• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rainfed areas quality control model based on community empwerment in Ponorogo district

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Rainfed areas quality control model based on community empwerment in Ponorogo district"

Copied!
214
0
0

Teks penuh

(1)

DI KABUPATEN PONOROGO

RIMUN WIBOWO

PROGRAM STUDI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

(2)
(3)

iii

Dengan ini Saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengendalian Mutu Lahan Kering Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Ponorogo adalah karya Saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(4)
(5)

v

ABSTRACT

RIMUN WIBOWO. Rainfed Areas Quality Control Model Based on Community Empwerment in Ponorogo District. Under direction of SJAFRI MANGKU-PRAWIRA (as a Chairman Committee), ASEP SAEFUDDIN, SUMARJO GATOT IRIANTO (as members).

To control quality of rainfed areas as well as the farmers‟ welfare has been done by local government (Ponogoro). It‟s still not success yet because it is still a partial approach. Therefore, it is very important to research and develop model how to control quality of rainfed based on community empowerment with integrated (system) approach. Location of this research is in Ponorogo District with 326 respondens, consist of 6 experts, 20 linkage agencies staffs and 300 farmers. Analytical Hierarchy Process (AHP), Interpretative Structural Modelling (ISM), System, Chi-Square and Structure Equation Model- SEM were implemented to analyzed the problems. Based on the data and information collected and analyzed, model that reflected the the real situation, simulated and validated. The model was established using system approach at community level, local government services and ecology. Based on AHP analysis known that element priority of quality control rainfed in Ponorogo District and then continuing ISM analysis to found key factors of rainfed quality control. Based on these key factors, then formulated scenario condition whether pesimistict, moderate or optimistict. These scenarios applied in the model that have been developed in previous stage with system approach, and resulting policy formulation as follows:1)improving cooperation among lingkage agencies and sectors; 2) improving frequency and quality extension and technical guidance to the farmers; 3) improving readiness of farmers to receive better of knowledge, behavior and positive perspective in managing rainfed; 4) Developing ability of farmers in technical skill in managing rainfed quality control.

(6)
(7)

vii

RINGKASAN

RIMUN WIBOWO. Model Pengendalian Mutu Lahan Kering Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Ponorogo. Dibimbing oleh SJAFRI MANGKUPRAWIRA, ASEP SAEFUDDIN, dan SUMARJO GATOT IRIANTO.

Dewasa ini pengendalian mutu lahan kering untuk usaha tani di Kabupaten Ponorogo belum optimal. Luas lahan kering yang digarap untuk usahatani hingga tahun 2010, baru mencapai 30.203 hektar atau 29,52% dari jumlah lahan kering keseluruhan. Hasil produksi lahan kering untuk beberapa komoditi tanaman di 12 desa dalam empat kecamatan (Bungkal, Balong, Sawoo, Sambit) dalam tiga tahun terakhir masih di bawah target, bahkan ada yang mengalami gagal panen. Hasil panen padi per hektar per tahun rata-rata hanya 59,39% dari target, hasil panen jagung rata-rata 44,58%, hasil panen ubi rata-rata 67,76% dari target,dan hasil panen kacang tanah rata-rata 78,13%. Di samping itu, degradasi lahan di desa-desa tersebut masih terjadi pada kisaran satu sampai dua persen per tahun termasuk erosi (DPK, 2010). Penyebab dari belum optimalnya hasil pengendalian tersebut diduga berhubungan dengan faktor: (1) pengetahuan dan keterampilan petani tentang pengendalian mutu lahan kering yang belum optimal; (2) layanan pemerintah yang belum optimal; (3) sumberdaya alam dan lingkungan belum dimanfaatkan secara berkelanjutan termasuk penerapan teknologi pertanian. Semua ini merupakan masalah sekaligus tantangan yang harus dihadapi dan diselesaikan oleh pemerintah, masyarakat, dan para stakeholder, khususnya pemerhati dan ilmuwan bidang pertanian dan kehutanan. Dengan terselesaikannya masalah ini maka tujuan yang diharapkan oleh pemerintah dan masyarakat berupa tercukupinya kebutuhan pangan, papan, terciptanya lapangan kerja dan berusaha, menurunnya angka kemiskinan, serta terjaganya kelestarian lingkungan hidup akan segera terwujud.

Agar hasil pengendalian efektif dan lebih lestari maka penyelesaian masalah-masalah tersebut hendaknya benar-benar berbasis pemberdayaan masyarakat. Masyarakat yang berdaya yang dimaksud adalah masyarakat yang memiliki pengetahuan, sikap, motivasi, kedisiplinan, dana, sarana, keterampilan, dan perilaku positif akan menentukan kesuksesan dan efektivitas program. Mengingat masalah yang dihadapi bersifat sistemik maka untuk penyelesaiannya perlu menggunakan pendekatan sistem sebagai satu kesatuan yang utuh, bukan dengan penyelesaian secara parsial (partial). Pengendalian mutu lahan kering di Kabupaten Ponorogo diduga akan lebih efektif jika senantiasa berbasis pemberdayaan masyarakat yang dirumuskan berdasarkan hasil pendekatan sistem berdasarkan data dan informasi yang relevan dari hasil penelitian ilmiah.

(8)

viii

dengan stratified random sampling. Pengumpulan data menggunakan kuesioner; dan analisisnya dilakukan secara deskriptif, analisis hubungan variabel dengan bantuan komputer.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor pengetahuan bertani dan perilaku bertani berhubungan signifikan dengan pengendalian mutu lahan kering. Keberdayaan masyarakat tani lahan kering yang diindikasikan melalui ketahanan gizi dan pangan, tempat tinggal dan sanitasi, dan pendidikan dipengaruhi secara positif oleh kemampuan petani dalam melakukan coping strategy. Sementara itu coping strategy masyarakat tani dipengaruhi secara positif oleh faktor ekonomi, dalam arti semakin baik keadaan faktor ekonomi petani akan meningkatkan kemampuan masyarakat tani dalam melakukan coping strategy. Implikasinya diperlukan pembinaan intensif dari pemerintah dan pihak terkait untuk meningkatkan pengetahuan dan perilaku bertani masyarakat serta perbaikan keadaan faktor-faktor ekonomi petani ke arah yang lebih baik.

Hasil analisis menunjukkan bahwa sebagian besar responden dinas dan instansi menyatakan: (1) pentingnya konservasi lahan kering; (2) pentingnya peningkatan pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat tentang bertani dalam rangka pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan; (3) pentingnya penegakan aturan atau hukum berkaitan dengan sumberdaya alam dan lingkungan; (4) pentingnya peranan sumberdaya manusia, dana, teknologi, dan sarana; (5) pentingnya pengembangan kerjasama lintas program dan lintas sektoral serta partisipasi aktif masyarakat desa; (6) pentingnya pengajuan usulan tambahan anggaran pengendalian lahan kering kepada pemerintah pusat, provinsi, kabupaten, serta penggalian potensi dan swadaya masyarakat; (7) pentingnya meningkatkan dukungan tokoh masyarakat dalam rangka pengendalian mutu lahan kering. Hasil analisis pendapat pakar dengan pendekatan Analytical Hierarchy Process, menunjukkan bahwa dalam rangka pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo, aktor prioritas pertama ialah pemerintah Kabupaten Ponorogo; faktor prioritas pertama ialah lingkungan; tujuan prioritas pertama ialah tercegahnya degradasi lahan kering; kriteria prioritas pertama ialah edukatif; dan strategi prioritas pertama ialah peningkatan pemberdayaan masyarakat. Hasil analisis pendapat pejabat atau staf instansi terkait dengan pendekatan Interpretative Structural Modelling menunjukkan bahwa faktor kunci strategi pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ialah peningkatan kerjasama lintas program dan sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan.

(9)

ix

(1) pendapatan domestik regional bruto (PDRB) menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011 sebesar Rp 8.007.063.080.000 per tahun meningkat menjadi Rp 38.620.048.920.000 per tahun pada tahun 2030; kenaikan rata-rata per tahun sebesar Rp 1.530.649.292.000 per tahun, lebih besar dari kenaikan rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting (berturut-turut sebesar Rp 1.446.873.540.000; Rp 1.359.144.200.000; dan Rp 1.369.286.000.000 per tahun); (2) kesejahteraan yang dalam penelitian ini merupakan nilai transformasi manfaat langsung dari pendapatan, menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011 sebesar Rp 39.845,46 (KK/bulan) meningkat menjadi Rp 259.307,50 (KK/bulan) pada tahun 2030; kenaikan rata per tahun sebesar Rp 10.978,10 (KK/bulan) lebih besar dari kenaikan rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting (berturut-turut sebesar Rp 9.981,53; Rp 8.937,95; dan Rp 9.058,59); (3) persepsi masyarakat terhadap pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011 sebesar 62,81% meningkat menjadi 94,93% pada tahun 2030; kenaikan rata-rata per tahun sebesar 1,606% lebih besar dari kenaikan rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting (berturutturut sebesar 1,236%; -0,5445%; dan 0,287%); (4) penurunan luas lahan kering yang dapat digarap untuk usaha tani menurut hasil simulasi skenario optimistik pada tahun 2011 sebesar 45.530,49 ha menurun menjadi 42.586,48 ha pada tahun 2030; penurunan rata-rata per tahun sebesar 147,2 ha lebih kecil dari penurunan rata-rata-rata-rata per tahun pada hasil simulasi kondisi moderat, pesimistik, dan eksisting (berturut-turut sebesar 478,55 ha; 885,92 ha; dan 760,97 ha).

