• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Mutu Lahan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pengendalian Mutu Lahan

Analisis statistik dilakukan terhadap data dari 300 responden yang dikumpulkan dari penelitian di empat kecamatan yang meliputi Kecamatan Bungkal, Balong, Sawoo, dan Sambit. Dalam satu kecamatan diambil dua sampel desa yaitu desa yang mutu lahannya relatif baik dan desa yang mutu lahannya reatif kurang baik. Di desa yang mutu lahannya relatif lebih baik, dibagi kembali menjadi dua kelompok responden yaitu 30 orang yang mengikuti program dari pemerintah dan 15 responden yang tidak mengikuti program, namun diduga memperoleh dampak dari peserta yang mendapat program. Analisis statistik dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan pengendalian mutu lahan kering yang meliputi aspek pelayanan pemerintah yang meliputi dana, sarana, sumberdaya manusia dan metode kerja; aspek kependudukan yang meliputi kesehatan, pendidikan, ekonomi dan budaya serta lingkungan yang meliputi sumberdaya air, dan teknologi pertanian. Mutu lahan kering diindikasikan dari beberapa hal yang meliputi trend produksi lahan, frekuensi tanam dan jumlah tegakan (tanaman keras).

Hasil uji statistik Chi-Square (α= 0,05) menunjukkan bahwa faktor faktor yang berhubungan signifikan dengan mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo ialah pengetahuan bertani (p-value= 0,030) dan perilaku bertani (p- value=0,040). Hasil analisis data menunjukkan ada perbedaan antara responden berpengetahuan bertani “kurang” dengan responden berpengetahuan bertani “cukup” terhadap pengendalian mutu lahan kering; atau dapat disimpulkan bahwa pengendalian mutu lahan kering yang dikelola oleh petani yang berpengetahuan “cukup” adalah lebih baik dari hasil pengelolaan oleh petani yang berpengetahuan “kurang.” Lahan kering diharapkan bermutu baik dan berproduksi optimal, dan pada gilirannya akan berdampak positif dalam mengentaskan petani dalam menjalankan usaha taninya secara baik dan semakin berdaya dalam menjalankan kehidupannya. Pengetahuan responden yang dinilai masih kurang yaitu tentang ciri-ciri lahan kering yang dapat digunakan untuk berusaha, faktor-faktor penyebab produksi tani lahan kering rendah, dampak dari mutu lahan kering yang

rendah, cara-cara meningkatkan mutu lahan kering, faktor-faktor pendukung peningkatan mutu lahan kering untuk usaha tani, faktor-faktor pendukung penurunan mutu lahan kering untuk usaha tani, dampak positif dan negatif penggunaan pupuk buatan atau kimia, hubungan antara pengelolaan sumberdaya dan lingkungan dengan mutu lahan kering untuk usahatani; sumber-sumber yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan mutu lahan kering untuk usahatani. Rendahnya pengetahuan petani besar kemungkinan akan mempengaruhi lambatnya pengendalian mutu lahan kering garapannya.

Selain pengetahuan, tampak pula ada perbedaan antara responden yang berperilaku tani “cukup” dengan responden yang berperilaku tani “kurang” terhadap pengendalian mutu lahan kering. Berdasarkan hasil analisis ini dapat disimpulkan bahwa pengendalian mutu lahan kering yang dikelola oleh responden yang berperilaku tani “cukup” akan lebih baik dari pada yang dikelola oleh responden yang berperilaku bertani ”kurang.” Perilaku responden yang dinilai masih kurang positif yaitu besar frekuensi penggunaan pestisida dalam bertani, jumlah penanaman tanaman pohon keras di areal lahan, penebangan tanaman pohon keras, frekuensi mengikuti penyuluhan dan bimbingan teknis dari pemerintah dan swasta, dan frekuensi konsultasi kepada petugas pertanian setempat.

