PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN
(Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR
DALAM PEMBUATAN BISKUIT
ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Pemanfaatan Tepung Tulang
Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan
Biskuit” adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun
kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi telah
dinyatakan secara jelas dan menyebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini
Bogor, Januari 2008
ABSTRACT
ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Utilization of Patin Fishbone Powder as Calcium and Phosphorus Sources in Making of Biscuit. Supervised by JOKO SANTOSO and ELLA SALAMAH.
The utilization of fisheries resources in fisheries processing industries has not been conducted yet optimally, mainly to utilize their waste such as bone, viscera, and skin. Patin fishbone is a main waste product from patin filleting industry. From the viewpoint of foodstuffs, it’s contains a high number of mineral especially Ca and P. These experiments were carried out to study the effect of fishbone powder producing methods i.e. dry and wet methods in correlation to their physicochemical characteristics including the solubility of Ca and P. The physicochemical characteristics of patin fishbone powder were not affected significantly by producing method; however, dry method produced higher percent solubility of Ca and P than wet method. Based on organoleptic test through scoring test, adding 2% (formula A) and 4% (formula B) of patin fishbone powder into biscuit products gave the high average values of appearance, color, flavor, texture and taste; and they also had the higher values of appearance and color in comparison to commercial product. The physicochemical characteristics of biscuit formula A and B were almost same to the commercial product. The highest percent solubility of Ca and P were found in biscuit formula A and control (without adding patin fishbone powder) with values were 95.06% and 74.24% respectively. Consuming 7 pieces of biscuit formula A will contribute Ca and P requirements are 9.01% and 8.34% respectively, whereas biscuit formula B are 14.92% and 18.43%; with assumption all of Ca and P can be absorbed well by human body.
RINGKASAN
ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan Biskuit. Dibimbing oleh JOKO SANTOSO dan ELLA SALAMAH.
Pemanfaatan sumberdaya perikanan dalam industri pengolahan belum dilakukan secara optimal, utamanya dalam memanfaatkan limbah yang dihasilkan seperti tulang, jeroan dan kulit. Tulang patin merupakan limbah utama yang dihasilkan industri pemfiletan ikan patin. Dari sudut pandang bahan bagan, limbah tersebut mempunyai kandungan mineral tinggi terutama Ca dan P. Penelitian ini dilakukan untuk mempelajari pengaruh metode pembuatan tepung tulang ikan patin yaitu metode kering dan basah dalam kaitannya dengan karakteristik fisiko-kimianya termasuk kelarutan Ca dan P. Karakteristik fisiko-kimia tepung tulang ikan patin tidak dipengaruhi secara nyata oleh metode pembuatannya, tetapi metode kering menghasilkan persen kelarutan Ca dan P lebih tinggi dibandingkan metode basah. Berdasarkan uji organoleptik dengan uji skoring, penambahan 2% (formula A) dan 4% (formula B) tepung tulang ikan patin kedalam produk biskuit memberikan nilai rata-rata tinggi terhadap parameter penampakan, warna, aroma, tekstur dan rasa; dan juga mempunyai nilai penampakan dan warna lebih tinggi dibandingkan dengan produk komersial. Karakteristik fisiko-kimia biskuit formula A dan B menyerupai produk komersial. Persen kelarutan Ca dan P tertinggi diperoleh pada formula A dan kontrol (tanpa penambahan tepung tulang ikan patin) dengan nilai berturut-turut sebesar 95,06% dan 74,24%. Mengkonsumsi 7 keping biskuit formula A dapat menyumbangkan kebutuhan Ca dan P masing-masing sebesar 9,01% dan 8,4%; sedangkan biskuit formula B sebesar 14,92% dan 18,43% dengan asumsi semua Ca dan P dapat diserap dengan baik oleh tubuh.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan Karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan Kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
PEMANFAATAN TEPUNG TULANG IKAN PATIN
(Pangasius sp) SEBAGAI SUMBER KALSIUM DAN FOSFOR
DALAM PEMBUATAN BISKUIT
ADRIANUS ORIAS WILLEM KAYA
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Teknologi Hasil Perairan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
anugerahNya sehingga penulisan tesis dengan judul ”Pemanfaatan Tepung Tulang
Ikan Patin (Pangasius sp) sebagai Sumber Kalsium dan Fosfor dalam Pembuatan
Biskuit” dapat terselesaikan.
Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan secara
khusus kepada Dr. Ir. Joko Santoso, M.Si sebagai ketua komisi pembimbing dan
Dra. Ella Salamah, M.Si sebagai anggota komisi pembimbing atas segala
kebijaksanaan dan kesabaran serta masukan mulai dari rencana judul penelitian
hingga penulisan tesis ini.
Penyusunan tesis ini tak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu
penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Pattimura yang telah memberikan ijin kepada penulis
untuk melanjutkan studi pada Sekolah Pascasarjana IPB.
2. Pemda Propinsi Maluku atas bantuan dana bagi penulis untuk kelancaran
proses penelitian.
3. Yayasan Satyabhakti Widya atas bantuan dana yang sangat membantu
penulis dalam proses penelitian.
4. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (DAMANDIRI) atas bantuan dana bagi
pelaksanaan penulisan tesis.
5. Ir. Wini Trilaksani, M.Sc, selaku dosen penguji yang telah memberikan
banyak masukan guna penyempurnaan tesis ini.
6. Papa (alm) dan mama tercinta, serta semua kakakku (Nane dan Bung John,
Yanni, Heri dan Bung Hengki) dan ketiga keponakanku (Econ, Papit,
Ece): terima kasih atas semua doa dan bantuan yang tak putus-putusnya
bagi penulis.
7. Teman-teman S2 THP angkatan ’05 atas semangat dan kebersamaan yang
terjalin erat selama ini.
8. Teman-teman dari Ambon (B’Mon, U’Ola, Ibu Linda, Nona, Degen, Edi,
Max ”Perwira 12 crew”,Thya dan B’Charles ”Agape Crew”) untuk segala
9. Teman-teman penghuni Perwira No.12 yang penuh dengan suasana
kekeluargaan meskipun dari latar belakang yang berbeda namun tetap
kompak.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan tesis
ini. Oleh karena itu saran dan kritik untuk perbaikan dan penyempurnaan tesis ini
sangat diharapkan. Semoga tulisan ini bermanfaat bagi yang memerlukannya.
