• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking )

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang ( Trafficking )"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM MENANGGULANGI

KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG ( TRAFFICKING )

TESIS

Oleh

RAULI SIAHAAN 077005103/HK

SE

K O L A

H

P A

S C

A S A R JA NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM MENANGGULANGI

KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG ( TRAFFICKING )

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana

Universitas Sumatera Utara

Oleh

RAULI SIAHAAN 077005103/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

Judul Tesis : WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN PERDAGANGAN ORANG ( TRAFFICKING )

Nama Mahasiswa : Rauli Siahaan Nomor Pokok : 077005103 Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS) Ketua

(Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum) (Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)

(4)

Telah diuji pada

Tanggal 10 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin , SH, MS

Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum

2. Syafruddin S. Hasibuan, SH, MH, DFM

3. Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH

(5)

ABSTRAK

Upaya yang diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan dalam melindungi warga Negaranya antara lain mencegah terjadinya peraktek-praktek Perdagangan Orang (trafficking in human, selanjutnya disingkat trafficking) dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya. Penguatan komitmen Bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. Fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakan hukum. Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana., termasuk pelaku perdagangan orang. Kinerja Polri dalam menangani kasus-kasus trafficking masih terbatas wilayah kerja mengingat hanya sebagai penyidik Polri, badan-badan pemerintahan juga wewenang untuk melaksanakan fungsi khusus yang berda dalam intansi tertentu seperti: Imigrasi, Bea Cukai, Kehutanan, Pengawasan Obat dan Makanan, paten dan hak cipta. Meskipunkewenangan Polri sebagai Penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan dalam kasusus perkara diantaranya trafficking. Tetapi pada tanggal 6 Juli2007 Kepala Kepolisian Republik Indonesia menetapkan peraturan Kapolri Nomor 10 tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Polri (selanjutnya disingkat UPPA). Bertugas menyelenggarakan perlindungan perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan hukum terhadap pelakunya, di laksanakan di Ruang Pelayanan khusus (RPK) dan penyelenggaraan pelayanan, penyelidikan, penyidikan dan kerja sama dan koordinasi dengan intansi terkait.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, yaitu menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking yang terjadi di Medan khususnya di Polda Sumatara Utara. Penelitian ini menggunakan pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan permasalahan trafficking. Analisis data yang digunakan untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang di teliti terutama masalah wewenang penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

(6)

Sumut. Polri sebagai penyidik Polri untuk mencari bukti-bukti dan menemukan pelaku/Tracfficker. Dan juga kendala-kendala yang di hadapi Penyidik Polri untuk Menanggulangi Kejahatan trafficking di jajaran Polda Sumut, berupa: Pertama, Kurangnya alat-alat bukti (sesuai pasal 184 KUHAP) kedua, Belum tersosialisasikannya dengan baik terhadap : Pasal 53, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dimana pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan, tetapi pada kenyataannya hal ini tidak semua terealisasi, sehingga orang tua yang tidak mampu menjual anak-anaknya pada calo-calo untuk di jual keluar negeri, Pasal 9, UU No.13 Tahun 2006 tentang ketenagakerjaan, diamana pemerintah kurang memberikan pengawasan kepada Pusat ketenagakerjaan atas tindakan dan perbuatan mereka, selama ini pemerintah hanya memberikan izin tempat pelatihan maupun untuk bekerja. Meskipun UU No. 21 Tahun 2007, tentang Pemberantasan Perdagangan orang, telah diterapkan namun dalam perjalannya masih banyak kekurangannya khususnya dalam undang-undang pemberantasan perdagangan orang.

(7)

ABSTRACT

Consistent and sustainable efforts to protect any citizen include to avoid trafficking in human which I hereinafter referred to as trafficking and other exploitation forms. The advocacy of commitment of Indonesian nation as realized in the Presiddential Decree No. 88 of 2002 regarding the National Action Plan of Eradicating Women and children Trafficking. The Function of police in the structure of society life include protector of society life and in law enforcement . The Police acts to make an investigation and examination of any criminal cases, including in trafficking in human. Performance of the Police in dealing with the trafficking cases is still limited of the working scope considering that as the investigating police , governmental institutions also have authority to conduct special functions such as immigration, Customs, Forestry, Drug and Food Administrations, Patent and Copyringht. Although the authority, of the police as an investigating institution to ideal with any crime related to trafficking. However, on 6 July 2007, The Chairman of National Police of the Indonesia determined a regulation No. 10 of 2007 regarding organization and working procedure of woman and Child Service (PPA Unit) in the Police dominan (wich is hereinafter referred to as UUPA). It acts to carry out protection of woman and child who always become victims of crime and law enforcement on the traffickers held in the Typical Service Unit (RPK) and implementation of service, investigation and a cooperation and even coordination with the related constitutions.

The present study is a descriptive analisysis intended to describe or assess the problem of authority of the investigating police in law enforcement of avoiding trafficking and the juridical challenges faced by the investigating police to ideal with any trafficking crime in medan in particular and in North Sumatra in general. The study used a review and analysis approach of the authority af the police as an investigating institution in implementing law enforcement of dealing with trafficking and other statutory rules related to the trafficking. The data were analiyzed by responding the questions particularly related to the trafficking crime and the juridical challenges faced by the investigating police in dealing with the trafficking cases.

(8)

184 of KUHAP), the scond, the inadequate socialization of the article 53 of the Laws No. 23 of 2002 regarding Protection of Clidren in which the government assumes responsibility to provide fund of education. In fact, hawever, it is still not realized completely so that those poor parents sold their children to the agents to be then sold to abroad, the Article 9 of the Law No. 13 of 2006 regarding laborship on which the government still has less control related to their actions and conducts and even previously, the government only allows a license of training or of working. Although the Laws No. 21 of 2007 regarding the Eradication of Trafficking in human has been implemented , however, in the realization, the practice is still inadequate especially in the Laws of Eradicating Trafficking in human.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, yang telah memberikan rahmat dan karuniaNya berupa kemampuan, kesabaran, kesehatan, kekuatan dan kesempatan kepada Penulis dalam menyelesaikan tesis ini.

Adapun topik penelitian yang penulis pilih yaitu: “ Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan Perdagangan Orang (trafficking).” Penulis menyadari bahwa penyelesaian tesis ini tidak akan terlaksana tanpa saran maupun petunjuk yang diberikan oleh pembimbing maupun penguji baik pada saat pengajuan judul, seminar proposal, seminar hasil penelitian sampai pada akhir penyusunan tesis ini.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H, Sp. A (K), selaku Rektor atas kesempatan menjadi mahasiswi pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara atas kesempatan yang telah diberikan untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

(10)

4. Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, M.S, Pembimbing Utama yang telah memberikan bimbingan sampai akhirnya penulis dapat menyelesaikan perkuliahan pada Program Studi Magister Ilmu Hukum Kelas Hukum Pidana Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatra Utara.

5. Bapak Dr. Mahmud Mulyadi, SH, M.Hum, sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan petunjuk, masukan dan mengarahkan kepada penulis, untuk menyelesaikan tesis ini.

6. Bapak Syafruddin S. Hasibuan, SH, M.H, DFM, sebagai Anggota Pembimbing yang telah banyak memberikan bantuan petunjuk, saran dan masukan kepada penulis.

7. Ibu Dr. Sunarmi, SH. M.Hum, selaku Sekretaris Program Studi Magister Ilmu Hukum juga sebagai penguji yang telah banyak memberikan arahan, saran, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.

8. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku penguji yang telah banyak memberikan arahan, pendapat dan petunjuk guna penyempurnaan tesis ini.

(11)

Utara semoga ilmu yang diberikan bermanfaat bagi penulis di dalam mengembangkan pelaksanaan tugas sehari-hari,

Kepada Kepala Kepolisian Daerah Sumatra Utara dan jajaran, yang telah memberikan izin mengikuti studi pendidikan Sekolah Pascasarjana Magister Hukum Universitas Sumatera Utara, izin Penelitian dan dukungan serta motivasi selama menjalankan studi dan dalam penyelesaian tesis ini.

