4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penelitian Pendahuluan
4.1.2. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin ( Pangasius sp)
4.1.2. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)
Analisis kimia yang dilakukan terhadap tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) yang dihasilkan dalam penelitian ini meliputi kadar air, abu, kalsium, fosfor, nilai pH sebagaimana disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) Tepung tulang ikan patin
Parameter
Metode Kering Metode Basah
Tepung tulang ikan produksi ISA, 2002 Air (%) 6,53b 4,95a 3,6 Protein (%) 22,23a 20,53a 34,2 Lemak (%) 2,73a 2,09a 5,6 Karbohidrat - - 23,5 Abu (%) 56,38a 58,15b 33,1 Kalsium(mg/g bk) 264,53a 244,02a 11,9% Fosfor (mg/g bk) 88,38a 71,96a 11,6% pH 7,56a 7,88b -
Angka-angka pada baris yang sama diikuti huruf superscript berbeda (a,b) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05)
Air merupakan komponen penting yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk berkembang biak dalam produk pangan. Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa didalam pengolahan pangan, air sering dikeluarkan atau dikurangi dengan cara penguapan atau pengeringan.
Nilai aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang ikut berperan dalam pertumbuhan mikroorganisme. Masing-masing mikroorganisme membutuhkan jumlah air yang berbeda untuk pertumbuhannya. Pada nilai aw tinggi (0,91) bakteri umumnya tumbuh dan berkembang biak; khamir dapat tumbuh dan berkembang biak pada nilai aw 0,87-0,91; sedangkan jamur lebih rendah yaitu 0,80-0,87 (Purnomo 1995). Hasil analisis kadar air tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui metode kering dan basah berturut-turut adalah 6,53% dan 4,95%. Hasil yang diperoleh tersebut ternyata masih lebih tinggi dari
standar kadar air yang ditetapkan oleh International of Seafood Alaska [ISA] 2002 yaitu 3,4% serta hasil penelitian oleh Mulia (2004) yaitu sebesar 3,6%. Metode basah menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai kadar air yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode kering (Lampiran 6). Perbedaan kadar air tersebut dipengaruhi oleh metode pembuatan tepung tulang ikan serta metode pengeringan tepung (Winarno dan Fardiaz 1973).
Kandungan abu dari suatu bahan pangan menunjukkan residu bahan anorganik yang tersisa setelah bahan organik dalam makanan didestruksi. Kandungan mineral ditentukan dengan menetapkan kandungan abu dari bahan tersebut. Abu sisa pembakaran itu dianggap sebagai mineral dari bahan pangan (Sulaeman et al. 1995). Hasil analisis kadar abu tepung tulang ikan patin yang dihasilkan melalui dari metode kering dan basah berturut-turut adalah 56,38% dan 58,15%. Nilai kadar abu yang diperoleh tersebut masih lebih tinggi dari standar nilai kadar abu yang dikeluarkan oleh ISA yaitu 33,1%. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar abu yang lebih kecil dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 7). Kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral. Kadar abu tidak selalu ekuivalen dengan kadar mineral meskipun kadar abu merupakan gambaran kasar dari kandungan mineral (Apriyantono et al. 1989).
Tepung tulang ikan dapat digunakan sebagai sumber kalsium dan fosfor karena mengandung kalsium 24-30% dan fosfor 12-15%, jumlah tersebut jauh lebih besar daripada kandungan kalsium dan fosfor pada tepung ikan. Tepung tulang yang kaya akan kalsium dan fosfor ini tentunya tepung tulang yang sudah diolah, terutama harus bebas hama yang berarti sudah disterilisasikan (Rasyaf 1990). Hasil analisis kadar kalsium tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki nilai berturut-turut sebesar 264,53 mg/g bk dan 244,02 mg/g bk. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap kandungan kalsium (Lampiran 8). Kandungan mineral juga bergantung pada faktor ekologis seperti musim, tempat pembesaran, jumlah nutrisi tersedia, suhu dan salinitas (Martinez et al. 1998). Dari hasil yang diperoleh ternyata metode kering menghasilkan kadar kalsium yang relatif lebih tinggi dari metode basah. Penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan
menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar kalsium yang berbeda pula. Dari hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa tepung tulang ikan dari sumber yang sama tetapi dengan cara pengolahan/pembuatan yang berbeda akan menghasilkan kadar kalsium yang berbeda pula, walaupun dalam penelitian ini metode pembuatan tidak berpengaruh nyata. Protein yang terdapat dalam tepung tulang ikan patin adalah protein kolagen yang akan terdenaturasi akibat pemanasan pada saat proses pembuatan tepung menjadi gelatin yang mudah larut. Kelarutan dan keberadaan dari gelatin ini akan meningkatkan kelarutan dan keberadaan kalsium dari tepung tulang ikan patin. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat dari Yoshie et al. (1997) yang mengatakan bahwa ketersediaan dan kelarutan protein ternyata mempengaruhi ketersediaan dan kelarutan mineral. Halver (1989) mengatakan bahwa fosfor merupakan salah satu unsur utama pembentukan tulang ikan. Fosfor merupakan mineral kedua terbanyak setelah kalsium (sekitar 22% dari total mineral) dimana 85% diantaranya terdapat pada tulang (Muchtadi et al.1993). Hasil analisis kadar fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah adalah 88,38 mg/g bk dan 71,96 mg/g bk. Hasil yang diperoleh memperlihatkan bahwa metode kering juga menghasilkan fosfor dengan kadar lebih tinggi daripada metode basah. Dengan demikian penggunaan suhu, waktu dan metode yang berbeda akan menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar fosfor yang berbeda pula. Rasio antara Ca:P untuk metode kering adalah 3:1, sedangkan untuk metode basah adalah 3,4:1. Dalam proses absorpsi, Ca dan P saling berpengaruh erat sekali. Untuk absorpsi Ca yang baik, diperlukan perbandingan Ca:P di dalam rongga usus (di dalam hidangan) 1:1 sampai 1:3. Metode pembuatan tepung tulang ikan patin tidak berpengaruh nyata terhadap kadar fosfor (Lampiran 9). Perbandingan Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan Ca, sehingga hidangan yang demikian akan mengakibatkan penyakit defisiensi Ca, yaitu rakhitis. Hidangan yang mudah menimbulkan penyakit rakhitis ini disebut hidangan rakhitogenik (Sediaoetama 2006).
Nilai pH sangat memegang peranan penting dalam proses penyerapan zat gizi dalam tubuh. Nilai pH suatu bahan pangan akan mempengaruhi proses penanganan dan pengolahan bahan pangan tersebut. Almatsier (2002) menyatakan
bahwa, kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan terlarut karena kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air. Hasil analisis nilai pH tepung tulang ikan patin yang dihasilkan dari metode kering dan basah memiliki berturut-turut sebesar 7,56 dan 7,88. Metode kering menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan nilai pH yang lebih rendah dan berbeda nyata dengan metode basah (Lampiran 10). Menurut Labuza (1977) dalam Hardman (1989) ikatan protein terbesar adalah ikatan hidrogen antara grup C-O dan NH atau ikatan peptida. Pada pH kurang dari pH isoelektrik (<5,2-5,4) kemungkinan terlalu banyak muatan positif dan jika pH lebih besar dari pH isoelektrik terlalu banyak muatan negatif. Perubahan nilai pH/kekuatan ion dapat mengubah distribusi muatan diantara rantai sisi asam amino yang akan meningkatkan atau mengurangi interaksi protein.