4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
4.1.1. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin ( Pangasius sp)
Analisis fisik yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi rendemen, derajat putih, daya serap air dan densitas kamba sebagaimana disajikan pada Tabel 4.
Tabel 4 Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Metode Pembuatan Karakteristik
Metode kering Metode basah
Rendeman (%) 81,73 91,83
Derajat putih (%) 62,82 + 0,27a 62,31 + 0,50a
Daya serap air (%) 48,54 + 0,73a 62,77 + 1,42b
Densitas kamba (g/ml) 0,80 + 0,01a 0,79 + 0,02a
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Rendemen merupakan hasil persentase antara produk akhir (tepung tulang ikan patin) yang dihasilkan dengan produk awal (tulang ikan patin). Rendemen sangat penting diketahui untuk mendapat gambaran suatu produk dapat dimanfaatkan dengan baik atau untuk mengetahui nilai ekonomis dari produk tersebut. Semakin tinggi rendemen suatu produk dapat dikatakan bahwa produk tersebut memiliki nilai ekonomis yang tinggi pula. Rendemen tepung tulang ikan patin yang diperoleh dari hasil penelitian ini untuk metode kering sebesar 81,73%; sedangkan untuk metode basah sebesar 91,83%. Dari hasil tersebut ternyata metode basah mempunyai rendemen yang lebih besar. Hal tersebut dikarenakan pada saat pembuatan tepung dengan metode basah sampel tulang sudah
mengalami proses pelunakan sehingga pada saat diolah menjadi tepung tidak banyak bagian yang terbuang dan menghasilkan tepung yang lebih banyak, sedangkan untuk metode kering tulang dalam keadaan keras sehingga pada saat akan diolah menjadi tepung banyak bagian yang terbuang dan pada saat diayak akan menghasilkan tepung dalam jumlah lebih kecil. Rendemen tepung tulang ikan patin sangat dipengaruhi oleh kualitas filleting ikan patin tersebut. Kualitas filleting ini menunjukkan sedikit banyaknya sisa daging yang menempel pada tulang. Semakin baik kualitas filleting ikan, semakin sedikit daging yang tertinggal dan semakin tinggi rendemen tepung tulang ikan tersebut begitu juga sebaliknya.
Derajat putih suatu bahan merupakan daya memantulkan cahaya dari bahan tersebut terhadap cahaya yang mengenai permukaan (BPPIS 1989). Semakin tinggi derajat putih tepung berarti semakin banyak pula cahaya yang dipantulkan di dalam Whiteness-meter (Faridah et al. 2006). Selanjutnya dikatakan oleh Desrosier (1988), pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimia bahan pangan tersebut dan diduga dapat mengubah kemampuannya memantulkan, menyebarkan, menyerap dan meneruskan sinar, sehingga mengubah warna bahan pangan.
Pengukuran nilai derajat putih tepung tulang ikan yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 62,82% dan 62,31% dibandingkan dengan barium sulfat (BaSO4). Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap nilai derajat putih (Lampiran 3). Derajat putih tepung tulang ikan patin masih kecil, dikarenakan dalam pembuatan tepung tulang ikan patin tidak menggunakan bahan-bahan tambahan (pemutih) untuk memutihkan tepung tulang ikan patin. Buckle et al. (1987) menyatakan bahwa tepung yang dijual secara komersial biasanya menggunakan pemutih karena konsumen sangat menyukai warna tepung yang putih. Desrosier (1988) mengatakan bahwa warna bahan pangan bergantung pada kenampakan bahan pangan tersebut dan kemampuan dari bahan pangan untuk memantulkan, menyebarkan, menyerap atau meneruskan sinar tampak. Pengeringan bahan pangan akan mengubah sifat-sifat fisik dan kimianya dan diduga mengubah kemampuannya memantulkan,
menyebar, menyerap dan meneruskan sinar sehingga mengubah warna bahan pangan.
Tepung tulang ikan merupakan produk dengan kadar air yang rendah, oleh sebab itu analisis daya serap air perlu diketahui terhadap tepung tulang ikan yang dihasilkan. Daya serap air adalah nilai rata-rata penyerapan air. Penyerapan air dapat berhubungan dengan tekstur tepung tulang yang dihasilkan. Daya serap air tergantung pada jumlah dan keadaan alami komponen hidrofilik protein, disamping itu tergantung juga pada pH dan denaturasi protein (Lin dan Zayes 1987). Beberapa denaturasi menyebabkan pembalikan sisi hidrofobik ke bagian luar sehingga menurunkan daya serap air (Lehninger 1984). Hasil analisis daya serap air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 48,54% dan 62,77%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai daya serap air lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 4). Daya serap air yang berbeda menunjukkan bahwa tingkat denaturasi protein yang terjadi pada kedua metode berbeda pula, yaitu pembalikan sisi gugus hidrofilik ke bagian dalam dan hidrofobik ke bagian luar dari metode kering lebih besar dari metode basah.
Densitas kamba (bulk density) merupakan sifat fisik bahan pangan yang dipengaruhi oleh ukuran bahan dan kadar air. Densitas kamba dinyatakan dalam satuan g/ml. Nilai densitas kamba yaitu jumlah rongga yang terdapat diantara partikel-partikel bahan. Dalam volume yang sama, tepung yang memiliki densitas kamba yang lebih tinggi memiliki berat yang lebih tinggi daripada tepung yang memiliki densitas kamba yang rendah (Wirakartakusumah et al. 1992). Hasil analisis densitas kamba tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 0,80 g/ml dan 0,79 g/ml. Nilai tersebut menunjukkan bahwa pada volume 1 ml, berat tepung berturut-turut adalah 0,80 g dan 0,79 g. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap densitas kamba (Lampiran 5). Pengetahuan tentang densitas kamba berguna bagi keperluan penyimpanan dan transportasi. Semakin besar nilai densitas kamba suatu tepung maka semakin kecil ruangan penyimpanan atau pengemasan dan biaya transportasi. Nilai densitas kamba dipengaruhi oleh ukuran partikel, kekerasan permukaan dan metode pengukuran. Kecenderungan nilai densitas
kamba tepung berbanding terbalik dengan kadar air, yaitu semakin rendah kadar air menyebabkan semakin tinggi kekambaan tepung atau semakin rendah densitas kambanya. Wirakartakusumah et al. (1992) menyatakan bahwa suatu bahan pangan bersifat kamba jika nilai densitas kambanya kecil, berarti untuk berat yang ringan dibutuhkan ruang (volume) besar.