Dari hasil penelitian ini tergambar bahwa pengetahuan dan perilaku bertani sebagian besar responden masyarakat yang tersebar 12 lokasi penelitian masih kurang memadai dibandingkan kebutuhan akan pengendalian mutu lahan kering secara efektif. Hal ini menunjukkan pentingnya pemerintah dan

stakeholder untuk selalu meningkatkan pengetahuan dan perilaku para petani dalam mengelola lahan kering yang bermutu baik, dengan merujuk pada Undang- Undang Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2006 Tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, berikut aturan pelaksanaannya. Roseland (2000) mengemukakan bahwa pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan harus memberikan akses ke sumbedaya alam yang cukup namun tetap memperhatikan aspek konservasi atas sumberdaya alam tersebut, menjaga norma dan kohesi sosial untuk mencapai kesejahteraan. Masyarakat perlu dipersiapkan agar dapat memainkan peranan sentralnya sebagai makhluk ciptaan Allah SWT yang paling sempurna dalam

sistem kehidupan alam semesta. Manusia perlu dibekali pengetahuan dan keterampilan yang benar-benar memadai sesuai dengan lapangan kerja yang ia hadapi. Hal ini sejalan dengan pernyataan Cuu Long Delta Rice Research Insitutue (1992) bahwa para tenaga kerja budidaya tanaman padi perlu penyuluhan yang intensif tentang budidaya tanaman karena mereka ini memerlukan lebih banyak pengetahuan dan keterampilan di dalam pertanian, khususnya di dalam manajemen tanaman.

Berdasarkan hasil analisis Structure Equation Model (SEM) terhadap data dari 300 responden diperoleh hasil analisis empiris yang menggambarkan pengaruh antara karakteristik petani, faktor sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap keberdayaan masyarakat tani lahan kering (Gambar 7, Gambar 8, dan Gambar 9). Analisis SEM pada penelitian ini menggunakan program software

statistik LISREL-8w (Joreskog & Sorbom 1989), untuk pengujian validitas konstrak yang sering dilakukan dalam analisis data ilmu-ilmu sosial. Validitas konstrak berhubungan dengan ide Campbell dan Fiske, diacu dalam Melby et al. (1995b) tentang validitas konvergen (convergent validity) dan diskriminan (discriminant validity). Validitas ini dapat diukur dengan cara melakukan korelasi antar variabel-variabel yang secara teoritis berhubungan erat (validitas konstrak dan konvergen) atau tidak berhubungan (validitas diskriminan) (Bollen 1989). Untuk menyimpulkan suatu ukuran adalah valid, ada dua hal yang harus diperhatikan yaitu dengan mengetahui bahwa ukuran tersebut harus berhubungan kovarian (covary) dengan ukuran-ukuran lain yang ada pada konstrak yang sama dan berhubungan dengan ukuran-ukuran lain pada konstrak yang lain dalam suatu model teoritis yang bermakna (Bollen 1989; Anastasi dalam Melby et al. 1995b).

Hasil analisis SEM (Gambar 8 dan Gambar 9), menunjukkan bahwa nilai

Chi-Square, GFI (Goodness of Fit Index), dan RMSE (Root Mean Square Error)

berturut-turut adalah 728,44 (p=0,00) dan 0,97 dan 0,079; dengan demikian maka dikatakan cocok atau fit dengan data yang dikumpulkan, karena angka- angka tersebut telah melampui batas Cutt-off-Value, sehingga bisadikatakan suatu model fit. Hasil analisis SEM menunjukkan bahwa keberdayaan masyarakat tani lahan kering yang diindikasikan melalui indikator ketahanan gizi dan pangan,

tempat tinggal dan sanitasi, dan pendidikan (nilai γ = (1), (0,23) dan (0,24) dipengaruhi secara positif oleh kemampuan petani dalam melakukan coping strategy(β=0,41).

Gambar 7 Skema hubungan coping strategy dengan tingkat keberdayaan masya- rakat tani lahan kering

Berdasarkan T-Hitung diketahui bahwa variabel indikator (teramati) yang signifikan mengindikasikan karakteristik individu (KI) adalah jenis kelamin. Sedangkan faktor sosial (FS) diindikasikan oleh tingkat kosmopolitan, modal sosial dan peran pendamping sebagaimana model teoritis yang diajukan. Faktor ekonomi (FE) diindikasikan oleh variabel oleh kepemilikan asset dan kemampuan

