• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penanganan Perkara Kejahatan Trafficking yang dihadapi penyidik

BAB III KENDALA-KENDALA YURIDIS YANG DIHADAP

C. Penanganan Perkara Kejahatan Trafficking yang dihadapi penyidik

Secara menyeluruh kinerja penanganan kejahatan trafficking di Sumatra Utara dilaksanakan oleh berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat dan lembaga donor, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama dalam suatu rangkaian program/kegiatan yang disusun secara terpadu dengan kebijakan secara Penal dan Non Penal.

Menurut Ferina Gultom, kegiatan yang dilakukan dapat dikelompokkan dalam 3 pilar yang saling berkaitan, yaitu Peningkatan kapasitas, penyadaran masyarakat dan penguatan jaringan kerja. Seluruh kegiatan diarahkan untuk upaya: pencegahan,

penanganan kasus /pelayanan korban (hukum, psikis dan medis), reintegrasi korban dan pasca kasus/masa depan korban, sebagai berikut :

1. Upaya-upaya yang dilakukan penyidik Polri untuk mengurangi kendala-kendala yang dihadapi dalam mengungkap kasus trafficking melalui kebijakan Penal dengan upaya, sebagaiberikut :

a. Melakukan koordinasi dengan pihak SLO/LO apabila saksi korban berada di luar Negeri, sehingga korban dapat segera di antarkan di KBRI guna dimintai keterangan sehingga laporan dapat ditindak lanjuti /proses.

b. Segera mengamankan barang bukti, saksi-saksi sehingga dapat membuat terang /mengungkap kasus tersebut.

c. Menghubungi Lembaga Swadaya Masyarakat guna membantu penyidik Polri untuk mengamankan sementara korban selama masih dalam proses penyidikan.

d. Koordinasi dengan Rumah Sakit Bhayangkara untuk melaksanakan visum dan membantu memulihkan kondisi kesehatan korban.

Menyiapkan SDM Polri agar memahami dengan benar cara teknis, Etis dan Yuridis dalam menangani kasus tindak pidana perdagangan orang, dengan mengikuti kursus-kursus, seminar dan lain-lain sehingga menumbuhkan kesadaran arti pentingnya tindakan pencegahan dan dampak dari kejahatan

trafficking .

e. Koordinasi dengan pihak jaksa, sehingga kasus tindak pidana perdangangan orang dapat diteruskan sampai kepersidangan dan tersangka mendapatkan hukuman yang berat.

f. Adanya dana penyidikan yang cukup untuk mengungkap kasus-kasus

trafficking .

g. Kerja sama dengan instansi terkait sehingga kasus-kasus perdangan orang dapat diminimalisir /diberantas.

h. Memberikan pelatihan-pelatihan/kursus-kursus kepada korban-korban

trafficking sehingga dapat memecahkan akar permasalahan yang diambil yang

menjadi faktor penyebab terjadinya kasus perdagangan orang yakni faktor kemiskinan atau ekonomi.

i. Hakim berani untuk memberikan vonis hukuman yang berat kepada pelaku /

Trafficer untuk mengurangi tindak pidana perdagangan orang.

j. Melakukan razia ketempat-tempat yang diduga rawan, terjadinya kasus

trafficking .

k. Melakukan operasi trafficking In Person sejajaran Polda Sumut. 127

127

Ferina Gultom, Kanit PPA Reskrim Polda Sumut, Wawancara pada tanggal 20 Mei 2009 di Polda Sumut.

2. Upaya yang dilakukan dalam rangka pencegahan dengan kebijakan Non Penal secara Preventif, antara lain:

a. Penerbitan Peraturan Daerah No. 5 tahun 2004 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Bagi Anak.

b. Penerbit Peraturan Daerah No. 6 tahun 2004 tentang Penghapusan Perdagangan (trafficking ) Perempuan dan Anak.

c. Penerbit Peraturan Gubernur No. 24 tahun 2005 tentang rencana aksi penghapusan perdagangan (trafficking ) Perempuan dan anak

d. Sosialisasi Peraturan Daerah tersebut dan Peraturan yang berkaitan seperti prosedur bekerja di luar negeri, dil kepada aparat dan masyarakat.

e. Sosialisasi dan kampanye trafficking ke dan melalui tokoh agama, tokoh masyarakat, orang Organisasi kemasyarakatan/LSM dan masyarakat luas secara langsung atau tatap muka.

