• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.3.5. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kebijakan

Mangkunegara (2009) menyatakan, “Ada enam faktor yang mempengaruhi kebijakan kompensasi, yaitu:

1. Faktor pemerintah

Peraturan pemerintah yang berhubungan dengan penentuan standard gaji minimal, pajak penghasilan, penetapan harga bahan baku, biaya transportasi/angkutan, inflasi maupun devaluasi sangat mempengaruhi perusahaan dalam menentukan kebijakan kompensasi pegawai.

2. Penawaran bersama antara perusahaan dan pegawai Kebijakan

Dalam menentukan kompensasi dapat dipengaruhi pula pada saat terjadinya tawar-menawar mengenai besarnya upah yang harus diberikan oleh perusahaan kepada pegawainya. Hal ini terutama dilakukan oleh perusahaan dalam merekrut pegawai yang mempunyai keahlian dalam bidang tertentu yang sangat dibutuhkan di perusahaan.

3. Standar dan biaya hidup pegawai

Kebijakan kompensasi perlu mempertimbangkan standar dan biaya hidup minimal pegawai. Hal ini karena kebutuhan dasar pegawai harus terpenuhi. Dengan terpenuhinya kebutuhan dasar pegawai dan keluarganya, maka pegawai akan merasa aman. Terpenuhinya kebutuhan dasar dan rasa aman pegawai akan memungkinkan pegawai dapat bekerja dengan penuh motivasi untuk mencapai tujuan perusahaan.

4. Ukuran perbandingan upah

Kebijakan dalam menentukan kompensasi dipengaruhi pula oleh ukuran besar kecilnya perusahaan, tingkat pendidikan pegawai, masa kerja pegawai. Artinya,

perbandingan tingkat upah pegawai perlu memperhatikan tingkat pendidikan, masa kerja dan ukuran perusahaan.

5. Permintaan dan persediaan

Dalam menentukan kebijakan kompensasi pegawai perlu mempertimbangkan tingkat persediaan dan permintaan pasar. Artinya, kondisi pasar pada saat itu perlu dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan tingkat upah pegawai. 6. Kemampuan membayar

Dalam menentukan kebijakan kompensasi pegawai perlu didasarkan pada kemampuan perusahaan dalam membayar upah pegawai. Artinya, jangan sampai menentukan kebijakan kompensasi di luar batas kemampuan yang ada pada perusahaan”.

Dalam sistem kompensasi yang efektif, kebijakan penggajian dipilih untuk membantu pencapaian tujuan sistem penggajian. Milkovich dan Boudreau (2002) menyatakan bahwa, “Ada 3 (tiga) dasar kebijakan penggajian yang harus dipertimbangkan dalam menentukan gaji, yaitu:

1. Persaingan dengan Eksternal (External Competitiveness)

Mengacu pada perbandingan penggajian antara organisasi yang satu dengan organisasi saingannya. Ada 2 (dua) akibat dari kebijakan ini yaitu:

a. Jika karyawan melihat bahwa gaji mereka tidak sebanding dengan karyawan lain dalam organisasi lain, maka mereka akan keluar.

b. Biaya sumber daya manusia akan memberi dampak tambahan biaya total sumber daya manusia yang kemudian akan mempengaruhi harga barang dan

jasa yang diproduksi oleh organisasi. Biaya sumber daya manusia ini harus ditetapkan pada suatu tingkat di mana perusahaan dapat memaksimalkan tingkat efisiensinya.

2. Kesamaan Internal (Internal Alignments)

Mengacu pada perbandingan antara posisi jabatan atau keahlian dalam perusahaan sendiri. Jadi ini merupakan perbandingan antarposisi, atau gaji yang dibayarkan berdasarkan nilai jabatan.

3. Kontribusi Karyawan (Employee Contributions)

Mengacu pada pembayaran berdasarkan karyawan yang melakukan pekerjaan yang sama atau memiliki keterampilan yang sama atau berdasarkan senioritas karyawan. Jadi ini merupakan perbandingan antar karyawan, atau insentif yang dibayar berdasar hasil penilaian kerja”.

II.4. Teori Tentang Kepuasan Kerja II.4.1. Pengertian Kepuasan Kerja

Robbins (2003) menyatakan bahwa, “Kepuasan kerja merupakan pernyataan perasaan dan sikap pegawai yang positif dan negatif terhadap pekerjaannya”. Luthans (2006) menyatakan bahwa “Kepuasan kerja adalah keadaan emosi

yang senang atau emosi positif yang berasal dari penilaian pekerjaan atau pengalaman kerja seseorang”.

