Endriatmo Soetarto
PEMETAAN PARTISIPATORIS AGRARIA DAN PERAN STRATEGISNYA
Dalam rangka mencari jalan keluar dari situasi stagnasi itu maka muncul-nya prakarsa unsur masyarakat lokal untuk melakukan pemetaan agraria (hak tenurial) adalah suatu kebutuhan mendesak sekaligus merupakan alternatif mencari jalan keluar yang strategis. Hasil kegiatan pemetaan partisipatoris tersebut selain akan memberdayakan masyarakat lokal juga dapat membantu pihak pemerintah itu sendiri untuk merumuskan kebi-jakan, perencanaan, dan bentuk pengelolaan hutan yang lebih membumi. Memang ada sejumlah pertanyaan kritis lainnya yang dapat kita ajukan misalnya mampukah prakarsa tersebut menjanjikan lestarinya sumber daya hutan dan adilnya distribusi hasil hutan? Prakondisi apa yang harus tersedia untuk mencapai dua hal terakhir ini?
Konsep Dasar Pola Penguasaan Sumber Daya Hutan Berbasis Masyarakat Lokal
Perdebatan ruang lingkup dan deinisi konsep pengelolaan sumber daya
hutan berbasis komunitas lokal hingga dewasa ini masih berlangsung hangat di kalangan para ahli. Perdebatan yang muncul di antaranya, apakah konsep ini hanya dapat meliputi sistem kehutanan yang sebagian besar gagasan dan kegiatan programnya datang dari komunitas lokal itu
sendiri? Apakah konsep ini juga mencakup kemungkinan adanya gagasan dan program-program yang dirancang pihak luar? Ataukah dengan istilah ini kita mengacu pada sistem pengelolaan kombinasi baik yang berasal dari komunitas itu sendiri maupun yang datang dari unsur luar (Lynch dan Talbott, 2001).
Konsep pengelolaan hutan berbasis komunitas lokal yang dimaksud dalam makalah ini adalah sistem yang berasal dari komunitas ‘asli’ itu sendiri, khususnya dalam konteks hak-hak tenurialnya. Dari banyak kepustakaan diketahui bahwa komunitas lokal, yang turun-temurun mengelola sumber daya hutan secara berkelanjutan, sesungguhnya telah mengembangkan sistem pengelolaan yang dijalankan dalam stereotipe yang disebut sebagai naluri ‘kearifan alam’ (noble savage), atau hidup harmonis dan saling bergantung dengan ekosistem sekitarnya.
Seperti umumnya sistem berkelanjutan maka para pengelola sistem berkelanjutan yang berhasil adalah individu-individu rasional dan ber-pikiran strategis yang dapat menilai kondisi lingkungan dan berbuat yang terbaik menurut kepentingannya. Makin banyak mereka bergantung pada sumber daya alam di sekitarnya, semakin besar pula insentif yang dicip-takan oleh diri mereka sendiri untuk mampu menjaganya. Dengan kata lain, selama kelangsungan hidup mereka bergantung pada terpeliharanya sumber daya setempat, jelas mereka akan terus menjaganya, kecuali jika ada kekuatan luar yang tak bisa dihindarkan. Jika ini terjadi biasanya mereka akan melawan atau pindah (Lynch & Talbott: 2001).
Karakteristik pengelolaan hutan berbasis komunitas lokal di Indonesia tentu saja berbeda dengan konsep-konsep kepemilikan di Barat yang umumnya berdasarkan pada hak-hak yang diciptakan negara, sehingga
bersifat pribadi atau individu. Pada komunitas lokal di sekitar hutan hak kepemilikan/kepenguasaan mencakup hak-hak individu dan kelompok. Biasanya hak-hak ini diperoleh dari hubungan-hubungan yang sudah ter-jalin lama antara sesama warga komunitas setempat dihadapkan dengan konteks sumber daya alam tempat mereka memperoleh kehidupannya. Tidak seperti hak kepenguasaan individual yang diatur pemerintah, hak kepenguasaan komunitas lokal seringkali diturunkan dari suatu keyakinan bahwa generasi saat ini dipercaya untuk menguasai sumber daya alam, termasuk hutan, demi generasi yang akan datang. Dalam kaitan itu hak-hak istimewa individu tetap harus tunduk pada hak-hak komunitas.
Berdasarkan pemikiran tersebut, jelaslah secara fungsional sistem hutan berbasis komunitas lokal lebih menggambarkan legitimasi fundamental dari dan bagi komunitas itu sendiri daripada yang berasal dari negara. Oleh sebab itu pula, pengelolaan hutan berbasis komunitas lokal lebih menekankan pada prakarsa yang terutama dikontrol dan dilegitimasi warga komunitas itu sendiri.
