• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2. Manfaat bagi Ibu

2.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif

Ibu mempunyai peran penting dalam menentukan kelangsungan pemberian ASI secara eksklusif. Akibat kurang informasi, banyak ibu menganggap susu formula sama baiknya bahkan lebih baik daripada ASI. Hal ini menyebabkan ibu lebih cepat memberikan susu formula jika merasa ASInya kurang atau terbentur kendala menyusui. Untuk dapat melaksanakan program ASI eksklusif ibu perlu menguasai informasi tentang keuntungan pemberian ASI, kerugian pemberian susu formula, pentingnya rawat gabung, cara menyusui yang baik dan benar, dan siapa yang harus dihubungi jika terdapat keluhan menyusui.

Hambatan utama tercapainya ASI eksklusif adalah kurang sampainya pengetahuan yang benar tentang ASI eksklusif kepada Ibu. Kehilangan pengetahuan

tentang menyusui berarti kehilangan akan kepercayaan diri seorang ibu untuk dapat memberikan perawatan terbaik pada bayinya dan seorang bayi akan kehilangan sumber makanan yang penting baginya. Pengetahuan yang kurang tentang ASI eksklusif terlihat dari pemanfaatan susu formula secara dini di perkotaan dan pemberian pisang atau nasi lembut sebagai tambahan ASI di pedesaan (Roesli, 2007).

Hasil penelitian Amiruddin (2006) terhadap 86 orang ibu yang mempunyai bayi 6-11 bulan dikelurahan Pa’ Baeng – Baeng Makasar tahun 2006 yaitu untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi 6-11 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara promosi susu formula dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi 6-11 bulan.

Berdasarkan hasil penelitian Simbolon (2004) yang meneliti hubungan perilaku ibu menyusui terhadap pemberian ASI di wilayah kerja puskesmas Teluk Nibung Tanjung Balai pada 100 orang ibu yang pernah menyusui dan mempunyai balita usia 2-4 tahun. Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan pemberian ASI Eksklusif.

Sebagaimana kita ketahui perilaku sangat memengaruhi seseorang dalam bertingkah-laku. Menurut Laurence W.Green dalam Notoatmodjo (2007), perilaku dipengaruhi oleh 3 faktor utama yaitu : 1. faktor predisposisi (predisposing factors), yaitu : faktor pencetus timbulnya perilaku seperti : umur, pengetahuan, pengalaman, pendidikan, sikap, kepercayaan, keyakinan, paritas, dan lain sebagainya. 2. faktor pendukung (enabling factors) yaitu : faktor yang mendukung timbulnya perilaku seperti lingkungan fisik, dana dan sumber-sumber yang ada di masyarakat misalnya : banyaknya produsen dan iklan susu formula, rumah sakit atau klinik bersalin yang

menyediakan susu formula. 3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yaitu : faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong seseorang untuk berperilaku yang berasal dari orang lain misalnya : peraturan dan kebijakan pemerintah, promosi susu formula, petugas kesehatan secara tidak langsung mempromosikan bahkan menjual susu formula, tindakan oleh petugas kesehatan untuk memisahkan ibu dari bayinya setelah ibu melahirkan bayi setelah beberapa jam kelahirannya, maupun dari pihak keluarga.

Pada masyarakat tertentu, perilaku ibu terhadap pemberian ASI eksklusif tidak terlepas dari pandangan budaya yang telah diwariskan turun temurun dan juga dianggap sudah merupakan kebiasaan dari masyarakat bersangkutan. Upaya untuk meningkatkan perilaku ibu yang mempunyai bayi khususnya ASI eksklusif masih kurang. Pemberian makanan secara dini sehingga menggagalkan terlaksananya ASI eksklusif pada bayi yang seharusnya sampai usia enam bulan sejak lahir (Depkes RI, 2004).

Pelaksanaan ASI eksklusif dapat terlaksana dengan baik tentu saja karena adanya pengetahuan, keterampilan, kemauan dan kesadaran seorang Ibu. Namun selain pemberdayaan seorang ibu juga sangat diperlukan adanya dukungan suami, keluarga, lingkungan tempat bekerja dan masyarakat (Dinkes Prop.SU, 2005).

