• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KOMUNI PERTAMA

B. Penghayatan Ekaristi

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi Penghayatan

Hidup iman seseorang amat menetukan dalam seluruh penghayatan liturginya. Meskipun orang menguasai segala teori liturgi, mengerti seluruh makna dan simbol-simbol liturgi, cakap dalam segala urutan dan rangkaian perayaan liturgi, tetapi apabila hidup iman orang itu dangkal dan tidak mendalam, maka sangat mungkin liturginya kurang mengena dan tidak menyapanya (Martasudjita, 2002:10). Di bawah ini adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi penghayatan Ekaristi seseorang :

a. Diri Kita

Salah satu faktor yang penting ialah persiapan diri kita. Kalau orang tidak bisa menikmati perayaan liturgi, janganlah pertama-tama menyalahkan orang lain, petugasnya, imamnya, lagu-lagunya, dan seterusnya. Harus diakui bahwa faktor petugas dan hal-hal macam itu tentu mempengaruhi penghayatan liturgi kita. Namun, faktor persiapan diri kita sendiri amat sangat penting untuk bisa

menghayatai liturgi dengan sukacita dan hidup (Martasudjita, 2002:37). Sebaik apapun dekorasinya, seindah apapun baju yang dikenakan oleh petugas liturginya, sebaik apapun petugas kor nya, tapi walaupun diri kita sendiri sebagai umat yang hadir dengan hati yang kacau, bisa dipastikan Perayaan Ekaristi tersebut tidak dapat mengena pada hidup kita.

Kita sebagai umat beriman diharapkan berpartisipasi secara sadar aktif dan penuh khidmat di dalam seluruh perayaan Ekaristi dari awal persiapan, pada saat pelaksanaan, dan juga pada saat pengalaman iman di dalam kehidupan kita sehari-hari (SC 48). Melalui kehadiran dan partisipasi kita di dalam seluruh perayaan ekaristi itu sendiri, umat beriman berpatisipasi aktif. Umat mengikuti Perayaan Ekaristi dari awal hingga akhir karena Perayaan Ekaristi adalah satu kesatuan dan merupakan tindakan ibadat (SC 56). Keikutsertaan umat secara sadar dan aktif di dalam sebuah Perayaan Ekaristi tersebut dilaksankan menurut tindakan, tugas, serta keikutsertaan mereka (SC 26). Ini mempunyai arti bahwa semua umat itu mempunnyai tugas dan peranan masing-masing. Di dalam “Pedoman Umum Misale Romawi (PUMR)” dari antara umat dapat diambil untuk mempunyi peran dan tugas seperti, ada yang menjadi prodiakon, misdinar, lektor, pemazmur, petugas kor, koster, petugas musik, kolektan, dan sebagainya (PUMR 100-107).

Kemudian, partisipasi umat sendiri adalah terdapat pada bagian aklamasi dan jawaban-jawaban umat terhadap salam dan doa-doa imam (PUMR 35), pernyataan tobat, syahadat, doa umat, doa Bapa Kami (PUMR 36). Umat sebaiknya juga ikut terlibat dalam menyanyikan dan mengucapkan sebagai berikut : nyanyian pembuka, kemuliaan, refren Mazmur Tanggapan, bait pengantar injil

(dengan atau tanpa alleluia), nyanyian persiapan persembahan, kudus, aklamasi anamnese, nyanyian pemecah hosti, madah pujian sesudah komuni, dan nyanyian penutup (PUMR 36).

b. Peran dan Tugas Imam

Dalam Perayaan Ekaristi seorang Imam berperan secara khas untuk membawakan pribadi Kristus atau bertindak in persona Christi, tetapi juga sekaligus menjadi saksi dan pelayan seluruh Gereja. Memimpin Perayaan Ekaristi adalah tugas utama seorang Imam (PUMR 92). Maka para Imam hendaknya merayakan Ekaristi setiap hari sebab itu dapat berguna bagi kehidupan imamat dan rohaninya sendiri tetapi juga demi keselamatan umat (PUMR 19). Di dalam Perayaan Ekaristi, Imam bertugas untuk membawakan doa-doa pemimpin atau doa-doa presidensial. Doa-doa tersebut mencakup pertama-tama dan utama, yaitu Doa Syukur Agung (PUMR 31). DSA adalah merupakan puncak dari seluruh ibadat. Kemudian Imam juga membawakan tugas untuk mendoakan doa-doa presidensial yang lain, seperti doa pembuka, doa persiapan persembahan, dan doa sesudah komuni. Doa tersebut diucapkan oleh imam kepada Allah atas nama semua umat beriman yang hadir, dan melalui imam Kristus sendiri yang memimpin himpunan umat (PUMR 30). Doa presidensial harus didoakan dengan suara yang lantang dan dengan ucapan yang jelas supaya umat mudah mendengar doanya dengan jelas. Selama Imam mendoakan doa-doa presidensial tersebut, tidak diperbolehkan adanya doa atau nyanyian atau juga iringan musik (PUMR 32). Imam juga mempunyai wewenang untuk menyampaikan sejumlah ajakan yang terdapat di dalam TPE (PUMR 31). Di dalam perumusannya, Imam juga