Bogor, Januari 2008
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ··· xi
DAFTAR GAMBAR ··· xii
DAFTAR LAMPIRAN ··· xii
1. PENDAHULUAN··· 1
1.1 Latar Belakang ··· 1
1.2 Perumusan Masalah··· 3
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian··· 4
1.4 Hipotesis ··· 5
1.5 Kerangka Pemikiran ··· 5
2. TINJAUAN PUSTAKA··· 8
2.1 Ikan Patin ··· 8
2.2 Tulang Ikan ··· 9
2.3 Tepung Tulang Ikan ··· 10
2.4 Kalsium ··· 11
2.4.1 Peranan kalsium pada manusia ··· 12
2.4.2 Sumber kalsium··· 13
2.4.3 Kebutuhan kalsium··· 14
2.4.4 Asupan kalsium ··· 16
2.4.5 Penyerapan kalsium··· 17
2.5 Fosfor ··· 21
2.6 Biskuit ··· 22
2.6.1 Klasifikasi biskuit··· 23
2.6.2 Bahan-bahan pembuat biskuit··· 24
3. METODOLOGI ··· 29
3.1 Waktu dan Tempat ··· 29
3.2 Bahan dan Alat ··· 29
3.3 Tahapan Penelitian ··· 30
3.3.1 Penelitian pendahuluan ··· 30
3.3.2 Penelitian lanjutan ··· 31
3.3.3 Prosedur analisis ··· 34
3.3.3.1 Uji organoleptik (Soekarto 1985)··· 34
DAFTAR PUSTAKA··· 71
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia ··· 15
2. Syarat mutu biskuit SNI 01-2973 tahun 1992··· 23
3. Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983) ··· 24
4. Karakteristik fisik tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··· 43
5. Karakteristik kimia tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··· 46
6. Solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) pada berbagai nilai pH··· 49
7. Rataan hasil uji organoleptik biskuit tepung tulang ikan patin··· 52
8. Karakteristik fisik biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial ··· 60
9. Karakteristik kimia biskuit tepung tulang ikan patin dan biskuit komersial ··· 61
10. Solubilitas kalsium dan fosfor biskuit··· 67
11. Informasi nilai gizi biskuit formulasi dan komersial··· 69
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium dan fosfor
dalam pembuatan biskuit ··· 7
2. Prosedur pembuatan tepung tulang ikan patin (modifikasi metode Tanuwidjaya 2002) ··· 32
3. Prosedur pembuatan biskuit (modifikasi metode Soedarno 1998) ··· 33
4a. Grafik solubilitas kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··· 50
4b. Grafik solubilitas fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 50
5. Histogram nilai penampakan biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 53
6. Histogram nilai warna biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 54
7. Histogram nilai aroma biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp ) ··· 55
8. Histogram nilai tekstur biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 56
9. Histogram nilai rasa biskuit tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)·· 58
10. Histogram nilai perbandingan pasangan biskuit A dan B ··· 59
11a. Grafik solubilitas kalsium biskuit pada berbagai nilai pH··· 67
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Lembar penilaian organoleptik ··· 78
2. Lembar penilaian organoleptik biskuit tulang ikan patin terbaik dengan biskuit komersial (biskuit yang ada di pasaran ··· 79
3. Analisis ragam derajat putih tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··· 80
4. Uji T daya serap air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 80
5. Analisis ragam densitas kamba tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) 80
6. Uji T kadar air tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··· 81
7. Uji T kadar abu tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 81
8. Analisis ragam kadar kalsium tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) 82
9. Analisis ragam kadar fosfor tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 82
10. Analisis ragam nilai pH tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)··· 82
11. Analisis ragam kadar protein tepung tulang ikan patin (Pangasius sp)·· 83
12. Analisis ragam kadar lemak tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) ··· 83
13. Data uji organoleptik penampakan biskuit··· 84
14. Data uji organoleptik warna biskuit ··· 85
15. Data uji organoleptik aroma biskuit··· 86
16. Data uji organoleptik tekstur biskuit··· 87
17. Data uji organoleptik rasa biskuit ··· 88
18. Data uji perbandingan pasangan biskuit A··· 89
19. Data uji perbandingan pasangan biskuit B··· 90
20. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap penampakan biskuit··· 91
21. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap warna biskuit ··· 91
22. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap aroma biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison··· 92
23. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap tekstur biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison··· 93
24. Hasil uji Kruskal Wallis terhadap rasa biskuit dan uji lanjut Multiple Comparison··· 94
25. Analisis ragam kadar air biskuit dan uji lanjut Tukey··· 95
26. Analisis ragam kadar abu biskuit dan uji lanjut Tukey ··· 96
28. Analisis ragam kadar lemak biskuit dan uji lanjut Tukey ··· 98
29. Analisis ragam nilai pH biskuit dan uji lanjut Tukey··· 99
30. Analisis ragam kadar kalsium biskuit dan uji lanjut Tukey ··· 100
31. Analisis ragam kadar fosfor biskuit dan uji lanjut Tukey ··· 101
32. Analisis ragam karbohidrat by difference biskuit dan uji lanjut Tukey ·· 102
33. Analisis ragam nilai berat biskuit ··· 103
34. Analisis ragam nilai ketebalan biskuit ··· 103
35. Analisis ragam nilai diameter biskuit··· 103
36. Analisis ragam nilai kekerasan biskuit dan uji lanjut Tukey ··· 104
37. Perhitungan nilai kalori per 100 g biskuit ··· 105
38. Tepung tulang ikan patin ··· 106
39. Biskuit hasil formulasi dengan penambahan tepung tulang ikan patin··· 107
40. Tulang ikan patin utuh··· 108
41. Tulang ikan patin yang sudah mengalami pengecilan ukuran··· 108
42. Tulang ikan patin siap olah menjadi tepung ··· 109
43. Perhitungan kadar kalsium dan fosfor pada biskuit A··· 109
1.
PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Pengolahan sumberdaya perikanan terutama ikan belum optimal dilakukan
sampai dengan pemanfaatan limbah hasil perikanan, seperti kepala, tulang, sisik,
dan kulit. Seiring dengan berkembangnya industri perikanan, limbah yang
dihasilkan dari produksi perusahaan juga meningkat. Dalam usaha pengolahan
ikan hampir selalu dihasilkan limbah berupa padatan (tulang, kepala) dan cairan
yang secara langsung maupun tidak akan memberikan dampak kurang baik
terhadap lingkungan karena menimbulkan pencemaran. Limbah padat yang
berasal dari usaha industri perikanan maupun pengolahan rumah tangga cukup
besar, salah satunya adalah tulang ikan. Limbah perikanan yang berasal dari
tulang ikan patin sebagai salah satu contoh masih belum diolah dan dimanfaatkan
secara maksimal.
Masalah limbah ini harus ditangani dan diatasi dengan baik dan terencana
sehingga dapat mengurangi biaya yang harus dikeluarkan serta menghindari
terjadinya pencemaran lingkungan. Proses penanganan limbah industri perikanan
yang umum dilakukan adalah pengolahan menjadi pakan ternak, penimbunan dan
pembakaran.
