Maria S.W. Sumardjono
UNDANG-UNDANG AGRARIA YANG AKAN DATANG
Falsafah yang mendasari UUPA masih relevan diadopsi dalam UU Agraria yang akan datang, yakni “Bumi, air, ruang udara dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dalam hal ini yang perlu digarisbawahi adalah bahwa:
1. Penggunaan sumber daya agraria harus dilakukan secara bertanggung jawab dalam keseimbangan hubungan antara manusia dan manusia lain serta antara manusia dan lingkungannya sebagai perwujudan rasa syukur atas karunia Tuhan berupa sumber daya agraria;
2. Penggunaan sumber daya agraria harus untuk sebesar-besar kemak-muran rakyat, dalam arti untuk mencapai keadilan sosial.
Keadilan sosial dalam realita dapat dicapai melalui kebijakan yang mem-berikan landasan bagi setiap orang untuk mempunyai hak dan kesempa-tan yang sama dalam memperoleh bagian manfaat sumber daya agraria, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya, sehingga dapat memperoleh kehidupan yang layak. Peran negara dalam hubungan antara manusia dan sumber daya agraria adalah sebagai wasit adil, yang mengatur keseim-bangan antara berbagai kepentingan dalam perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria. Aturan main yang digunakan oleh negara, dalam hal ini Pemerintah, mengikat semua pihak, termasuk Pemerintah sendiri karena dibuat berdasarkan prinsip-prinsip yang ditetapkan bersama oleh rakyat
melalui wakilnya dalam bentuk Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001.
Disadari bahwa paradigma pembangunan yang menekankan pada pertum-buhan ekonomi telah mempengaruhi pembentukan peraturan perundang-undangan yang lebih mengutamakan kepentingan pemodal besar dengan segala dampak negatifnya. Oleh karena itu, penyusunan Undang-Undang Agraria seyogianya dilandasi paradigma pembangunan yang baru, yang lebih menekankan pada:
1. Penghormatan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, antara lain dalam bentuk penghapusan kemiskinan, perluasan lapangan kerja, dan pemerataan pembangunan;
2. Keberlanjutan kapasitas produktif masyarakat; dan
3. Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan good governance (partisipasi, transparansi, akuntabilitas, rule of law).
Sebagai UU yang akan menjadi landasan berbagai peraturan perundang-undangan sektoral, UU Agraria yang akan datang harus memuat ketentuan yang menjabarkan prinsip-prinsip umum yang menjiwai hubungan antara manusia dan sumber daya agraria. UU Agraria harus mampu mener-jemahkan, paling tidak, prinsip-prinsip umum sebagai berikut dalam kaidahnya:
1. Hubungan antara negara, Pemerintah (Pusat, Provinsi, Daerah, Desa), masyarakat dan individu dengan sumber daya agraria.
Penting kiranya memberikan deinisi ulang tentang hak menguasai
negara (HMN). Jika tidak ditegaskan, HMN akan mudah ditafsirkan sebagai hak negara untuk “memiliki” dengan berbagai implikasinya. Pemahaman hak menguasai negara perlu dipertegas berdasarkan hal-hal sebagai berikut:
a. Sumber daya alam merupakan hak bersama seluruh rakyat. Dalam pengertian hak bersama itu terdapat dua hak yang diakui, yaitu hak kelompok dan hak perorangan.
b. Kewenangan negara terhadap sumber daya alam terbatas pada kewenangan pengaturan. Pengaturan oleh negara diperlukan ketika terdapat kekhawatiran bahwa ketiadaan campur tangan negara akan menyebabkan terjadinya ketidakadilan akses terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya alam oleh masyarakat. Negara tidak perlu melakukan intervensi bila masyarakat telah dapat menyelesaikan masalah atau kepentin-gan sendiri dan hal itu tidak bertentankepentin-gan denkepentin-gan kepentinkepentin-gan atau hak pihak lain. Kewenangan mengatur oleh negara tidak tak terbatas, tetapi dibatasi oleh dua hal, yaitu: (1) pembatasan oleh UUD. Pada prinsipnya hal-hal yang diatur oleh negara tidak boleh berakibat terhadap pelanggaran hak-hak dasar manusia yang dijamin UUD; dan (2) pembatasan oleh tujuan-nya, yakni untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat atau untuk tercapainya keadilan sosial.
c. Hubungan antara negara dan rakyat bukan hubungan sub-ordinasi, melainkan hubungan setara sesuai dengan prinsip HAM yang menjamin hak setiap orang sebagai kewajiban bagi negara. Dengan demikian, netralitas negara dan fungsinya sebagai wasit yang adil dapat dijamin.
2. Pengakuan terhadap hak masyarakat adat.
Perumusan secara eksplisit tentang hak masyarakat adat seyogianya dilandasi kesadaran bahwa pengakuan hak-hak masyarakat adat bukanlah urusan nasional semata. Ruang lingkup dan implikasinya sudah menyangkut kepentingan/perhatian secara global. Dari segi lingkup nasional, ketentuan tentang perlindungan dan penghormatan
hak masyarakat adat dapat dilihat antara lain pada TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Permenag No. 5 Tahun 1999 ten-tang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat, UU No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas) Tahun 2000 – 2004, dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua. Sedangkan dalam dimensi global, penghormatan dan perlindungan tentang hak masyarakat adat dapat dilihat pada kurang lebih 13 ketentuan, mulai dari UN Charter (1945) sampai dengan Technical Review of the UN Draft Declaration
on the Rights of Indigenous People (20 April 1994).