Menurut Rivai (2004), “Kepuasan kerja pada dasarnya merupakan sesuatu yang bersifat individual. Setiap individu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-

beda sesuai dengan sistem nilai yang berlaku pada dirinya. Makin tinggi penilaian terhadap kegiatan dirasakan sesuai dengan keinginan individu, maka makin tinggi tingkat kepuasannya terhadap kegiatan tersebut. Dengan demikian, kepuasan merupakan evaluasi yang menggambarkan seseorang atas perasaan sikapnya senang atau tidak senang, puas atau tidak puas dalam bekerja”.

II.4.2. Teori-teori Kepuasan Kerja

II.4.2.1. Teori ketidasesuaian (discrepancy theory)

Porter (1961) pertama kali memelopori teori kepuasan kerja yang disebut

discrepancy theory. Porter mengukur kepuasan kerja seseorag dengan menghitung selisih antara apa yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan. Kemudian As’ad (2004) menerangkan bahwa kepuasan kerja seseorang tergantung pada

discrepancy antara should be (expectation, needs or values), dengan apa menurut perasaannya atau persepsinya telah diperoleh atau dicapai melalui pekerjaan.

Dengan demikian, orang akan merasa puas bila tidak ada perbedaan antara yang diinginkan dengan persepsinya atas kenyataan, karena batas minimum yang diinginkan telah terpenuhi.

Apabila yang dicapai ternyata lebih besar daripada yang diinginkan, maka orang akan menjadi lebih puas lagi walaupun terdapat discrepancy, tetapi merupakan

positive discrepancy. Sebaliknya makin jauh kenyataan yang dirasakan itu di bawah standar minimum akan menjadi negative discrepancy, maka makin besar pula ketidakpuasan seseorang terhadap pekerjaan.

Rivai (2004) menyatakan bahwa teori ketidaksesuaian (discrepancy theory)

adalah teori yang mengukur kepuasan kerja seseorang dengan menghitung selisih antara sesuatu yang seharusnya dengan kenyataan yang dirasakan.

II.4.2.2. Teori keadilan (equity theory)

Menurut As’ad (2004) teori keadilan menekankan bahwa orang akan merasa puas atau tidak puas, tergantung apakah ia merasakan adanya keadilan atau tidak atas suatu situasi. Perasaan adil dan tidak adil atas suatu situasi, diperoleh orang dengan cara membandingkan dirinya dengan orang lain yang sekelas, sekantor maupun di tempat lain.

Menurut teori ini, elemen-elemen dari equity ada tiga yaitu: input, outcomes

dan comparison person (Wexley & Yukl, 2005). Wexley berpendapat: input is anything of value than an employee perceives that the contributes to his job ( input

adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai sumbangan terhadap pekerjaan). Dalam hal ini misalnya: education, experience, skills, amount of effort expected, number of hours worked, and personal tools dan sebagainya.

Selanjutnya Wexley & Yukl (2005) menyatakan bahwa, “outcomes is anything of value that the employee perceives he obtains from the job (outcomes adalah segala sesuatu yang berharga yang dirasakan karyawan sebagai “hasil” dari pekerjaannya), misalnya pay, fringe benefits, status symbols, recognition, opportunity for achievement or self-expression. Sedangkan yang dimaksud dengan comparison persons ialah kepada orang lain dengan siapa karyawan membandingkan rasio input- outcomes yang dimilikinya”.

Menurut Wexley & Yukl (2005), comparison persons ini bisa berupa seseorang di perusahaan yang sama, atau di tempat lain, atau bisa pula dengan dirinya sendiri di waktu lampau (the comparison person maybe someone in the same organization, someone in a different organization, or even the person himself in previous job). Menurut teori ini, setiap karyawan akan membandingkan rasio input- outcomes dirinya dengan rasio input-outcomes orang lain (comparison persons).

II.4.2.3. Teori dua faktor (two factor theory)

Teori ini pertama kali dikembangkan oleh Herzberg tahun 1959. Studi awal yang dilakukan Herzberg ini menghasilkan dua kesimpulan penting. Pertama, terdapat satu kelompok kondisi ekstrinsik (konteks pekerjaan) yang meliputi: upah, keamanan kerja, kondisi kerja, status, prosedur perusahaan, mutu pengawasan, dan hubungan interpersonal antara sesama rekan kerja, atasan dan bawahan (As’ad, 2004).