Mengacu pada hasil-hasil analisis data penelitian, dirumuskan beberapa kebijakan pendukung pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo, yaitu tentang (1) peningkatan kerjasama lintas program dan sektoral di semua tingkat administrasi pemerintahan; (2) peningkatan frekuensi dan mutu layanan penyuluhan dan bimbingan kepada masyarakat; (3) peningkatan kesiapan masyarakat menerima atau mencari pengetahuan dan berperilaku tani yang lebih baik serta bersikap positif dalam mengelola lahan kering; (4) pengembangan kemampuan teknis masyarakat tani dalam mengelola lahan kering secara baik. Saran penulis dalam rangka penyuksesan pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo: (1) kepada Pemerintah Kabupaten Ponorogo seyogyanya memanfaatkan model yang dibangun dari penelitian ini dipadukan dengan prinsip-prinsip otonomi daerah serta visi dan misi Kabupaten Ponorogo; (2) seyogyanya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang kelembagaan pengelolaan lahan kering agar pengendalian mutu lahan kering dapat berjalan dengan baik; (3) kepada petani lahan kering, seyogyanya senantiasa menumbuhkan keswadayaan atau kemandirian, lebih baik secara berkelanjutan, serta memanfaatkan dengan baik bantuan pemerintah dan pihak lainnya.

(10)

x

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

(11)

DI KABUPATEN PONOROGO

RIMUN WIBOWO

P062054704

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Bidang Minat Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

PROGRAM STUDI

PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN

SEKOLAH PASCASARJANA

(12)

xii

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S.

Guru Besar dalam Bidang Penyuluhan

Pembangunan pada Fakultas Ekologi Manusia IPB

2. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc.

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian IPB

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Prof. (Riset) Dr.Ir. I Wayan Rusastra, M.S. Ahli Peneliti Utama pada Pusat Analisis Sosek dan Kebijakan Pertanian (Pusat SE&KP) 2. Prof. Dr.Ir. Aida Vitayala Hubeis

(13)
(14)
(15)

xv

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil „alamin. Atas rahmat dan karunia Allah SWT disertasi ini dapat saya susun dengan baik. Judul penelitian yang dilaksanakan pada Februari 2011 sampai bulan Juli 2011 di Kecamatan Camat Bungkal, Balong, Sawoo, Sambit, Kabupaten Ponorogo (Jawa Timur) ini adalah “Model Pengendalian Mutu Lahan Kering berbasis Pemberdayaan Masyarakat”.

Terima kasih penulis haturkan dengan tulus kepada Prof. Dr. Ir. Sjafri Mangkuprawira, selaku ketua komisi pembimbing atas perhatian yang tulus yang telah dicurahkan kepada penulis selama proses pembimbingan, sejak penyusunan usulan penelitian, pelaksanaan penelitian sampai penyusunan disertasi ini. Berkat bimbingan, kesabaran dan ketulusan serta keikhlasan beliau, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini dengan baik. Dr. Ir. Asep Saefuddin dan Dr. Ir. Sumardjo Gatot Irianto, MS.DAA., selaku anggota komisi pembimbing atas segala arahan, masukan-masukan yang kritis dan motivasi selama penyusunan disertasi. Berkat dukungan semangat dari beliau berdua, penulis termotivasi untuk dapat menyelesaikan disertasi ini. Dalam kesempatan ini pula penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., selaku Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) IPB serta para dosen dan staf di lingkungan Program Studi PSL Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmu, arahan dan dukungan administrasi dalam proses penyelesaian studi dan penyusunan disertasi ini.

2. Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S. dan Dr. Ir. Herien Puspitasari, M.Sc., M.Sc., penguji luar komisi pada ujian kualifikasi. Dr. Ir. Syaiful Anwar, M.Sc. dan Prof. Dr. Ir. Sumardjo, M.S. penguji luar komisi pada ujian tertutup; Prof. (Riset) Dr. Ir. I Wayan Rusastra, M.S. dan Prof. Dr. Ir. Aida Vitayala Hubeis penguji luar komisi pada ujian terbuka.

(16)

xvi

telah banyak membantu penulis dalam pengambilan data di lapangan. Para petani lahan kering di Desa Kupuk, Koripan, Karangpatihan, Dadapan, Kori, Prayungan, Ngadisanan dan Maguan selaku responden yang membantu kelancaran pengumpulan data di lapangan.

5. Teman-teman sekantor dan seperjuangan di LPM EQUATOR serta teman-teman kuliah Angkatan VI PSL IPB terima kasih atas dukungan semangat yang diberikan sehingga penulis berhasil menyelesaikan disertasi ini. Bapak Henri, Mas Ipay (Firmansyah), Mba Rina terima kasih atas kesediaanya untuk berbagi selama penulis melakukan pengolahan data.

6. Ayah (alm) dan Ibu (almarhumah), kakak-kakak tercinta yang telah memelihara, merawat, dan membesarkan penulis dengan tulus dan ikhlas tanpa mengeluh serta tiada hentinya untuk berdoa bagi keberhasilan penulis, terima kasih pula pada adik-adik dan para ponakan yang telah turut berdoa untuk kesuksesan penulis.

Secara khusus, penulis mengucapkan terimakasih kepada istri tercinta Siti Rosyidah dan anak-anakku tercinta M. Shiddiq Ilham Noor dan Zakky M. Noor yang dengan penuh kesabaran, ketabahan, ketulusan, pengertian, dan kasih sayangnya telah setia mendampingi penulis selama penulis mengikuti pendidikan S3. Semoga amal baik kalian mendapat pahala dari Allah SWT. Amin.

Semoga hasil penelitian ini bermanfaat dan memberikan sumbangan keilmuan di bidang pemberdayaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan.

(17)

xvii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ponorogo, Jawa Timur, pada tanggal 2 Juli 1969, merupakan putra kelima dari enam bersaudara keluarga Somowardi (alm) dan Tumpak (alm). Pendidikan SD sampai SLTA ditempuh di kota kelahiran penulis. Pada tahun 1994 penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga (GMSK), Faperta IPB dan pada tahun 2006 penulis menyelesaikan pendidikan master pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan (KMP), Sekolah Pasca Sarjana IPB. Program doktor ditempuh oleh penulis mulai tahun 2006 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Setelah lulus sarjana penulis bekerja di berbagai program pemberdayaan masyarakat. Pada tahun 1999-2001 sebagai Wakil Ketua Lembaga Bangun Desa Sejahtera (LBDS) di Jakarta. Penulis juga mengajar mata kuliah pengembangan masyarakat di Jurusan Pengembangan Masyarakat, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarief Hidayatullah Jakarta pada tahun 2001-2002. Sejak tahun 1999 hingga sekarang penulis menjadi Direktur Lembaga Pengembangan Masyarakat (LPM) EQUATOR Bogor, yang menangani berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat dari pemerintah, swasta, maupun lembaga asing.

(18)

xviii

Halaman

DAFTAR ISI ... xviii

DAFTAR TABEL ... xxii

DAFTAR GAMBAR ... xxv

DAFTAR LAMPIRAN ... xxvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1.Latar Belakang ... 1

1.2.Tujuan Penelitian ... 3

1.3.Kerangka Pemikiran ... 3

1.4.Perumusan Masalah ... 8

1.5.Manfaat Penelitian ... 11

1.6.Kebaruan (Novelty) Penelitian... 11

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 13

2.1.Pembangunan Berkelanjutan ... 13

2.2.Sumberdaya Alam dan Lingkungan ... 14

2.3.Kerusakan Lahan Kering ... 14

2.3.1. Beberapa Hasil Penelitian Tentang Lahan Kering ... 16

2.3.2. Penyebab dan Akibat Kerusakan Lahan Kering ... 17

2.3.3. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Kependudukan ... 17

2.3.4. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Layanan Pemerintah ... 18

2.3.5. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Lingkungan dan Teknologi ... 18