Kepada AKP Ferina Gultom, SH dan AKP. Fransisca Munthe, SH, yang telah membantu dalam diskusi maupun masukan dan juga memberikan dukungan untuk penyelesaian tesis ini.

Kepada Ayah dan Ibu ku Emp. Siahaan dan R. Br. Marpaung dan mertua ku MB. Siagian dan T. Br. Nadeak, yang saya hormati, mengucapkan terima kasih atas dukungannya dan do’a penulis untuk mereka, semoga Tuhan membalas semua kebaikan-kebaikannya dan memberikan umur yang panjang.

Khusus kepada suamiku E. Siagian, dan anak-anakku tercinta dan tersayang Hizkia Siagian, Yemima Br. Siagian dan Enike Br. Siagian, yang telah banyak berkorban dan bersabar dengan selalu memberikan semangat kepada penulis untuk tetap giat belajar dan menyelesaikan Studi ini.

Kepada seluruh saudara, sahabat, kerabat yang telah mendukung penulis untuk cepat menyelesaikan tesis ini.

(12)

dan perhatiannya. Penulis juga berharap bahwa tesis ini dapat memberikan kontribusi pemikiran bagi semua pihak yang berkepentingan, untuk itu penulis memohon saran dan masukan kepada kalangan-kalangan peneliti selanjutnya agar penelitian ini menjadi sempurna dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Hormat penulis

(13)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rauli Siahaan.

Tempat/Tanggal Lahir : Tanjung Balai/ 14 Desember 1962. Jenis Kelamin : Perempuan.

Agama : Kristen Protestan.

Instansi : Polda Sumatera Utara. Pendidikan Sekolah :

- SD Katolik di Tanjung Balai Asahan Tahun 1975.

- SMP Sisingamangaraja di Tanjung Balai Asahan Tahun 1979

- SMA Negeri I di Tanjung Balai Asahan Tahun 1982.

- Fakultas Hukum Universitas Darma Agung Medan Tahun 1988. Pendidikan Polri :

- SEPA MILSUKWAN Angkatan VII Tahun 1989-1990.

- Pendidikan Kejuruan Perwira Reserse Tahun 1991. Riwayat Jabatan :

- Panit I Bag. Serse. Umum Polda Sumbar Tahun 1990-1992

- Paur Ren Sesdit Serse Polda Sumut Tahun 1993-2000.

- Paur Binmin Sesdit Pers Polda Summut Tahun 2000-2002.

- Kasubbag Polwan Dit Pers Polda Sumut Tahun 2002-2003.

- Kasubbag Bin PNS Dit Pers Polda Sumut Tahun 2003-2006.

- Kasubbag Sahlur Dit Pers Polda Sumut Tahun 2006-2007.

(14)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ……… 1

B. Permasalahan ……….. 10

C. Tujuan Penelitian .………..…. 10

D. Manfaat Penelitian .……….…… 10

E. Keaslian Penelitian .……….... 11

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 11

1.Kerangka Teori .………..…. 11

2.Konsepsi ..………... 23

G. Metode Penelitian .……….. 24

BAB II WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING ... 29

A. Pengertian Polri .………. 29

(15)

C. Eksistensi Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan trafficking ... 48

BAB III KENDALA-KENDALA YURIDIS YANG DIHADAPI PENYIDIK POLRI UNTUK MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING ... 66

A. Faktor-Faktor Penyebab terjadinya Trafficking ………... 66

B. Kendala Yuridis Yang Dihadapi Penyidik untuk Menanggulangi KejahatanTrafficking ……….… 74

C. Penanganan Perkara Kejahatan Trafficking yang dihadapi penyidik di jajaran Polda Sumut... 78

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ………... 98

A. Kesimpulan………..… 98

B. Saran……… 99

(16)

DAFTAR TABEL

No Judul Halaman

1 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2005 ………. 89 2 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2006 ………. 90 3 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2007 ………. 91 4 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2008 ………. 92 5 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Secara Kumulatif

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bangsa Indonesia terus meningkatkan komitmennya untuk mensejahterakan kehidupan Bangsa yang demokratis. Menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia didalam lingkungan masyarakat. Hal ini dilakukan melalui upaya-upaya yang diselenggarakan secara konsisten dan berkelanjutan dalam melindungi warga negaranya antara lain dari praktek-praktek Perdagangan Orang (trafficking in human, selanjutnya disingkat

trafficking) dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.1

Penguatan komitmen Bangsa Indonesia yang diwujudkan dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (selanjutnya disingkat RAN-P3A), yang ditegaskan dalam Pasal 2 :

a. Menjamin peningkatan dan kemajuan atas upaya-upaya perlindungan terhadap korban trafficking, khususnya terhadap perempuan dan anak.

b. Mewujudkan kegiatan-kegiatan baik yang bersifat preventif maupun represif dalam upaya melakukan tindakan pencegahan dan penanggulangan atas praktek-praktek Perdagangan manusia selanjutnya disebut trafficking, khususnya terhadap perempuan dan anak.

1

(18)

c. Mendorong untuk adanya pembentukan dan/atau penyempurnaan peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan tindakkan trafficking, khususnya terhadap perempuan dan anak.

Pembentukan Gugus Tugas lintas sektoral untuk implementasinya, telah menggiatkan upaya memerangi perbudakan modern trafficking secara lebih terencana, terintegrasi dengan langkah-langkah untuk mengatasi akar masalahnya yakni: kemiskinan, kurangnya pendidikan dan keterampilan, kurangnya akses kesempatan dan informasi serta nilai-nilai sosial budaya yang memarginalkan dan mensubordinasikan kaum perempuan.2

Perkembangannya trafficking telah menjadi bisnis yang kuat dan lintas negara karena walaupun ilegal hasilnya sangat menggiurkan, merupakan yang terbesar ke tiga setelah perdagangan obat-obatan terlarang, sehingga tidak mengherankan jika kejahatan internasional yang terorganisir kemudian menjadikan prostitusi internasional dan jaringan trafficking sebagai fokus utama kegiatannya. Para traffiker tergiur dengan keuntungan bebas pajak dan tetap menerima income dari korban yang sama dengan tingkat resiko kecil, sama halnya dengan bisnis narkoba yang beromzet besar dan sangat menguntungkan serta bebas pajak pula, perdagangan orang pada

2

(19)

dasarnya adalah bagian dari shadow economy berjalan dengan tak terlihat, amat menguntungkan tetapi juga merupakan perbuatan kriminal yang sangat jahat. 3

Untuk memerangi kejahatan transnasional terorganisir dengan sumber daya yang kuat seperti itu, diperlukan komitmen Pemerintah yang lebih kuat, bertindak dengan langkah-langkah yang terencana dan konsisten serta melibatkan jaringan luas baik antar daerah didalam negeri maupun dengan pemerintah negara sahabat dan lembaga internasional. Sikap Pemerintah RI. Sejak Indonesia merdeka tanggal 17 Agustus 1945, perbudakan dan penghambaan telah dinyatakan sebagai tindakan yang melanggar hukum dan dinyatakan sebagai kejahatan terhadap kemerdekaan orang, sebagaimana termaktub dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wet boek van

Strafrecht) untuk selanjutnya disingkat KUHP, yang mengatur:

1. Pasal 324: Barangsiapa dengan biaya sendiri atau biaya orang lain menjalankan perniagaan budak atau dengan sengaja turut serta secara langsung atau tidak langsung dalam salah satu perbuatan tersebut di atas, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

2. Pasal 333 (1): Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.

3. Pasal 333 (2): Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, maka yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

3

(20)

4. Pasal 333 (3): Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

5. Pasal 333 (4): Pidana yang ditentukan dalam pasal ini diterapkan juga bagi orang yang dengan sengaja dan melawan hukum memberi tempat untuk perampasan kemerdekaan. Perbudakan dan penghambaan dalam bentuk perdagangan orang juga dikriminalisasi dalam sistem hukum Indonesia sebagaimana termaktub dalam KUHP.