Keberadaan kondisi ini terhadap kepuasan karyawan tidak selalu memotivasi mereka. Tetapi ketidakberadaannya menyebabkan ketidakpuasan bagi karyawan, karena mereka perlu mempertahankan setidaknya suatu tingkat “tingkat tidak ada kepuasan”; kondisi ekstrinsik ini disebut ketidakpuasan, atau faktor hiegiens. Kedua, juga terdapat suatu kelompok intrinsik, yang meliputi: pencapaian prestasi, pengakuan, tanggung jawab, kemajuan, pekerjaan itu sendiri, kemungkinan berkembang. Ketidakberadaan kondisi ini bukan berarti membuktikan adanya kondisi sangat tidak puas. Tetapi kalau ada, akan membentuk motivasi yang kuat yang

menghasilkan prestasi kerja yang baik. Oleh karena itu, mereka disebut sebagai pemuas atau motivator.

II.4.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Menurut Robbins (2003), faktor-faktor penting kepuasan kerja adalah: a. Kondisi Pekerjaan

Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja. Karakteristik ini membuat kerja secara mental menantang. Pekerjaan yang kurang menantang menciptakan kebosanan, tetapi yang terlalu banyak menantang akan menciptakan frustasi dan perasaan gagal. Pada kondisi tantangan yang sedang, kebanyakan karyawan akan mengalami kesenangan dan kepuasan.

Lebih lanjut menurut Robbins (2003), “Faktor lain dari kondisi kerja adalah kondisi kerja yang mendukung, karyawan peduli akan lingkungan kerja yang baik untuk kenyamanan pribadi maupun untuk memudahkan mengerjakan tugas yang baik. Studi-studi memperagakan bahwa karyawan lebih menyukai keadaan fisik sekitar yang tidak berbahaya atau merepotkan dan dengan fasilitas yang bersih dan relatif modern dan dengan alat-alat dan peralatan yang memadai”.

Pegawai cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan ketrampilan dan kemampuan mereka dan

menawarkan beragam tugas, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka mengerjakan pekerjaan mereka. Karakteristik seperti ini membuat kerja secara mental menantang.

b. Gaji

Menurut Mathis dan Jackson (2002) menyatakan bahwa “Gaji merupakan bayaran yang secara langsung dihitung berdasarkan jumlah waktu kerja”.

Selanjutnya Nawawi (2000) menyatakan bahwa, “Gaji bagi organisasi atau perusahaan berarti penghargaan atau ganjaran pada para pekerja yang telah memberikan kontribusi dalam mewujudkan tujuannya melalui kegiatan yang disebut bekerja”.

Kepuasan terhadap gaji akan tercipta dengan adanya usaha atau kerja yang dilakukan oleh seseorang sebab secara pribadi seseorang akan merasa puas jika hasil pekerjaannya dihargai dalam bentuk materi maupun non materi. Pemberian gaji yang layak akan menjadi penentu kepuasan seseorang dalam bekerja.

c. Supervisi

Supervisi atau pengawasan merupakan fungsi penilaian terhadap pekerjaan, apakah telah memenuhi standar sesuai yang direncanakan atau terdapat penyimpangan di dalamnya.

Terry menyatakan bahwa pengawasan merupakan proses penentuan standar yang harus dicapai yaitu: pelaksanaan, menilai pelaksanaan dan jika perlu melakukan perbaikan-perbaikan, sehingga pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu sesuai dengan standar (Hasibuan, 2003).

Winardi (2004) menyatakan bahwa, “Pengawasan (controling) sebagai aktivitas yang dilaksanakan oleh atasan dalam upaya memastikan hasil aktual sesuai dengan yang direncanakan. Inti pengawasan adalah evaluasi yang dilakukan oleh atasan sebagai orang yang bertanggung jawab menyelaraskan rencana dengan tindakan pekerjaan”.

Peran pimpinan dalam pengawasan cukup berarti untuk mewujudkan tujuan organisasi. Hal yang perlu dipertimbangkan oleh pimpinan dalam proses pengawasan adalah menciptakan pengawasan yang fleksibel atau tidak terlalu kaku. Pengawasan yang terlalu kaku dapat mengurangi kepuasan kerja karyawan. d. Rekan kerja yang mendukung

Rekan kerja yang ramah dan mendukung dapat meningkatkan kepuasan dalam bekerja. Salah satu tujuan yang diharapkan dalam melakukan pekerjaan setelah terpenuhinya kepuasan akan kebutuhan fisik adalah kebutuhan sosial. Kebutuhan sosial terwujud dalam bentuk interaksi orang-orang yang berada pada lingkungan kerja.