2.4.Pengendalian Mutu Lahan Kering ... 21

2.5.Pemberdayaan Masyarakat ... 21

2.5.1. Model Pengembangan Masyarakat ... 25

2.5.2. Modal Sosial ... 28

2.5.3. Kemiskinan dan Kesejahteraan Masyarakat ... 32

2.5.4. Life Skill (Kecakapan Hidup) ... 32

2.5.5. Strategi Coping dan Jenisnya ... 39

(19)

xix

2.5.7. Beberapa Program Pemberdayaan Masyarakat ... 46

2.6.Pendekatan Sistem ... 50

2.6.1. Analisis Kebutuhan ... 51

2.6.2. Formulasi Permasalahan ... 51

2.6.3. Identifikasi Sistem... 51

2.6.4. Pemodelan Sistem ... 52

2.6.5. Validitas dan Sensitivitas Model... 52

2.7.Teori Keputusan dan Model serta Teknik Analisis ... 53

2.8.Analisis Kebijakan ... 55

2.9.Indeks Pembangunan Manusia (IPM)... 56

2.10. Stakeholder... 56

2.11. Focus Group Discussion (FGD) dan Wawancara Mendalam ... 56

III. METODOLOGI PENELITIAN... 57

3.1.Lokasi dan Waktu Penelitian ... 57

3.2.Rancangan Penelitian ... 57

3.3.Responden Penelitian ... 57

3.4.Batasan Istilah ... 58

3.5.Pengumpulan, Pengolahan, dan Analisis Data ... 60

3.5.1. Pengumpulan Data ... 62

3.5.2. Pengolahan Data ... 62

3.5.3. Analisis Data ... 63

3.6.Pendekatan Sistem dalam Pengendalian Mutu Lahan Kering ... 63

3.7.Analisis Skenario Faktor Penting dan Rekomendasi Kebijakan ... 66

3.8.Implementasi ... 67

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 69

4.1.Kabupaten Ponorogo ... 69

4.2.Kecamatan Bungkal, Kecamatan Balong, Kecamatan Sawoo, dan Kecamatan Sambit ... 70

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 95

(20)

xx

Kabupaten Ponorogo ... 104

5.3.Hasil Analytical Hierarchy Process (AHP) ... 107

5.3.1. Urutan prioritas “Aktor” berdasarkan “Fokus” ... 107

5.3.2. Urutan prioritas “Faktor” berdasarkan “Aktor”... 108

5.3.3. Urutan prioritas “Tujuan” berdasarkan “Aktor” ... 109

5.3.4. Urutan prioritas “Kriteria” berdasarkan “Aktor”... 110

5.3.5. Urutan prioritas “Strategi” berdasarkan “Aktor”... 111

5.3.6. Urutan prioritas “Tujuan” berdasarkan “Faktor”... 111

5.3.7. Urutan prioritas “Kriteria” berdasarkan “Faktor” ... 112

5.3.8. Urutan prioritas “Strategi” berdasarkan “Faktor” ... 113

5.3.9. Urutan prioritas “Kriteria” berdasarkan “Tujuan”... 114

5.3.10.Urutan prioritas “Strategi” berdasarkan “Tujuan”... 115

5.3.11.Urutan prioritas “Strategi” berdasarkan “Kriteria” ... 116

5.4.Hasil Interpretative Structural Modelling (ISM) ... 118

5.5.Pendekatan Sistem dalam Pengendalian Mutu Lahan Kering Berbasis Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 122

5.5.1. Analisis kebutuhan ... 122

5.5.2. Formulasi permasalahan ... 123

5.5.3. Identifikasi sistem ... 124

5.5.4. Simulasi model ... 132

5.5.5. Validasi model ... 137

5.5.6. Skenario model kebijakan pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo.... 142

5.5.7. Skenario simulasi sub model ekologi ... 150

VI. KEBIJAKAN PENGENDALIAN MUTU LAHAN KERING BERBASIS PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DI KABUPATEN PONOROGO .. 153

6.1.Kebijakan pada saat ini (eksisting) ... 153

6.1.1. Kebijakan Penyuluhan dan Bimbingan Kepada Petani ... 153

6.1.2. Kebijakan peningkatan bantuan sarana dan prasarana pertanian kapada petani lahan kering ... 155

(21)

xxi

6.2.Kebijakan Pendukung Pengendalian Mutu Lahan Kering Berbasis

Pemberdayaan Masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 157

6.3.Implikasi Keilmuan ... 168

VII.KESIMPULAN DAN SARAN... 173

7.1.Kesimpulan ... 173

7.2.Saran ... 174

(22)

xxii

Tabel Halaman

Tabel 1 Beberapa hasil penelitian tentang lahan kering dalam periode

tahun 1996 -2007 ... 16 Tabel 2 Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan

menurut Saaty (1983) ... 54 Tabel 3 Faktor-faktor dan aspek yang dianalisis dalam membangun

model pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan

masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 61 Tabel 4 Gambaran umum Desa Kupuk, Koripan, Karangpatihan, Kori,

Prayungan, Ngadisanan, dan Maguan di wilayah Kabupaten

Ponorogo ... 71 Tabel 5 Sebaran responden menurut umur ... 73 Tabel 6 Sebaran responden menurut jenis kelamin ... 74 Tabel 7 Sebaran responden menurut tingkat pendidikan ... 74 Tabel 8 Sebaran responden menurut pengeluaran rumah tangga

responden ... 76 Tabel 9 Sebaran responden menurut jenis dan cara mendapatkan

makanan pokok ... 77 Tabel 10 Sebaran responden menurut frekuensi menanam per tahun ... 78 Tabel 11 Sebaran responden menurut produksi lahan kering per tahun ... 79 Tabel 12 Sebaran responden menurut pengalaman gagal panen ... 80 Tabel 13 Sebaran responden menurut jumlah tanaman keras di lahan

garapan ... 82 Tabel 14 Sebaran responden menurut keadaan mutu lahan kering ... 82 Tabel 15 Sebaran responden menurut frekuensi penyuluhan dan

bimbingan teknis (Bintek) pengendalian lahan kering selama

lima tahun terakhir ... 83 Tabel 16 Sebaran responden menurut pengetahuan bertani ... 85 Tabel 17 Sebaran responden menurut persepsi dalam bertani ... 86 Tabel 18 Sebaran responden menurut perilaku dalam bertani ... 87 Tabel 19 Sebaran responden menurut sumber air untuk pertanian di

lahan kering ... 88 Tabel 20 Sebaran responden menurut sumber pengadaan pupuk untuk

pertanian di lahan kering ... 89 Tabel 21 Sebaran responden menurut sumber penggunaan pestisida

(23)

xxiii

Tabel 22 Keberadaan organisasi masyarakat petani lahan kering ... 91 Tabel 23 Sebaran jenis tanah di lokasi penelitian ... 92 Tabel 24 Nama dan jenis tanah di lokasi penelitian ... 92 Tabel 25 Padanan nama tanah berdasarkan beberapa sistem klasifikasi ... 93 Tabel 26 Matriks perbandingan antar elemen “Aktor” berdasarkan

“Fokus” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 108 Tabel 27 Matriks perbandingan antar elemen “Faktor” berdasarkan

“Aktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 109 Tabel 28 Matriks perbandingan antar elemen “Tujuan” berdasarkan

“Aktor” pengendalian lahan mutu kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 109 Tabel 29 Matriks perbandingan antar elemen “Kriteria” berdasarkan

“Aktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 110 Tabel 30 Matriks perbandingan antar elemen “Strategi” berdasarkan

“Aktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 111 Tabel 31 Matriks perbandingan antar elemen “Tujuan” berdasarkan

“Faktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 112 Tabel 32 Matriks perbandingan antar elemen “Kriteria” berdasarkan

“Faktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 113 Tabel 33 Matriks perbandingan antar elemen “Strategi” berdasarkan

“Faktor” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 114 Tabel 34 Matriks perbandingan antar elemen “Kriteria” berdasarkan

“Tujuan” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 114 Tabel 35 Matriks perbandingan antar elemen “Strategi” berdasarkan

“Tujuan” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 115 Tabel 36 Matriks perbandingan antar elemen “Strategi” berdasarkan

“Kriteria” pengendalian mutu lahan kering berbasis

pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 116 Tabel 37 Nilai atau bobot sub elemen strategi pengendalian mutu lahan

kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten

(24)

xxiv

Kabupaten Ponorogo ... 123 Tabel 39 Validasi jumlah penduduk Tabel 40 Validasi IPM... 142 Tabel 41 Validasi PDRB ... 142 Tabel 42 Kondisi faktor-faktor kunci atau penentu tingkat kepentingan

faktor-faktor yang berpengaruh pada pengendalian mutu lahan

kering ... 144 Tabel 43 Nilai kondisi faktor-faktor kunci atau penentu tingkat

kepentingan faktor faktor yang berpengaruh pada

pengendalian mutu lahan kering ... 145 Tabel 44 Hasil simulasi PDRB tahun 2005 - 2030 ... 146 Tabel 45 Hasil simulasi kesejahteraan tahun 2005 - 2030... 148 Tabel 46 Hasil simulasi persepsi tahun 2005-2030 ... 150 Tabel 47 Hasil simulasi lahan kering produktif (LProd) Tahun