6. Pasal 297 KUHP: Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun. Kerjasama antar negara juga dilakukan, serta lembaga internasional semakin meluas dan menguat, dan akan terus dibina sehingga terwujud sumber daya yang lebih kuat untuk memerangi trafficking yang telah menjadi kejahatan transnasional yang terorganisir.

Adanya perjanjian internasional yang telah ditandatangani seperti: International

Convention For The Suppression Of The Financing Of The Terrorism atau

konvensi-konvensi internasional yang akan disahkan seperti International Convention On

Trafficking Women and Children, Convention On Smugling Migrant, berdampak baik

langsung maupun tidak langsung terhadap peranan keimigrasian.4

Kesungguhan Pemerintah Indonesia dalam menganggap pentingnya mengatur Undang-undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

4

(21)

Orang/trafficking dapat dikemukakan bahwa, penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan protokol PBB tahun 2000 tentang Mencegah, Memberantas khususnya Perempuan dan Anak. Protokol Palermo yang telah ditandatangani Pemerintah Indonesia pada tanggal 12 Desember 2000. Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons,

Especially Women and Children Suplementing the United Nations Convention

Against Transnational Organized Crime (TOC).5

Protocol TOC sudah ditandatangani (signatory) oleh Pemerintah Indonesia, dan semestinya segera diratifikasi. Diluar batasan protocol itu, Pengertian trafficking dalam Protocol TOC adalah defenisi/batasan hokum, karenanya, batasan pengertian itu membawa dasar dan implikasi yuridis pula. Dalam pendekatan Hukum Pidana, batasan trafficking menurut Protocol TOC merupakan elemen dari suatu perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan hukum (strafbaarfeit, unlawfull).6

Jadi, untuk menentukan suatu perbuatan dapat dipidana, menurut ilmu Hukum

Pidana harus dituangkan dalam Undang-undang, sehingga kerapkali Hukum Pidana dikenal sebagai hukum undang-undang. Di dalam Undang-undang tersebut, dirumuskan perbuatan yang dilarang, ataupun merumuskan unsur-unsurnya. Tanpa rumusan perbuatan yang dilarang, maka suatu perbuatan tidak dapat dipidana. Pendapat Enshcede yang dikutip oleh Schaffmeister “…, das Sr. enthalt weder

5

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Beberapa isu Hukum Kejahatan Perdagangan Orang, hal. 1.

6

(22)

Befehle noch Normen, sonder nur Deliktsumschreibungen, bahwa hukum pidana

hanyalah rumusan delik, yang menunjukkan fragmen-fragmen dari norma-norma yang dapat dipidana.7

Unsur yang dikandung dalam kejahatan trafficking yaitu perbuatan yang dilarang sebagaimana dalam Pasal 1 Protocol TOC, maka agar dapat diterapkan dan mengikat subjek hukum, mesti dilegalisasi dalam rumusan delik dalam Undang-undang, sesuai dengan asas legalitas dalam Hukum Pidana.8

Perhatian khususnya ditujukan untuk melindungi korban, tetapi dalam waktu yang bersamaan, melalui pembinaan aparat dan komunitas masyarakat, diupayakan penindakan hukum yang lebih keras kepada trafficker agar menimbulkan efek jera. Berbagai upaya penyuluhan, kampanye, dan peningkatan kepedulian masyarakat juga terus dilakukan untuk mencegah terjeratnya kelompok rentan dalam trafficking .9

Berdasarkan ketentuan Pasal 3 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, bahwa: setiap orang dilahirkan bebas dengan harkat dan martabat manusia yang sama dan sederajat serta dikaruniai akal dan hati nurani untuk hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam semangat persaudaraan. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum yang adil serta mendapat kepastian hukum dan perlakuan yang sama di depan hukum. Setiap

7

Komariah Emong Sapardjaja, Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil Dalam Hukum Pidana

Indonesia, (Bandung: Alumni, 2002), hal.3. 8

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Op.Cit, hal. 2.

9

www.journalperempuan.com, Kendala Dana Selalu Dijadikan Alasan Polisi untuk Menangani

(23)

orang berhak atas perlindungan HAM dan kebebasan dasar manusia, tanpa diskriminasi.

Hak untuk dapat hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun dan oleh siapa pun”10. Tidak seorang pun dapat diperbudak dan segala perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa yang dilarang.11 Termasuk juga anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi dan pelecehan seksual, penculikan, perdagangan anak, serta dari berbagai bentuk penyalahgunaan narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya. 12

Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan HAM yang diatur dalam undang-undang ini, peraturan perundangan lain, dan hukum internasional tentang HAM yang diterima oleh negara Republik Indonesia. Kewajiban dan tanggung jawab Pemerintah tersebut meliputi langkah implementasi yang efektif dalam bidang hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan negara, dan bidang lain” (Pasal 71 dan 72, UUHAM).

Mengingat Fungsi Polri dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakkan hukum, mempunyai tanggung jawab khusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk

10

Pasal 4, UUHAM.

11

Pasal 20, UUHAM.

12

(24)

tindakan terhadap kejahatan trafficking maupun bentuk pencegahan kejahatan

Trafficking agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan

aman dan tenteram. Sesuai dengan Pasal 2, Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaan negara dibidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dan Pasal 14 ayat (1) huruf (g) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002, tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia UUPOLRI, bahwa Polri bertugas untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua Tindak Pidana, termasuk pelaku perdagangan orang.

Kinerja Polri dalam menangani kasus-kasus trafficking masih terbatas wilayah kerja mengingat hanya sebagai penyidik Polri, badan-badan pemerintahan diberikan juga wewenang untuk melaksanakan fungsi khusus yang berada dalam instansi tertentu seperti : Imigrasi, Bea cukai, Kehutanan, Pengawasaan Obat dan Makanan, paten dan hak cipta.13

Meskipun kewenangan Polri dulunya sebagai Penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan dalam kasus perkara diantara trafficking. Tetapi pada tanggal 6 Juli 2007 Kepala Polri menetapkan peraturan Kapolri Nomor: 10 Tahun 2007 tentang organisasi dan tata kerja Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (Unit PPA) di lingkungan Polri (selanjutnya disingkat UPPA). Bertugas menyelenggarakan perlindungan perempuan dan anak yang menjadi korban kejahatan dan penegakan

13

Momo Kelana (selanjutnya disebut Momo Kelana I), Memahami Undang-undang Kepolisian

(25)

hukum terhadap pelakunya, dilaksanakan di Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dan penyelenggaraan pelayanan, penyelidikan, penyidikan dan kerja sama dan koordinasi dengan instansi terkait.

Pada saat ini, Polri menerima kasus-kasus pengaduan korban traffickking, salah satu diantaranya pada bulan April tahun 2008: korban 'trafficking' yang dikirim ke Malaysia dan Singapura, mengadu ke Ruang Pelayanan Khusus (RPK) Direktorat Reskrim Polda Sumut, Kepada polisi, N (16) penduduk Sidomukti, Kisaran menikah Februari 2008 dengan An (24). Sekitar 14 hari di Malaysia, An pulang ke Indonesia sedangkan istrinya tinggal. Kepulangan suaminya tak diketahui N. Ternyata An dan Nis sudah merencanakan akan mempekerjakan istrinya menjadi pekerja seks komersial (PSK). N dapat selamat dari rencana trafficking atas bantuan wanita asal Medan. Korban meminta bantuan KBRI pulang ke Medan dan Polri menindak lanjuti pada proses penyidikan dan perlindungan korban.14

Polri dalam menjalankan kewenanganya tidak hanya untuk menangani perkara untuk proses penyidikan dalam kasus tindakan kejahatan, tetapi juga melakukan pendekatan secara psikologi dan sosiologi kepada para korban trafficking. Polri juga menyediakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak, yang dikhususkan untuk para korban.