Sesuai dengan pernyataan Robbins (2003), bahwa “Bagi kebanyakan karyawan kerja juga mengisi kebutuhan akan interaksi sosial. Jika seseorang memiliki rekan kerja yang ramah, mendukung akan menghantar pada kepuasan kerja yang tinggi”.

Rekan kerja adalah orang-orang yang turut membantu sukses tidaknya kerja yang dilakukan. Perilaku sesama pekerja mendorong tumbuhnya kepuasan jika satu sama lain bersikap menghargai, memotivasi, tidak terjadi konflik negatif dan bersikap bijaksana jika terdapat kesalahan yang dilakukan oleh rekan sekerja yang lainnya.

Hubungan yang baik dalam kerja timbul karena ada komunikasi dan kepercayaan diantara mereka yang berinteraksi selama bekerja. Dalam membangun hubungan baik harus ada saling kepercayaan diantara orang tersebut. Kepercayaan ini dapat diwujudkan dalam bentuk frekwensi komunikasi yang didasari kesamaan pengertian satu sama lain. Komunikasi dapat mengurangi kesalahpahaman diantara sesama anggota organisasi. Suatu permasalahan dapat diatasi dengan melakukan komunikasi terbuka dan kesediaan untuk menerima kesalahan jika memang terdapat kesalahan objektif yang telah dilakukan. Hubungan komunikasi yang baik ini dapat menjadikan tingkat kepuasan seseorang dalam bekerja menjadi tinggi.

Luthans (2006) menyatakan bahwa, “Ada lima faktor kepuasan kerja yaitu: a. Pekerjaan yang menantang

Karyawan cenderung lebih menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi kesempatan untuk menggunakan kemampuan dan ketrampilannya, kebebasan dan umpan balik mengenai betapa baik mereka bekerja.

b. Pemberian Upah

Karyawan menginginkan sistem upah dan kebijakan promosi yang dipersepsikan sebagai adil, tidak meragukan dan segaris dengan pengharapannya. Bila upah dilihat sebagai adil yang didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat ketrampilan individu, dan standar pengupahan komunitas kemungkinan besar akan dihasilkan kepuasan.

c. Kondisi Kerja

Kondisi kerja dalam perusahaan sangat membantu karyawan dalam bekerja. Dengan kondisi kerja yang sangat nyaman dan memadai akan mempengaruhi kualitas karyawan.

d. Supervisi

Supervisi berhubungan dengan karyawan secara langsung dan mempengaruhi karyawan dalam melakukan pekerjaannya. Umumnya karyawan lebih suka mempunyai supervisi yang adil, terbuka dan mau bekerjasama dengan bawahannya.

e. Rekan kerja

Mempunyai rekan kerja yang ramah dan mendukung dapat meningkatkan kepuasan kerja”.

II.5. Teori Tentang Perilaku Prososial Organisasi (Organizational Citizenship Behavior)

II.5.1. Pengertian Perilaku Prososial Organisasi

Organ et.al (2006) menyatakan bahwa, ”Perilaku prososial organisasi sebagai

individual behaviour that is discretionary, not directly or explicitly recognized by the formal reward system, and in the aggregate promotes the effective functioning of the organization. Perilaku prososial organisasi adalah perilaku individu yang bebas

memilih, tidak diatur secara langsung atau eksplisit oleh sistem penghargaan formal, dan secara bertingkat mempromosikan fungsi organisasi yang efektif”.

Menurut Organ, et.al (2006), “Perilaku prososial organisasi (Organizational Citizenship Behavior (OCB)adalah perilaku-perilaku yang dilakukan oleh para karyawan:

1. Tidak secara tegas diberi penghargaan apabila mereka melakukannya dan juga tidak akan diberi hukuman apabila mereka tidak melakukannya.

2. Tidak merupakan bagian dari deskripsi pekerjaan yang dimiliki karyawan. 3. Merupakan perilaku-perilaku karyawan yang tidak membutuhkan latihan

terlebih dahulu untuk melaksanakannya”.

Robbins (2003) menyatakan bahwa, “Perilaku prososial organisasi adalah perilaku kebebasan untuk memilih perilaku yang tidak menjadi bagian dari kewajiban formal seorang karyawan, namun mendukung berfungsinya organisasi tersebut secara efektif dan efisien”.

II.5.2. Dimensi Perilaku Prososial Organisasi (organizational citizenship behavior)

Menurut Organ et al. (2006), “Perilaku Prososial Organisasi (Organizational Citizenship Behavior) memiliki lima dimensi, yaitu sikap menolong (altruism),

sikap sopan dan taat (courtesy), sikap hati-hati (conscientiousness), sikap positif (sportsmanship), dan sikap kewarganegaraan yang baik (civic virtue).