Selain itu tingkat pendidikan ibu memengaruhi pengetahuan ibu tentang manfaat ASI bagi bayinya. Kemudahan-kemudahan yang didapat sebagai hasil kemajuan teknologi pembuatan makanan bayi seperti pembuatan tepung makanan bayi yang siap saji, susu buatan bayi mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan makanan olahan lain. Banyaknya iklan dari produksi makanan bayi menyebabkan

ibu menganggap bahwa makanan tersebut lebih baik daripada ASI. Status ibu sering keluar rumah baik karena bekerja maupun karena tugas-tugas lainnya, maka susu sapi adalah satu-satunya jalan keluar dalam pemberian makanan bagi bayi yang ditinggalkan di rumah. Adanya anggapan bahwa dengan memberikan susu botol kepada bayi sebagai salah satu simbol kehidupan dengan tingkat sosial yang lebih tinggi, terdidik dan mengikuti perkembangan zaman (Siregar, 2004).

Alasan psikologis bahwa ibu takut dengan menyusui bayinya bentuk payudara dan tubuhnya akan berubah dan menjadi tidak cantik lagi. Disamping Kurangnya informasi dan koordinasi antara petugas kesehatan kepada ibu bersalin agar menganjurkan setiap ibu menyusui bayi mereka, serta praktek yang keliru dengan memberikan botol kepada bayi yang baru lahir. Selain itu sering juga ditemui ibu menyusui bayinya karena terpaksa baik karena terjadinya bendungan ASI yang mengakibatkan ibu merasa sakit sewaktu bayinya menyusu, luka pada puting susu yang sering menyebabkan rasa nyeri, kelainan pada puting susu dan adanya penyakit tertentu seperti Tuberkulosa (Depkes RI, 2007).

Berbagai mitos tentang ASI yang berkaitan dengan bentuk tubuh ibu bahwa menyusui dikhawatirkan akan membuat tubuh ibu sukar kembali ke bentuk aslinya dan takut ditinggal suami. Padahal timbunan lemak yang terjadi selama masa kehamilan akan lebih mudah menghilang karena digunakan dalam proses menyusui. Makin sering menyusui makin banyak produksi ASI yang dihasilkan sehingga kebutuhan bayi akan ASI dapat tercukupi. Hendaknya semua perempuan sadar bahwa payudara yang dimilikinya adalah karunia tuhan agar bisa menyusukan bayi (Roesli, 2007).

Memburuknya gizi pada anak dapat juga terjadi akibat ketidaktahuan ibu mengenai cara-cara pemberian ASI kepada anaknya. Hal lain dapat juga disebabkan oleh kurangnya pemenuhan nutrisi selama ibu hamil yang berakibat melahirkan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR). Faktor lain yang berpengaruh adalah paritas ibu. Pada penelitian yang dilakukan oleh Zaenab R. dan Joeharno tentang beberapa faktor resiko kejadian BBLR di rumah sakit Al-Fatah pada bulan Januari-Desember 2006 di Ambon. Hasil uji statistik diperoleh nilai Odds Ratio (OR) = 2,438 sehingga dapat dikatakan bahwa paritas ibu merupakan faktor resiko terhadap kejadian BBLR. Pada penelitian tersebut juga diuraikan bahwa status gizi ibu seperti anemia pada ibu hamil akan berpengaruh terhadap berat badan bayi lahir rendah (59,2%). Hal ini nantinya berpengaruh terhadap proses atau cara persalinan ibu. Usia ibu pada waktu hamil juga berpengaruh terhadap terjadinya bayi berat badan lahir rendah.

Faktor lain yang berpengaruh terhadap pemberian ASI adalah sikap ibu . Sikap (attitude) menurut Sarwono (2003) adalah kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertingkah laku atau merespons sesuatu baik terhadap rangsangan positif maupun rangsangan negatif dari suatu objek rangsangan. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi merupakan faktor predisposisi bagi seseorang untuk berperilaku. (Green, 1980).

Struktur sikap terdiri dari 3 komponen yang saling menunjang yaitu : komponen kognitif (cognitive), komponen afektif (affective) dan komponen konatif (conative). Komponen kognitif merupakan representasi apa yang dipercayai oleh individu pemilik sikap mengenai apa yang berlaku atau yang benar bagi objek sikap.

Komponen afektif merupakan perasaan yang menyangkut aspek emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Komponen konatif merupakan aspek kecenderungan berperilaku tertentu sesuai dengan sikap yang dimiliki seseorang. Interaksi antara ketiga komponen adalah selaras dan konsisten, dikarenakan apabila dihadapkan dengan suatu objek sikap yang sama maka ketiga komponen itu harus mempolakan arah sikap yang seragam. Apabila salah satu diantara ketiga komponen sikap tidak konsisten dengan yang lain, maka akan terjadi ketidakselarasan yang menyebabkan timbulnya mekanisme perubahan sikap sedemikian rupa sehingga konsistensi itu tercapai kembali (Azwar, 2007).