Berdasarkan uraian-uraian diatas, penulis tertarik untuk membahas ”wewenangan Penyidik Polri dalam menyelesaikan kasus-kasus Kejahataan

14

(26)

Trafficking dan kendala-kendala yang dihadapi dilapangan, sebagai suatu karya ilmiah dalam bentuk tesis dengan judul ”Kewenangan Penyidik POLRI Dalam Menanggulangi Kejahataan trafficking”.

B. Permasalahan

1. Bagaimanakah wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking?

2. Kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan trafficking.

2. Untuk mengetahui Kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat melalui sumbangsih pemikiran dibidang Hukum Pidana mengenai wewenang Penyidik Polri dalam menanggulangi Kejahatan trafficking, serta kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk menanggulangi kejahatan trafficking.

(27)

trafficking, dan kendala-kendala apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk

menanggulangi kejahatan trafficking.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan informasi dan penelusuran yang dilakukan oleh peneliti terhadap hasil-hasil penelitian yang pernah dilakukan di lingkunan Universitas Sumatera Utara, penelitian mengenai “Wewenang Penyidik POLRI Dalam Menanggulangi Kejahataan Trafficking”, belum pernah dilakukan penelitian pada topik dan permasalahan yang sama.

Dengan demikian penelitan ini dapat dikatakan penelitian yang pertama kali dilakukan, sehingga keaslian penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi

1. Kerangka Teori

(28)

dipertanggungjawabkan sebagai kebijakan penegakan hukum dalam pencegahan kejahatan perlu didaya gunakan oleh Polri, karena:15

1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya sehingga dapat mengatur semua perilaku manusia.

2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan perkembangan di dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak pastian.

3. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang dikehendaki oleh pembentukan Undang-undang.

4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan khusus.

Polri juga menerapkan dan melaksanakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab, karena Polri dihadapkan dengan meluasnya dan tidak fleksibelnya Undang-undang Pidana. Agar bisa diterapkan tergantung pada kualitas suasana dari interaksi Polri dengan masyarakat, malahan bahasa hukum begitu luas, sehingga meniadakan semua tindakan dengan tanda-tanda yang tidak jelas. Dengan demikian tugas dan wewenang untuk menerapkan kebijaksanaan yang luas dengan Undang-undang sudah tidak fleksibel pada kasus perseorangan, hanya dengan Polri. Jadi Polri dalam melakukan tindakan tersebut tidak semua orang-orang yang dicurigai yang ditangkap dan ditahan harus seluruhnya diperoses penyidikan sampai dilimpahkan kepada Jaksa, hanya mereka yang terdapat cukup bukti permulaan dan

15

Abdussalam, Penegakan hukum dilapangan oleh Polri Dalam mengadakan Tindakan Lain

(29)

terpenuhi unsur-unsur pidana yang dituduhkan yang dilimpahkan, berupa unsur kejahatan.16

Menurut Zainal Abidin Farid, bahwa tindakan kejahatan yang dihukum secara pidana merupakan alat terakhir (ultimum remedium), tetapi hanya melukiskan tujuan itu sebagai berikut :17

a. Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk.

b. Untuk membimbing agar terpidana insyaf dan menjadi anggota masyarakat yang berbudi baik dan berguna.

c. Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana.

d. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderita dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.

Hukum pidana berbeda dengan hukum lainnya karena sanksinya bersifat penderitaan istimewa dan oleh karena itu harus tetap merupakan ultimum remedium. Usaha untuk mengurangi kejahatan yang terutama adalah tindakan pencegahan kejahatan yang harus diintegrasikan kedalam pembangunan ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan, karena sejarah telah membuktikan, bahwa jepang selain berhasil dalam pembangunan ekonomi, juga berhasil menekan pertambahan jumlah kejahatan dengan melaksanakan sistem pertahanan sosial (sosial defence), yang dikaitkan dengan pembangunan ekonominya.18

Salah satu bagian dari kebijakan sosial adalah kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy), termasuk didalamnya kebijakan legislatif (legislative

policy), sedangkan kebijakan penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri

16

Ibid. hal. 3

17

Zainal Abidin farid, Hukum Pidana I, (Jakarta : Sinar Grafika, 1995), hal. 14.

18

(30)

merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy) harus melihat cakupan yang luas yang terkandung dalam suatu sistem hukum (Iegal system).

Menurut Friedman, dikutip dalam buku Mahmud Mulyadi, sistem hukum memiliki cakupan yang lebih luas dari hukum itu sendiri. Kata ”hukum” sering mengacu hanya pada aturan dan peraturan. Sedangkan sistem hukum membedakan antara aturan dan peraturan itu sendiri serta stuktur, lembaga dan proses yang mengisinya. Oleh karena itu, bekerjanya hukum didalam suatu sistem menurut Friedman ditentukan oleh tiga unsur, yaitu stuktur hukum (Iegal structure), subtansi hukum (Iegal substance), dan budaya hukum (Iegal culture).19

Stuktur hukum merupakan suatu kerangka yang memberikan definisi dan batasan dan bentuk bagi bekerjanya sistem tersebut dalam batasan-batasan yang telah ditentukan secara keseluruhan sebagai institusi yang menjalankan penegakan hukum dengan segala proses yang berlangsung didalamnya. Institusi ini dalam penegakan hukum pidana, tergabung dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang terdiri atas kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan, yang menjamin berjalannya proses peradilan pidana.20

19

Mahmud Mulyadi, Criminak Policy : Pendekatan Integral Penal Policy dan Non-Penal

Policy dalam Penanggulangan Kejahatan Kekerasaan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hal. 15. 20

(31)

Sedangkan menurut Richard Quinney, Realitasnya Kejahatan dapat berbentuk perilaki criminal yang justru memperkuat stigma pada diri pelaku bahwa dia benar-benar jahat sehingga harus ditumpas oleh Penegak Hukum Polri, yakni: 21

1. Kejahatan adalah sebuah rumusan dari tingkah laku manusia yang diciptakan oleh agen-agen yang memiliki otoritas untuk melakukan hal itu dalam sebuah masyarakat yang terorganisir secara politis. Dengan demikian, kejahatan merupakan rumusan tingkah laku yang diterapkan pada diri beberapa orang-orang lain. Sementara para aparat penegak hukum (para pembuat undang-undang/hukum, polisi, jaksa penuntut umum dan hakim), yang mewakilli segmen-segmen dari sebuah masyarakat yang diorganisasikan secara politis, bertanggung jawab untuk memformulasikan dan melaksanakan hukum pidana. Ini berarti, orang-orang dan perbuatan-perbuatan tertentu dipandang sebagai penjahat dan kejahatan, karena formulasi dan aplikasi dan rumusan-rumusan tentang kejahatan.

2. Rumusan tentang kejahatan mendeskripsikan tingkah laku yang bertentangan dengan kepentingan segmen-segmen di masyarakat yang memiliki kekuasaan untuk membentuk kebijakan public. Rumusan-rumusan kejahatan diformulasikan sesuai dengan kepentingan dari segmen-segmen masyarakat tersebut yang memiliki kekuasaan untuk menerjemahkan kepentingan-kepentingan mereka kedalam kebijakan public. Maka mereka yang mempunyai kemampuan untuk membuat kepentingan-kepentingannya terwakili dalam kebijakan public adalah mereka yang mengatur formulasi dari rumusan-rumusan kejahatan. Dengan memformulasikan hukum pidana, beberapa segmen masyarakat melindungi dan mengawetkan kepentingan-kepentingan mereka.

3. Pelaksanaan definisi-definisi kejahatan, definisi kejahatan dilaksanakan oleh kelas yang memperoleh kekuasaan untuk melaksanakan hukum pidana. Penegak hukum mewakili kepentingan kelas penguasa. Kepentingan-kepentingan kelas penguasa tercermin dalam penerapan rumusan kejahatan, dan dapat dikatakan konsekwensinya kejahatan adalah tingkah laku politik. Beberapa faktor yang mempengaruhi tidak sanggupnya agen penguasa untuk mewakili kepentingan penguasa seperti masyarakat tidak sadar hukum, kondisi masyarakat dilapangan dan sebagainya.