Salah satu unit usaha perikanan yang menghasilkan limbah tulang ikan
adalah Unit Usaha Fillet Ikan Patin IPB. Unit usaha ini setiap minggunya
mengolah 3 ton ikan patin untuk dijadikan fillet ikan dan menghasilkan 300 kg
tulang ikan sebagai salah satu limbahnya (10% dari total berat ikan). Proses
penanganan limbah ikan yang dihasilkan oleh unit usaha ini adalah dengan cara
penguburan, pembakaran dan diambil oleh masyarakat sekitar untuk dikonsumsi
karena pada tulang ikan patin tersebut masih terdapat sisa daging yang dapat
dimasak atau digoreng1.
Salah satu bentuk pengolahan tulang ikan patin yang dilakukan adalah
penepungan. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung tulang telah dilakukan
oleh Tanuwidjaya (2002) dan Mulia (2004). Tepung tulang ikan adalah suatu
1
produk padat kering yang dihasilkan dengan cara mengeluarkan sebagian besar
cairan atau seluruh lemak yang terkandung pada tulang ikan (Kaup et al. 1991).
Aplikasi pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bentuk produk
pangan telah dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya : pemanfaatan tepung
tulang ikan patin untuk meningkatkan kandungan kalsium susu kacang hijau
(Nurdiani 2003); pemanfaatan tepung tulang ikan patin sebagai bahan tambahan
kerupuk (Tabakaka 2004); kajian potensi limbah tulang ikan patin sebagai
alternatif sumber kalsium dalam produk mi kering (Mulia 2004) dan studi
pembuatan biskuit dengan penambahan tepung tulang ikan patin (Asni 2004).
Tepung tulang ikan patin dengan kandungan kalsium dan fosfor yang
tinggi dapat merupakan sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan
fosfor bagi tubuh. Pemanfaatan tepung tulang ikan patin dalam bahan pangan
sangatlah dimungkinkan, namun yang harus diteliti lebih mendalam adalah
sampai sejauh mana tepung tulang ikan patin tersebut mampu dicerna dan diserap
oleh tubuh.
Solubilitas tepung tulang ikan patin sangat mutlak diketahui baik dalam
bentuk tepung maupun yang telah ditambahkan kedalam bahan pangan. Hal ini
dikarenakan seberapa besarpun kandungan mineral yaitu kalsium dan fosfor yang
dimiliki oleh bahan pangan tetapi apabila mineral tersebut tidak dapat diserap
dengan baik oleh tubuh sangatlah tidak memiliki fungsi apapun bagi tubuh
manusia. Mineral akan bersifat bioavailable (jumlah zat dari nutrisi bahan pangan
yang dapat digunakan sepenuhnya oleh tubuh) apabila mineral tersebut dalam
bentuk mineral terlarut, namun tidak semua mineral terlarut bersifat bioavailable.
Kondisi mineral terlarut diperlukan untuk memudahkan dalam penyerapan
mineral di dalam tubuh (O’Dell 1984; Watzke 1998; Clydesdale 1988; Newman
dan Jagoe 1994 ).
Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan
fosfor dalam bentuk apatit atau trifosfat (Lovell 1989). Bentuk kompleks ini
terdapat pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu sekitar
60-70% (Lutwak 1982).
Salah satu dampak dari defisiensi kalsium yang sekarang ini banyak terjadi
keropos merupakan suatu penyakit rapuh tulang yang ditandai dengan hilangnya
kepadatan tulang setelah mencapai usia tua. Pada anak-anak defisiensi kalsium
dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tulang/rickets. Kekurangan
kalsium juga dapat menyebabkan osteomalasia, apalagi di Indonesia yang
konsumsi kalsiumnya masih sangat rendah, diperburuk dengan pencegahan
osteoporosis yang belum intensif. Untuk mencegah kekurangan kalsium perlu
konsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup. Sumber kalsium yang populer saat
ini adalah susu dan produk turunannya seperti keju dan suplemen kalsium.
Sangat disayangkan produk-produk tersebut masih mahal dan diluar
jangkauan daya beli sebagian besar masyarakat Indonesia (Almatsier 2002).
Tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung memiliki kandungan
mineral tinggi terutama kalsium dan fosfor. Hal tersebut dapat menjadi sumber
alternatif pemanfaatan limbah hasil perikanan kususnya tulang ikan sebagai
sumber kalsium dan fosfor. Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dengan
kandungan kalsium dan fosfor yang tinggi dapat diterapkan kedalam salah satu
bentuk produk pangan yang mudah diterima oleh masyarakat Indonesia.
Pemilihan bentuk diversifikasi produk yang dipilih adalah biskuit dikarenakan
produk ini sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia untuk semua golongan
umur dan tingkat sosial masyarakat. Selain itu biskuit umumnya merupakan bahan
pangan yang relatif murah harganya sehingga banyak disukai dan dikonsumsi oleh
masyarakat dari berbagai kalangan
1.2. Perumusan Masalah
Pemanfaatan limbah tulang ikan patin belum dilakukan secara optimal dan
bertanggung jawab. Hal tersebut bertolak belakang dengan kenyataan bahwa
tulang ikan patin yang telah diolah menjadi tepung tulang memiliki kandungan
nilai gizi (mineral) yang tinggi sehingga dapat dimanfaatkan sebagai salah satu
sumber pangan bagi manusia. Kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor
yang tinggi yaitu 264,53 mg/g bk dan 88,38 mg/g bk dapat menjadi salah satu
sumber mineral yang murah jika dibandingkan dengan sumber kalsium lainnya
seperti susu dan produk turunannya yang memiliki harga yang sangat mahal serta
bernilai tinggi tersebut dapat membantu masyarakat kecil dan golongan ekonomi
lemah dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor bagi tubuh
sehingga dapat menurunkan dan mengurangi jumlah penderita osteoporosis
maupun osteomalasia. Disisi lain penanganan limbah perikanan yang tepat dan
berhasil guna dapat meningkatkan pendapatan nelayan/pembudidaya serta
menyelamatkan lingkungan akibat tidak tertanganinya dengan baik limbah
perikanan yang dapat merusak lingkungan. Dengan demikian dirasa perlu untuk
dilakukan penelitian pemanfaatan limbah tulang ikan patin yang diolah menjadi
tepung tulang dan diaplikasikan kedalam bentuk produk pangan yaitu biskuit.
Informasi tentang solubilitas/kelarutan kalsium dan fosfor yang berasal dari
tepung tulang ikan patin belum ada sehingga perlu dilakukan penelitian untuk
mendapatkan solubilitas terbaik dari kalsium dan fosfor dengan perlakuan
beberapa nilai pH yang berbeda serta aplikasinya dalam produk pangan yaitu
biskuit.