f. Penyebarluasan informasi melalui leaflet dan postersi.

g. Dialog inter aktif baik langsung maupun melalui radio dan televisi.

h. Publikasi di berbagai even dan media, baik langsung maupun mendorong insan pers untuk melakukannya melalui himbauan, pelibatan, pendekatan personal hingga perlombaan.

i. Membuat pola koordinasi penanganan trafficking dan mengimplementasikannya.

j. Membentuk dan mengoprasikan Tim pengarusutamaan Gander dan Tim Pengendalian Pemberangkatan dan pemulangan TKI.

k. Melakukan rapat-rapat koordinasi antar stakehorlders/anggota Tim dalam rangka upaya pencegahan, termasuk dalam peningkatan pemeriksaan dan proses dokumen dan keberangkatan.

l. Melakukan kerja sama kegiatan dan memperkuat sinergitas serta penyamaan persepsi dalam upaya pencegahan.

m. Mendorong kabupaten/kota dan pihak berwenang dalam pembantuan aktivitas keluar masuk orang/barang baik pada jalur-jalur resmi maupun tidak resmi/tradicional, terutama pada sepanjang Pantai Selat Malaka.

n. Memperluas jaringan kerja keluar daerah/negara untuk koordinasi, konsultasi dan kerja sama .

o. Melakukan kegiatan penembangan keterampilan/pelatihan bagi anak/remaja putus sekolah

p. Meningkatkan kegiatan pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan usaha makro dan kecil serta upaya peningkatan angka partisipasi sekolah

q. Upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan kasus/pelayanan korban antara lain:

3. Upaya yang dilakukan dalam rangka penanganan kasus/pelayanan korban antara lain:

a. Penegakan hukum (pemindahan pelaku; penyelamatan, perlindungan dan pedampingan korban).

c. Perlindungan dan pengampunan sementara.

d. Pelatihan /simulasi penanganan korban bagi stakeholders/anggota Tim e. Sosialisasi, seminar, kampanye, konfrensi, dll, guna mengajak partisipasi

masyarakat dan semua pihak untuk menanggulangi masalah trafficking (melaporkan, membantu aparat, membantu korban dll).

f. Melakukan koordinasi antar stakeholdrs dalam dan luar daerah/negara dalam upaya penanganan kasus dan pelayanan korban.

4. Upaya yang dilakukan dalam rangka reintegrasi korban, antara lain: a. Penguatan terhadap korban .

b. Sosialisais kepada masyarakat dalam rangka upaya penerimaan korban kembali ke masyarakat/keluarga.

c. Pendekatan terhadap keluarga korban untuk kesiapan keluarga untuk menerima korban kembali.

d. Melakukan pemulangan korban kedaerah asal/keluarga.

e. Melakukan kerja sama antar stakehholders dalam upaya reintegrasi korban 5. Upaya yang dilakukan dalam rangka penataan masa depan korban, antara lain:

a. Pelatihan keterampilan bagi korban. b. Bantuan modal usaha /peralatan.

c. Melakukan koordinasi dan kerja sama dalam upaya membantu korban untuk menata kehidupannya. 128

Kegiatan-kegiatan tersebut diatas semuanya telah dilakukan, namun belum mampu menjangkau semua masyarakat dan semua korban, karena keterbatasan- keterbatasan yang ada terjadi diberbagai bidang, baik SDM maupun dana, sarana dan prasarana. Oleh karena itu Propinsi Sumatra Utara terus berupaya mengembangkan jaringan lebih luas lagi agar dapat melakukan kegiatan penanganan trafficking dengan lebih luas pula.129

Diantaranya kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) sebagai bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcemen policy) harus mampu menetapkan setiap komponen sistem hukum dalam arah yang kondusif dan aplikatif