Berdasarkan penelitian Syarifah (2000) terhadap 97 orang ibu yang mempunyai bayi usia 4 – 6 bulan di puskesmas Gandus Kecamatan Hilir Barat II Palembang yang meneliti faktor determinan terhadap pola pemberian ASI ditemukan 4 variabel yang mempunyai hubungan bermakna dengan pola pemberian ASI yaitu : pengetahuan, sikap, dukungan petugas kesehatan dan dorongan keluarga. Hasil analisis multivariat menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna antara keempat variabel tersebut dengan pemberian ASI.

Menurut Suhendro yang dikutip oleh Septa (2005) terdapat beberapa faktor yang memengaruhi pemberian ASI, antara lain:

a. Pengetahuan Ibu

Pengetahuan adalah merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu dan dipengaruhi oleh intensitas perhatian dan peresepsi terhadap objek. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yaitu penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya tindakan seseorang, sebab dari pengalaman dan hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Notoatmodjo, 2005). Pengetahuan seseorang terhadap objek mempunyai tingkat yang berbeda-beda yang secara garis besar dapat dibagi dalam enam tingkat pengetahuan, yaitu :

1. Tahu (know) : Merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah, termasuk mengingat kembali sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang diterima.

2. Memahami (comprehension) : Pada tingkatan ini orang sudah paham dan dapat menjelaskan secara benar objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar juga.

3. Aplikasi (application) : Kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi sebenarnya.

4. Analisis (analysis) : Sudah ada kemampuan untuk menjabarkan materi yang telah dipelajari dalam komponen-komponen yang berkaitan satu sama lain. 5. Sintesis (synthesis) : Kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari

formulasi yang ada dengan cara meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.

6. Evaluasi (evaluation) : Berkaitan dengan kemampuan untuk menilai terhadap suatu objek baik berdasarkan kriteria yang dibuat sendiri atau berdasarkan kriteria yang sudah ada.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Septa (2005) tentang pengetahuan ibu dalam pemberian ASI, terdapat 52,9% (36 responden) dari 68 responden yang memiliki pengetahuan dengan kategori sedang, dan 35,3% (24 responden) dengan kategori kurang dan hanya 11,8% (8 responden) saja dengan kategori baik. Melalui penelitian ini dapat dilihat bahwa sebagian besar ibu sudah mengetahui pentingnya ASI bagi bayi dan hal-hal yang terbaik yang seharusnya dilakukan sehubungan dengan pemberian ASI bagi bayi. Namun demikian, jumlah responden yang masih memiliki pengetahuan yang kurang juga cukup besar dibandingkan dengan yang memiliki pengetahuan baik. Banyak faktor yang memengaruhi tingkat pengetahuan ini, salah satunya adalah pendidikan formal seseorang.

Beberapa tradisi yang berlaku di suatu daerah bahwa kehamilan merupakan salah satu alasan untuk melakukan penyapihan dini (sebelum bayi berumur 1 tahun). Keadaan ini merupakan suatu tradisi yang merugikan sepanjang diketahui bahwa kehamilan tidak memengaruhi gizi ASI baik kualitas maupun kuantitas. Tradisi tersebut menjadi salah satu sumber pengetahuan bagi ibu dalam hal pemberian ASI bagi bayinya. Keadaan ini akan sangat merugikan bagi bayi mengingat begitu pentingnya ASI bagi bayi. Pengetahuan ibu tentang ASI akan membentuk sikap ibu terhadap pemberian ASI dan selanjutnya akan mendorong ibu untuk bertindak, tindakan yang dapat menolak maupun menerima dengan baik akan pentingnya ASI bagi bayi. Dengan kata lain, pengetahuan ibu akan pentingnya memberikan ASI pada bayinya tentunya akan mendorong ibu dalam memberikan ASI kepada bayinya (Septa, 2005).

Tingkat pendidikan ibu mempunyai pengaruh dalam pemberian ASI, makin tinggi pendidikan ibu makin rendah prevalensi menyusui. Dalam penelitian Sanjaya (1980) yang dikutip dari Septa (2005) diperoleh kecendrungan ibu-ibu berpendidikan sekolah lanjutan atas di Jakarta untuk tidak lagi memberikan ASI kepada bayinya. Hal ini terjadi karena ibu-ibu yang berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) akan ikut bekerja sehingga mengurangi kesempatan ibu untuk menyusui bayinya.