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk :
1. Membuat tepung tulang ikan dengan metode basah dan kering serta
menganalisis karakteristik fisika dan kimia tepung tulang ikan patin.
2. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin pada
kondisi pH yang berbeda.
3. Membuat biskuit kaya kalsium melalui penambahan tepung tulang ikan
patin dan mengetahui karakteristik organoleptik, fisika dan kimia.
4. Mempelajari solubilitas kalsium dan fosfor pada biskuit yang ditambah
dengan tepung tulang ikan patin.
Manfaat penelitian ini adalah sebagai sumber informasi pemanfaatan
limbah hasil perikanan yang memiliki nilai gizi tinggi khususnya kalsium dan
fosfor yang dapat ditambahkan kedalam produk pangan yaitu biskuit dalam
kaitannya dengan nilai kelarutan kedua mineral tersebut sehingga dapat
1.4. Hipotesis
1. Tepung tulang ikan patin memiliki kandungan mineral tinggi terutama kalsium
dan fosfor.
2. Pembuatan tepung tulang ikan patin dengan dua metode yang berbeda yaitu
metode basah dan kering akan berpengaruh terhadap karakteristik fisiko
kimianya termasuk solubilitas kalsium dan fosfor.
3. Biskuit yang ditambah dengan tepung tulang ikan patin mempunyai kandungan
kalsium dan fosfor yang tinggi.
4. Solubilitas kalsium dan fosfor dalam biskuit yang ditambah dengan tepung
tulang ikan patin dipengaruhi oleh adanya interaksi dengan zat gizi lainnya.
1.5. Kerangka Pemikiran
Tulang ikan patin merupakan salah satu limbah hasil perikanan yang
belum mendapat perhatian dan penanganan yang optimal. Kenyataan tersebut
bertolak belakang dengan potensi yang dimiliki oleh tulang ikan patin yaitu
kandungan mineral khususnya kalsium dan fosfor yang tinggi. Tulang ikan
memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh ikan merupakan salah satu
limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar kalsium dan fosfor dalam jumlah
tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium dalam bentuk kalsium fosfat
sebanyak 14% dari total susunan tulang (Subasinghe 1996). Unsur utama dari
tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam
jumlah kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan
sulfat (Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah
0,1-1% dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989). Penyerapan
kalsium yang terdapat dalam makanan dipengaruhi oleh konsentrasi kalsium yang
ada dalam makanan dan adanya faktor pendorong dan/atau penghambat terhadap
penyerapan kalsium (Miller 1989 dalam Fennema 1996).
Pengolahan tulang ikan patin menjadi tepung dan kemudian ditambahkan
ke dalam produk pangan dapat mengurangi pencemaran lingkungan,
meminimalkan pembuangan limbah hasil perikanan yang tidak dapat
dimanfaatkan/diolah, dan meningkatkan nilai tambah. Selain itu tingginya
penyakit osteoporosis dan osteomalasia. Metode pengolahan tulang ikan patin
menjadi tepung tulang ikan patin melalui proses perebusan dengan menggunakan
autoclave (metode basah) menghasilkan tepung tulang ikan patin dengan kadar
kalsium dan fosfor yang tinggi. Kenyataan tersebut memberikan suatu
kemungkinan apakah dengan menggunakan metode pengovenan (metode kering)
dan metode perebusan dengan menggunakan autoclave (metode basah) dapat
memberikan pengaruh terhadap karakteristik fisik, kimia termasuk solubilitas
kalsium dan fosfor tepung tulang ikan patin yang dihasilkan. Salah satu produk
pangan yang sangat digemari oleh sebagian besar masyarakat adalah biskuit.
Pembuatan biskuit yang ditambahkan dengan tepung tulang ikan patin akan
memiliki kandungan nilai gizi yang tinggi serta kandungan kalsium dan fosfor
yang tinggi pula, sehingga dapat dijadikan alternatif baru pemenuhan kebutuhan
akan kalsium dan fosfor. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada
Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian pemanfaatan tepung tulang ikan patin (Pangasius sp) sebagai sumber kalsium
dan fosfor dalam pembuatan biskuit. - Meningkatkan nilai tambah (added value) tulang ikan patin - Sumber alternatif pemenuhan kebutuhan akan kalsium dan fosfor - Sumber kalsium untuk mencegah osteoporosis dan osteomalasia - Mencegah serta mengurangi pencemaran lingkungan
- Meminimalkan pembuangan limbah hasil perikanan Tinggi kandungan
kalsium dan fosfor
Metode basah (perebusan dengan autoclave)
Metode kering (pengovenan) Limbah tulang ikan patin
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Patin
Ikan patin merupakan salah satu jenis ikan yang bernilai ekonomis
tinggi, dengan rasa daging yang enak. Ikan patin memiliki banyak kelebihan
daripada ikan air tawar lainnya, diantaranya ikan patin termasuk salah satu
ikan yang rakus terhadap makanan, dalam enam bulan ikan patin sudah bisa
mencapai panjang 35-40 cm, tempat pemeliharan ikan patin tidak memerlukan
air yang mengalir, bahkan di perairan yang kandungan oksigennya rendah
ikan patin masih dapat hidup dan berkembang. Ikan patin banyak ditemukan
di sungai dan danau karena ikan ini merupakan ikan yang hidup di perairan
umum (Khairuman dan Suhendra 2002).
Klasifikasi ikan patin (Pangasius sp) menurut Saanin (1984) adalah
sebagai berikut :
Filum : Chordata
Subfilum : Vertebrata
Subkelas : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Famili : Pangasidea
Genus : Pangasius
Spesies : Pangasius sp
Ikan patin memiliki badan yang memanjang berwarna putih seperti perak
dengan punggung berwarna kebiru-biruan. Panjang tubuhnya dapat mencapai
120 cm. Ikan patin tidak memiliki sisik, kepala relatif kecil dengan mulut terletak
di ujung kepala agak sebelah bawah. Pada sudut mulutnya terdapat dua pasang
kumis pendek yang berfungsi sebagai peraba (Susanto dan Amri 1997).
Ikan patin cukup potensial dibubidayakan di berbagai media pemeliharaan
yang berbeda seperti kolam, keramba, dan jala apung. Budidaya ikan ini
meliputi dua kegiatan yakni pembenihan dan pembesaran. Kegiatan
pembenihan merupakan upaya untuk menghasilkan benih pada ukuran
dikonsumsi, meskipun ukuran ikan yang dikonsumsi biasanya berbeda sesuai
dengan kebutuhan pasar (Susanto dan Amri 1997).