128

Sabrina, Upaya Pemerintah Propinsi Sumatra Utara Dalam Pencegahan Dan

Penanggulangan Trafficking in Person. (Medan: Biro Pemberdayaan Perempuan serta Propsu, 2007),

hal 7-9

129

untuk menanggulangi kejahatan, termasuk peningkatan budaya hukum masyarakat sehingga mau berpartisipasi yang aktif dalam penanggulangan kejahatan. Keterlibatan masyarakat ini sangan penting karena menurut G. Pieter Hoefnagels bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) merupakan usaha yang rasional dari masyarakat dari reaksi mereka terhadap kejahatan. Selanjutnya dikatakan bahwa kebijakan penanggulangan kejahatan merupakan ilmu untuk menanggulangi kejahatan. Oleh karena itu kebijakan penanggulangan kejahatan harus dilakukan melalui perencanaan yang rasional dan menyeluruh Sebagai kebijakan ini termasuk (a rational total of the responses to crime). Kebijakan ini termasuk bagaimana mendesain tingkah laku manusia yang dapat dianggap sebagai kejahatan

(criminal policy of designating human behavior as crime) 130

Kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) menurut Hoefnagels dapat dilakukan dengan memadukan upaya penerapan hukum pidana (criminal law

application), pencegahan tanpa penggunaan hokum pidana (prevention without punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan

pemidanaan melalui media massa (influencing views of society on crime and

punishment mass media).131

Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh G. Pieter Hoefnagels di atas, maka kebijakan penanggulangan kejahatan dapat disederhanakan melalui dua cara Pertama, kebijakan Penal (penal policy) yang biasa disebut dengan “criminal law application”.

130

Mahmud Mulyadi, Criminal Policy, Pendekatan Integral Penal Policy dan Non –Penal

Policy dalam Penaggulangan Kejahatan Kekerasan, (Medan : Pustaka Bangsa Press 2008), hal 17 131

Kedua, kebijakan non-penal (non-penal policy) yang terdiri dari “prevention without punishment” dan “influencing views of society on crime and punishment (mass media)”.

Pendekatan integral antara Penal dan Non Penal dalam penanggulangan kejahatan harus dilakukan karena pendekatan penerapan hukum pidana semata mempunyai berbagai keterbatasan. Terdapat dua sisi yang menjadi keterbatasan hukum yakni:132

a. Sisi hakikat berdimensi sosial dan kemanusiaan disebabkan oleh berbagai factor yang kompleks dan berada diluar jangkauan hukum pidana. Jadi, hukum pidana tidak akan mampu melihat secara mendalam tentang akar persoalan kejahatan ini bila tidak dibantu oleh disiplin lain. Untuk itulah hukum pidana harus terpadu dengan pendekatan sosial.

b. Keterbatasan hukum pidana dapat dilihat dari hakikat fungsinya hokum pidana itu sendiri. Penggunaan hukum pidana hakikatnya hanya obat sesaatsebagai penanggulangan gejala semata (kurieren am symptom) dan bukan alat penyelesaian yang tuntas dengan menghilangkan sumber penyebab penyakitnya. Dalam konteks ini, hokum pidana befungsi setelah kejahatan terjadi. Artinya hokum pidana tidak memberikan efek pencegahan sebelum kejahatan itu terjadi, sehingga hukum pidana tidak mampu menjangkau akar kejahatan itu sendiri yang berdiam ditengah kehidupan masyarakat.

132

Sanksi hukum pidana selama ini bukanlah obat (remedium) untuk memberantas sumber penyakit (kejahatan), tapi hanya sekedar untuk mengatasi gejala atau akibat dari penyakit tersebut. Dengan kata lain, sanksi hukum pidana bukanlah suatu pengobatan yang kausatif, tetapi hanya sekedar pengobatan yang simptomatik.

Penjatuhan sanksi pidana kepada pelaku kejahatan diharapkan memberikan pencegahan kepada masyarakat dan pelaku sendiri untuk tidak berbuat kejahatan kembali. Namun, tujuan ini terkadang mengalami kegagalan, sehingga terkadang pelaku justru menjadi resedivis dan masyarakat sendiri dapat meniru untuk melakukan kejahatan. Hal ini juga karena penerapan sanksi pidana tidak melihat akar persoalan kejahatan yang sebenarnya. Oleh karena itu butuh pendekatan social di samping penerapan sanksi pidana.

Keterbatasan pendekatan Penal dalam upaya penanggulangan kejahatan seperti dikemukakan di atas, harus di ikuti dengan pendekatan non Penal, yang dapat berupa pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana (prevention without

punishment) dan upaya mempengaruhi pandangan massa (influencing views of society on crime and punishment/mass media).