(25)

xxv

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian ... 7 Gambar 2 Pemberdayaan masyarakat ... 27 Gambar 3 Rangkaian situasional. ... 27 Gambar 4 Diagram alir metoda AHP ... 55 Gambar 5 Tahapan kegiatan penelitian ... 68 Gambar 6 Peta jenis tanah di lokasi penelitian ... 93 Gambar 7 Skema hubungan coping strategy dengan tingkat keberdayaan

masya- rakat tani lahan kering ... 98 Gambar 8 Pengaruh karakteristik petani, faktor sosial, ekonomi dan

lingkungan terhadap keberdayaan petani lahan kering

(T-Hitung) ... 99 Gambar 9 Pengaruh karakteristik petani, faktor sosial, ekonomi dan

lingkungan terhadap keberdayaan petani lahan kering ... 100 Gambar 10 Grafik nilai dan skor kumulatif keputusan prioritas strategi

kebijakan pengendalian mutu lahan kering di Kabupaten

Ponorogo ... 117 Gambar 11Struktur hierarki antar elemen pengendalian mutu lahan kering

berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 118 Gambar 12 Posisi seluruh sub elemen strategi pengendalian mutu lahan

kering dalam matriks berdasarkan nilai atau bobot driver

power-dependence ... 120 Gambar 13Diagram hierarki peringkat nilai pendapat responden pakar

tentang sub elemen strategi pengendalian mutu lahan kering

berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 121 Gambar 14Diagram lingkar sebab-akibat sistem pengendalian mutu lahan

kering berbasis pemberdayaan masyarakat ... 125 Gambar 15 Diagram Input-Output pengendalian mutu lahan kering

berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo ... 126 Gambar 16 Stock flow diagram sub-model ekonomi dalam sistem

pengendalianmutu lahan kering ... 128 Gambar 17 Stock flow diagram sub-model sosial dalam sistem

pengendalianmutu lahan kering ... 130 Gambar 18 Stock flow diagram sub-model ekologi dalam sistem

(26)

xxvi

petani... 133 Gambar 20 Simulasi model sosial berdasarkan jumlah penduduk, pencari

kerja (PC_Kerja) dan jumlah penduduk miskin (Pddk_Miskin) ... 134 Gambar 21 Simulasi model sosial berdasarkan jumlah kelompok tani

(Klp_Tani) ... 135 Gambar 22Simulasi model sosial berdasarkan IPM (indeks pembangunan

manusia) dan angka kesehatan masyarakat ... 135 Gambar 23 Simulasi model sosial berdasarkan persepsi dan pendidikan ... 135 Gambar 24 Simulasi sub-model ekologi berdasarkan kebutuhan luas lahan

tani dan luas lahan kering ... 136 Gambar 25Simulasi model ekologi berdasarkan lahan kering produktif

(LProd) yang diusahakan ... 137 Gambar 26 Simulasi produk domestik regional bruto (PDRB dalam Juta

(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

(28)
(29)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dewasa ini pemerintah dan masyarakat Kabupaten Ponorogo terus melakukan berbagai upaya dalam rangka meningkatkan pengendalian mutu lahan kering untuk usaha tani di daerahnya. Tujuan yang hendak dicapai adalah proporsi luas lahan kering produktif untuk usaha tani semakin lama semakin naik sehingga pada akhirnya sebagian besar lahan kering yang ada pada saat ini seluas 102.311 Ha yang tersebar di 12 kecamatan dapat memberi kontribusi terhadap peningkatan pendapatan masyarakat petani, serta berdampak positif terhadap pengentasan kemiskinan masyarakat. Luas lahan kering yang digarap untuk usaha tani, hingga tahun 2010, baru mencapai 30.203 ha atau 29,52% dari jumlah lahan kering seluruhnya (BPS Kabupaten Ponorogo 2010). Lahan kering mempunyai potensi besar untuk pengembangan pertanian, baik tanaman pangan, hortikultura maupun tanaman tahunan atau perkebunan. Pengembangan berbagai komoditas pertanian di lahan kering merupakan salah satu pilihan strategis untuk meningkatkan produksi dan mendukung ketahanan pangan nasional (Balai Penelitian Tanah Bogor 2006).

(30)

dari program ini ialah meningkatnya keberdayaan masyarakat dalam pengelolaan lahan kering di daerahnya untuk mendukung terwujudnya tingkat kesejahteraan masyarakat sesuai harapan (Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo 2010).

Hasil positif dari program-program pengendalian mutu lahan kering yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat pada dasarnya telah cukup banyak, tetapi belum sepenuhnya memadai. Hal ini sesuai dengan keterangan dari pejabat Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo bahwa hasil produksi lahan kering di 12 desa dalam empat kecamatan (Bungkal, Balong, Sawoo, Sambit) dalam tiga tahun terakhir masih di bawah target yang ditentukan. Realisasi hasil panen beberapa komoditi tanaman per tahun tidak mencapai target kabupaten, bahkan dalam periode waktu tersebut ada delapan desa yang mengalami kejadian gagal panen. Hasil panen padi per hektar per tahun rata-rata hanya 59,39% dari target; hasil panen jagung rata-rata 44,58%; hasil panen ubi rata-rata 67,76% dari target; dan hasil panen kacang tanah rata-rata 78,13%. Selain tingkat produktivitas belum optimal, juga tingkat kerusakan atau degradasi lahan kering di beberapa desa tersebut masih terjadi pada kisaran satu sampai dua persen per tahun (Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo 2010).

(31)

masyarakat mutlak pula diwujudkan untuk lebih menjamin pengelolaan lahan kering bersifat lestari karena berbasis prinsip: dari, oleh, dan untuk masyarakat. Masyarakat yang berdaya, dalam arti memiliki pengetahuan, sikap, motivasi, disiplin, dana, sarana, keterampilan, dan perilaku positif yang memadai akan turut menentukan kesuksesan dan efektivitas program yang dijalankan. Tujuan yang perlu diwujudkan oleh pemerintah dan masyarakat adalah tercukupinya kebutuhan pangan, papan, terciptanya lapangan kerja dan berusaha, menurunnya angka kemiskinan, serta terjaganya kelestarian lingkungan hidup secara berkelanjutan.

1.2. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah terbangunnya model pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut ialah: (1) menganalisis peranan kependudukan, lingkungan, layanan pemerintah, dan teknologi dalam pengendalian mutu lahan kering; (2) menganalisis kebutuhan stakeholder dalam pengendalian mutu lahan kering; (3) membangun model dan merumuskan alternatif kebijakan dan strategi yang tepat dalam pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo.

1.3. Kerangka Pemikiran

(32)

Pengelolaan lahan secara berkelanjutan mutlak dikembangkan oleh pemerintah dan masyarakat.

Upaya peningkatan mutu lahan di daerah-daerah pada umumnya berjalan walaupun dengan kebijakan, strategi, dan program yang bervariasi sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing. Di Kabupaten Ponorogo kebijakan dan strategi yang dikembangkan yaitu mengarah kepada peningkatan pemberdayaan masyarakat tani. Pemberdayaan masyarakat diarahkan kepada peningkatan pengetahuan, sikap, perilaku, dan motivasi masyarakat dalam mengelola lahan kering sehingga produktivitas meningkat, pendapatan naik, sehingga masyarakat mampu mewujudkan kecukupan pangan dan gizi serta kebutuhan-kebutuhan keluarganya dalam lingkungan yang berkualitas baik. Kebijakan Pemerintah Kabupaten Ponorogo yang berkaitan dengan pengembangan usahatani lahan kering salah satunya dengan mengalokasian dana dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) pada tahun 2002, 2008, dan 2009 untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat tani lahan kering. Kebijakan ini pada umumnya telah diimplementasikan oleh petugas pemerintah dan masyarakat di lapangan. Selain program rutin, juga dikembangkan program pemberdayaan masyarakat berkaitan dengan peningkatan mutu lahan kering di daerah ini yaitu program PIDRA: tahun 2001 mencakup tiga desa, tahun 2002 mencakup tiga desa, dan tahun 2003 mencakup enam desa. Program PIDRA yang merupakan bantuan dari IFAD tersebut berakhir pada tahun 2008.

Pelaksanaan program pemberdayaan masyarakat tani lahan kering tersebut pada hakekatnya telah memberikan hasil yang cukup banyak dan bermanfaat bagi masyarakat, namun belum seluruhnya sampai pada taraf hasil yang diharapkan. Jumlah hasil produksi usaha tani lahan kering yang diperoleh masyarakat belum optimal berkontribusi dalam penurunan angka kemiskinan masyarakat. Data dan informasi dari BPS Kabupaten Ponorogo menunjukkan bahwa sampai dengan Maret 2009 angka rumah tangga miskin di Kabupaten Ponorogo masih 102.900 jiwa atau 11,45% dari total penduduk (Badan Pusat Statistik-BPS Kabupaten Ponorogo 2010). Hal ini merupakan tantangan dan masalah yang perlu diselesaikan dengan baik oleh pemerintah dan masyarakat agar tidak memberi dampak negatif terhadap kehidupan masyarakat.