Tingkat Keberdayaan Masyarakat Tani Lahan

Kering (MKL)  Ketahanan Pang an dan

Gizi (V22_A)  KetahananTempat Tinggal d an Sanitasi (V23_A)  Ketahanan Kesehatan (V24_A)  Ketahanan Pendidikan (V25_A) Faktor Sosial (FS)  Tingkat cosmopolitan (V4_A)

 Modal Sosial (V5_A)

 Peran pendamping (V6_A)

Faktor Ekonomi (FE)  Kepemilikan Aset

(V12_A)

 Tingkat Pendapatan (V13_A)

 Kemampuan Akses Pasar (V14_A)

Faktor Ekologi/ Lingkungan

(FEL)

 Kondisi Lahan (V15_A)

 Keragaan Praktek Konservasi (V16_A)  Penggunaan Teknologi Pertanian (V17_A) Coping strategy Masyarakat Tani Lahan Kering dalam

Proses Kegiatan: (CS)  Produksi (V18_A)  Konsumsi (V19_A)  Pengolahan (V20_A)  Pemasaran(V21_A) Karekteristik Individu (KI)

 Jenis Kelamin (V1_A)

 Umur (V2_A)

 Tingkat Pendidikan (V3_A)

Tingkat Kecakapan Hidup (life skill) Masyarakat Tani Lahan Kering (LS)  Personal (V7_A)  Sosial (V8_A)  Berfikir (V9_A)  Akademis (V10_A)  Vokasional (V11_A)

akses pasar. Adapun faktor ekologi/lingkungan (PEL) diindikasikan oleh variabel teramati kondisi lahan, praktek konservasi dan penggunaan teknologi pertanian. Sesuai hasil T-Hitung diketahui juga bahwa variable yang berpengaruh nyata terhadap coping strategy adalah FE. Karakteristik individu, faktor sosial, dan faktor ekologi/lingkungan tidak berpengaruh secara nyata terhadap coping strategy. Sedangkan coping strategy berpengaruh secara nyata terhadap tingkat keberdayaan masyarakat tani lahan kering (MLK).

Jika [T-Hitung] < 1.96 maka tidak signifikan (dalam gambar berwarna merah) Gambar 8 Pengaruh karakteristik petani, faktor sosial, ekonomi dan lingkungan

terhadap keberdayaan petani lahan kering (T-Hitung)

Semakin baik kemampuan petani melakukan coping strategy maka tingkat keberdayaan petani akan semakin baik. Upaya coping strategy yang diukur dalam penelitian ini adalah tingkat kemampuan petani dalam mengelola emosi (stress)

dan upaya pemecahan nyata atas persoalan yang dihadapi hal-hal yang terkait

T-Hitung -24.45 3.87 -7.63 -5.41 -0.20 4.40 -1.04 9.41 0.11 2.18 -1.34 V1_A 0.00 V2_A 12.23 V3_A 12.23 V4_A 12.24 V5_A 9.87 V6_A 12.17 V12_A 12.23 V13_A 12.23 V14_A 0.00 V15_A 11.68 V16_A 4.23 V17_A 10.65 KI FS FE FEL LS CS MLK V7_A 11.35 V8_A 8.36 V9_A 8.17 V10_A 11.74 V11_A 10.80 V18_A 5.84 V19_A 11.31 V20_A 10.33 V21_A 8.71 V22_A 0.00 V23_A 12.23 V24_A 12.23 V25_A 12.23

Chi-Square=728.44, df=256, P-value=0.00000, RMSEA=0.079

9.19 9.22 -6.62 8.23 5.57 3.29 4.57 4.19 19.55 3.93 0.17 4.46 24.45 -1.67 -1.16 6.82 14.31 2.90 2.18 -1.69

dalam kegiatan produksi, konsumsi, pengolahan dan pemasaran hasil pertanian. Dari hasil analisis SEM menunjukkan bahwa empat hal di atas significant

mencerminkan coping strategy dengan nilai γ berturut-turut adalah (0,59), (0,42), (0,37), dan (0,27) untuk produksi, pemasaran, pengolahan dan konsumsi hasil pertanian.