Pemanenan ikan patin dilakukan apabila ikan patin telah berumur minimal
6 bulan dengan berat berkisar 1-2,5 kg, dimana pada umur ini biasanya sudah
mencapai ukuran siap dikonsumsi. Selama pemanenan berlangsung diusahakan
agar ikan tidak rusak atau mengalami luka memar apalagi mati. Apabila panen
dilakukan dengan tidak hati-hati maka mutu ikan menjadi menurun dan harga jual
menjadi rendah. Oleh karena itu pada saat ikan diangkut ke pasar harus tetap
dalam keadaan hidup atau dalam kondisi segar (Susanto dan Amri 1997).
2.2. Tulang Ikan
Tulang ikan yang memiliki proporsi 10% dari total susunan tubuh
ikan merupakan salah satu limbah pengolahan ikan yang memiliki kadar
kalsium dalam jumlah tinggi. Tulang ikan banyak mengandung kalsium
dalam bentuk kalsium fosfat sebanyak 14% dari total susunan tulang
(Subasinghe 1996).
Beberapa mineral pada ikan merupakan unsur pokok dari jaringan keras
seperti tulang, sirip dan sisik (Lovell 1989). Kandungan mineral ikan bergantung
pada spesies, jenis kelamin, siklus biologis dan bagian tubuh yang dianalisis
(Navarro 1991 dalam Martinez et al. 1998). Kandungan mineral juga bergantung
pada faktor ekologis seperti musim, tempat pengembangan, ketersediaan jumlah
nutrisi, suhu dan salinitas air (Martinez et al. 1998). Unsur utama dari tulang ikan
adalah kalsium, fosfor dan karbonat, sedangkan yang terdapat dalam jumlah
kecil yaitu magnesium, sodium, stronsium, fitat, klorida, hidroksida dan sulfat
(Halver 1989). Persentase berat kalsium pada ikan secara umum adalah 0,1-1%
dengan rasio kalsium dan fosfor adalah 1,6 : 0,7 (Lovell 1989).
Tulang merupakan jaringan pengikat yang sangat khusus bentuknya.
Tulang dibentuk dalam dua proses yang terpisah, yaitu pembentukan matriks dan
penempatan mineral kedalam matriks tersebut. Tiga jenis komponen seluler
terlibat didalamnya dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu osteoblast dalam
pembentukan tulang, osteocyte dalam pemeliharaan tulang, dan osteoclast dalam
mineral-mineral melekat. Mineral utama di dalam tulang adalah kalsium dan fosfor,
sedangkan mineral lain terdapat dalam jumlah kecil yaitu natrium, magnesium
dan flour (Winarno 2002). Tulang mengandung kurang lebih 36% kalsium, 17%
fosfor dan 0,9% magnesium (Maynard dan Loosli 1956).
2.3. Tepung Tulang Ikan
Tepung tulang merupakan sumber kalsium dan fosfor yang baik. Tepung
tulang dapat diperoleh melalui tiga proses (Anggorodi 1985) yaitu :
1. Pengukusan. Tulang dikukus kemudian dikeringkan dan digiling untuk
menghasilkan tepung tulang.
2. Pemasakan dengan uap di bawah tekanan. Tulang dimasak dengan tekanan
kemudian diarangkan dalam bejana tertutup sehingga didapat tulang dalam
bentuk remah dan dapat digiling menjadi tepung.
3. Abu tulang yang diperoleh dari pembakaran tulang.
Protein tepung tulang yang diperoleh dengan pengukusan mutunya lebih
rendah karena kandungan gelatinnya tinggi (Anggorodi 1985). Tepung tulang
yang diperoleh dengan cara pemasakan dengan tekanan dan pengeringan
(steam bone meal) rata-rata mengandung 30,14% kalsium dan 14,53% fosfor.
Tepung tulang yang diperoleh dengan cara pengukusan akan kehilangan
protein. Selain itu kandungan fosfor serta kalsiumnya rendah. Komposisi
tepung tulang ini terdiri dari 26% protein, 5% lemak, 22,96% kalsium dan
10,25% fosfor (Morisson 1958).
Protein pada tulang ikan sebagian besar terdiri dari kolagen. Kolagen
adalah protein yang banyak terdapat pada jaringan tubuh, dapat ditemukan pada
kulit, jaringan pengikat dan tulang serta merupakan protein struktural tubuh.
Kolagen merupakan protein dari golongan protein fibril/skleroprotein yang
struktur molekulnya berbentuk serabut. Protein ini tidak larut dalam
pelarut-pelarut encer, baik larutan garam, asam, basa ataupun alkohol (Winarno 1985).
Secara nutrisi kolagen bukanlah protein yang baik. Komposisi asam amino
kolagen tidak ideal (terlalu banyak Pro, Gly, Ala), selain itu kolagen pada kondisi
alami sulit dicerna oleh tripsin dan kemotripsin. Kolagen menjadi lebih mudah
2.4. Kalsium
Mineral merupakan bagian dari unsur pembentukan tubuh yang memegang
peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan
organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Disamping itu mineral berperan
dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam aktivitas
enzim. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro. Mineral
makro adalah mineral yang dibutuhkan tubuh dalam jumlah lebih dari 100 mg
sehari, sedangkan mineral mikro dibutuhkan kurang dari 100 mg sehari
(Almatsier 2002).
Sumber kalsium baik pada manusia maupun hewan adalah makanan yang
telah mengalami pencernaan di dalam saluran makanan. Suatu keadaan yang
bersifat asam adalah sangat diperlukan agar kalsium dapat dengan baik diserap
oleh usus. Absorpsi kalsium terjadi di bagian atas dari usus halus, karena di
tempat inilah keadaannya lebih bersifat asam daripada bagian lainnya dari usus
(Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Di dalam darah kalsium berada dalam tiga bentuk, yaitu : (1) kalsium yang
terikat dengan protein (protein bound calcium atau nondiffusible calcium). Dalam
keadaan ini kalsium sebagian besar berikatan dengan albumin dan sebagian kecil
lagi berikatan dengan globulin. (2) Dalam bentuk ion (Ca++), dan (3) Kalsium
kompleks yaitu yang berikatan dengan fosfat, bikarbonat atau sitrat (Piliang dan
Djojosoebagio 2006).
Tubuh manusia mengandung lebih banyak kalsium daripada mineral lain.
Diperkirakan 2% dari berat badan orang dewasa atau sekitar 1,0-1,4 kg terdiri dari
kalsium (Winarno 2002). Dari jumlah ini 99% berada dalam jaringan keras yaitu
tulang dan gigi terutama dalam bentuk hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}.