(33)

pada lokasi penelitian, bahwa dalam kehidupan sehari-hari terlihat keterkaitan yang erat antara degradasi lahan dengan kemiskinan masyarakat tani. Lahan kering yang rusak/terdegradasi akan menjadi lahan kritis sehingga lahan tersebut rendah produktifitasnya. Rendahnya produktifitas lahan akan menyebabkan turunnya tingkat pendapat petani. Mengingat sumber pendapatan petani lahan kering sebagian besar bertumpu pada lahan kering, apabila lahan kering menurun produktifitasnya, maka petani juga akan mengalami penurunan pendapatannya. Dampak negatif dari kemiskinan masyarakat tani lahan kering dapat memicu terjadinya gejolak sosial yang bisa mengganggu kehidupan masyarakat, seperti meningkatnya kejahatan pencurian, persengketaan lahan dan sebagainya. Dampak lain dari kemiskinan masyarakat adalah terjadinya perusakan lingkungan dan keanekaragaman hayati, akibat tindakan yang tidak disadari atau tidak bertanggungjawab, seperti penebangan pohon-pohon tanaman keras penyangga tanah, yang tidak diikuti oleh penanaman atau penghijauan kembali. Keterkaitan antara degradasi lahan dan kemiskinan serta persoalan sosial yang muncul, saling terkait seperti lingkaran setan. Agar lingkaran setan ini terputus maka perlu ditelaah berbagai faktor yang berhubungan dengan degradasi lahan ini.

Faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan degradasi lahan kering di Kabupaten Ponorogo perlu ditelaah secara intensif dan perlu diidentifikasi kebutuhan stakeholder dalam kondisi eksisting yaitu: pertama, faktor kependudukan; kedua, faktor lingkungan; dan ketiga, faktor layanan pemerintah.

(34)

dengan karakteristik individu faktor sosial, faktor ekonomi, faktor ekologi atau lingkungan, dan tingkat kecakapan hidup (life skill) serta tingkat keberdayaan masyarakat.

Aspek yang perlu ditelaah dalam faktor lingkungan yaitu sumberdaya air, keadaan tanaman keras atau pohon, curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, termasuk perkembangan teknologi pertanian mencakup aspek biologi, fisika, dan kimiawi yang dapat mendukung pengendalian mutu lahan kering. Sedangkan aspek yang perlu ditelaah dalam faktor layanan pemerintah yaitu sumberdaya manusia, anggaran atau dana, sarana, dan metode kerja pemerintah di masyarakat.

Masalah kompleks yang dihadapi tersebut perlu diselesaikan dengan menggunakan pendekatan sistem atau metode sistem dinamis, dengan tahapan mulai dari analisis kebutuhan, formulasi permasalahan, identifikasi sistem, pemodelan sistem, verifikasi model, implementasi, dan evaluasi periodik (Manetsch dan Park 1977, diacu dalam Marimin 2007).

(35)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor: 47/ Permentan/ OT.140/10/2006 tentang Pedoman Umum Budidaya Pertanian Pada Lahan Pegunungan

Kebijakan Pembangunan Nasional Republik Indonesia

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor: 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

(36)

Model yang dibangun harus lulus uji verifikasi dan validasi; untuk itu dilakukan uji kebenaran struktur model yang dapat menunjukkan jika ada kesalahan. Langkah selanjutnya ialah membuat beberapa skenario model, dan masing-masing disimulasikan untuk menetapkan skenario yang paling cocok untuk direkomendasikan sebagai masukan dalam perumusan kebijakan pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo. Gambaran secara skematis dari kerangka pemikiran penelitian ini seperti tampak pada Gambar 1.

1.4. Perumusan Masalah

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan pejabat dinas dan instansi terkait tingkat kabupaten, kecamatan, desa, dan masyarakat tani lahan kering di wilayah Kabupaten Ponorogo dapat dirumuskan masalah yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat Kabupaten Ponorogo berkaitan dengan keadaan dan usaha tani lahan kering yaitu: (1) mutu lahan kering di beberapa kecamatan di Kabupaten Ponorogo kurang optimal; hal ini tercermin dari hasil produksi lahan kering di 12 desa dalam empat kecamatan (Bungkal, Balong, Sawoo, Sambit) dalam tiga tahun terakhir masih di bawah target yang ditentukan; bahkan delapan desa di antaranya pernah mengalami kejadian gagal panen; (2) tingkat kerusakan atau degradasi lahan kering di beberapa desa tersebut masih terjadi pada kisaran satu sampai dua persen per tahun (Dinas Pertanian Kabupaten Ponorogo 2010).

Penyebab timbulnya masalah-masalah tersebut diduga berhubungan dengan berbagai faktor yang saling mempengaruhi yaitu: pertama, faktor kependudukan, tingkat pendidikan rata-rata yang masih rendah, tingkat kesehatan masih belum optimal, tingkat pendapatan masyarakat masih rendah; kedua, faktor lingkungan sumberdaya air untuk lahan kering sangat minim, jumlah pohon tanaman keras yang masih kurang, angka curah hujan yang kurang memadai, penerapan teknologi pertanian masih minim; dan ketiga, faktor layanan pemerintah, berupa jumlah dan mutu penyuluh dan pembimbing teknis pertanian lahan kering kurang memadai, jumlah anggaran atau dana bantuan untuk petani lahan kering sangat minim, sarana bantuan untuk petani lahan kering sangat minim, dan metode kerja layanan pemerintah belum optimal.

(37)

Angka ini lebih tinggi dibandingkan IPM tahun 2008 sebesar 69,07 namun lebih rendah dari standar United Nations Development Program (UNDP) sebesar 88. IPM yang rendah ini adalah akibat rendahnya salah satu atau beberapa indeks komponennya yaitu: indeks kesehatan (umur harapan hidup atau UHH, angka kematian ibu melahirkan atau AKIM, dan angka kematian bayi atau AKB); indeks pendidikan masyarakat (angka melek huruf atau AMH dan angka rata-rata lama sekolah atau ARLS); dan indeks ekonomi masyarakat (pekerjaan atau mata pencaharian, dan pertumbuhan ekonomi). Menurut data dari BPS Kabupaten Ponorogo besarnya UHH di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2007 adalah 68,97 tahun sedangkan standar UNDP adalah 85 tahun; AKIM sebesar 101,83 per seratus ribu ibu melahirkan sedangkan standar UNDP adalah sebesar satu per seratus ribu ibu melahirkan; AKB sebesar 13,24 per seribu kelahiran bayi; AMH sebesar 87,20%, sedangkan target sesuai UNDP adalah 100%; ARLS adalah 11 tahun sedangkan standar UNDP 15 tahun; dan konsumsi per kapita < Rp. 400.000,00 per tahun sedangkan standar UNDP Rp.732.730,00.

Permasalahan yang berkaitan dengan tingkat pendidikan masyarakat adalah bahwa proporsi melek huruf penduduk usia di atas 10 tahun di Kabupaten Ponorogo pada tahun 2009 baru mencapai 87,20% dengan penyebaran yang tidak merata di tiap kecamatan. Permasalahan lainnya yang dihadapi ialah proporsi keluarga miskin pada tahun 2008 dan 2009 masih relatif tinggi yaitu berturut-turut sebesar 32,10% (158.646 keluarga) dan 61,91% (312.854 keluarga) (BPS Kabupaten Ponorogo 2010). Masih besarnya angka buta huruf dan kemiskinan ini relatif menjadi hambatan dalam hal penerimaan hal-hal baru atau inovasi baru berkenaan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.

(38)

Permasalahan yang berkaitan dengan lingkungan fisik di antaranya ialah sumberdaya air, keadaan pohon tanaman keras, keadaan curah hujan, keadaan suhu dan kelembaban udara. Sumberdaya air yang dapat dipergunakan untuk mengairi lahan kering di Kabupaten Ponorogo relatif sulit; sumber air utama ialah dari air hujan, sementara angka curah hujan rata-rata per tahun adalah 1.590 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 91 hari per tahun. Waktu atau musim hujan di daerah ini sulit diprediksi untuk merencanakan waktu tanam setiap tahun. Pada musim hujan air berlebihan sehingga mengikis lahan dengan hara yang dikandungnya dan menyebabkan lahan semakin lama semakin kurang subur, sebaliknya pada musim kemarau lahan kekurangan air dan mengakibatkan lahan menjadi kurang berfungsi baik. Keadaan jumlah pohon tanaman keras di sekitar lahan kering usahatani pada umumnya relatif kurang memadai, padahal pohon di sekitar lahan sangat diperlukan dalam jumlah tertentu untuk menampung atau menyimpan air dalam tanah.

Layanan pemerintah kepada masyarakat petani lahan kering yang belum optimal diantaranya berkenaan dengan frekuensi dan mutu layanan penyuluhan dan bimbingan teknis pertanian kepada masyarakat oleh penyelenggara program. Keadaan ini diduga berkaitan dengan masalah keterbatasan dana, sarana, tenaga, dan lainnya, baik di tingkat kabupaten, kecamatan, maupun tingkat desa, atau dengan kata lain berkaitan dengan masalah kebijakan sistem pengelolaan lahan kering dan implementasinya.

