• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Trafficking

BAB III KENDALA-KENDALA YURIDIS YANG DIHADAP

A. Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Trafficking

Trafficking khususnya yang terjadi dalam perdagangan perempuan penyebabnya

bukan saja terbatas pada prositusi paksaan atau perdagangan seks, melainkan juga meliputi bentuk-bentuk ekploitasi, kerja paksa dan peraktek seperti perbudakan dibeberapa wilayah dalam sektor informal, termasuk kerja domestik dan istri pesanan.115 Sebagian besar kasus di Indonesia adalah pola pandangan perempuan untuk prostitusi paksaan (enforced prostitution) atau perdagangan seks yang disertai kekerasan seksual. Ekonomi menjadi alasan utama dalam isu perdagangan perempuan karena alasan yang dinyatakan oleh sebagai besar korban sehingga terjerat dalam perdagangan manusia adalah dalam rangka mencari pekerjaan.116

Menunjukkan dalam kasus trafficking, terdapat kemudahan-kemudahan dalam pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafiker/ calo, jelas ada keterlibatan aparatur Negara/ pemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, Kelurahan/ Desa, Kecamatan yang melibatkan perangkat/ aparat/ pejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTP/KK. Keterlibatan negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjadinya suatu tindak

115

Solidaritas perempuan (Lembaga Advodkasi Buruh Migran Indonesia). Ham dalam Praktik,

Paduan Melawan Perdagangan Perempuan dan Anak, hal 5. 116

kejahatan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara pandang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadap perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual.

Menurut Johana Debora Imelda117 faktor yang melatar belakangi perdagangan manusia khususnya perempuan antara lain; kemiskinan, tingkat pendidikan yang rendah (sehingga mudah percaya pada orang lain dan tak mampu melawan akibat ketidak tahuan), Serata menikah di usia muda. Kebanyakan korban berasal dari desa- desa miskin, terutama di daerah jawa, dan berimigrasi ke jakarta untuk memperoeh kehidupan yang lebih baik.118

Adapun penyebab lain trafficking tersebut dapat dikarenakan adanya hal-hal sebagai berikut:119

1. Kurangnya kesadaran ketika mencari pekerjaan dengan tidak mengetahui bahaya trafficking dan cara-cara yang dipakai untuk menipu atau menjebak korban.

117

Dosen dan peneliti dari FISIF UI.

118

www.idlo.int/DOCNews/Human_trafficking_ind.pdf, Human trafficking (Perdagangan

manusia), diakses ada tanggal 3 Juni 2009. 119

2. Kemiskinan telah memaksa banyak orang untuk mencari pekerjaan ke mana saja, tanpa melihat risiko dari pekerjaan tersebut.

3. Kultur/budaya yang menempatkan posisi perempuan yang lemah dan juga posisi anak yang harus menuruti kehendak orang tua dan juga perkawinan dini, di yakini menjadi salah satu pemicu trafficking. Biasanya korban terpaksa harus pergi mencari pekerjaan sampai ke luar negeri atau ke luar daerah, karena tuntutan keluarga atau orangtua.

4. Lemahnya pencatatan /dokumentasi kelahiran anak atau penduduk sehingga sangat mudah untuk memalsukan data identitas.

5. Lemahnya oknum-oknum aparat penegak hukum dan pihak-pihak terkait dalam melakukan pengawalan terhadap indikasi kasus-kasus trafficking. 6. Urban life style-gaya hidup kota yang konsumtif.

7. Kebiasaan “merantau” untuk memperbaiki nasib;

8. Kebiasaan menganggap pelacuran sebagai hal yang lumrah.

9. Bisnis buruh migran berkembang menjadi industri yang sangat menguntungkan.

10.Pelaku yang terorganisir dan bekerjasama dengan aparatur negara.120

Memberi kemudahan-kemudahan dalam pemalsuan identitas korban yang dilakukan oleh trafiker/calo, jelas ada keterlibatan aparatur Negara/ pemerintah pada satuan terkecil di tingkatan RT, RW, Kelurahan/ Desa,

120

Salah satu modus yang dikembangkan pelaku untuk mencari mangsa-mangsa baru adalah dengan menebar perangkat ke yakni, zone-zone publik seperti stasiun Kereta Api, terminal Bus, Pelabuhan.