Gambar 9 Pengaruh karakteristik petani, faktor sosial, ekonomi dan lingkungan terhadap keberdayaan petani lahan kering

Hasil analisis di atas sejalan dengan pendapat Lazarus & Susan (1984) strategi coping yang menunjuk pada berbagai upaya, baik mental maupun perilaku, untuk menguasai, mentoleransi, mengurangi, atau meminimalkan suatu situasi atau kejadian yang penuh tekanan. Dengan perkataan lain strategi coping

merupakan suatu proses di mana individu berusaha untuk menangani dan menguasai situasi stres yang menekan akibat dari masalah yang sedang dihadapinya dengan cara melakukan perubahan kognitif maupun perilaku guna memperoleh rasa aman dalam dirinya. Coping adalah merupakan respon terhadap ketegangan eksternal yang berfungsi untuk mencegah, menghindari, atau mengendalikan tekanan emosional. Menurut Monat dan Richard (1977) proses

V1_A 0.00 V2_A 0.99 V3_A 1.00 V4_A 0.86 V5_A 0.44 V6_A 0.97 V12_A 0.98 V13_A 0.99 V14_A 0.00 V15_A 0.93 V16_A 0.50 V17_A 0.84 KI FS FE FEL LS CS MLK V7_A 0.71 V8_A 0.33 V9_A 0.32 V10_A 0.78 V11_A 0.56 V18_A 0.66 V19_A 0.93 V20_A 0.86 V21_A 0.83 V22_A 0.00 V23_A 0.95 V24_A 1.00 V25_A 0.94

Chi-Square=728.44, df=256, P-value=0.00000, GFI (Goodness of Fit) = 0,97, RMSEA=0.079

0.54 0.82 0.83 -0.47 0.66 0.59 0.27 0.37 0.42 1.00 0.23 0.01 0.24 1.00 -0.10 -0.07 0.37 0.75 0.18 0.13 -0.10 -1.00 0.26 -0.71 -0.40 -0.30 0.41 -0.05 1.01 0.16 0.22 -0.18

coping adalah usaha mengatasi kondisi bahaya (Monat dan Richard 1977, diacu dalam Sussman & Steinmetz (1986), ancaman atau tantangan dan tuntutan lingkungan harus memberikan solusi untuk berperilaku yang harus disesuaikan untuk dapat menghadapi stres. Menurut Stuart dan Sundeen (1991), mekanisme

coping adalah berbagai usaha yang dilakukan individu untuk menanggulangi stres yang dihadapi. Menurut Lazarus dan Folkman (1984) keadaan stres yang dialami seseorang akan menimbulkan efek yang kurang menguntungkan baik secara fisiologis maupun psikologis. Individu tidak akan membiarkan efek negatif ini terus terjadi, individu tersebut akan melakukan suatu tindakan untuk mengatasi atau menangani hal ini. Tindakan yang diambil individu ini dinamakan coping. Mekanisme coping sering dipengaruhi oleh latar belakang budaya pengalaman dalam menghadapi masalah, faktor lingkungan kepribadian, konsep diri individu, faktor sosial dan lain-lain, itu sangat berpengaruh pada kemampuan individu dalam menyelesaikan masalah.

Para ahli menggolongkan dua strategi coping yang lazim digunakan oleh individu, yaitu: (1) problem-solving focused coping, di mana individu secara aktif mencari penyelesaian dari masalah untuk menghilangkan kondisi atau situasi yang menimbulkan stres; dan (2) emotion-focused coping, di mana individu melibatkan usaha-usaha untuk mengatur emosinya dalam rangka menyesuaikan diri dengan dampak yang akan ditimbulkan oleh suatu kondisi atau situasi yang penuh tekanan. Hasil penelitian membuktikan bahwa individu menggunakan kedua cara tersebut untuk mengatasi berbagai masalah yang menekan dalam berbagai ruang lingkup kehidupan sehari-hari (Lazarus & Susan 1984).