Masalah-masalah tersebut di atas perlu dianalisis lebih mendalam melalui penelitian sehingga diketahui penyebab terjadinya masalah, apa saja dampak negatif dari masalah tersebut, bagaimana upaya penyelesaiannya. Sehubungan dengan hal tersebut penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Faktor-faktor apa yang berhubungan dengan mutu lahan kering di Kabupaten

Ponorogo?

2. Apa kebutuhan stakeholder dalam rangka pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo?

3. Bagaimana urutan kepentingan relatif dari elemen-elemen pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo? 4. Apa saja faktor kunci strategi pengendalian mutu lahan kering berbasis

(39)

5. Bagaimana model pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo yang paling tepat?

6. Bagaimana skenario kebijakan atau strategi pengendalian mutu lahan kering berbasis pemberdayaan masyarakat di Kabupaten Ponorogo yang efektif?

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini penulis harapkan bermanfaat pada masa kini dan masa yang akan datang:

1. Sebagai bahan masukan untuk pemerintah dan masyarakat Kabupaten Ponorogo dalam rangka pengambilan keputusan pengendalian mutu lahan kering.

2. Untuk pengembangan ilmu pengetahuan, atau sebagai bahan referensi dan kajian lebih lanjut tentang pengendalian mutu lahan kering.

1.6. Kebaruan (Novelty) Penelitian

(40)
(41)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhannya (Sustainable development is development that meets the needs of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs) (World Commission on Environment and Development - WCED 1987). The term sustainability expresses the human desire for an environment that can provide for our needs now and for future generations. Our collective journey to find a way to live harmoniously with each other and within our social, economic, and ecological environments is a quest for sustainability.

Di dalam definisi pembangunan berkelanjutan terkandung dua gagasan penting: (1) gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia, yang harus diberi prioritas utama; dan (2) gagasan keterbatasan yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebutuhan kini dan hari depan.

Pemenuhan kebutuhan dan aspirasi manusia adalah tujuan utama pembangunan. Kebutuhan esensial sejumlah besar penduduk di negara-negara berkembang: pangan, sandang, rumah, pekerjaan, belum terpenuhi dan di luar kebutuhan dasar itu orang-orang tersebut mempunyai cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Dunia yang di dalamnya kemiskinan dan kepincangan sudah endemik akan selalu mudah terserang krisis ekologi dan krisis-krisis lainnya. Pembangunan berkelanjutan mengharuskan dipenuhinya kebutuhan-kebutuhan dasar bagi semuanya dan diberinya kesempatan kepada semua untuk mengejar cita-cita akan kehidupan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi selalu membawa risiko kerusakan lingkungan, karena hal itu meningkatkan tekanan pada sumberdaya–sumberdaya lingkungan (WCED 1987).

(42)

ekonomi, peningkatan output, pembentukan modal dan peningkatan daya saing; (2) tujuan sosial: kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketenteraman; (3) tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak ekternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan.

2.2. Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Sumber daya alam (natural resources) adalah segala unsur lingkungan (biotik maupun abiotik) yang bermanfaat dan digunakan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan dan keinginannya, baik kebutuhan primer yang bersifat lahiriah (pangan, sandang, dan papan), kebutuhan sekunder yang bersifat batiniah (estetika) maupun kebutuhan tersier dan seterusnya yang lebih bersifat hobi atau pengembangan bakat. Berdasarkan pemanfaatannya sumberdaya dikelompokkan menjadi dua yaitu (1) sumberdaya alam langsung, seperti: udara, air, dan bahan pangan dan (2) sumberdaya tidak langsung seperti: minyak, besi, dan bahan tambang. Berdasarkan jenis, sumberdaya alam dikelompokkan menjadi dua yaitu: (1) sumberdaya tidak dapat diperbahurui (non renewable naural resources) seperti: tembaga, besi, emas, batubara, minyak; dan (2) sumberdaya alam yang dapat diperbaharui (renewable natural resources) seperti: hutan, satwa, deposit air tanah.

Dalam Undang Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 23 tahun 1997 dirumuskan bahwa lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lainnya. Prinsip pengelolaan lingkungan adalah pencegahan dan penanggulangan terhadap penurunan dan kerusakan kualitas lingkungan akibat terganggunya atau rusaknya tatanan ekos.

2.3. Kerusakan Lahan Kering

(43)

tumbuhan, dan (2) sebagai matrik tempat akar tumbuh berjangkar dan air tanah tersimpan, tempat unsur-unsur hara dan air ditambahkan (Arsyad 2000). Lahan adalah lingkungan fisik yang terdiri atas iklim, relief, tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada di atasnya sepanjang ada pengaruhnya terhadap penggunaan lahan.

Lahan kering adalah hamparan lahan yang tidak pernah digenangi atau tergenang air pada sebagian besar waktu selama setahun (Hidayat et al. 2000). Keberadaan lahan kering di Indonesia, pada saat ini telah menempati lahan tanpa kendala atau pembatas, kesuburan rendah, lahan dengan tanah retak-retak, lahan dengan tanah dangkal, dan lahan perbukitan (Hidayat et al. 2000). Relief tanah yang ditentukan oleh kelerengan dan perbedaan ketinggian sangat menentukan mudah dan tidaknya pengelolaan tanah tersebut untuk usaha tani yang produktif. Sebagai gambaran, lahan kering disebut berelief perbukitan jika memiliki kelerengan 15% sampai 30% dan dengan perbedaan ketinggian 50 sampai 300 meter. Berdasarkan hasil penelitian para ahli, proporsi lahan kering berelief perbukitan di Jawa Tengah paling besar (40%), demikian pula di Daerah Istimewa Yogyakarta (60%). Ditinjau dari bentuk, kesuburan dan sifat fisik lainnya, pengelolaan lahan kering relatif lebih berat dibanding dengan lahan basah (sawah). Hingga kini, perhatian pemerintah dan pelaku ekonomi pasar terhadap pengelolaan lahan kering secara berkelanjutan relatif rendah dibandingkan dengan perhatian terhadap lahan sawah dataran rendah.

(44)

2.3.1. Beberapa Hasil Penelitian Tentang Lahan Kering

Sebagai bahan acuan dan perbandingan penelitian berikut ini (Tabel 1) penulis kemukakan hasil penelitian dalam periode tahun 1996-2007 berkaitan dengan usahatani lahan kering oleh Basit (1996), Moore and Hill (2000), Syamsudin (2001), Pranaji (2005), dan Pujiharti (2007), dan Mulatsih (2006). Tabel 1 Beberapa hasil penelitian tentang lahan kering dalam periode tahun

1996 -2007

No Penulis Judul Thn. Hasil Penelitian

1 Abdul Basit Analisis Ekonomi Pe-nerapan Teknologi Usa-ha Tani Konservasi La-han Kering Berlereng di Wilayah Hulu DAS Jra-tunseluna Jawa Tengah

1996 Teknologi usahatani konservasi tersebut merupakan faktor yang paling menentukan dalam peningkatan dan pedapatan petani, selain itu peningkatan intensitas penyuluhan merupakan salah satu usaha untuk memperbaiki produksi dan pendapatan usaha lahan kering wilayah hulu DAS.

2 Moore dan Hill

Models of Community Development Practice.

2000 Model Menghasilkan Reflective practice, yang elemen utamanya adalah pengalaman lapang yang perlu didukung oleh elemen model pemberdayaan. 3 Syamsuddin Model Evaluasi

Keber-hasilan usaha tani di lahan kering Studi ka-sus penanaman Jambu mete di Kabupaten Lombok Barat

2001 Berdasarkan hasil penelitian tersebut menunjukan adanya peningkatan pendapatan petani, tingkat erosi menunjukan keberhasilan pengelolaan usaha tani secara berkelanjutan

4 Tri Pranadji Model pemberdayaan masyarakat pedesaan

2005 Peningkatan manajemen pertanian lahan kering melalui program UACP dan BDP tidaklah berhasil, perbedaan dari modal sosial dalam masyarakat dapat dijadikan indikator dari lemahnya masyarakat pedesaan dalam mengatur UAE dan juga lemahnya sistem pemerintahan di pedesaan. Rusaknya nilai-nilai dalam masyarakat menjadi menjadi faktor yang dominan dalam menciptakan suatu kemunduran sosial. Usaha untuk mengem-bangkan lahan kering ke depannya pemberdayaan lahan kering harus diintegrasikan dengan transformasi dari kebudayaan dan kondisi ekonomi pedesaan. Pemberdayaan yang efektif harus dibangun melalui peningkatan modal sosial dalam suatu masyarakat, dan akan lebih efektif jika didukung oleh kepemimpinan lokal, manajemen sosial, dan organisasi sosial pada wilayah yang kecil 5 Yulia Pujiharti Model Pengelolaan

La-han Kering Berkelan-jutan pada Sistem Agri-bisnis Tanaman Pangan

2007 Teknologi yang diterapkan dalam pengelolaan lahan kering adalah pola usaha tanaman ternak yang menerapkan pola pergiliran tanaman jagung ubi. Penggunaan pupuk belum berim-bang dan tidak menggunakan pupuk kandang adalah pengelolaan lahan yang tidak berkelanjutan, karena menurunkan kesuburan dan pendapatan petani.