Kalsium tulang berada dalam keadaan seimbang dengan kalsium plasma pada
konsentrasi kurang lebih 2,25-2,60 mmol/l atau setara dengan 9-10,4 mg/100 ml
2.4.1. Peranan kalsium pada manusia
(a) Pembentukan tulang dan gigi
Kalsium di dalam tulang memiliki dua fungsi yaitu : 1) sebagai bagian
integral dari struktur tulang ; 2) sebagai tempat menyimpan asupan kalsium darah.
Pada tahap pertumbuhan janin manusia dibentuk, matriks sebagai cikal bakal
tulang tumbuh. Matriks yang merupakan sepertiga bagian dari tulang terdiri atas
serabut yang terbuat dari protein kolagen yang diselubungi oleh bahan gelatin.
Segera setelah bayi manusia lahir, matriks mulai menguat melalui proses
kalsifikasi, yaitu terbentuknya kristal mineral. Kristal ini terdiri atas kalsium
fosfat atau kombinasi fosfat dan kalsium hidroksida yang dinamakan
hidroksiapatit {(3Ca3(PO4)2.Ca(OH)2}. Kalsium dan fosfor merupakan mineral
utama dalam ikatan ini, sehingga keduanya harus berada dalam jumlah yang
cukup di dalam cairan yang mengelilingi matriks tulang. Batang tulang yang
merupakan bagian matriks, mengandung kalsium fosfat, magnesium, seng,
natrium karbonat dan flour disamping hidroksiapatit (Almatsier 2002).
Selama pertumbuhan, proses kalsifikasi berlangsung terus dengan cepat.
Pada ujung tulang panjang ada bagian yang berpori yang dinamakan trabekula,
yang menyediakan kalsium siap pakai guna mempertahankan konsentrasi kalsium
normal dalam darah. Selama kehidupan, tulang senantiasa mengalami perubahan,
baik dalam bentuk maupun kepadatan, sesuai dengan usia dan perubahan berat
badan (Almatsier 2002).
Kalsifikasi gigi susu (gigi tidak tetap yang kemudian diganti) terjadi pada
minggu kedua puluh tahap janin dan selesai sebelum gigi keluar. Gigi permanen
mulai mengalami kalsifikasi saat anak berumur delapan tahun hingga sepuluh
tahun. Gigi lengkap pada usia dewasa hanya mengandung 1% jumlah kalsium
tubuh (Almatsier 2002).
(b) Mengatur pembekuan darah
Bila terjadi luka, ion kalsium di dalam darah merangsang pembekuan
fosfolipidatromboplastin dari platelet darah yang terluka. Tromboplastin ini
mengkatalisis perubahan protrombin, bagian darah normal, menjadi trombin.
Trombin kemudian membantu fibrinogen, bagian lain dari darah, menjadi fibrin
(c) Katalisator reaksi biologis
Kalsium berfungsi sebagai katalisator berbagai reaksi biologis, seperti
absorpsi vitamin B12, tindakan enzim pemecah lemak, lipase pankreas, ekskresi
insulin oleh pankreas, pembentukan dan pemecahan asetilkolin, yaitu bahan yang
diperlukan dalam pemindahan (transmisi) suatu rangsangan dari suatu serabut
saraf ke serabut saraf lain. Kalsium yang diperlukan untuk mengkatalisis
reaksi-reaksi ini diambil dari persediaan kalsium dalam tubuh (Almatsier 2002).
(d) Kontraksi otot
Pada waktu otot berkontraksi, kalsium berperan dalam interaksi protein di
dalam otot, yaitu aktin dan miosin. Bila kalsium darah kurang dari normal, otot
tidak bisa mengendur sesudah kontraksi. Tubuh akan kaku dan dapat
menimbulkan kejang (Almatsier 2002)
Beberapa fungsi kalsium lain adalah meningkatkan fungsi transpor
membran sel, kemungkinan dengan bertindak sebagai stabilisator membran, dan
transmisi ion melalui membran organel sel (Almatsier 2002).
2.4.2. Sumber kalsium
Sumber kalsium utama adalah susu dan hasil olahan susu seperti keju. Ikan
yang dimakan dengan tulang, termasuk ikan kering merupakan sumber kalsium
yang baik. Serealia seperti kacang-kacangan dan hasil olahan kacang-kacangan
seperti tahu, tempe dan sayuran hijau merupakan sumber kalsium yang baik juga,
tetapi bahan makanan ini banyak mengandung zat yang dapat menghambat
penyerapan kalsium seperti serat, fitat dan oksalat (Almatsier 2002).
Tepung ikan yang dibuat dari keseluruhan tubuh ikan termasuk tulangnya,
memiliki kandungan kalsium yang sangat tinggi. Meskipun tepung ikan ini bisa
dijadikan sumber kalsium dan protein bagi negara yang tidak mampu
menyediakan susu, kemungkinan penyebarannya pada bahan pangan di Amerika
masih kecil dikarenakan masih terdapat masalah sehubungan dengan flavour dan
kualitas selama penyimpanan (Guthrie 1975).
Bahan pangan dengan kandungan air relatif rendah, kacang almond dan
dari produk ini adalah orang jarang mengkonsumsi bahan pangan ini dikarenakan
kontribusi kalori yang tinggi, yang terdapat dalam program diet (Guthrie 1975).
Sumber kalsium yang biasa digunakan dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok (Kaup et al. 1991) yaitu :
1. Tepung tulang, mono-kalsium dan di-kalsium fosfat yang ketersediaannya
paling tinggi diantara sumber kalsium lainnya.
2. Ground limestone (batuan kapur yang biasanya mengandung magnesium
dan bersifat agak asam), deflourined fosfat (garam kalsium fosfat yang
masih mengandung flour yang bersifat racun bila kadarnya berlebihan)
dan kalsium karbonat. Kelompok ini merupakan sumber kalsium yang
ketersediaannya sedang.
3. Hay, yaitu kalsium yang berikatan dengan mineral lain yang sukar larut.
Sumber ini memiliki ketersediaan kalsium yang rendah.
Kebanyakan kalsium dalam bahan nabati tidak dapat digunakan dengan
baik karena berikatan dengan oksalat membentuk garam dan bersifat tidak larut
dengan air (Linder 1992).
Kalsium pada ikan terutama pada tulang membentuk kompleks dengan
fosfor dalam bentuk apatit atau trikalsiumfosfat (Lovell 1989). Bentuk ini terdapat
pada abu tulang yang dapat diserap dengan baik oleh tubuh yaitu berkisar
60-70% (Lutwak 1982).
2.4.3. Kebutuhan kalsium
Keperluan kalsium dalam tubuh manusia berbeda menurut usia dan jenis
kelamin. Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh orang Indonesia per hari
yang ditetapkan oleh Widyakarya Pangan dan Gizi (2004) disajikan pada Tabel 1.