4. Perkembangan pola-pola perilaku dan hubungannya dengan definisi kejahatan, pola-pola perilaku dibangun dalam hubungannya dengan rumusan-rumusan kejahatan. Dalam konteks ini orang yang terlibat dalam perilaku yang relatif mempunyai kemungkinan dirumuskan sebagai

21

(32)

kejahatan. Manusia dalam interaksi sosialnya tergantung dari tindakan-tindakan sosialnya dalam kesempatan terstruktur.

5. Pemebentukan konsep-konsep kejahatan, konsep-konsep tentang kejahatan dibentuk dan disebarluaskan melalui proses komunikasi dalam interaksi sosial. Bilamana manusia membangun dunia sosial sebagai kenyataan/ realitas sosial. Dunia sosial adalah suatu bentuk bangunan dimana orang dengan bantuan orang lain menciptakan dunia dimana kita tinggal ( interaksi sosial). Realitas sosial manusia dalam hubungannya dengan orang lain mengembangkan ilmu pengetahuan dan menunjukkan gagasan-gagasannya. 6. Pembentukan realitas sosial dari kejahatan. Realitas sosial dari kejahatan

dibentuk oleh Formulasi dan aplikasi perumusan/definisi kejahatan, Perkembangan dari pola-pola perilaku dalam hubungannya dengan perumusannya dalam pembentukan konsep-konsep kejahatan.

Para pelaku Trafficker merupakan tindakan kejahatan, hal ini sesuai dengan Pasal 1 huruf Undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (selanjutnya disingkat dengan UUPTPPO). Perdagangan orang atau trafficking adalah tindakan perekutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahagunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat atau sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.22

22

(33)

Pengertian perdagangan orang, menyatakan: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang, untuk tujuan mengekploitasi atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut, dipidana karena melakukan tindak pidana perdagangan orang, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.23

Memperhatikan Pasal 546 RUU KUHP Tahun 2006, jika dirinci terdiri dari 3 bagian yaitu:

1. Setiap orang yang melakukan: perekrutan, pengiriman, penyerah terimaan orang;

2. Dengan menggunakan: kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan, atau penjeratan utang;

3. Untuk tujuan: mengeksploitasi, atau perbuatan yang dapat tereksploitasi orang tersebut.24

Definisi mengenai perdagangan orang mengalami perkembangan sampai ditetapkannya Protocol to Prevent, Suppress and Punish Trafficking in Persons

Especially Women and Children Suplementing the United Nation Convention Against

23

Pasal 546 RUU KUHP Tahun 2006.

24

www.usembassyjakarta.go.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai

(34)

Transnational Organized Crime tahun 2000. Dalam protokol tersebut yang

dimaksudkan dengan perdagangan orang adalah:

... the recruitment, transportation, transfer, harbouring or receipt of persons, by

means of the threat or use of force or other forms of coercion, of abduction, of fraud, of deception, of the abuse of power or of a position of vulnerability or of the giving or receiving of payments or benefits to achieve the consent of a person having control over another person, for the purposes of exploitation. Exploitation shall include, at a minimum, the exploitation of the prostitution of others or other forms of sexual exploitation, forced labour or services, slavery

or practices similar to slavery, servitude or the removal of organs.

(“rekrutmen, transportasi, pemindahan, penyembunyian atau penerimaan seseorang, dengan ancaman atau penggunaan kekerasan atau bentuk-bentuk tekanan lain, penculikan, pemalsuan, penipuan atau pencurangan, atau penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, ataupun penerimaan/pemberian bayaran, atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut untuk dieksploitasi, yang secara minimal termasuk ekspolitasi lewat prostitusi atau bentuk-bentuk eksploitasi seksual lainnya, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek-praktek yang menyerupainya, adopsi ilegal atau pengambilan organ-organ tubuh”).25

Berdasarkan pengertian Protocol TOC, maka kejahatan perdagangan orang mengandung anasir sebagai berikut:

(1) Adanya perbuatan perlintasan terhadap orang, yakni: a. perekrutan (recruitment);

b. pengangkutan (transportation); c. pemindahan (transfer);

d. melabuhkan (harbouring); e. menerima (receipt).

(2) Adanya modus perbuatan yang dilarang, yakni: a. penggunaan ancaman (use of force) atau;

b. penggunaan bentuk tekanan lain (other forms of coercion); c. penculikan;

Kementerian Kordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang di

(35)

g. kedudukan beresiko/rawan (a position of vulnerability); h. memberi/menerima pembayaran;

(3) Adanya tujuan atau akibat dari perbuatan, yakni eksploitasi manusia, yakni: (a) Eksploitasi prostitusi,

(b) Eksploitasi seksual;26

Pengertian menurut Protocol TOC menjiwai definisi perdagangan perempuan dan anak sebagaimana tertuang dalam Keputusan Presiden RI No. 88 Tahun 2002 tentang RAN-P3A, yang menyatakan: “Perdagangan perempuan dan anak adalah segala tindakan pelaku (trafficker) yang mengandung salah satu atau lebih tindakan perekrutan, pengangkutan antar daerah dan antar negara, pemindah tanganan, pemberangkatan, penerimaan dan penampungan sementara atau di tempat tujuan– perempuan dan anak dengan cara ancaman, penggunaan kekerasan verbal dan fisik, penculikan, penipuan, tipu muslihat, memanfaatkan posisi kerentanan (misalnya ketika seseorang tidak memiliki pilihan lain, terisolasi, ketergantungan obat, jebakan hutang, dan lain-lain), memberikan atau menerima pembayaran atau keuntungan, di mana perempuan dan anak digunakan untuk tujuan pelacuran dan eksploitasi seksual (termasuk phaedopili), buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, pekerjaan jermal, pengantin pesanan, pembantu rumah tangga, mengemis, industri pornografi, pengedaran obat terlarang, dan penjualan organ tubuh, serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya”.

Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari

26

(36)

suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya.

Sementara itu, kalau trafficking dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam trafficking .

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur dari trafficking, adalah:

1. Perbuatan: merekrut, mengangkut, memindahkan, menyembunyikan atau menerima.

2. Sarana (cara) untuk mengendalikan korban: ancaman, penggunaan paksaan, berbagai bentuk kekerasan, penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan atau pemberian/penerimaan pembayaran atau keuntungan untuk memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

3. Tujuan: eksploitasi, setidaknya untuk prostitusi atau bentuk ekspoitasi seksual lainnya, kerja paksa, perbudakan, penghambaan, pengambilan organ tubuh.27

Kejahatan trafficking dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam trafficking. Trafficking merupakan kejahatan yang melanggar ketentuan-ketentuan HAM, yang mengabaikan hak seseorang untuk

27

(37)

hidup bebas, tidak disiksa, kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, beragama, hak untuk tidak diperbudak dan lainnya.28

Perempuan dan anak merupakan yang paling banyak menjadi korban bentuk keji trafficking, penempatan mereka pada posisi yang sangat beresiko khususnya yang berkaitan dengan kesehatannya baik fisik maupun mental spiritual dan sangat rentan terhadap tindak kekerasan, kehamilan yang tak dikehendaki, dan infeksi penyakit seksual termasuk HIV/AIDS.

Bentuk-bentuk keji trafficking seperti: perdagangan seks dimana tindakan seks komersial dilakukan dengan paksaan, penipuan atau kekerasan, atau dimana orang dipaksa melakukan tindakan demikian belum berusia 18 tahun; atau perekrutan, penampungan, pengangkutan, penyediaan atau mendapatkan seseorang untuk dijadikan tenaga kerja atau memberikan pelayanan, melalui paksaan, penipuan, atau kekerasan untuk tujuan perhambaan, penjeratan hutang (ijon) atau perbudakan. 29

Definisi istilah-istilah yang digunakan dalam Istilah “Bentuk-bentuk Keji Perdagangan manusia” adalah sebagaiberikut :

a. Perdagangan Seks berarti merekrut, menampung, mengangkut, menyediakan atau mendapatkan seseorang untuk tujuan melakukan tindakan seks komersial.