Sebagaimana disinggung di atas, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa

coping strategy masyarakat tani dipengaruhi secara positif oleh faktor ekonomi (β=0,22). Artinya semakin baik keadaan ekonomi petani akan meningkatkan kemampuan masyarakat tani dalam melakukan coping strategy. Masyarakat yang sukses secara ekonomi, telah membuktikan dirinya bertahan (survive) dalam mengarungi kehidupan yang serba sulit (terbatas) di lahan kering. Hal ini sejalan dengan dengan pendapat Lazarus & Susan (1984) yang mengatakan bahwa faktor yang menentukan strategi mana yang paling banyak atau sering digunakan sangat tergantung pada kepribadian seseorang dan besarnya tingkat stres dari suatu

kondisi atau masalah yang dialaminya terutama yang terkait dengan himpitan ekonomi; contoh seseorang cenderung menggunakan problem-solving focused coping dalam menghadapi masalah-masalah yang menurutnya bisa dikontrol seperti masalah yang berhubungan dengan sekolah atau pekerjaan; sebaliknya ia akan cenderung menggunakan strategi emotion-focused coping ketika dihadapkan pada masalah-masalah yang menurutnya sulit dikontrol seperti masalah-masalah yang berhubungan dengan penyakit yang tergolong berat seperti kanker atau

acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).

Hampir senada dengan penggolongan jenis coping seperti dikemukakan di atas, dalam literatur tentang coping juga dikenal dua strategi coping, yaitu active

& avoidant coping strategy sementara Lazarus (1984) mengkategorikan menjadi

Direct Action & Palliative. Active coping merupakan strategi yang dirancang untuk mengubah cara pandang individu terhadap sumber stres, sementara

avoidant coping merupakan strategi yang dilakukan individu untuk menjauhkan diri dari sumber stres dengan cara melakukan suatu aktivitas atau menarik diri dari suatu kegiatan atau situasi yang berpotensi menimbulkan stres. Apa yang dilakukan individu pada avoidant coping strategy sebenarnya merupakan suatu bentuk mekanisme pertahanan diri yang sebenarnya dapat menimbulkan dampak negatif bagi individu karena cepat atau lambat permasalahan yang ada haruslah diselesaikan oleh yang bersangkutan. Permasalahan akan semakin menjadi lebih rumit jika mekanisme pertahanan diri tersebut justru menuntut kebutuhan energi dan menambah kepekaan terhadap ancaman.

Menurut John et al. (1998), ada dua jenis mekanisme coping yang terjadi pada individu yaitu coping yang berpusat pada masalah (problem foused form of coping mechanism) dan coping yang berpusat pada emosi (emotion focused of coping). Coping yang berpusat pada masalah diarahkan untuk mengurangi tuntutan situasi yang menimbulkan stres atau mengembangkan sumberdaya atau mengatasinya. Mekanisme coping ini bertujuan untuk menghadapi tuntutan secara sadar, realistis, objektif, dan rasional. Menurut Stuart dan Sundeen (1991), hal-hal yang berhubungan dengan mekanisme coping yang berpusat pada masalah adalah: (1) coping konfrontasi adalah mengambarkan usaha-usaha untuk mengubah keadaan atau masalah secara agresif, juga menggambarkan tingkat

kemarahan serta pengambilan resiko; (2) isolasi, individu berusaha menarik diri dari lingkungan atau tidak mau tahu dengan masalah yang dihadapi; (3) kompromi, menggambarkan usaha untuk mengubah keadaan secara berhati- hati, meminta bantuan dari orang lain dan kerja sama dengan orang lain.

