yang telah dibudidayakan, itupun dengan cara kurang intensif.

Tabel 5

Pola Penggunaan Tanah di Indonesia

Sumber: BPN 1997

Berpuluh tahun telah terjadi proses menyempitnya lahan usaha per kepala

Luas Penggunaan Tanah

No

Hektar

(Juta) Persen

Pemukiman perkotaan dan pedesaan 3,0 1,5

Sawah 8,0 4,2

Pertanian tanah kering:

keluarga petani dan sepertinya kita tidak mampu keluar dari masalah terse-but. Inilah masalah paling mendasar yang kita hadapi di dunia pertanian dan inilah penyebab utama munculnya petani-petani miskin; usaha tani yang dilakukan menjadi tidak ekonomis; timbulnya penjarahan lahan di kebun-kebun; rendahnya produktivitas, rendahnya kualitas hasil pertanian, rendahnya daya saing dan lambatnya proses mekanisasi. Oleh karena itu, menjadi sangat strategis untuk mencari cara yang bisa membuat luas lahan petani dari tahun ke tahun semakin meluas.

Bukti-bukti empirik seperti yang terjadi di Australia, Belanda, Brazilia, Thailand, dan Taiwan meyakinkan kita bahwa semua negara yang sukses dalam bidang pertaniannya, dari tahun ke tahun, lahan penguasaan petaninya terus semakin meluas. Proses mekanisasi dapat berjalan secara sehat, produktivitas meningkat, dan petani menjadi semakin sejahtera. Di Amerika Serikat melalui Home Stead Act 1853, setiap warga negara yang menganggap lahannya lima tahun berturut-turut di areal yang boleh untuk pertanian, dapat memperoleh hak dari negara atas tanah seluas 100 Acre per kepala keluarga petani. Di Australia 100 hektar per kepala keluarga. Apakah bukan sudah waktunya bagi kita menerapkan semacam Home

Stead Act seperti Amerika Serikat.

Kita perlu memberi kemudahan kepada petani-petani modern untuk memperoleh lahan 2 – 25 hektar per kepala keluarga tani di daerah-daerah pertanian di atas tanah negara untuk dikelola secara modern. Untuk itu,

zoning perlu dimasyarakatkan sampai ke tingkat kecamatan dan

pede-saan/kelurahan agar masyarakat mengetahui persis peruntukan lahan yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian kelak tidak perlu lagi terulang peristiwa peristiwa seperti di Gunung Balak – Lampung yang menyebabkan petani harus membongkar tanaman kopi yang bagus dan

telah diusahakan selama bertahun-tahun. Kita juga menyaksikan tidak produktifnya lahan pertanian yang ada dengan terdapatnya sekitar 2 juta hektar lahan tidur. Untuk menghindarinya mungkin diperlukan insentif pajak. Seperti yang diterapkan di Inggris. Lahan-lahan yang diolah/dig-arap dengan baik, pajaknya lebih murah daripada lahan yang tidak diolah. Juga rumah-rumah yang tidak digunakan secara penuh, pajaknya tinggi.

Kebijakan ini membuat penggunaan lahan menjadi eisien dan produktif.

Di negara kita, yang terjadi sebaliknya.

Dalam suasana muram itulah kami mengajak semua pihak untuk meng-kaji ulang kebijaksanaan tentang penguasaan/pemilikan, penggunaan dan pemeliharaan tanah pertanian (reforma agraria) agar benar-benar berkiblat kepada kepentingan kesejahteraan petani, pembangunan pertanian yang

eisien dan efektif dalam penggunaan lahan, demi kepentingan seluruh

bangsa, dan pada gilirannya akan mampu menghasilkan produk-produk pertanian yang dapat bersaing di pasar global. Negara tidak boleh membi-arkan dan mendiamkan proses penyempitan lahan usaha tani, lebih-lebih karena diketahui hal itu menjadi sumber terjadinya kemiskinan di desa. Apa jadinya kalau 10 tahun dari sekarang, rata-rata lahan pengusahaan petani menjadi kurang dari 100 M2 ?