28

Komisi Nasional Perlindungan Anak, Op.Cit, hal. 4.

29

(38)

b. Penghambaan meliputi suatu kondisi perbudakan yang ditimbulkan dengan cara yaitu :

1. Ancaman-ancaman yang membahayakan atau penahanan fisik terhadap seseorang;

2. Skema, rencana, atau pola apapun yang dimaksudkan untuk membuat orang percaya bahwa jika lalai menjalankan suatu tindakan akan mengakibatkan kerugian/luka yang serius atau penahanan fisik terhadap seseorang;

3. Perlakuan kasar atau ancaman perlakuan kasar dari proses hukum.

c. Penjeratan Hutang (Ijon)” berarti status atau kondisi seseorang yang berhutang yang timbul dari sebuah janji yang akan dilakukan orang yang berhutang tersebut berkenaan dengan layanan pribadinya atau layanan orang lain yang berada di bawah kendalinya sebagai jaminan untuk hutang, dimana. Nilai wajar dari layanan-layanan tersebut tidak diberlakukan untuk penghapusan hutang serta lama dan bentuk layanan tersebut tidak dibatasi atau ditetapkan.

d. Kekerasan/paksaan” berarti

(39)

melanjutkan dalam kondisi yang demikian maka ia atau orang lain akan menderita kerugian yang serius atau penahanan fisik; atau

2. kekerasan atau ancaman kekerasan dari proses hukum.30

2. Konsepsi

Landasan konsepsional ini, akan menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan konsep yang digunakan oleh penulis. Konsep dasar yang digunakan oleh penulis dalam tesis ini antara lain :

a. Polri adalah Pejabat Pegawai Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.31

b. Wewenang Polri untuk kepentingan penyelidikan adalah menerima pengaduan, memeriksa tanda pengenal, mengambil sidik jari dan memotret seseorang, menangkap orang, menggeledah badan, menahan orang sementara, memanggil orang untuk didengar dan diperiksa, mendatangkan ahli, menggeledahakan halaman, rumah, gudang dan alat-alat pengangkutan darat, laut dan udara dan juga membeslah barang untuk dijadikan barang bukti.32

c. Trafficking adalah tindakan perekutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman,

pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahagunaan

30

www.Usembassyjakarta.go.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai

Perdagangan Manusia, diakses pada tanggal 9 Maret 2009. 31

Pasal 1 angka 5 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

32

(40)

kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau memberi bayaran atau manfaat atau sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan ekploitasi atau mengakibatkan orang terekploitasi.33

d. Kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai sangsi.34

e. Penanggulangan Kejahatan masalah trafficking di Indonesia melakukan upaya pemetaan baik untuk tujuan domestik maupun luar negeri, peningkatan pendidikan masyarakat khususnya pendidikan alternatif bagi anak-anak dan perempuan termasuk dengan sarana dan prasarana pendidikannya, dan peningkatan pengetahuan masyarakat melalui pemberian informasi seluas-luasnya tentang perdagangan orang beserta seluruh aspek-aspek yang terkait dengan upaya penghapusannya, yang dilakukan melalui berbagai media.35

G. Metode Penelitian

Kata metode berasal dari kata Yunani “methods” yang berarti “cara atau jalan. Sehubungan dengan upaya ilmiah, maka metode menyangkut masalah cara kerja, yaitu cara kerja untuk dapat memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu yang

33

www.usembassyjakarta.go.html, Departemen Luar Negeri AS: Laporan Mengenai

Perdagangan Manusia, diakses pada tanggal 9 Maret 2009. 34

Topo Santoso dan Eva Achjani zulfa, Kriminologi, (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2001), hal. 14.

35

(41)

bersangkutan”.36 Dalam bahasa Indonesia kata metode berarti “cara sistematis dan terpikir secara baik untuk mencapai tujuan”.37

Berikut ini akan dikemukakan metode penelitian yang digunakan pada penulisan tesis ini sebagai berikut :

1. Spesifikasi Penelitian

Penelitian adalah “usaha atau pekerjaan untuk mencari kembali yang dilakukan dengan suatu metode tertentu dengan cara hati-hati, sistematis serta sempurna terhadap permasalahan, sehingga dapat digunakan untuk menyelesaikan atau menjawab problemnya”.38

Untuk keberhasilan suatu penelitian yang baik dalam memberikan gambaran dan jawaban terhadap permasalahan yang diangkat, tujuan serta manfaat penelitian sangat ditentukan oleh metode yang dipergunakan dalam penelitian.

Dilihat dari sifatnya, penelitian ini bersifat “deskriptif analitis, yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa permasalahan yang ada sekarang”39.

Deskritif maksudnya menggambarkan atau menelaah permasalahan terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan

trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk

menanggulangi kejahatan trafficking yang terjadi di Medan khususnya di Polisi

36

Kontjaraningrat, Metode-metode Penelitan Masyarakat, (Jakarta : Gramedia, 1977), hal. 16.

37

Em Zul Fajri dan Ratu Aprialia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Jakarta : Difa Publisher), hal. 565.

38

Joko P. Subagyo, Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hal. 2.

39

(42)

Daerah Sumatera Utara. Sedangkan analitis maksudnya data hasil penelitian diolah lebih dahulu, lalu dianalisis dan kemudian baru diuraikan secara cermat mengenai Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan trafficking.

Dilihat dari pendekatannya, maka penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan dengan melakukan pengkajian dan analisa terhadap wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan

trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk

menanggulangi kejahatan trafficking, serta peraturan perundang-undangan lainnya yang terkait dengan permasalahan trafficking.

2. Sumber Data

Untuk mendapatkan hasil yang objektif dan dapat dibuktikan kebenaranya serta dapat dipertanggung jawabkan hasilnya, maka data dalam penelitian ini bersumber dari sumber bahan hukum yang dapat di bagi dalam 3 kelompok, sebagai berikut:

b. Bahan Hukum Primer, yakni bahan hukum yang mengikat, dengan fokus utama berupa :

1. Kitab Undang-undang Hukum Pidana. 2. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana

(43)

4. Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia.

5. Undang-undang No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

6. Undang-undang No. 181 Tahun 1998 Tentang Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan dan peraturan-peraturan lainnya.

c. Bahan Hukum Sekunder, yaitu: bahan pustaka yang berisikan informasi tentang bahan hukum primer mencari konsepsi-konsepsi, teori-teori, asas-asas dan hasil-hasil pemikiran lainnya dari kalangan hukum serta relevan dengan penulisan ini. d. Bahan tertier atau bahan penunjang, yakni yang memberikan petunjuk maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang berupa: 1. Kamus bahasa Indonesia.

2. Kamus bahasa asing berupa bahasa Inggris dan bahasa Belanda. 3. Majalah.

4. Internet.

3. Teknik Pengumpulan Data

(44)

4. Analisis Data

Dalam suatu penelitian sangat diperlukan suatu analisis data yang berguna untuk memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti terutama masalah wewenang Penyidik Polri dalam proses penegakan hukum menanggulangi kejahatan

trafficking dan kendala-kendala yuridis apa saja yang dihadapi penyidik Polri untuk

menanggulangi kejahatan trafficking.

Wewenang Penyidik Polri Dalam Menanggulangi Kejahatan trafficking. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Penelitian dengan menggunakan metode kualitatif “bertolak dari asumsi tentang realitas atau fenomena sosial yang bersifat unik dan komplek. Padanya terdapat regularitas atau pola tertentu, namun penuh dengan variasi (keragaman)”.40

Analisa data adalah “proses mengatur urutan data, mengorganisasikannya ke dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar”.41 sedangkan metode kualitatif merupakan “prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis”.42

Data sekunder yang diperoleh dari penelitian kepustakaan (library research), disusun secara berurutan dan sistematis dan selanjutnya dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, yaitu untuk memperoleh gambaran tentang pokok permasalahan secara kompehensif.