3. Restrukturisasi pemilikan, penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan sumber daya agraria.
Perumusan tentang prinsip ini perlu memberikan ketegasan bahwa pemilikan/penguasaan sumber daya agraria haruslah dalam batas-batas kewajaran memberi kesempatan kepada setiap orang untuk hidup layak dan mencegah penumpukan pemilikan/penguasaan sumber daya agraria di tangan sekelompok kecil masyarakat yang menjurus sebagai sarana investasi atau spekulasi belaka.
4. Rencana umum mengenai pemilikan, peruntukan, dan penggunaan sumber daya agraria.
Rencana umum penggunaan tanah seyogianya didasarkan pada prinsip-prinsip: a) melindungi tanah-tanah pertanian; b) meningkatkan rasio penggunaan tanah; c) menyediakan perencanaan penggunaan tanah untuk berbagai keperluan dan di berbagai wilayah; serta d) melindungi dan memajukan lingkungan ekologis dan menjamin ke-berlanjutan penggunaan tanah.
5. Pengambilalihan sumber daya agraria.
keg-iatan pembangunan dapat dilakukan dengan memberikan jaminan kepada masyarakat yang haknya diambilalih untuk memperoleh
kompensasi kerugian isik dan nonisik disertai berbagai bantuan
serta upaya rehabilitasi agar kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat bersangkutan tidak mengalami kemunduran.
6. Akomodasi hukum adat (pluralisme dalam uniikasi hukum).
Akomodasi hukum adat dalam UU Agraria berarti secara arif bersedia menerima prinsip-prinsip yang masih berlaku dan dijunjung tinggi masyarakat adat, selama hal itu tidak menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran terhadap hak asasi pihak lain.
7. Fungsi sosial dan fungsi ekologis sumber daya agraria.
Intisari pemahaman fungsi sosial adalah hubungan antara manusia dan sumber daya agraria tidak tak terbatas. Namun, dibatasi kewajiban terhadap hak pihak lain dan hak masyarakat luas. Dengan demikian, wewenang yang dilahirkan oleh sesuatu hak terhadap sumber daya agraria tidaklah bersifat mutlak, tetapi relatif bila dihadapkan dengan hak pihak lain. Fungsi ekologis sumber daya agraria menggariskan keseimbangan antara pemanfaatan sumber daya agraria dan daya dukung lingkungannya agar terjaga keberlanjutannya untuk berbagai kegiatan serta untuk kepentingan generasi yang akan datang.
Berkenaan dengan hubungan antara subyek dan objek (sumber daya agraria) dan perbuatan hukum mengenai objek (sumber daya agraria), pokok-pokok substansi yang diatur dalam UU Agraria yang akan datang berkenaan dengan objek pengaturannya (pertanahan, kehutanan, pen-gairan, dan sebagainya), antara lain meliputi hal-hal:
a. Umum
- Kewenangan dan pembatasannya. - Kewajiban.
- Ketentuan tentang subyek hak. - Ketentuan tentang objek hak. b. Khusus
Secara khusus ketentuan yang mengatur tentang hubungan hukum antara subyek hak dan objek hak serta perbuatan hukum berkenaan dengan objek hak, antara lain memberikan rumusan tentang:
- Subyek hak.
- Dasar pemberian hak (objek hak). - Terjadinya hak.
- Jangka waktu.
- Hak dan kewajiban pemegang hak. - Peralihan hak.
- Pembebanan hak. - Hapusnya hak.
PENUTUP
Akhir kata, proses pengusulan dan penyusunan UU Agraria yang akan datang perlu diagendakan sebagai pekerjaan rumah bersama. Semua
stake-holders (Pemerintah, DPR-RI, akademisi, organisasi nonpemerintah, dan
lain-lain) dapat mengambil prakarsa untuk mengawali proses ini dan secara terbuka saling menyampaikan informasi. Dalam proses pembentukannya, konsultasi publik menjadi suatu keniscayaan, mengingat peran strategis UU Agraria ini sebagai platform bersama untuk penyusunan peraturan perundang-undangan di berbagai sektor sumber daya agraria.
Mengingat tuntutan globalisasi, akomodasi terhadap kepentingan berjalan-nya perekonomian nasional yang dipengaruhi dan dapat mempengaruhi
perekonomian global, hendaknya tetap didasarkan pada komitmen untuk memberikan kehidupan yang layak bagi masyarakat melalui pemberian kesempatan yang adil terhadap perolehan dan pemanfaatan sumber daya agraria.
S
ebelum periode pemerintahan Orde Baru (sebelum tahun 1966), hutan-hutan alam tropika di luar Jawa pada umumnya belum dimanfaatkan secara terencana dan besar-besaran sebagai sumber tambahan penghasilan negara dan devisa. Pada masa itu, BUMN dan pengusaha swasta Indonesia belum punya cukup modal, teknologi, dan pengalaman dalam mengeksploitasi hutan tersebut secara ekonomi modern (baca: kapitalistik).Di sektor ini, Indonesia jauh tertinggal dari negara tetangga seperti Malaysia dan Filipina. Sesuai dengan prinsip dasar pembangunan ekonomi pada masa Orde Baru, strategi pertama yang diambil Pemerintah dalam mengeksploitasi hutan tersebut secara modern adalah mengundang modal, teknologi, dan ahli asing. Untuk itu dikeluarkanlah Undang-Undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing. Pada tahun yang sama, secara kebetulan, Pemerintah berhasil menge-sahkan Undang-Undang No. 5 Tahun 1967 tentang