Kebijakan penanggulangan kejahatan lewat jalur Non Penal lebih bersifat tindakan pencegahan untuk terjadinya suatu kejahatan. Oleh karena itu, sasaran utamanya adalah menanangani faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan yang berpusat pada masalah-masalah atau kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan atau menumbuhsuburkan

kejahatan, maka usaha-usaha non penal ini mempunyai kedudukan yang setrategis dan memegang peranan kunci yang harus diintensifkan dan diefektifkan.133

Penanganan kasus Perkara trafficking di Polda Sumut, biasanya korban

trafficking setelah dilakukan Penyidikan134 dan visum, di arahkan di Biro Pemberdayaan Perempuan SETDAPROVSU, dengan perlindungan yang diberikan :

a. Pelayanan kepada korban, termasuk perlindungan identitas korban.

b. Pelayanan pendamping dalam rangka mengungkapkan pandangan dan kepentingan korban agar dapat turut dipertimbangakan oleh pengadilan.

c. Upaya pemulihan fisik, psikologi dan sosial korban, termasuk didalamnya penyediaan pelayanan kesehatan, konseling, psikologis dan materiil, pelatihan dan pendidikan, sesuai umur dan jenis kelamin korban. Terhadap anak-anak secara khusus dengan memperhatikan pemeliharaan dan pendidikan.

133

Ibid, hal 19

134 Pasal 7 KUHAP :

(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :

a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka; d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Pasal 106 KUHAP : Penyidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang terjadinya suatu peristiwa yang patut diduga merupakan tindak pidana wajib segera melakukan tindakan penyidikan yang diperlukan.

d. Upaya keselamatan fisik korban dan pemulangan korban ketempat wilayah domisili asalnya dengan mempertimbangkan status tuntutan hukum yang diajukan berkenaan dengan kondisinya sebagai korban trafficking.

Hal ini dilaksanakan sesuai dengan Peraturan Gubenur Sumatera Utara Nomor 24 Tahun 2005 tentang Rencana Aksi Propinsi Penghapusan Perdagangan (trafficking) perempuan dan anak. Untuk pembiayaan penyuluhan dan biaya pemulangan korban dibebankan pada anggaran pendapatan dan belanja daerah (Pasal 7 angka 1 dan 2).

Dalam melaksanakan penanganan korban, adanya koordinasi135 antara Biro Pemberdayaan Perempuan SETDAPROVSU dengan Polri sebagai Unit Pelayanan Perempuan yang bertugas memberikan pelayanan, dalam bentuk perlindungan terhadap perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan. 136

Dalam menyelenggarakan fungsinya Unit Pelayanan Perempuan memberikan perlindungan hukum, penyelidik dan penyidik Polri tindak pidana kejahatan

trafficking, dengan lingkup kerjanya meliputi tindak pidana terhadap perempuan dan

anak yaitu perdagangan orang, penyeludupan manusia, kekerasan dalam rumah tangga, susila, perjudian dan prostitusi, adopsi ilegal, pornografi, porno aksi, masalah-masalah perlindungan anak, perlindungan korban, saksi, keluarga dan teman serta kasus-kasus lain dimana pelakunya adalah perempuan dan anak.

135

Peraturan Kapolri Nomor “ 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Selanjutnya disingkat Peraturan Kapolri Unit PPA. Pasal 10 : dalam melaksanakan tugas, Kanit PPA wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi dan sinkronisasi, baik antar satuan organisasi lain yang terkait dengan tugasnya.

136

Kasus trafficking kkususnya perempuan dan anak-anak di Sumatera Utara (Sumut) setiap tahun mengalami peningkatan karena kesadaran masyarakat akan bahaya trafficking masih rendah.

Kasus trafficking tetap meningkat meskipun Sumut gencar melakukan advokasi dalam penanganan trafficking dan perangkat hukum yang disahkan untuk mencegah tindakan trafficking. Perangkat hukum yang telah ada antara lain UUPTPPO, Peraturan Pemerintah Daerah Provinsi Sumut No 5 Tahun 2004 tentang larangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, Peraturan Daerah No 6 Tahun 2004 tentang penghapusan perdagangan perempuan dan anak, serta pengesahan rencana aksi provinsi Sumut untuk penghapusan perdagangan perempuan dan anak (RAP.P3A) dengan peraturan gubernur No 24/2005.