40

Burhan Bungi, Analisa Data Penelitian Kualitatif, Pemahaman Filosofis dan Metodologis

Kearah Penguasaan Modal Aplikasi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 53. 41

Lexy J. Moleong, Metode Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 103.

42

(45)

BAB II

WEWENANG PENYIDIK POLRI DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM DALAM MENANGGULANGI KEJAHATAN TRAFFICKING

A. Pengertian Polri

Istilah Polri berbeda-beda dalam setiap negara, untuk memberikan istilah dalam bahasanya sendiri atau menurut kebiasaan-kebiasaannya sendiri. Misalnya di Inggris dikenal dengan Constable,43 di Amerika Serikat dikenal istilah Sherrif yang sebenarnya berasal dari bangunan sosial Inggris, Polizei di Jerman44, polizia di Italia dan politie di Negeri Belanda dan istilah Polri dalam bahasa Indonesia merupakan hasil proses Indonesia dari istilah Belanda.45

Dalam kamus Poerwadarminta dinyatakan bahwa istilah Polri berarti : a. Badan Pemerintahan yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban. b. Pegawai Negeri yang bertugas menjaga keamanan.46

Polri adalah bagian yang tidak terpisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. Dalam menunaikan tugas pokoknya, Polri bukanlah kekuatan yang berdiri sendiri. Semangat, doktrin, organisasi dan program-program Polri adalah bagian dari

43

Sir John Molyan, Tn bahhe Police of Britain, ( Majalah Bhayangkara, No.1 Thn. IV, 1953), hal. 4.

44

Momo Kelana (selanjutnya disebut Momo Kelana II), Konsep-konsep Hukum kepolisian

Indonesia, (Jakarta: PTIK Pres, 2007), hal. 7. Polizei Recht mula-mula berkembang di Jerman lalu ke

Negeri Belanda dan kemudian ke Inggris. Polizei Recht lebih mementingkan peraturan-perat yang memberi wewenang dan kewajiban Polri, yang menjadi dasar hukum bagi kekuasaan dan kewenangan Polri. Seperti diketahui Jerman dan Belanda dalam aliran hukum menganut aliran Eropa Kontinental yang mendasarkan pada Civil Law System. Di Jerman untuk “Polizei Recht”, pada pokoknya berupa peraturan-peraturan yang mengatur tugas Polri. Tugas Polri melaksanakan peraturan-peraturan Permerintah yang memuat acaman hukum. Akan tetapi apabila peraturan tak menentukan, padahal dianggap ada pelanggaran kesusilaan, sopan santun, atau pertentangan kecil, supaya masyarakat tetap tenang maka Polri diberikan wewenang untuk bertindak.

45

Ibid.

46

(46)

ABRI yang dibangun sebagai salah satu bagian dari keseluruhan sistem nasional untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan nasional.47

Menurut UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, Polri adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pengertian Polri erat kaitannya dengan status dan kedudukan dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1997 dapat disimpulkan : 48

a. Kepolisian Negara Republik Indonesia (sebagai organ) adalah unsur Angkatan Bersenjata Republik Indonesia yang terutama berperan memelihara keamanan dalam negeri (Pasal 5 ayat (1)).

b. Sebagai fungsi, Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang penegakan hukum, perlindungan dan pelayanan masyarakat serta pembimbingan masyarakat (Pasal 3).

c. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara R.I (Pasal 8 ayat (1)), dibantu oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan Panglima ABRI (Pasal 8 ayat (2).

d. Selaku penyidik Polri dalam rangka Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Intergrated Criminal Justice System) (Pasal 14 ayat (1) huruf a).

e. Koordinator dan Pengawas serta Pembina Teknis alat-alat Kepolisian Khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.

47

Momo Kelana II, Loc. Cit.

48

(47)

f. National Central Bureau Interpol Indonesia mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi Kepolisian Internasional (Pasal 14 ayat (1) huruf K). g. Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan bagian organik dari

Departemen Hankam/Mabes ABRI. 49

Dalam Undang-undang No. 28 Tahun 1997, penjelasan Pasal 5 ayat (1) ditegaskan bahwa, walaupun merupakan unsur Angkatan Republik Indonesia, Polri bukan militer.

Proses perubahan status Kepolisian terus bergulir dan berdasarkan Instruksi Presiden R.I. Nomor 2 Tahun 1999 pada tanggal 1 April 1999 dilakukan pemisahan Polri dari ABRI. Dalam rangka penegakan ketertiban umum dan keselamatan masyarakat, pemerintah telah melakukan langkah-langka mendasar antara lain berupa kebijakan pemisahan Polri dari ABRI.50

Selanjutnya ditegaskan pula bahwa dengan berpisahnya Polri dari ABRI maka langkah awal yang ditempuh adalah menepatkan sistem penyelenggaraan pembinaan Polri pada Departemen Pertahanan dan Keamanan.51

Status Kepolisian lainnya yang berkait dengan ketentuan perundang-undang masih tetap sepanjang belum ada perubahan Undang-undang antara lain:

a. Sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara.

b. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Kepolisian Negara R.I. c. Selaku penyidik Polri dalam rangka criminal justice system.

49

Momo Kelana I, Op.Cit, hal 20.

50

Pidato Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie R.I, pada tanggal 16 Agustus 1999.

51

(48)

d. Koordinator dan pengawas serta Pembina teknis alat-alat kepolisian khusus, PPNS dan bentuk-bentuk pengamanan swarkarsa.

e. National Central Bureau Interpol Indonesia.

f. Selaku Pegawai Negeri sesuai UU No. 43 Tahun 1999.

Pemisahan Polri dari ABRI berdasarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 ditegaskan lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam Pasal 2 dinyatakan:

Pasal 2, sebagaiberikut:

Ayat (1) Kepolisian Negara Republik Indonesia berkedudukan langsung di bawah presiden.

Ayat (2) Kepolisian Negara Republik Indonesia dipimpin oleh Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam pelaksanakan tugasnya bertanggung jawab langsung kapada presiden.

Status Kepolisian berdasarkan ketentuan Peraturan perundang-undang lain yaitu:

a. Sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara.

b. Selaku penyidik Polri dalam rangka criminal jusrice system.

(49)

d. National Central Bureau Interpol Indonesia. 52

Sedangkan status dan kedudukan Kepolisian Negara R.I. menurut ketetapan MPR-RI No VI/MPR/2000, ketetapan MPR-RI No. VII/MPR/2000 bahkan telah lebih ditegaskan Nomor 2 Tahun 2002 yaitu:

a. Sebagai salah satu fungsi pemerintahan negara.53 b. Sebagai pengemban fungsi kepolisian.54

c. Sebagai alat negara.55 d. Kepolisian Nasional.56

e. Polri berada dibawah presiden.57

f. Selaku penyidik Polri dalam rangka Criminal Justice System.58 g. National Central Bureau Interpol Indonesia.

Sehingga dari status dan kedudukan, Hukum Polri merupakan hukum yang mengatur tentang tugas, organisasi, dan wewenang badan-badan Polri. serta bagaimana badan-badan Kepolisian tersebut melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam lingkungan kuasa waktu, tempat, orang dan soal-soal.

Dengan demikian sebelum melaksanakan tugasnya Polri harus terlebih dahulu mengetahui dalam batas-batas manakah Polri dapat melakukan tugasnya itu.

52

Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 ditegaskan lagi dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 89 Tahun 2000 tentang Kedudukan Kepolisian Negara Republik Indonesia

53 Lihat Pasal 3 UUPolri. 54

Lihat Pasal 3 UUPolri.

55

Lihat Pasal 5 UUPolri.

56

Lihat Pasal 5 UUPolri.

57

Lihat Pasal 8UUPolri.