6 Sri Mulatsih Faktor Sosial Ekonomi dan Kondisi Lahan yang Mempengaruhi Penggunaan Lahan Ke-ring.

(45)

2.3.2. Penyebab dan Akibat Kerusakan Lahan Kering

Adapun faktor-faktor yang sering menyebabkan kerusakan tanah antara lain erosi. Erosi mengakibatkan hilangnya unsur hara dan bahan organik karena pencucian (leaching) dan atau terangkut melalui panen tanpa ada usaha untuk mengembalikannya, timbulnya senyawa-senyawa beracun dan penjenuhan air (Arsyad 2000; Sitorus 2001). Akibat kerusakan lahan secara langsung adalah kurang optimalnya produksi; dan hal ini langsung atau tidak langsung akan berdampak negatif terhadap tingkat pendapatan masyarakat yang selanjutnya mempersulit upaya pengentasan kemiskinan atau perbaikan ekonomi masyarakat.

2.3.3. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Kependudukan

Sejumlah hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa ada hubungan antara kerusakan atau menurunnya mutu lahan kering untuk usahatani dengan faktor-faktor kependudukan, seperti tingkat pendidikan formal, pengetahuan, kepadatan penduduk, perilaku atau kebiasaan hidup, adat dan tingkat kemiskinan penduduk. Akibat dari rendahnya tingkat pendapatan maka untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat kerapkali mengabaikan pemeliharaan lingkungan misalnya dengan menebang pohon untuk keperluan kayu bakar, menggunakan pupuk secara tidak teratur dan tidak proporsional.

(46)

pertanian yang menimbulkan dampak antara lain meliputi kegiatan pengolahan tanah, penggunaan sarana produksi yang tidak ramah.

Perubahan penggunaan lahan miring dari vegetasi permanen menjadi lahan pertanian intensif menyebabkan tanah menjadi lebih mudah terdegradasi oleh erosi tanah. Akibat degradasi oleh erosi ini dapat dirasakan dengan semakin meluasnya lahan kritis. Praktek penebangan dan perusakan hutan (deforesterisasi) merupakan penyebab utama terjadinya erosi di kawasan daerah aliran sungai (DAS).

2.3.4. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Layanan Pemerintah

Pengelolaan tanah pada umumnya dimaksudkan untuk menjaga kualitas atau mutu tanah dan lingkungan serta meminimalkan dampak negatif dari aktivitas manusia, seperti pengembangan lahan, pemanfaatan lahan sebagai tempat buangan atau kegiatan lainnya yang berdampak negatif terhadap kualitas tanah dan air tanah baik secara langsung maupun tidak langsung (Notodarmojo 2005). Untuk itu pemerintah perlu senantiasa mengembangkan kebijakan-kebijakan pengelolaan dan law enforcement di bidang tanah dan air tanah. Sejauh ini aspek hukum secara khusus mengatur tentang kualitas tanah belum ada, tetapi aspek hukum dari pencemaran tanah termasuk dalam aspek pencemaran lingkungan secara keseluruhan. Peraturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan pengelolaan tanah dan air tanah di antaranya yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.

2.3.5. Hubungan antara Mutu Lahan Kering dengan Lingkungan dan Teknologi

(47)

Tanah merupakan suatu ekosistem yang mendukung kehidupan flora dan fauna (Notodarmojo 2005). Tanah merupakan medium bagi mikroorganisme; beragam mikroorganisme terdapat dalam tanah. Di antara organisme yang penting dan perlu mendapat perhatian dalam kaitannya dengan keberadaan zat pencemar dalam tanah dan air tanah ialah mikroorganisme. Mikroorganisme yang terdiri dari bebagai jenis mampu mengubah atau melakukan transformasi biotis terhadap kontaminan, terutama kontaminan organik. Keberadaan mikroorganisme dalam tanah mempunyai peranan penting dalam perombakan (degradsi) zat pencemar organik dalam tanah melalui proses metabolismenya. Bakteri hidup subur dalam tanah, terutama tanah dengan kelembaban yang mencukupi dan mengandung cukup banyak substrat. Dalam kondisi kelembaban yang cukup, satu gram tanah terdapat satu juta bakteri (Foth 1984, diacu dalam Notodarmojo 2005). Selain bakteri di dalam tanah terdapat pula aktivitas hewan tanah, di antaranya cacing tanah, arthropoda, semut, dan rayap (Notodarmojo 2005). Cacing tanah membuat rongga yang dangkal dan memakan sisa organik dari tanaman yang mati. Kotoran cacing tersebut dibuang di sekitar lubang, membuat tanah di sekitarnya menjadi kaya dengan zat organik. Jaringan lubang yang dibuat cacing tanah ini membuat tanah mengalami aerasi, membuat tanah menjadi aerobik dan mempermudah infiltrasi air hujan. Demikian pula halnya dengan arthropoda, semut, dan rayap memakan sisa organik dan membuat rongga dalam tanah.

(48)

radioaktif; (3) sumber yang berasal dari tempat atau kegiatan transportasi zat atau substansi, contoh: saluran riol atau saluran limbah; (4) sumber yang berasal dari konsekuensi suatu kegiatan yang terencana, contoh air irigasi yang berlebih dan mengandung pupuk, termasuk penggunaan pestisida dan pupuk dalam pertanian; contoh sumur bor untuk produksi atau eksplorasi minyak, gas, dan panas bumi; (5) sumber yang berasal dari kegiatan yang menyebabkan adanya jalan masuk bagi air terkontaminasi masuk ke dalam akifer, (6) sumber kontaminan yang bersifat alamiah atau terjadi secara alamiah, tetapi terjadinya pengaliran atau penyebarannya disebabkan oleh aktivitas manusia, contoh penggunaan bahan bakar minyak dan batu bara.

Kandungan kimia mempengaruhi kualitas tanah dan air tanah. Kandungan kontaminan anorganik yang bersifat asam dapat melarutkan zat-zat yang membentuk struktur tanah. Pestisida merupakan salah satu kontaminan organik yang berasal dari aktivitas manusia. Penggunaan pestisida secara besar-besaran untuk keperluan pertanian telah mencemari tanah dan air tanah. Ada dua hal penting dari kontaminasi pestisida yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan gangguan pada lingkungan dan manusia yaitu (1) umumnya pestisida mempunyai sifat yang relatif persisten yang menyebabkan terjadinya akumulasi dalam tanah, dan beramplifikasi pada makhluk hidup melalui rantai makanan; (2) sifat racun (toksin) pada makhluk hidup, termasuk manusia, yang mengganggu sistem syaraf, bahkan dapat menimbulkan kanker; selain itu dapat mengakibatkan kerusakan keanekaragaman hayati dan perubahan komposisi biota.

(49)

bagian atas yang subur dan berakibat tersembul lapisan cadas yang keras (Atmojo 2006).

2.4. Pengendalian Mutu Lahan Kering

Dari hasil studi kepustakaan diketahui bahwa pengendalian mutu lahan kering sangat penting agar tetap berfungsi dan berproduksi dengan baik, Karena itu diperlukan upaya pengelolaan atau konversi lahan yang benar-benar efektif, bukan saja oleh pemerintah dan masyarakat tetapi juga oleh pihak swasta dan lembaga sosial masyarakat. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2006 mengisyaratkan pentingnya pengembangan sistem penyuluhan pertanian di seluruh daerah di Indonesia. Kebijakan penting dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi daerah berdasarkan prinsip-prinsip otonomi daerah.

2.5. Pemberdayaan Masyarakat

(50)

pentingnya proses dalam pengambilan keputusan. Sedangkan menurut Friedmann (1992) bahwa proses pemberdayaan adalah upaya menjadikan suasana kemanusiaan yang adil dan beradab menjadi semakin efektif secara struktural baik di dalam kehidupan keluarga, masyarakat, negara, regional, internasional maupun bidang politik, ekonomi dan lain-lain. Adapun proses pemberdayaan mengandung dua kecendrungan di antaranya yaitu: (1) menekankan pada proses pemberian atau mengalihkan sebagian kekuasaan, kekuatan atau kemampuan kepada masyarakat agar individu menjadi lebih berdaya; (2) kemampuan individu untuk mengendalikan lingkungannya, adalah suatu proses pemahaman situasi yang sedang terjadi sehubungan dengan politik, ekonomi dan sosial yang tidak dapat dipaksakan dari luar.

Pemberdayaan masyarakat dipengaruhi pula oleh faktor sosial, politik dan psikologi. Konsep pemberdayaan masyarakat ini mencerminkan paradigma baru dalam pembangunan. Upaya pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat yang kondisinya sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap ketidakmampuan dan keterbelakangan.

