• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Tepung Tulang Ikan

2.4.5. Penyerapan kalsium

2.4.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium

Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal organisme serta proses-proses fisiknya (Fox et al. 1981 dalam Fox 1988). Agar nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50% kalsium yang dikonsumsi diabsorpsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah :

(1) Zat organik

Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2002), sehingga mengendap di dalam rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006). Asam fitat terdapat dalam bekatul gandum, sedangkan asam oksalat banyak ditemukan dalam bit yang masih hijau, bayam, rhubab dan coklat, akan tetapi berdasarkan penelitian in vivo adanya asam oksalat pada bayam tidak jelas menurunkan keseimbangan kalsium dalam tubuh (Winarno 2002).

(2) Vitamin D

Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D dalam bentuk aktif 1,25(OH)D3 meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein pengikat kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu absorpsi dengan cara menurunkan pH di bagian atas duodenum. Asam amino tertentu meningkatkan keasaman saluran cerna dengan demikian membantu proses absorpsi (Almatsier 2002).

(3) Serat makanan

Serat makanan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida intraseluler seperti gum dan musilage (Trowell 1976 dalam Spiller 2001). Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium.

Serat makanan membatasi bioavailabilitas mineral dengan cara mengikat, mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Urbano dan Goni (2002) mendukung pernyataan

bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika dibandingkan dengan jenisnya.

Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dibagi menjadi 2 yaitu serat larut air dan serat tidak larut air. Serat larut air dapat mengikat air dan menciptakan larutan viskous dalam saluran pencernaan sehingga menyebabkan perlambatan pengosongan perut dari makanan, menghalangi percampuran makanan dengan enzim, mengurangi fungsi enzim, mengurangi tingkat difusi nutrisi sehingga melalui mekanisme ini kalsium sulit terserap mukosa usus (Groff dan Gropper 2001).

Serat tidak larut air menurut Slavin (1985) dalam Blaney et al. (1996) menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan kalsium. Selanjutnya serat tidak larut air secara otomatis akan mengurangi kesempatan kerja enzim (Groff dan Gropper 2001).

(4) Protein

Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa protein bersama-sama dengan lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium. Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et al. 1996). Protein makanan juga dapat berpengaruh negatif terhadap ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga penyerapan mineral menurun (Erdman et al. 1980 dalam Greger 1999).

Bagaimanapun juga, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper 2001) dan kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorpsi dan transportasi zat-zat gizi (Almatsier 2002).

(5) Nilai pH dan kelarutan

Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan larut. Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002).

Anggorodi (1985) mengatakan bahwa pH usus juga berpengaruh terhadap proses absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di atas 6,5 dan baik diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium.

Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium. Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral. Peningkatan penyerapan mineral terjadi pada suasana asam dan akan menurun sejalan dengan penurunan nilai pH dan sebaliknya (Yoshie et al. 1997; Torre et al. 1995).

2.5. Fosfor

Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam proses kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas sekretosis. Disamping itu fosfor memegang peranan penting dalam pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006).

Dalam proses absorpsi fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali. Menurut Sediaoetama (2006), untuk absorpsi kalsium yang baik diperlukan

perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie (1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu rakhitis (Sediaoetama 2006).

Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa baik jumlah fosfor bahan pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal. Hal tersebut serupa dengan pernyataan dari Almatsier (2002), bahwa bukti nyata terhadap anggapan adanya pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.

2.6. Biskuit

Biskuit adalah kue manis berukuran kecil yang terbuat dari tepung terigu. Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit adalah produk pangan kering yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu, lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Charley (1982) biskuit yang bermutu baik adalah biskuit yang memiliki kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris serta bagian atasnya rata dan halus.

Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI 01-2973-1992) seperti terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992

Kriteria uji (Parameter) Syarat mutu

Kadar air (% b/b) Kadar protein (% b/b) Kadar abu (% b/b)

Bahan tambahan makanan

- Pewarna dan pemanis buatan Kadar cemaran logam

- tembaga (mg/kg) - timbal (mg/kg) - seng (mg/kg) - merkuri (mg/kg) Cemaran mikroba - TPC (koloni/g) - Coliform (APM/g) - E coli (APM/g) - Kapang (koloni/g) Maksimum 5,0 Minimum 9,0 Maksimum 1,5 Tidak boleh ada Maksimum 10,0 Maksimum 1,0 Maksimum 40,0 Maksimum 0,05 Maksimum 1,0x106 Maksimum 20,0 <3 Maksimum 1,0x102