58

(50)

Sebagai salah satu contoh misalnya pasal 15 UU Polri yang berbunyi : Pasal 13 untuk kepentingan penyidikan, maka Polri Negara berwenang. a. Menerima pengaduan.

b. Memeriksa tanda pengenalan.

c. Mengambil sidik jari dan memotret sesorang. d. Menangkap orang.

e. Menggelegah badan. f. Menahan orang sementara.

g. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa. h. Mendatangkan ahli.

i. Menggelegah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara.

j. Memberikan barang untuk dijadikan bukti dan. k. Mengambil tindakan-tindakan lain.

B. Fungsi, Tugas dan Wewenang, Polri

1. Fungsi Polri

(51)

Pidana, khususnya melalui pencegahan kejahatan dan menyelesaikan kejahatan yang terjadi.59

Polri sebagai aparat penegak hukum, berupaya menindak perbuatan kejahatan

trafficking dalam upaya pencegahan dan menanggulangi. Pada kenyataanya fungsi

Polri dalam melakukan tugas dan kewenangan, harus bertindak tidak berat sebelah. Karena Fungsi Polri adalah salah satu fungsi pemerintahan negara dibidang pemeliharaaan, keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakkan hukum, perlindungan, pengayoaman dan pelayanan kepada masyarakat.60

Dalam fungsinya sebagai pengayoman yang memelihara keteraturan, maka sering pula Polri melaksanakan peranan tambahan (addtional rule). Karena ada instansi lain yang juga membantu dan melayani masyarakat memelihara keteraturan. Untuk menciptakan lingkungan yang aman, seperti tugas Pamongpraja dari ketua RT sampai dikelurahan.61

Fungsi tersebut dilaksanakan oleh suatu institusi Polri, tetapi tidak seluruh fungsi tersebut dijalankan oleh Polri. Fungsi tersebut juga dilaksanakan oleh satuan-satuan pengaman di Industri, pertokoan, perkantoran oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil.62

59

Parasudi Suparlan, Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia (Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian 2004), hal. 160.

60

Pasal 2 UUPolri.

61

Parsudi Suparlan, Op.Cit, hal. 162.

62

(52)

Pengembangan fungsi Polri Community Policing (pemolisian Komuniti) adalah Pemolisian untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan : 63

1. Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah sosial (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat.

2. Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangai rasa ketakutan masyarakat akan adanya gangguan kriminalitas.

3. Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention).

4. Polisi senantiasa berupaya meningkatakan kualitas hidup masyarakat. Dan

Community Policing sebagai wujud atau bentuk pemolisian yang demokratis.

Fungsi utama itu bersifat universal dan menjadi ciri khas Polri, dimana dalam pelaksanaannya Polri lebih mengutamakan Preventif dari pada Represif. Adapun perumusan dari fungsi utama tersebut adalah :

1. Tugas Pembinaan masyarakat (Pre-emtif).

Segala usaha dan kegiatan pembinaan masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum dan peraturan perundang-undangan. Tugas Polri dalam bidang ini adalah Community Policing, dengan melakukan pendekatan kepada masyarakat secara sosial dan hubungan mutualisme, maka akan tercapai tujuan dari community policing tersebut. Sistem kepolisian juga terkait dengan karakter sosial masyarakatnya. Konsep Community Policing sudah ada sesuai karakter dan budaya Indonesia (Jawa) dengan melakukan sistem keamanan lingkungan dalam komunitas-komunitas desa dan kampung, secara bergantian masyarakat merasa bertangggung jawab atas keamanan wilayahnya masing-masing.

63

(53)

Hal ini juga ditunjang oleh Kegiatan babinkamtibmas yang setiap saat harus selalu mengawasi daerahnya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan khusus.64

Polri menyediakan Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (UPPA) Satuan I Tindak Pidana Umum (Tipidum) Direktorat Reskrim Polda Sumut, biasanya saling bekerja sama/berkoordinasi dengan Biro Pemberdayaan Perempuan, untuk menindak lanjuti tempat-tempat berpotensi kejahatan trafficking dengan upaya melakukan penyuluhan-penyuluhan, agar tidak tergoda dengan pekerjaan yang berpenghasilan tinggi. Kasus-kasus yang ditangani Polda sumut paling banyak adalah perdagangan Perempuan khususnya Pekerja Seks Komersial. Dengan Modus Operandi pekerjaan yang layak.

2. Tugas di bidang Preventif.

Segala usaha dan kegiatan di bidang kepolisian preventif untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda dan barang termasuk memberikan perlindungan dan pertolongan , khususnya mencegah terjadinya pelanggaran hukum. Dalam melaksanakan tugas ini diperlukan kemampuan professional teknik tersendiri seperti patroli, penjagaan pengawalan dan pengaturan.65

Pada kenyataanya Polri melakukan razia-razia kehotel-hotel atau tempat yang dianggap sangat rawan berpotensi terjadinya perdagangan perempuan dengan cara

64

www.armanpasaribu.wordpress.com, Pengalaman polisi di Indonesia, diakses tanggal 2 Juni 2009.

65

(54)

memperkerjakan perempuan dibawah umur atau pun dewasa sebagai Pekerja Seks Komersial.

3. Tugas di bidang Represif.

Di bidang represif terdapat 2 (dua) jenis yaitu represif justisiil dan non justisiil. UU No. 2 tahun 2002, memberi peran Polri untuk melakukan tindakan-tindakan

represif non Justisiil terkait dengan Pasal 18 ayat 1(1) , yaitu wewenang ” diskresi

kepolisian” yang umumnya menyangkut kasus Trafficking. KUHAP memberi peran Polri dalam melaksanakan tugas represif justisiil dengan menggunakan azas legalitas bersama unsur Criminal Justice Sistem lainnya. Tugas ini memuat substansi tentang cara penyidikan dan penyelidikan sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.66

Jadi pada hakekatnya kegiatan Polri berurusan dengan proses-proses didalam masyarakat yang melibatkan komponen masyarakat secara horizontal, baik itu perorangan maupun golongan atau organisasi. Polri juga berurusan dengan hubungan yang bersifar vertikal yaitu antara komponen masyarakat dengan kekuasaan publik.67

Bila terjadi tindak pidana dalam trafficking, penyidik Polri melakukan kegiatan berupa:

a. Mencari dan menemukan suatu peristiwa yang dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan Trafficker;

b. Menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan terhadap trafficking ;

66

Ibid

67

Gambar

Tabel 1 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2005
Tabel 2 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2006
Tabel 3 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2007
Tabel 4 Data Kasus Trafficking Sejajaran Polda Sumut Tahun 2008
+2

Referensi

Dokumen terkait

Mengingat tingginya nilai ekonomi dan meningkatnya permintaan bunga potong maupun tanaman hias di dalam maupun luar negeri, maka pengembangan budidaya

Hubungan upaya preventif dalam seksual menyimpang pada remaja dengan resiko penyimpangan seksual Berdasarkan tabel 7 menunjukkan bahwa dari 48 responden upaya

Pembebasan virion terjadi menyerupai kuntum-kuntum, memenag telah diketahui bahwa selubung partikel virus terdiri dari membran hospes yang mememng dapat dimodifikasi oleh

Setiap sumuran ditambahkan dengan solution avidin-HRP sebanyak 100 µl lalu plate ditutup dan diinkubasi selama 30 menit pada suhu ruang dengan shaking. Isi di

Dalam upaya mengembangkan keterampilan kewarganegaraan guru PPKn di MTs Al – Ikhlas Tanjung Bintang menyisipkan nilai-nilai keislaman kepada peserta didik melalui

Skema adalah suatu struktur mental atau struktur kognitif yang dengannya seseorang secara intelektual beradaptasi dan mengkoordinasi lingkungan sekitarnya (Baldwin,

a) masyarakat kecamatan Darul Imarah tidak terpengaruh oleh iklan layanan masyarakat hemat listrik yang dilakukan oleh PLN di media komunikasi yakni televisi,

Pada proses ini bahan-bahan material dasar yang dicampur tidak sekaligus dimasukan untuk dicampur atau diaduk, tetapi dilakukan secara bertahap, untuk itu