boleh menyesuaikan dengan daya tangkap umat. Imam juga dipersilahkan untuk memberikan kata pengantar yang singkat pada saat ritus pembuka, sebelum masuk ke liturgi sabda, liturgi Ekaristi, dan sebelum berkat pengutusan pada ritus penutup. Imam juga wajib mendoakan doa-doa pribadi di dalam hati pada bagian tertentu, seperti doa sebelum pemakluman Injil, doa pada persiapan persemabahan, dan doa sebelum serta sesudah Komuni Imam (PUMR 33).

c. Tata Gerak dan Sikap Tubuh

Di dalam buku PUMR 2000 terdapat pedoman tata gerak dan sikap tubuh untuk para petugas liturgi dan semua umat beriman. Seluruh tata gerak dan sikap tubuh harus dilaksankan menurut tiga patokan :

1). Tata gerak dan sikap tubuh memancarkan keindahan dan sekaligus kesederhanaan yang anggun dari Perayaan Ekaristi.

2). Tata gerak dan sikap tubuh itu mengungkapkan dengan baik pemahaman yang tepat dan penuh atas aneka bagian perayaannya.

3). Tata gerak dan sikap tubuh itu membuat umat bisa sungguh berpartisipasi secara aktif.

Tata gerak dan sikap tubuh yang dilakukan oleh umat secara bersama-sama atau serempak akan mengungkapan kesatuan umat. Di dalam PUMR dianjurkan agar umat berdiri pada saat ritus pembuka, yakni dari awal nyanyian pembuka sampai dengan doa pembuka selesai, pada saat bait pengantar Injil, Injil, Syahadat dan doa umat (PUMR 43). PUMR menganjurkan agar umat duduk selama bacaan-bacaan sebelum Injil dan selama Mazmur Tanggapan, selama homili, selama persiapan persembahan, dan selama saat hening sesudah komuni.

Pada saat Doa Syukur Agung umat memang dianjurkan untuk berdiri, namun dapat juga berlutut pada saat memasuki kisah dan kata-kata institusi atau berlutut sejak sesudah kudus sampai DSA selesai.

Dengan ketentuan tata gerak dan sikap badan yang disarankan oleh PUMR tersebut, konferensi Uskup boleh melaksankan penyesuaian atau penyelarasan sesuai dengan keadaan dan ciri khas dari masing-masing daerah di Indosesia atau ciri khas dan tradisi dari masing-masing bangsa (PUMR 43). Pada PUMR bab IX dengan jelas tercantum bahwa Konferensi Uskup diperbolehkan mengadakan penyesuaian terhadap tata gerak dan sikap badan, termasuk masalah duduk, berdiri, berlutut dan soal salam damai. Pemberian wewenang kepada Konferensi Uskup ini dilatarbelakangi dengan situasi Gereja atau Kapel di Indonesia yang sangat beragam sesuai dengan kekhasan daerah masing-masing.

d. Saat Hening pada saat Perayaan Ekaristi

Saat hening selama Perayaan Ekaristi menjadi bagian yang menjadi perhatian khusus di dalam PUMR. Ini berkaitan dengan situasi dan praktek di berbagai tempat yang kurang diperhatikan pada saat hening selama Perayaan Ekaristi. Misalnya saja, pada saat para petugas sedang mempersiapkan diri suasana di sakristi malahan menjadi gaduh dan ribut, ketika Perayaan Ekaristi belum dimulai ada beberapa umat yang berbisik-bisik dan bercanda di dalam Gereja, ada juga umat yang tidak menon-aktifkan HP-nya dan ketika misa berlangsung HP-nya berbunyi sangat nyaring. Seharusnya ini ditegaskan kembali untuk menciptakan suasana hening, PUMR menganjurkan agar suasana

keheningan itu tidak hanya diciptakan di dalam gedung Gereja dan sakristi saja, tetapi sudah diterapkan di sekitar gedung gereja (PUMR 45).