Menurut Stuart dan Sundeen (1991), jenis mekanisme coping yang berpusat pada emosi adalah: (1) denial, menolak masalah dengan mengatakan hal tersebut tidak terjadi pada dirinya; (2) rasionalisasi, menggunakan alasan yang dapat diterima oleh akal dan diterima oleh orang lain untuk menutupi ketidakmampuan dirinya; dengan rasionalisasi kita tidak hanya dapat membenarkan apa yang kita lakukan, tetapi kita juga merasa sudah selayaknya berbuat demikian menurut keadilan. (3) kompensasi, menunjukan tingkah laku untuk menutupi ketidakmampuan dengan menonjolkan sifat yang baik, atau karena frustasi dalam suatu bidang maka dicari kepuasan secara berlebihan dalam bidang lain; kompensasi timbul karena adanya perasaan kurang mampu; (4) represi, yaitu dengan melupakan masa-masa yang tidak menyenangkan dari ingatan dengan hanya mengingat waktu-waktu yang menyenangkan; (5) regresi, yaitu sikap seseorang yang kembali ke masa lalu atau bersikap seperti anak kecil yang dalam regresi secara tidak sadar manusia mencoba berperilaku pada masa lalu; (6) sublimasi, yaitu seseorang mengekspresikan atau menyalurkan perasaan, bakat atau kemampuan dengan bersikap positif; (7) identifikasi, yaitu meniru cara berfikir, ide dan tingkah laku orang lain; pada umumnya seseorang manusia ini mengidentifikasikan dirinya dnegan seseorang yang mirip sekali dengan dirinya; (8) proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain tentang kesulitannya sendiri atau melampiaskan kepada orang lain; (9) konversi, yaitu mentransfer atau memindahkan reaksi psikologi ke gejala fisik; (10) displacement, yaitu reaksi emosi terhadap seseorang atau suatu benda yang diarahkan kepada seseorang atau suatu benda lain; (11) reaksi formasi, yaitu membentuk reaksi baru yang bertolak belakang atau tidak sesuai dengan perasaan sendiri.

Menurut Lazarus dan Susan (1984), secara umum strategi coping dapat dibagi menjadi dua yaitu coping berfokus pada masalah dan coping berfokus pada emosi. Coping berfokus pada masalah, individu melakukan suatu tindakan yang diarahkan kepada pemecahan masalah. Individu akan cenderung menggunakan

perilaku ini bila dirinya menilai masalah yang dihadapi dapat dikontrol dan diselesaikan. Yang termasuk dalam jenis coping ini adalah: (1) planful problem solving yaitu bereaksi dengan melakukan usaha-usaha tertentu yang bertujuan untuk mengubah keadaan, diikuti pendekatan analitis dalam menyelesaikan masalah; (2) confrontative coping yaitu bereaksi untuk mengubah keadaan yang dapat menggambarkan tingkat resiko yang harus diambil; (3) seeking social support yaitu bereaksi dengan mencari dukungan dari pihak luar, baik berupa informasi, bantuan nyata, maupun dukungan emosional.

5.2. Gambaran Pendapat Responden Dinas dan Instansi Mengenai Pengendalian Mutu Lahan Kering Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Ponorogo

Berdasarkan rencana penelitian, pengumpulan data dari dinas dan instansi dilakukan dengan teknik menggali pendapat pribadi responden menurut pengalaman dan kompetensi mereka masing-masing secara struktural dan fungsional dalam jabatan pemerintahan dan kaitannya dengan pengendalian mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo. Jawaban responden diharapkan dapat menggambarkan program-program yang telah dikembangkan selama ini, cara kerja lintas program dan lintas sektoral yang dilakukan, berkaitan dengan pengendalian mutu lahan kering di wilayah kerjanya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tertuang dalam lembar kuesioner, yaitu tentang: (1) strategi dan taktis operasional yang telah dikembangkan oleh dinas dan instansi, tempat responden bekerja dalam rangka implementasi kebijakan pengendalian mutu lahan kering di wilayah kerjanya; (2) pendapat responden tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah degradasi lahan kering di wilayah kerjanya; (3) pendapat responden tentang metode yang paling efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat dalam pengendalian mutu lahan kering; (4) pendapat responden tentang cara efektif mencegah kerusakan lahan kering; (5) pendapat responden tentang faktor utama yang paling berkaitan dengan mutu layanan petugas terhadap masyarakat tani lahan kering; (6) pendapat responden tentang cara meningkatkan frekuensi dan mutu penyuluhan pertanian; (7) pendapat responden tentang cara pengembangan dana operasional pengendalian mutu lahan kering; (8) pendapat responden tentang cara paling efektif pengembangan

kerjasama lintas program dan sektoral di tingkat kabupaten sampai tingkat desa atau kelurahan dalam rangka peningkatan mutu lahan kering; (9) pendapat responden tentang cara efektif untuk menegakkan hukum lingkungan hidup; (10) pendapat responden tentang cara meningkatkan pendapatan masyarakat tani lahan kering di wilayah kerjanya; (11) pendapat responden tentang cara meningkatkan dukungan tokoh masyarakat dalam rangka pengendalian mutu lahan kering; (12) jumlah penyuluhan yang telah dilaksanakan oleh responden untuk peningkatan pengetahuan dan sikap masyarakat dalam hal pengendalian mutu lahan kering (penyuluhan langsung, menggunakan media cetak, elektronik dan media tradisional, dan lainnya); (13) pendapat responden tentang kebutuhan penyuksesan pengendalian mutu lahan kering pada masa yang akan datang.