Patut diakui, bahwa sejak beberapa puluh tahun yang lalu telah terjadi kesenjangan pemilikan/penguasaan tanah yang sangat menyolok. Kes-enjangan tersebut telah menyebabkan hal-hal sebagai berikut. Pertama, semakin bertambahnya jumlah rumah tangga petani (RTP) yang menguasai lahan di bawah 0,5 hektar. Pada tahun 1983, jumlah petani gurem men-capai 9,53 juta RTP. Sepuluh tahun kemudian (1993) meningkat menjadi 10,94 juta RTP dan dari jumlah tersebut 74% di antaranya berada di Pulau Jawa. Angka statistik tersebut menunjukkan bahwa dalam jangka waktu

sepuluh tahun terdapat 1,41 juta RTP yang mengalami proses penyempitan penguasaan lahan pertaniannya. Kedua, semakin mengecilnya rata-rata pemilikan / penguasaan lahan pertanian dari 0,93 hektar pada tahun 1983 menjadi 0,83 hektar pada tahun 1993. Di luar Pulau Jawa menurun dari 1,38 hektar menjadi 1,19 hektar dan di Pulau Jawa menurun dari 0,58 hektar menjadi 0,47 hektar.

Struktur penguasaan lahan pertanian tahun 1993 menunjukkan keadaan yang sangat timpang. Sebanyak 70% RTP menguasai lahan pertanian den-gan luasan kurang dari 0,5 hektar. Sebagian besar (43%) RTP merupakan kelompok tunakisma atau petani yang memiliki lahan pertanian kurang dari 0,1 ha. Salah satu sebab utama makin menyempitnya pemilikan/ penguasaan tanah keluarga petani adalah ketidakmampuan sektor industri menyediakan lapangan kerja, sehingga jumlah petani secara absolut terus bertambah sedang luas lahan pertanian yang digarap relatif tetap.

Tabel 6

Struktur Penguasaan Tanah Pertanian di Indonesia (1993)

Sumber: Sensus Pertanian Indonesia Tahun 1993

Dari tabel ini terungkap bahwa 43% RTP ”miskin tanah” (tunakisma dan

%

%Kumu-latif

%Luas Tanah Yang

Dikuasai Rumah Tangga Pedesaan Kelompok Luas Penguasaan

(Ha) No

petani dengan luas penguasaan kurang dari 0,1 hektar) hanya menguasai 13% dari luas lahan pertanian, sementara 16% RTP ”kaya tanah” (petani dengan luas penguasaan lebih dari 1 hektar) menguasai hampir 70% luas tanah pertanian. Semakin mengecilnya rata-rata penguasaan lahan perta-nian oleh RTP tersebut terjadi akibat fragmentasi pemilikan/penguasaan

tanah dan fragmentasi isik hamparan tanah serta alih fungsi tanah perta -nian subur ke penggunaan nonperta-nian.

Dari data Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 1996, diketahui bahwa indeks fragmentasi pemilikan/penguasaan lahan rata-rata 2,14 dan indeks fragmentasi tanah rata-rata 3,93. Artinya pada setiap 1 hektar lahan perta-nian rata-rata terdapat 4 persil tanah dan setiap hektar lahan rata-rata dimi-liki oleh 2 – 3 pemilik berbeda. Rata-rata keluarga petani memidimi-liki lebih dari 1 persil terpisah. Kondisi seperti itu membuat usaha tani di negara kita

menjadi tidak eisien. Dengan tingkat teknologi pertanian yang digunakan

dewasa ini, perluasan lahan kurang dari 1 hektar tidak akan mempengaruhi

tingkat eisiensi dan produktivitas inansial usaha tani. Fenomena economic of scale baru terjadi manakala usaha tani beroperasi pada skala pemilikan/

penguasaan lahan lebih dari 1 hektar. Setelah melampaui batas 1 hektar per kepala keluarga, perluasan pemilikan/ penguasaan lahan akan secara

nyata meningkatkan eisiensi dan produktivitas usaha tani. Usaha tani

dengan skala pemilikan/penguasaan lahan kurang dari 1 hektar per kepala keluarga hanya mampu memberikan tingkat penerimaan rata-rata 4 kali biaya input (tanpa memperhitungkan biaya tenaga kerja) atau kira-kira 1,4 kali biaya input (dengan memperhitungkan biaya tenaga kerja).