Arti dari suasana hening di dalam Perayaan Ekaristi itu ada banyak dan itu mempunyai makna yang berbeda-beda. Misalnya, hening pada saat sebelum doa pembuka mempunyai makna untuk menyampaikan ujud doa pribadi masing-masing dan nantinya akan dipersatukan dalam doa pembuka yang didoakan oleh Imam. Kemudian, hening pada saat sebelum pernyataan tobat mempunyai makna untuk mawas diri dan merenungkan kasih Allah dan tanggapan kita yang tidak sesuai melalui dosa dan kesalahan kita. Saat hening pada saat sesudah bacaan dan homili ialah untuk merenungkan Firman Tuhan. Kemudian, saat hening sesudah komuni dimaksudkan untuk bersyukur, memuji nama Tuhan, dan mengucapkan doa permohonan pribadi di kala Tuhan sendiri datang dalam wujur Hosti Suci di dalam komuni.

e. Makna Nyanyian dalam Perayaan Ekaristi

Musik mempunyai kedudukan yang amat penting di dalam liturgi. Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Conciliumpada bab IV yang berbicara tentang musik (bab IV: SC 112-121). Dari dokumen Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Conciliumtersebut, kita dapat mengambil tiga kesimpulan tentang makna musik di dalam Perayaan Ekaristi :

1). Musik merupakan bagian dari liturgi tersendiri. Ini mempunyai arti bahwa musik bukanlah sebuah iringan belaka atau hanya sekedar tambahan saja, melainkan “bagian liturgi meriah yang penting atau integral” (SC 112).

2). Musik memperjelas misteri Kristus. Karena musik liturgi menjadi sarana untuk memuliakan Allah dan menguduskan umat beriman (SC 112). Melalui kata-kata di dalam nyanyian dan melodinya, umat dibantu untuk mendalami misteri Kristus dan juga menghayati kehadiran Kristus di dalam Perayaan Ekaristi.

3). Musik dan nyanyian dapat membantu umat untuk berpartisipasi secara aktif di dalam Perayaan Ekaristi dengan ikut menyanyikan lagu-lagunya. Di dalam dokumen Konsili Vatikan II meminta partisipasi umat secara sadar dan aktif (SC 14).

Konstitusi Liturgi Sacrosanctum Conciliumno 116 mengatakan :

Gereja memandang nyanyian Gregorian sebagai nyanyian khas bagi Liturgi Romawi. Maka dari itu-bila tiada pertimbangan-pertimbangan yang lebih penting – nyanyian Gregorian hendaknya diutamakan dalam upacara-upacara Liturgi. Jenis-jenis lain Musik Liturgi, tertutama polifoni, sama sekali tidak dilarang dalam perayaan ibadat suci, asal saja selaras dengan jiwa upacara Liturgi, menurut ketentuan pada art. 30.

Di dalam PUMR memberikan kemungkinan penggunaan musik yang khas sesuai tradisi dari suatu bangsa dan juga tergantung dari kemampuan bermusik yang dimiliki oleh umat sendiri (PUMR 40). Namun di dalam PUMR disarankan untuk musik dan nyanyian gregorian tetap mempunyai tempat yang utama. PUMR tidak menyarankan untuk selalu menggunakan nyanyian pada setiap Perayaan Ekaristi. Pada saat Perayaan Ekaristi harian, tidak perlu semua nyanyian dinyanyikan. Tetapi, pada saat Perayaan Ekaristi Hari Minggu dan Hari Raya wajib hendaknya nyanyian-nyanyian tersebut diupayakan untuk dinyanyikan. Tim liturgi dan petugas liturgi wajib mengetahui nyanyian-nyanyian apa saja yang

wajib dinyanyikan dan tidak wajib dinyanyiakan. Bisa melihat pedomannya di dalam PUMR 37 :

 Sebagian merupakan ritus atau kegiatan tersendiri, seperti Kemuliaan, mazmur tanggapan, bait pengantar Injil (dengan atau tanpa alleluya), Kudus, aklamasi anamnesis, madah syukur sesudah komuni;

 Sebagian lagi mengiringi ritus lain, seperti nyanyian pemecahan roti (Anak domba Allah), dan nyanyian komuni.

PUMR 40 mengatakan bahwa penggunaan nyanyian dalam perayaan Ekaristi harusnya dijunjung tinggi. Maka, nyanyian pembuka ini penting untuk membantu umat dalam mempersiapkan diri untuk masuk ke dalam Perayaan Ekaristi. Nyanyian pembuka juga dapat membantu membangun kesatuan umat dan mengiringi perarakan masuk para petugas ke panti imam.

Dokumen terkait