Hasil analisis jawaban responden atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam kuesioner tersebut ialah: (1) sebagian besar responden menaruh perhatian besar terhadap pentingnya konservasi lahan kering; (2) faktor yang berhubungan dengan masalah degradasi lahan kering dan penting dikendalikan berbasis pemberdayaan masyarakat ialah pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat tentang bertani; (3) metode yang paling efektif untuk meningkatkan pengetahuan dan sikap masyarakat dalam pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat ialah penyuluhan dan bimbingan teknis oleh petugas pertanian; (4) metode yang paling efektif untuk mencegah kerusakan lingkungan ialah dengan penegakan hukum dan sistem pendidikan; (5) faktor utama yang paling berkaitan dengan tingkat mutu layanan petugas kepada petani lahan kering ialah sumberdaya manusia, dana, teknologi, dan sarana; (6) cara efektif meningkatkan frekuensi dan mutu layanan penyuluhan pertanian ialah dengan pengembangan kerjasama lintas program dan lintas sektoral serta partisipasi aktif masyarakat desa; (7) cara pengembangan dana operasional pengendalian mutu lahan kering ialah dengan pengajuan usulan tambahan anggaran kepada pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, serta penggalian swadaya masyarakat; (8) cara paling efektif untuk meningkatkan kerjasama lintas program dan lintas sektoral ialah pembagian tugas yang jelas disertai pendanaannya, meningkatkan pertemuan berkala, dan pengembangan sistem kerjasama; (9) cara efektif menegakkan aturan untuk menjaga mutu lahan kering ialah dengan

penyebarluasan informasi, membentuk tim khusus penegak hukum, dan contoh teladan dari penyelenggara negara; (10) cara meningkatkan pendapatan petani ialah dengan pelatihan untuk memanfaatkan potensi masyarakat, menanami tanaman tumbuhan dan mengendalikan harga pemasaran; (11) cara meningkatkan dukungan tokoh masyarakat dalam rangka pengendalian mutu lahan kering ialah dengan cara mengaktifkan mereka dalam wadah organisasi partisipasi masyarfakat atau dengan pendekatan perorangan.

Dari jawaban responden diketahui pula bahwa selama ini kegiatan penyuluhan telah dilakukan secara rutin, terutama di daerah-daerah yang menjadi lokasi intensifikasi program pemerintah atau swasta. Dalam periode lima tahun belakangan penyuluhan perorangan dilakukan 270 kali oleh 5 responden; 986 kali penyuluhan kelompok oleh 20 responden, titip pesan melalui radio 403 kali oleh 9 responden; penyampaian informasi melalui televisi lima kali oleh 2 orang; melalui media cetak 12 kali oleh tiga orang; dan titip pesan melalui media tradisional.

Adapun kebutuhan prioritas dalam rangka pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat menurut responden pada dasarnya senada dengan jawaban yang telah dikemukakan, yakni berkaitan dengan pengembangan kerjasama lintas program dan lintas sektoral. Mereka menilai kerjasama lintas program dan lintas sektoral selama ini belum optimal dan perlu ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan pendapat Winoto et al. (2008) yang menekankan perlunya koordinasi antar departemen (koordinasi horizontal) dan koordinasi antar tingkatan yang berbeda dalam pemerintahan (koordinasi vertikal).

Kebutuhan lain responden ialah meningkatnya frekuensi dan mutu penyuluhan serta bimbingan teknis pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat atau peningkatan pengetahuan dan keterampilan masyarakat dengan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya, sumber dana, dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan tetap menjunjung tinggi kearifan atau budaya lokal. Hal ini sejalan dengan pendapat Roseland (2000)