Kecamatan yang melibatkan perangkat/ aparat/ pejabat yang mempunyai kewenangan untuk menerbitkan surat keterangan, identitas berupa KTP/ KK. Keterlibatan negara tidak hanya membiarkan kejahatan tersebut terjadi, tetapi juga turut serta menjadi pelaku yang melakukan atau memudahkan terjadinya suatu tindak kejahatan. Peran keluarga dan masyarakat juga menjadi pendorong banyaknya kasus perdagangan manusia yang menimpa perempuan dan anak, cara pandang inferior dan subordinasi terhadap perempuan dan anak sangat berpengaruh terhadap terjadinya ketidakadilan gender. Faktor ketimpangan gender atau diskriminasi, mendorong kekerasan terhadap perempuan khususnya pada usia anak, yang memposisikan perempuan dan anak menjadi kelompok rentan dan sangat berpotensi sebagai korban perdagangan perempuan dan eksploitasi seksual.

Menurut Ferina Gultom, faktor-faktor penyebab tersangka melakukan perbuatan

trafficking sebagaiberikut :121

a. Perdagangan orang merupakan bisnis ilegal yang menguntungkan terbesar ketiga setelah perdagangan gelap senjata dan narkoba.

b. Khususnya propinsi Sumatra Utara kejahatan trafficking sangat berkembang pesat dikarenakan merupakan daeran asal /pengirim sekaligus daerah transit dan daerah tujuan sesuai dengan posisi geografis daerah ini sehingga merupakan aksebilitas tinggi kejalur perhubungan dalam dan luar negeri.

121

Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.

c. Desakan kuat untuk bergaya hidup materialistik.

Ferina Gultom mengatakan : Perlindungan Hukum yang di Berikan Polri Dalam Kasus trafficking , berupa:

1. Perlindungan Terhadap “Privacy” Korban

Segala upaya harus dilakukan untuk menjamin privasi dari korban, saksi-saksi, dan jika diperlukan, juga dari pasangan (suami/istri) dan anggota keluarga korban. Sejauh memungkinkan dan tanpa mengorbankan kepentingan pencarian kebenaran material dalam proses peradilan pidana, identitas korban haruslah dirahasiakan dan privasinya dilindungi. Sebaliknya, adalah juga penting melaksanakan perlindungan tersebut tanpa sekaligus mengorbankan hak-hak tersangka/terdakwa untuk mendapatkan peradilan yang bebas dan adil.

Khususnya bagi korban yang mengalami trauma psikis berat atau mengalami ancaman karena posisinya sebagai saksi-korban, maka aparat penegak hukum dan peradilan sedapat mungkin harus merahasiakan atau tidak membuka informasi perihal nama atau alamat dari korban tindak pidana trafficking yang memungkinkan dikenalinya identitas korban, dan dengan demikian mengancam keselamatan dan/atau terganggunya privasi korban. Media massa tidak boleh mendapatkan (dan juga mempublikasikan) berita rinci yang dapat mengarah pada pembukaan identitas korban, tercakup kedalamnya informasi tentang nama, alamat, foto atau data medis.

Sebelumnya, kepada korban harus disampaikan informasi berkenaan dengan kesulitan menutup identitas dan data personal lainnya, termasuk kedalamnya informasi mengenai pentingnya kehadiran didalam persidangan untuk memberikan dan mendengarkan kesaksian dari saksi-saksi lain, termasuk terdakwa, yakni demi kepentingan pemeriksaan silang serta ‘meyakinkan’ hakim akan bersalah-tidaknya terdakwa. Kepadanya juga tidak boleh diberikan informasi yang memunculkan harapan yang tidak realitis atau palsu berkenaan dengan kemampuan aparat penegak hukum maupun peradilan untuk menutup identitas dan data lainnya dari publik.