Pengesahan ini juga diikuti dengan pembentukan gugus tugas provinsi sebagai pelaksana rencana aksi, yang merupakan kolaborasi dari unsur pemerintah, Polri (aparat penegak hukum), akademisi dan lembaga swadaya masyarakat,” semua instansi terkait memegang komitmen yang kuat untuk melaksanakan RAP.P3A sesuai dengan tupoksi lembaganya masing masing, serta melakukan evaluasi terus menerus terhadap kinerja yang dilakukan untuk memberikan perlindungan bagi korban

trafficking dan meminimalkan jatuhnya korban.137

Dari berbagai kasus trafficking yang diperkirakan sudah terjadi di Indonesia sejak tahun 1993 itu, umumnya para korban tergiur dengan beragam janji yang ditawarkan mulai janji pekerjaan dengan gaji lumayan besar sampai pada penculikan.

137

Umumnya para korban baru menyadari bahwa mereka ternyata adalah korban perdagangan manusia setelah mendapat perlakuan kasar dan diekploitasi sedemikian rupa. Para korban setelah berada dalam cengkeraman mafia umumnya dipaksa menjadi pelacur sehingga tak heran para korban trafficking menempuh berbagai cara untuk meloloskan diri, termasuk melakukan aksi nekad bunuh diri.

Munculnya beragam kasus trafficking tidak terlepas dari kemiskinan serta keadaan ekonomi yang ditandai dengan sulitnya mencari lapangan kerja di tanah air. Apalagi sebagian besar korban trafficking itu adalah kaum perempuan yang umumnya berlatar belakang pendidikan rendah. Akibat sulitnya mencari kerja serta ketiadaan pekerjaan sehingga para korban sangat mudah tergiur dengan bujuk rayu dan iming-iming para calo. Selain itu para korban mudah terjebak karena kurangnya penerangan aparat terkait prihal kasus-kasus perdagangan manusia. Akibatnya para “pencari mangsa” dengan beragam tipu daya berhasil membujuk korban untuk dibawa ke berbagai tempat penampungan sebelum diserahkan kepada mafia penyalur, bukan saja berasal dari luar negeri termasuk pula mafia perdagangan manusia yang ada di dalam negeri sendiri.

Mengingat berbagai kasus trafficking akan terus muncul, sehingga tidak ada salahnya pemerintah untuk kembali mengevaluasi sudah sampai sejauh mana peranan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI) benar-benar melakukan tugasnya sebagai agen penyalur tenaga kerja, khususnya perempuan. Begitu pula pengiriman Tenaga Kerja Wanita ke luar negeri, sudah perlu dievaluasi dan memperketat pelaksanaannya dari tenaga kerja kasar menjadi tenaga kerja terdidik melalui pengawasan ektra ketat

sampai para Tenaga Kerja Wanita benar-benar berada di tempatnya bekerja. Kurangnya pengawasan di kantor imigrasi maupun tempat perizinan pekerjaan, sehingga dapat mempermudah segala tindakan pelaku untuk dapat melaksanakan kejahatannya, hal ini dapat memunculkan kejahatan trafficking.

Polri sebagai Aparat penegakan hukum dalam menanggapi hal ini selalu berupaya mementingkan perlindungan si Korban dan memproses tindakan kejahatan

trafficking . Penanganan perkara yang di tindak lanjuti pada proses penyidikan

terhadap pelaku dan korban trafficking, banyak ditangani Polri, tetapi pada kenyataannya Korban melarikan diri dari konseling atau pun perlindungan di Biro Pemberdayaan Perempuan, dikarenakan tidak ingin di ketahui jati dirinya. Korban juga untuk melaporkan tindak kejahatan trafficking masih malu atas kejadian yang menimpa dirinya.

Berdasarkan data di jajaran Polda Sumut Penangan Perkara Kejahatan

trafficking yang dihadapi penyidik Polri sebagaiberikut:

Tabel 1 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2005

No. Wilayah Kerja Jumlah Kasus

Trafficking

1 Dit. Reskrim 2

2 Polres Asahan 2

3 Polres Tanjung Balai 6

Jumlah 10

Dari tabel di atas maka terdapat 10 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2005, yakni : 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim, 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 6 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Tanjung Balai.