Fragmentasi pemilikan/penguasaan diartikan sebagai pola fragmentasi

tanah yang dimiliki/dikuasai oleh suatu Rumah Tangga Petani (RTP) terpencar di beberapa lokasi terpisah. Sedangkan fragmentasi tanah

di-artikan sebagai pola fragmentasi dalam satu hektar hamparan isik tanah

terpisah-pisah dalam beberapa petak dengan pemilik berbeda. Kedua bentuk fragmentasi tersebut mempengaruhi biaya dan manajemen usaha tani. Oleh karena itu, perlu ada upaya yang sungguh-sungguh untuk menghentikan fragmentasi hak pemilikan/penguasaan lahan usaha tani yang luasnya menjadi kurang dari 1 hektar (seperti jual beli, hibah, waris, dll). Sebaliknya memperluas lahan pengusahaan per kepala keluarga petani menjadi lebih dari 1 hektar; kalau dapat menjadi 2 – 5 hektar di Pulau Jawa dan 5 – 25 hektar di luar Pulau Jawa.

Data BPN menyebutkan terjadi pula alih fungsi tanah pertanian subur ke penggunaan non pertanian antara tahun 1994 – 1999. Di Pulau Jawa tanah pertanian yang beralih fungsi untuk permukiman dan industri seluas 81.176 hektar terdiri dari permukiman seluas 33.429 hektar dan industri seluas 47.747 hektar. Alih fungsi tanah pertanian yang terluas terjadi di Propinsi Jawa Barat (79,41%), Jawa Timur (17,01%), Jawa Tengah (2,69%), dan Daerah Istimewa Yogyakarta (0,89%).

Sumber-sumber agraria merupakan faktor penting dalam pembangu-nan pertanian. Oleh karepembangu-nanya diperlukan jamipembangu-nan kepastian hukum atas penguasaan, pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk mewujudkan hal itu, diperlukan ”komitmen politik” yang sungguh-sungguh dari semua pihak untuk memberikan dasar dan arah pembaruan (reforma) agraria. Salah satu komitmen politik yang diperlukan ialah melakukan kaji ulang berbagai peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan agraria, dalam rangka sinkronisasi kebijakan antar sektor demi terwujudnya pera-turan perundang-undangan agraria yang lebih berkeadilan. Selanjutnya, pendataan agraria melalui inventarisasi dan registrasi atas penguasaan,

pemilikan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber-sumber agraria secara komprehensif dan sistematis.

PENUTUP

Sebagai negara agraris, kita dikarunia potensi sumber daya alam berupa lahan yang masih cukup luas dan belum didayagunakan secara optimal. Agar kita tidak terlalu bergantung pada pangan impor dan devisa negara tidak terkuras untuk impor pangan, kita perlu melakukan pembukaan areal pertanian baru untuk dibagikan kepada rakyat khususnya petani. Suka atau tidak suka, kita memang sedang memasuki dunia baru yang oleh banyak orang disebut The Borderles World dengan cirinya yang semakin liberal dan semakin modern. Kita adalah bagian dari masyarakat bumi yang tidak dapat mengelak dari tatanan baru ini.

Beberapa hal penting di bidang agraria yang perlu memperoleh perhatian kita bersama menurut hemat kami adalah:

1. Kebijakan di bidang agraria dan pertanian harus dapat melahirkan petani-petani kaya. Kepemilikan dan pengusahaan tanah adalah masalah dasarnya. Langkah-langkah konkret yang perlu ditempuh adalah memberi kemudahan kepada petani untuk memperoleh tanah dari negara, yang luasnya antara 2 - 25 hektar yang didukung dengan landasan hukum yang kuat, untuk dikelola secara modern dan produk-tif.