Kalsium pada tubuh terdapat paling banyak di tulang dengan jumlah lebih
dari 99%. Kebutuhan tubuh akan kalsium dapat dipenuhi dengan mengkonsumsi
makanan yang mengandung kalsium (Karyadi dan Muhilal 1996). Kebutuhan ini
akan berbeda bagi setiap orang. Di Amerika kebutuhan kalsium bagi orang
dewasa adalah 800 mg per kapita per hari (Hardinsyah dan Martianto 1992).
Untuk orang yang hidup di daerah tropis dapat mempertahankan status
Hal ini disebabkan oleh adanya sinar matahari yang dapat membantu
pembentukan vitamin D yang selanjutnya membantu peningkatan metabolisme
kalsium (Muchtadi et al. 1993).
Tabel 1 Kebutuhan kalsium dan fosfor dalam tubuh manusia
Kelompok umur Kebutuhan Ca (mg)/hari Kebutuhan P (mg)/hari
Bayi (bulan)
Sumber : Widyakarya Pangan dan Gizi (2004).
Status kalsium ditentukan oleh kombinasi faktor usia, jenis kelamin, dan
faktor hormonal. Interaksi kompleks dari faktor tersebut menentukan jumlah
kalsium tersedia yang dapat diserap, kapasitas intestin untuk menyerap, dan
jumlah kalsium yang hilang dalam urin, kelenjar keringat maupun feses. Faktor
utama yang menentukan status kalsium adalah faktor nutrisi seperti laktosa dan
bekerja melalui vitamin D, hormon lain dan metabolisme fosfor (Miller 1989
dalam Miller 1996 dalam Fennema 1996).
Kekurangan kalsium akan menyebabkan kadar kalsium darah menurun.
Kondisi dimana kadar kalsium berada dibawah kisaran normal (9-10 mg/100 ml)
disebut hipokalsemia. Hipokalsemia dapat menyebabkan tetani atau kejang.
Kepekaan serabut saraf dan pusat saraf terhadap rangsangan meningkat, sehingga
terjadi kejang otot misalnya pada kaki (Almatsier 2002).
Konsumsi kalsium sebaiknya tidak melebihi 2500 mg sehari. Kondisi
kebalikan dari hipokalsemia adalah hiperkalsemia. Hiperkalsemia ini dapat
menyebabkan hiperkalsiuria yaitu kondisi dimana kadar kalsium dalam urin
melebihi 300 mg/hari. Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau
gangguan ginjal, disamping itu dapat menyebabkan konstipasi (susah buang air
besar). Kelebihan kalsium jarang terjadi akibat konsumsi makanan alami dan
biasanya terjadi bila mengkonsumsi suplemen kalsium berupa tablet atau bentuk
lain (Almatsier 2002).
2.4.4. Asupan kalsium
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa penyerapan kalsium
meningkat saat asupan kalsium diturunkan dari dosis tinggi atau cukup menjadi
rendah, sehingga terjadi kenaikan penyerapan kalsium. Almatsier (2002)
menambahkan bahwa penyerapan akan meningkat bila kalsium dikonsumsi
menurun. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh semakin efisien
absorpsi kalsium. Peningkatan kebutuhan terjadi pada masa pertumbuhan,
kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium dan tingkat aktivitas fisik yang
meningkatkan densitas tulang.
Hal ini dapat terjadi karena jumlah kalsium terserap tergantung pada
interaksi dengan komponen bahan pangan lainnya, dan pada faktor psikologis
seperti hormon regulator kalsium dan tingkatan umur. Kemampuan absorpsi
lebih tinggi pada masa pertumbuhan, dan menurun pada proses penuaan.
Kemampuan absorpsi pada laki-laki lebih tinggi daripada perempuan pada semua
Asupan kalsium tidak cukup dan penyerapan kalsium oleh tubuh yang
rendah hanyalah dua dari beberapa faktor resiko bagi osteoporosis dan penyakit
lainnya (Blaney et al. 1996). Aktivitas fisik berpengaruh terhadap asupan kalsium.
Laktosa meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase. Sebaliknya bila
terdapat defisiensi laktase, laktosa mencegah absorpsi kalsium, akan tetapi di luar
kehamilan, diragukan apakah laktosa masih dapat meningkatkan waktu transit
makanan melalui saluran percernaan, dengan demikian memberi waktu lebih
banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier 2002).
Sumber kalsium menjadi berpengaruh terhadap bioavailabilitas karena
menentukan dengan apa kalsium harus berikatan. Seperti penelitian yang
dilakukan oleh Purac Biochem tahun 1995 mengenai bioavailabilitas 11 produk
makanan berbeda, membuktikan bahwa kalsium laktat adalah salah satu sumber
kalsium dengan bioavailabilitas terbaik diantara semua produk yang dicobakan
(Van Mosevelde 1997).
2.4.5. Penyerapan kalsium
Saat tubuh sangat membutuhkan kalsium dan berada pada kondisi
optimal, 30-50% kalsium yang dapat dikonsumsi dapat diabsorpsi tubuh,
sedangkan pada kondisi normal, penyerapan sebesar 20-30% dianggap baik,
dan kadang-kadang penyerapannya hanya mencapai 10%. Pada masa
pertumbuhan anak, penyerapan dapat mencapai 75% dari makanan kalsium.
Sebelum penyerapan natrium, vitamin D dan satu atau dua protein pengikat
kalsium harus tersedia (Guthrie 1975).
Penyerapan kalsium dapat terjadi dalam dua jalur transportasi di
sepanjang usus. Pertama cara aktif, mudah jenuh dan dengan proses transeluler
yang terjadi terutama pada duodenum dan proksimal yeyenum. Kedua cara
pasif, tidak mudah jenuh, jalur paraseluler yang terjadi di sepanjang usus
halus (Allen dan Wood 1994).
Cara pertama diatur oleh vitamin D dan melibatkan protein pengikat
kalsium (calbinding) yang tergantung pada vitamin D (CaBP). Kalsium dipompa
keluar enterosit menuju darah oleh adenosin trifosfat (ATP) (Allen dan Wood
berkesinambungan, dan kesemuanya diatur oleh vitamin D. Untuk itu harus ada :
1) asupan dari pinggir bulu-bulu halus; 2) gerakan intraseluler; 3) keluaran pada
membran basolateral. Calbindin berperan sebagai protein transpor untuk
membawa kalsium melewati sitoplasma enterosit ke basal membran. Kalsium
yang dipompakan dari enterosit ke cairan ekstraseluler membutuhkan ATP dan
vitamin D yang mengatur Ca2+, Mg2+, ATPase, enzim penghidrolisis ATP dan
melepaskan energi untuk memompa Ca2+ keluar sel, seiring dengan itu
magnesiumnya bergerak masuk (Groff dan Gropper 2001). Penyerapan kalsium
secara aktif dipengaruhi oleh kondisi psikologis individu, yaitu status kalsium dan
vitamin D, usia, kehamilan dan laktasi (Allen dan Wood 1994).