Tabel 2 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2006

Sumber data : Sekunder

No. Wilayah Kerja Jumlah kasus

Trafficking

1 Dit. Reskrim 10

2 Poltabes 3

Jumlah 13

Dari tabel di atas maka terdapat 13 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2006, yakni : 10 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim, 3 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Poltabes.

Tabel 3 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2007 No. Wilayah Kerja Jumlah Kasus

Trafficking

1

Dit Reskim Polda Sumut

11 2 Polres Binjai 1 3 Polres Asahan 2 4

Polres Tanjung Balai

4 5 Polres Sibolga 1 6 Polres Tobasa 1 7 Polres Nias 1 Jumlah 18

Sumber data : Sekunder

Dari tabel di atas maka terdapat 18 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2007, yakni : 11 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim Polda, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Binjai, 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 4 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Tanjung Balai, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Sibolga, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Tobasa, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Nias.

Tabel 4 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2008 No. Wilayah Kerja Jumlah Kasus

Trafficking

1 Dit Reskim Polda Sumut 11

2 Poltabes 4

3 Polres Deli Serdang 1

4 Polres Binjai 1

5 Polres Langkat 2

6 Polres Asahan 3

7 Polres Simalungun 2

8 Polres Tanjung Balai 1

Jumlah 25

Sumber data : Sekunder

Dari tabel di atas maka terdapat 25 jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun 2008, yakni : 11 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Dit. Reskrim Polda, 4 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Poltabes, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Deli Serdang, 1 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Binjai, 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Langkat, 3 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Polres Asahan, 2 kasus trafficking di daerah satuan wilayah Simalungun, 1 kasus

Tabel 5 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Secara Kumulatif Tahun 2005-2008

No. Tahun Kasus Trafficking Persentase

1 2005 10 15,2

2 2006 13 19,8

3 2007 18 27,2

4 2008 25 37,8

Jumlah 66 100

Sumber data : Sekunder

Dari tabel di atas jumlah trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumatera utara pada tahun, Pada tahun 2005 terdapat 15,2 % trafficking , Pada tahun 2006 terdapat 19,8 % trafficking , Pada tahun 2007 terjadi peningkatan 27,2 % trafficking , Pada tahun 2008 terdapat 37,8 % trafficking . Pada tahun 2005 sampai dengan tahun 2008 jumlah kasus trafficking terus meningkat di wilayah sumatera utara.

Pada kenyataannya kasus perkara trafficking banyak terjadi, tetapi karena kurangnya bukti-bukti dan pelaku/Traficker yang sulit ditemukan. Sehingga penangan kasus trafficking di Polda Sumut sedikit. Korban yang tidak mau di ekspos dan tidak mau melaporkan kejadiannya yang dihadapinya.

Meskipun demikian perlindungan hukum terhadap korban trafficking, yang diberikan Polri. Melalui tugas dan kewenangannya yaitu memberi pelayanan, ketertiban dan proses penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Polri, dengan juga Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum

(Tipidum) Direktorat Reskrim Polda Sumut dan adanya saling koordinasi antara biro Pemberdayaan Perempuan. Untuk menindak lanjuti proses penyidikan terhadap korban trafficking dan upaya memberikan pelatihan, penyuluhan dan pemulangan korban trafficking .

Kasus-kasus Kejahatan trafficking yang dihadapi penyidik Polri di jajaran Polda Sumut, pada umumnya terjadi dengan modus operandi yang berbeda-beda, adapun modus operandi tersebut dapat berupa:

1. Dengan janji-janji yang diberikan pelaku pada korban.

Kisah korban penipuan ini di ceritakan oleh Erna, 21 dan Dhea 25 dari Purwokerto Jawa Tengah, dua gadis korban trafficking yang dipaksa menjadi budak di rumah mesum, tak kuat menceritakan kisah kelamnya. Keduanya baru saja terbebas dari dunia yang membelenggu mereka sejak empat tahun silam. Erna kemudian menceritakan bagaimana awalnya ia bisa terdampar di Medan. Layaknya remaja yang tumbuh di kota terbelakang, ia berharap mencari pekerjaan mapan di kota. Lalu datang tawaran dari seorang bernama Ahmad. Ia menawari Erna dan Dhea, bekerja di sebuah rumah makan di Sumatera. Sesampai di Medan, bukan pekerjaan,

Dokumen terkait