2. Perlindungan Keselamatan Korban

Sebelum, selama dan sesudah proses peradilan pidana, segala upaya yang perlu dan mungkin perlu diambil untuk melindungi korban dari intimidasi, ancaman tindakan balasan atau tindakan balasan tersangka /terdakwa dan/atau teman-teman mereka, termasuk tindakan balas dendam (reprisal) dari pihak-pihak yang terakit dengan kejahatan yang sedang diperiksa dihadapan pengadilan. Jika di perlukan, perlindungan serupa sedapat mungkin juga disediakan bagi keluarga dan /atau teman dari korban.

Aparat penegak hukum sedapat mungkin harus bertindak sangat hati-hati saat melakukan penyidikan (misalnya dikota atau lingkungan tempat asal dari korban, terhadap kenalan atau rekanan korban atau terhadap tersangka pelaku tindak pidna

trafficking), yakni dalam rangka mencegah terbukanya identitas korban atau

atau temannya. Kepentingan untuk melindungi keselamatan bagi korban, keluarga maupun teman korban haruslah turut dipertimbangkan, ketika aparat berwenang (Polri) memutuskan untuk menangkap, menahan dan menetapkan jangka waktu penahanan ataupun untuk melepas tersangka dari penahan, maka pihak korban harus diberitahu mengenai keputusan tersebut sebelum pelepasan tersebut dilakukan.

Bekenaan dengan tindak pidana yan diatur dalam Undang-undang tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23/2004), Pengadilan dapat menerbitkan Surat Perintah Perlindungan atas permohonan pihak korban kuasanya. Polisi juga berwenang untuk melakukan upaya perlindungan sementara (Pasal 10, 16, 17, 20, 28-34). Menurut ketentuan pasal 12 UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pembantu rumah tangga yang tinggal di dalam rumah tercakup kedalam lingkup pengertian anggota rumah tangga. Ketentuan ini berarti bahwa UU PKRD dapat digunakan terhadap, misalnya, kasus-kasus trafficking terhadap pembantu rumah tangga yang tinggal (menetap) di dalam rumah majikan.

3. Pelayanan dan Pendampingan (assistence dan support)

Polri diharapkan membuka diri bagi tawaran bantuan pihak-pihak lain, lembaga swadaya masyarakat atau lembaga-lembaga lain, berkenaan dengan penyediaan dan pemberian layananan dan pendampingan bagi korban. Ini berarti bahwa polri seharusnya mendapatkan informasi dan memelihara hubungan baik dengan lembaga- lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendampingan korban. Polri sebenarnya atau tepatnya bertanya kepada korban apakah korban di dalam lingkungan sosialnya telah mendapatkan pelayanan dan pendampingan yang cukup. Jika korban memang menginginkannya, Polri sebaiknya menghubungi lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang pendampingan korban. Rekomendasi umum berkenaan dengan hal ini ialah agar tiap Polri dan polresta memiliki prosedur tetap untuk memberikan pelayanan dan pendampingan termasuk perujukan korban kepada lembaga-lembaga pendampingan korban yang ada.

Pihak korban, setiap saat, selama peroses penyidikan, pemeriksaan di kepolisian dan kejaksaan serta selama persidangan di pengadilan, harus berpeluang atau dapat menerima pelayanan atau dukungan dari lembaga sosial. Seorang penasehat, pekerja sosial atau pendamping yang dipilih sendiri oleh korban harus di perkenankan untuk hadir selama proses di atas berlangsung, yakni untuk memberikan pelayanan dan dukungan emosional kepada korban.

Dalam hal tindak pidana yang diatur dalam UU PKDRT (No. 23/2004), Polri wajib memberikan keterangan kepada korban tentang hak korban untuk mendapatkan pelayanan dan pendampingan (Pasal 18) dan juga wajib melakukan koordinasi terpadu dengan dinas atau lembaga sosial yang dibutuhkan korban (Pasal 22). Menurut ketentuan Pasal 23, Korban, selama proses penyidikan dan penuntutan , berhak untuk di dampingi oleh seorang relawan pendamping.

B. Kendala Yuridis Yang Dihadapi Penyidik untuk Menanggulangi Kejahatan

Dokumen terkait