(51)

kualitas sumberdaya seseorang bisa diberdayakan dalam pembangunan di daerahnya.

Untuk itu, terkait dengan keberhasilan suatu program dalam suatu masyarakat tidak terlepas dengan keadaan sosial di dalam masyarakat tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Blackshaw (2004) bahwa modal sosial memiliki empat dimensi diantaranya yaitu: (1) integrasi, berupa ikatan-ikatan antara kekerabatan, agama dan etnik; (2) pertalian, ikatan dengan komunitas lain di luar komunitas asal; (3) integritas organisasional, kemampuan dan keeftifan institusi negara menjalankan fungsinya; (4) sinergi, relasi antara pimpinan dan institusi pemerintahan dengan komunitas. Fokus perhatian adalah apakah negara memberikan ruang gerak yang luas atau tidak bagi partisipasi warganya. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merupakan institusional incentive dan menjadi fasilitator untuk membangun hubungan antar kelembagaan di tingkat komunitas.

(52)

stakeholder; (4) kapasitas manajemen dari Tim Pengembangan Ekonomi Lokal; (5) dukungan politik, keuangan dan teknis yang mendukung (Syaukat et al.2004).

Hasil kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh Fernandez (2005) mencapai lebih dari 1,5 juta masyarakat miskin di India, yang berbasis afinitas (affinity) atau ikatan anggota kelompok yang berbasis pada saling percaya, tidak eksploitatif, saling mendukung dan saling cinta-kasih di antara mereka. Atas dasar afinitas inilah kelompok masyarakat dibangun dan diberdayakan. Pada awal kegiatannya, tahun 1984, Fernandez (2005) menyebut kelompok ini sebagai kelompok pengelola kredit (credit management groups) yang memfokuskan pada pengelolaan kegiatan simpan pinjam, bukan kelompok yang berfokus memberi kredit.

Keberadaan kelompok tersebut bermula dari kekecewaan sejumlah anggota koperasi di India yang mengalami krisis kepemimpinan dan manajemen, karena koperasi tersebut dikelola oleh kalangan elit masyarakat yang tidak bisa menyatu dengan anggota dari masyarakat kalangan bawah. Lebih dari 100 orang anggota koperasi mendatangi Fernandez (2005) untuk mengembalikan pinjaman mereka kepadanya karena tidak percaya lagi kepada pengurus koperasi mereka. Fernandez (2005) menolak menerima pengembalian pinjaman tersebut karena ia tidak memberi pinjaman tersebut. Ia menyarankan dan membimbing mereka agar membentuk kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari 10 sampai 15 orang yang saling percaya, saling mendukung dan memiliki saling cinta kasih (tidak saling eksploitatif) di antara mereka dan mengembalikan pinjaman tersebut pada kelompok yang mereka bentuk sendiri.

(53)

kelompok keswadayaan mandiri (self help group) yang berbasis afinitas (affinity). Pada kasus Fernandez (2005) terdapat prinsip model pemberdayaan yang dikembangkan adalah diawali bagaimana memfasilitasi pembentukan kelompok itu berbasis afinitas. Setelah kelompok afinitas terbentuk, diperkuat kapasitasnya sekitar 12 sampai 18 bulan dengan memberikan sujumlah paket modul pelatihan penguatan kapasitas (capacity building) yang meliputi: analisis sosial, analisis sumber kredit lokal, konsep kelompok, pertemuan kelompok, komunikasi, afinitas kesatuan dalam kelompok), pembangunan visi kelompok, rencana kelompok, peraturan kelompok, pembukuan kelompok, kepemimpinan, tanggung jawab anggota kelompok, monitoring & evaluasi partisipatif, pemecahan konflik, proses pengambilan keputusan, penilaian partisipatif, evaluasi kelompok, analisis kesetaraan jender, credit plus, federasi kelompok, jejaring kelembagaan dan penilaian mandiri. Fernandez (2005) tidak akan memfasilitasi kelompok, untuk mengakses kredit dari luar atau melakukan investasi infrastruktur. Fasilitasi kegiatan yang bersifat penguatan kapasitas teknis (technical building) akan dilakukan setelah kelompok kuat secara kelembagaan (Fernandez 2005).

2.5.1. Model Pengembangan Masyarakat

More and Hill (2000) melakukan grounded research tentang model pengembangan masyarakat (community development) pada tahun 1997-1999 melalui interview langsung, observasi, foto, dan dokumen-dokumen terkait yang melibatkan 33 praktisi pengembangan masyarakat di 5 negara (Amerika Selatan, Australia, Canada, Botswana dan Malaysia).

(54)

dari pengetahuan lokal, keterlibatan para ahli dari luar, menerima petunjuk dari tokoh masyarakat setempat, dan kapan waktu yang tepat untuk mengaplikasikan pengetahuan mereka untuk kegiatan pengembangan masyarakat. Mereka ditantang untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara yang tepat untuk memasukkan pengetahuan baru ke dalam masyarakat tersebut, misalnya peraturan pemerintah atau kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan kemasyarakatan, (3) Dialog dan kerja bersama masyarakat serta mengamati. Para praktisi pemberdayaan belajar dengan cara bekerja saling membantu satu dengan lainnya dan juga bekerja bersama masyarakt setempat, kerja bersama dalam proyek, mengunjungi masyarakat-masyarakat lainnya, dan mengumpulkan ide-ide dan saran-saran dari pihak masyarakat yang didampingi, (4) Literature-based theories. Para praktisi pemberdayaan masyarakat membaca referensi mengenai bisnis, lingkungan, studi kebijakan, hukum, psikologi, pertanian, dan pendidikan orang dewasa secara luas. Gabungan dari berbagai teori menjadi pemandu mereka, daripada sekedar teori tunggal yang diperoleh dari referensi khusus pengembangan masyarakat, (5) Field experience and practice. Ini merupakan komponen utama dari reflective practice. Melalui pengalaman dan praktek yang berlangsung, para praktisi pemberdayaan membantu masyarakat sekaligus membangun teori secara implisit.

Salah satu prinsip dari praktisi pemberdayaan masyarakat adalah percaya pada masyarakat yang diilustrasikan model 1 pada Gambar 2. Prinsip ini terkait erat dengan model dua yang diilustrasikan pada Gambar 3 yang menunjukkan ide bahwa para praktisi harus mempunyai kemampuan bekerja dalam garis kontinum mulai dari mengkolaborasikan pengetahuan lokal setempat sampai mampu bekerja sama dengan tenaga ahli dari pihak luar, tergantung situasinya. Garis kontinum tersebut meliputi rangkaian: (1) menerapkan pengetahuan tenaga ahli; (2) mengimpor informasi yang berguna; (3) memperoleh informasi dari masyarakat; dan (4) berkolaborasi dengan pengetahuan lokal. Poin-poin ini tidak didesain untuk menjadi satu-satunya pilihan yang mungkin dibuat oleh para praktisi; para praktisi boleh saja mengubah posisi poin-poin tersebut sesuai dengan perubahan lingkungan dan kebutuhan yang diperlukan.

Gambar

Gambar 1   Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 1 Beberapa hasil penelitian tentang lahan  kering dalam periode tahun
Gambar 2  Pemberdayaan masyarakat
Gambar 4 Diagram alir metoda AHP
+7

Referensi

Dokumen terkait

Keputusan morfologi telah dilengkapkan lagi dengan pendekatan genetik molekul menggunakan separa (490 bp) gen 16S rRNA mitokondria yang berevolusi perlahan untuk

Alhamdulillah saya selaku penulis melakukan hal yang demikian dalam menyusun sebuah proposal skripsi yang berjudul “Analisis pengaruh Strategi Segmentation,

Dalam rangka menciptakan iklim pemerintahan yang baik ( good governance ), pemerintah melalui kebijakannya mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Hasil yang akan diperoleh adalah layak atau tidaknya usahatani tebu rakyat di Desa Paccing, Kecamatan Patimpeng, Kabupaten Bone dari segi finansial.. Dalam

Tingkat pengetahuan yang bertambah saat penyuluhan ini berlangsung dikarenakan faktor informasi yang disampaikan dengan baik oleh presentator, selain itu responden juga

KEPALA SUB BAGIAN MONITORING DAN EVALUASI - BAGIAN ADMINISTRASI PEREKONOMIAN - SEKRETARIAT DAERAH. PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN ANAMBAS 03/06/1984 30/09/2014

Dari grafik indek diversitas Shannon-Wiener (Gambar 4) terlihat adanya penurunan yang drastis setelah St 1 (G. Wayang) yang mencapai nilai 0 pada St. 2 Nanjung mulai menunjukkan

9 Jadi pada dasarnya sumber belajar adalah segala sesuatu atau daya yang dapat dimanfaatkan oleh tenaga pengajar dan peserta didik, baik secara terpisah maupun dalam bentuk gabungan