1.Sikap menolong (Altruism), terjadi pada saat seorang karyawan membantu karyawan lain dalam melakukan suatu pekerjaan dalam kondisi yang tidak biasa. Altruism dapat diilustrasikan sebagai berikut, seorang karyawan membantu rekan kerjanya yang lain yang baru saja masuk kerja setelah cuti sakit dalam mengerjakan sebuah pekerjaan tertentu agar target yang telah ditetapkan bagi karyawan yang sakit tersebut dapat tercapai. Altruism

menunjuk pada perilaku menolong, perilaku prososial dan keramahtamahan. Dimensi ini berhubungan dengan perilaku yang secara langsung maupun tidak langsung menolong rekan kerja lain dalam menyelesaikan masalah-masalah yang muncul yang berhubungan dengan pekerjaan karyawan tersebut. Manfaat dari dimensi ini adalah para karyawan saling membantu satu sama lain tanpa perlu mengganggu pekerjaan atasannya. Selain itu, karyawan mendapatkan manfaat lain yaitu tidak menunjukkan kepada atasannya seberapa sering mereka membutuhkan bantuan dalam menyelesaikan pekerjaannya yang mungkin dapat mempengaruhi nilai dalam penilaian kinerja mereka.

2.Sikap sopan dan taat (Courtesy), menunjuk pada perilaku menolong karyawan lain untuk mencegah munculnya masalah yang berkaitan dengan pekerjaan atau membantu untuk mengurangi “penderitaan” akibat dari munculnya masalah tersebut.Perilaku seperti memberitahu, mengingatkan dan memberi konsultasi merupakan perilaku dari dimensi ini.

3.Sikap hati-hati (Conscientiousness), menunjuk pada bagaimana seorang karyawan mengerjakan tugas yang diberikan (in-role behavior) dengan cara yang lebih baik dari yang diharapkan. Conscientiousness meliputi perilaku seperti mengerjakan segala sesuatu lebih cepat dari yang ditetapkan, membuat catatan kehadiran yang lebih dari rata-rata, dan mengikuti peraturan, ketetapan, dan prosedur yang ada dalam organisasi.

4.Sikap positif (Sportsmanship) ialah sebuah perilaku yang lebih menekankan pada aspek-aspek positif dibanding aspek-aspek negatif yang dimiliki organisasi. Dimensi ini digambarkan sebagai toleransi terhadap situasi yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Dimensi ini merupakan hal yang disukai atasan, karena tidak adanya keluhan bawahan mengenai hal-hal yang sifatnya remeh atau tidak berarti.

5.Sikap Kewarganegaraan yang baik (Civic virtue) ialah dukungan terhadap fungsi administratif dari organisasi. Civic virtue ditunjukkan melalui partisipasi yang bertanggung jawab terhadap organisasi, misalnya tetap up-to- date terhadap isu-isu penting dari organisasi, menghadiri rapat, menjawab surat-surat, membagi informasi mengenai opini-opini dan ide-ide yang baru kepada orang lain, kemauan menyampaikan berita-berita buruk atau mendukung pandangan-pandangan yang kurang populer untuk melawan terjadinya “groupthink”.

Menurut DiPaola dan Tschannen-Moran (2001), terdapat empat dimensi perilaku prososial organisasi untuk lingkungan sekolah yang terdiri dari:

1.Sikap menolong (Altruism), yaitu sikap mementingkan kepentingan orang lain, seperti memberikan pertolongan pada kawan sekerja yang baru, dan menyediakan waktu untuk orang lain yang dalam hal ini ditunjukkan secara langsung pada individu-individu lainnya, akan tetapi kontribusi terhadap efisiensi didasarkan pada peningkatan kinerja secara individual.

2.Sikap kehati-hatian (Conscientiousness), seperti efisiensi menggunakan waktu, tingkat kehadiran tinggi berupa kontribusi terhadap efisiensi baik berdasarkan individu maupun kelompok.

3.Sikap sopan dan taat (Courtesy), seperti pemberitahuan melalui surat peringatan, atau pemberitahuan sebelumnya atas perubahan pekerjaan, dan meneruskan informasi dengan tepat yang dilakukan dengan membantu mencegah timbulnya masalah dan memaksimalkan penggunaan waktu.

4.Sikap keanggotaan yang baik (Civic Virtue), seperti melayani komite atau panitia, melakukan fungsi-fungsi sekalipun tidak diwajibkan untuk membantu memberikan kesan baik bagi organisasi berupa memberikan pelayanan yang diperlukan bagi kepentingan organisasi.