2. Terjaminnya penguasaan/pemilikan tanah pertanian yang adil bagi petani dengan batas minimum yang sesuai dengan skala ekonomi rumah tangga petani, sehingga menjanjikan kesejahteraan pada setiap keluarga tani, yang diperhitungkan atas dasar kondisi tanah dan komoditi yang diusahakan. Diperlukan pendekatan yang multi

dimensional untuk menghentikan penyempitan lahan petani, antara lain pendekatan kultural melalui sistem pewarisan, misalnya agar lahan yang luasnya 0,5 hektar, hanya diwariskan pada salah seorang anak yang bermata pencaharian di sektor pertanian, sedangkan anak yang lain mendapatkan bagian dari hasil usaha taninya untuk beberapa tahun. Diperlukan pula pendekatan melalui jalur agama. Masalah tanah memang merupakan masalah yang sensitif. Konsekuensi dari kebijakan itu, akan timbul pengurangan jumlah petani (terutama di Pulau Jawa), yang oleh karenaya harus dipersiapkan program alih profesi maupun alih lokasi dan penciptaan lapangan kerja baru. 3. Perlu alokasi anggaran yang memadai bagi pembukaan areal-areal

pertanian baru untuk dibagikan kepada buruh-buruh tani dan petani-petani gurem. Di luar Jawa yang tanahnya cukup luas, perlu disiapkan wilayah pengembangan yang mampu menarik minat petani. Wilayah baru ini harus didukung penyediaan prasarana memadai dan fasilitas-fasilitas usaha tani yang diperlukan, mulai dari penyiapan tanah, teknologi, modal kerja dan fasilitas-fasilitas lain yang diperlukan untuk pengembangan usaha tani. Sejalan dengan itu harus dicegah terjadinya fragmentasi, baik akibat jual beli, hibah, maupun waris.

4. Eisiensi penggunaan lahan dan terlaksananya prinsip tanah untuk

petani penggarap dalam arti tanah benar-benar sebagai faktor produksi pertanian yang diusahakan. Tanah tidak menjadi komoditas perdagan-gan atau objek spekulasi. Lahan-lahan pertanian yang tidak digarap dengan baik, yang diterlantarkan, dikenakan pajak tinggi dan lahan yang diusahakan dengan produktif, pajaknya rendah.

5. Terjaminnya kepastian hukum bukti pemilikan hak atas tanah yang dapat diperoleh dengan mudah dan murah. Kepastian hukum pemili-kan hak atas tanah apemili-kan menimbulpemili-kan ketentraman pada rakyat serta membuahkan kebahagiaan dan mendorong kegairahan bekerja dan

berprestasi.

6. Perlu pembatasan luas minimum penguasaan tanah untuk menjamin kesejahteraan petani. Perlu pula batas maksimum pemilikan maupun penggunaan tanah bagi perorangan maupun Badan Hukum, sehingga terhindar dijadikannya tanah sebagai alat eksploitasi dan objek speku-lasi. Dasar penentuan batas maksimum penguasaan dan penggunaan tanah baik bagi perorangan maupun Badan Hukum adalah rasa

kea-dilan, optimalisasi eisiensi manajemen usaha tani, serta kepentingan

bangsa dan negara.

7. Membudayakan pengelolaan usaha tani berwawasan agribisnis,

sehingga dapat dicapai produktivitas optimum dan eisien sekaligus

mendorong pembangunan agroindustri di desa untuk meningkatkan nilai tambah dan kesejahteraan rakyat di desa.

D

ewasa ini petani pedesaan (peasant) seringkali menjadi objek pemberitaan atau penelitian ber-bagai kalangan. Terlebih ketika banyak aksi-aksi protes dan perlawanan kaum tani mencuat kepermukaan se-bagai bagian dari gejala umum gerakan sosial-politik sepanjang abad 20. Masih segar dalam ingatan kita ketika banyak orang dikejutkan dengan pemberitaan media internasional tentang gerakan petani Zapatista yang dalam waktu singkat menduduki dan menguasai kota-kota besar di Meksiko sebagai upaya mereka menuntut pengakuan dan persamaan hak dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan budaya. Pada bulan Sep-tember 2000 pemerintah Perancis akhirnya menyerah juga dan mengabulkan tuntutan petani untuk tidak me-naikkan harga bahan bakar setelah seluruh kota Paris dikepung petani yang memblokir jalan-jalan utama dengan traktor dan truk tronton mereka. Di kawasan Asia, ribuan aksi-aksi petani terus berlangsung untuk menuntut pelaksanaan land reform, penolakan impor

Dalam dokumen Menuju Keadilan Agraria menuju70 (Halaman 172-182)