Metode Pemetaan Partisipatoris Hak-Hak Tenurial
Beberapa tahun terakhir ini banyak konlik penguasaan sumber daya agrar
-ia, termasuk sumber daya hutan bermunculan di tanah air. Ketidakjelasan
tata batas adalah sumber konlik yang paling menonjol, terutama ber
-hubungan dengan akses komunitas lokal kepada sumber daya hayati dan
nonhayati. Komunitas lokal seringkali terkalahkan dalam konlik seperti
ini karena kepentingan unsur pemerintah dan pelaku bisnis (swasta) yang lebih tampil menguat.
Kelemahan posisi komunitas lokal dalam mengklaim hak-hak mereka atas sumber daya hayati dan nonhayati di lingkungan sekitarnya telah
menggerakkan berbagai pihak untuk mencari jalan keluar yang strategis, murah, dan tepat. Berbagai metode pengembangan masyarakat/komunitas sebagaimana kita ketahui telah berkembang pesat seperti perencanaan desa partisipatif dalam berbagai variannya. Pada dasarnya seluruh me-tode tersebut berupaya meramu berbagai ilmu pengetahuan dasar seperti
sosiologi, geograi, ekologi, dan lain-lain.
Partisipasi komunitas lokal telah menjadi kata kunci yang makin gencar saja dikumandangkan dalam rangka pembangunan berwajah kerakyatan. Dalam kaitan itu pula makna pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) kemudian dipahami juga sebagai redistribusi surplus dan
redistribusi kekuasaan serta pengembangan kerja sama multilateral (Latin, 2001).
Berbagai organisasi nonpemerintah di Indonesia telah berprakarsa mengembangkan metode pemetaan partisipatoris (paticipatory mapping
methods atau community mapping). Penggunaan metode pemetaan
parti-sipatoris tersebut sangat beraneka ragam mulai dari kepentingan perenca-naan program, instrumen untuk bernegosiasi agar memperoleh pengakuan banyak pihak atas kawasan atau wilayah hukum adat tertentu, instrumen
untuk menyelesaikan konlik tata batas, dan pemantapan manajemen
kawasan hutan (seperti taman nasional, hutan lindung, hutan produksi). Namun, skala implementasi metode pemetaan partisipatoris agraria Indonesia sebenarnya masih berjalan secara sporadis dan informasinya masih sangat terbatas. Pendekatan dan teknologi pemetaan yang sempat digunakan juga bermacam-macam seperti sketchmap, kartograi, foto
udara, global position system (GPS)/geographical information system (GIS), dan juga sebagian lain sudah menggunakan teknologi citra satelit serta kombinasi berbagai pendekatan.
Akan tetapi sampai sekarang masih belum jelas apakah peta-peta yang dihasilkan sudah dapat menjadi alat yang valid bagi komunitas lokal untuk memperkuat hak-hak mereka atau belum. Di sisi lain, banyak pula pertanyaan bernada sangsi pada para pengguna metoda pemetaan partisi-patoris, di antaranya, sejauhmana metode ini telah dapat menyelesaikan
atau mencari jalan keluar dari konlik-konlik sosial yang terjadi? Sejauh -mana hasil pemetaan yang telah ada diakui pemerintah? Apakah metode pemetaan harus sarat dengan dukungan teknologi tinggi dan biaya mahal? Bagaimana strategi LSM dan masyarakat luas di Indonesia dalam upaya mengembangkan metode pemetaan secara nasional? Apakah pemetaan partisipatif bisa diintegrasikan dengan metode pengembangan masyarakat yang lain? Berapa banyak sumber daya manusia yang perlu menguasai teknik-teknik pemetaan masyarakat ? (Latin, ibid, 2001).
Peta merupakan salah satu media yang digunakan untuk mendapatkan berbagai informasi, terutama informasi mengenai sumber-sumber agraria suatu daerah beserta hak-hak yang melekat di dalamnya. Pemetaan wilayah Indonesia secara intensif dilakukan oleh Belanda sejak masa penjajahan sebagai alat legitimasi politik dan kontrol atas wilayah jajahannya karena pada waktu itu daerah-daerah yang belum dipetakan dianggap sebagai daerah yang tidak bertuan (terra incognita). Pemerintah Indonesia tetap memanfaatkan peta-peta Belanda tersebut sebagai dasar pengelolaan wilayah, termasuk pembuatan peta TGHK pada tahun 1982.
Seperti telah disebutkan terdahulu komunitas lokal berdasarkan runtutan sejarah telah mempunyai peta berupa mental map yang dijadikan dasar penataan ruang dan sistem pengelolaan sumber-sumber agraria di wilayah mereka sendiri. Pada kenyataannya tanpa adanya bukti terdokumentasi