Menurut hasil penelitian Sanjaya (1980) di Bogor menyatakan bahwa penyapihan di daerah pedesaan dilakukan pada bayi umur 1-2 tahun. Dalam penelitian ini juga ditemukan bahwa tingkat pendidikan ibu yang semakin tinggi mengakibatkan penyapihan lebih awal. Dalam kutipan Septa (2005) tentang hasil penelitian Purnomo dan kawan-kawan (1987) bahwa adanya pergeseran pola penyapihan anak yang semakin cepat pada kelompok ibu yang berpendidikan tinggi. Demikian juga halnya penelitan yang dilakukan oleh Ridwan Amiruddin (2006) pada 86 orang ibu yang mempunyai bayi berumur 6-11 bulan di Makasar mengatakan bahwa tingkat pendidikan memengaruhi pengetahuan responden terhadap pemberian ASI eksklusif.

Pada penelitian di Pakistan, tingkat kematian anak pada ibu-ibu yang lama pendidikannya lima tahun adalah 50 % lebih rendah daripada ibu-ibu yang buta huruf. Demikian juga di Indonesia bahwa pemberian makanan padat yang terlalu dini sebagian besar dilakukan oleh ibu-ibu yang berpendidikan rendah, mungkin faktor ketidaktahuan adalah sebagai penyebabnya.

Penyakit yang diderita ibu seperti puting susu yang pecah-pecah dan luka kelenjar susu yang mengalami peradangan dan penyakit-penyakit berat lainnya seperti tuberkulosa yang dapat menyebabkan ibu tidak memberikan ASI kepada bayinya. Persalinan dengan tindakan seperti : sectio caesarea dapat menyebabkan ibu tidak memberikan ASInya, karena adanya indikasi medis atau disebabkan oleh hal lain.

d. Umur

Semakin tua umur ibu, semakin tinggi kecenderungan menyusui bayinya dibandingkan dengan ibu-ibu muda, hal ini disebabkan karena makin tua seorang ibu maka semakin banyak pengalamannya dalam merawat dan menyusui bayi.

e. Pendapatan Keluarga

Semakin tinggi keadaan ekonomi keluarga, semakin berkurang prevalensi menyusui. Dewasa ini keadaan ekonomi yang mengalami krisis menuntut setiap individu agar dapat memenuhi segala kebutuhan hidup yang terus meningkat secara tidak seimbang bila dibandingkan dengan pendapatan masyarakat. Tekanan ekonomi yang dialami masyarakat membuat persaingan dalam berusaha dan bekerja semakin sulit. Semua orang berusaha untuk meningkatkan status sosial ekonominya, jika pemenuhan kebutuhan dianggap kurang maka berbagai usaha akan dicoba untuk bertahan, salah satunya adalah mengikut sertakan wanita atau ibu di dalam keluarga untuk mencari nafkah. Hal inilah yang banyak mendorong ibu untuk mengganti ASI dengan makanan lain karena kesibukannya (Daldjoni, 1982).

Pada dasarnya dengan menyusui secara eksklusif ibu tidak perlu mengeluarkan biaya untuk makanan bayi sampai bayi berumur enam bulan. Dengan

demikian akan menghemat pengeluaran rumah tangga untuk membeli susu formula dan peralatannya serta mengurangi biaya yang harus dikeluarkan jika bayi sakit.

Suatu penelitian Cohen dan kawan-kawan (1995), yang melakukan penelitian terhadap 567 ibu bekerja menunjukkan bahwa ibu yang bekerja dan memberikan ASI eksklusif lebih jarang bolos (25%) dibandingkan dengan ibu dengan bayi yang diberi susu formula (75%), karena bayi yang diberi ASI eksklusif lebih jarang sakit. Dengan demikian akhirnya akan menghemat pengeluaran negara dan mencegah kemungkinan terjadinya generasi yang hilang (lost generation).

                     

 

2.4 Landasan Teori  

Landasan Teori yang digunakan untuk menganalisis faktor‐faktor yang memengaruhi  pemberian ASI eksklusif pada bayi umur 0 – 6 bulan   adalah teori perilaku model Green  (1980) yang dapat dilihat pada skema di bawah ini : 

Faktor Predisposisi : - Tingkat Pendidikan - Status sosial ekonomi - Tradisi dan kepercayaan Masyarakat

- Pengetahuan - Sikap

- Keyakinan

Pemberian ASI Eksklusif Faktor Pendukung: - Ketersediaan dan kemudahan sarana prasarana - Dana Faktor Penguat : - Keluarga - Petugas kesehatan - Status sosial Budaya - Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah

Sumber : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku (Notoatmodjo, S.)

Gambar 2.1 Teori Perilaku Model Green pada Faktor-Faktor yang Memengaruhi Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Umur 0 – 6 Bulan

34