Cara kedua tidak bergantung pada pengaturan oleh vitamin D. Jumlah
kalsium yang terserap dengan cara ini tergantung sekali pada jumlah dan nilai
kalsium makanan, yaitu di atas 3 mmol atau setara dengan 120 mg/100 ml
kemungkinan akan terserap dengan cara ini (Allen dan Wood 1994).
Usus besar juga merupakan lokasi yang memungkinkan terjadinya
penyerapan kalsium dikarenakan bakteri kolon melepaskan ikatan kalsium dari
beberapa serat terfermentasi (fermentable fibers) seperti pektin. Jumlah kalsium
yang diserap lewat kolon sekitar 4% setiap hari (Groff dan Gropper 2001).
Dalam makanan yang mengandung sedikit kalsium, persentase penyerapan
kalsium akan meningkat menjadi 60 kali selama masa pertumbuhan, namun pada
orang dewasa yang mengkonsumsi kalsium dalam jumlah yang cukup,
penyerapannya akan menurun sebesar 10%. Secara normal penyerapan kalsium
berkisar 30% (Allen dan Wood 1994).
2.4.5.1. Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan kalsium
Bioavailabilitas atau ketersediaan biologis adalah ukuran kuantitatif dari
penggunaan nutrisi pada kondisi tertentu untuk menunjang struktur normal
organisme serta proses-proses fisiknya (Fox et al. 1981 dalam Fox 1988). Agar
nutrisi bahan pangan dapat digunakan tubuh, maka nutrisi tersebut harus dapat
diserap oleh tubuh terlebih dahulu. Dalam keadaan normal sebanyak 30-50%
kalsium yang dikonsumsi diabsorpsi tubuh. Hal ini dikarenakan penyerapan
(1) Zat organik
Adanya zat organik yang dapat bergabung dengan kalsium dan
membentuk garam yang tidak larut. Contoh dari senyawa tersebut adalah asam
oksalat dan asam fitat. Asam oksalat dan kalsium membentuk garam yang tidak
dapat larut, yaitu kalsium oksalat (Winarno 2002), sehingga mengendap di dalam
rongga usus dan tidak dapat diserap ke dalam mukosa (Sediaoetama 2006). Asam
fitat terdapat dalam bekatul gandum, sedangkan asam oksalat banyak ditemukan
dalam bit yang masih hijau, bayam, rhubab dan coklat, akan tetapi berdasarkan
penelitian in vivo adanya asam oksalat pada bayam tidak jelas menurunkan
keseimbangan kalsium dalam tubuh (Winarno 2002).
(2) Vitamin D
Absorpsi kalsium di dalam usus maupun reabsorbsinya di dalam tubuli
ginjal dipengaruhi oleh vitamin D, sedangkan absorpsi kalsium mempengaruhi
pula absorpsi fosfor (Sediaoetama 2006). Vitamin D dalam bentuk aktif
1,25(OH)D3 meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang
produksi protein pengikat kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi
dalam keadaan asam. Asam klorida yang dikeluarkan lambung membantu
absorpsi dengan cara menurunkan pH di bagian atas duodenum. Asam amino
tertentu meningkatkan keasaman saluran cerna dengan demikian membantu
proses absorpsi (Almatsier 2002).
(3) Serat makanan
Serat makanan merupakan komponen tanaman yang tidak dapat dicerna
oleh enzim pencernaan manusia, termasuk didalamnya komponen dinding sel
tumbuhan (selulosa, hemiselulosa, pektin, pentosan dan lignin) dan polisakarida
intraseluler seperti gum dan musilage (Trowell 1976 dalam Spiller 2001).
Selanjutnya menurut Harland dan Oberleas (2001) serat bersama-sama dengan
fitat dan oksalat mengurangi penyerapan kalsium.
Serat makanan membatasi bioavailabilitas mineral dengan cara mengikat,
mengencerkan dan menjerat mineral dalam serat makanan atau memperpendek
waktu transit nutrisi dalam usus (Iodarine at al. 1996). Selanjutnya hasil
bahwa jumlah serat tidak berpengaruh terlalu besar pada penyerapan mineral jika
dibandingkan dengan jenisnya.
Berdasarkan jenis kelarutannya, serat dibagi menjadi 2 yaitu serat
larut air dan serat tidak larut air. Serat larut air dapat mengikat air dan
menciptakan larutan viskous dalam saluran pencernaan sehingga
menyebabkan perlambatan pengosongan perut dari makanan, menghalangi
percampuran makanan dengan enzim, mengurangi fungsi enzim, mengurangi
tingkat difusi nutrisi sehingga melalui mekanisme ini kalsium sulit terserap
mukosa usus (Groff dan Gropper 2001).
Serat tidak larut air menurut Slavin (1985) dalam Blaney et al. (1996)
menghalangi lebih banyak kalsium daripada serat larut, menurunkan waktu transit
bahan pangan selama di usus halus sehingga mengurangi waktu penyerapan
kalsium. Selanjutnya serat tidak larut air secara otomatis akan mengurangi
kesempatan kerja enzim (Groff dan Gropper 2001).
(4) Protein
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa protein bersama-sama dengan
lemak, dikategorikan sebagai bahan pangan yang memiliki pengaruh pada
bioavailabilitas kalsium. Sumber protein juga mempengaruhi penyerapan kalsium.
Kasein dan produk susu meningkatkan kelarutan in vivo sehubungan dengan
adanya gugus fosfoserin dalam molekulnya (Berrocal et al. 1989 dalam Blaney et
al. 1996). Protein makanan juga dapat berpengaruh negatif terhadap
ketersediaan biologis mineral jika mineral terperangkap dalam protein atau
kompleks peptida yang resisten terhadap proteolisis. Situasinya serupa dengan
kompleks mineral protein-fitat yang tidak tercerna dengan baik, sehingga
penyerapan mineral menurun (Erdman et al. 1980 dalam Greger 1999).
Bagaimanapun juga, protein berperan penting dalam penyerapan kalsium
ke dalam mukosa usus karena transpor kalsium melalui sel usus dapat terjadi
melalui difusi atau dengan calbindin (protein pengikat kalsium). Calbindin
berperan sebagai protein transpor untuk mengantarkan kalsium sitoplasma
enterosit ke membran basal. Proses ini membutuhkan ATP (Groff dan Gropper
2001) dan kekurangan protein menyebabkan gangguan pada absorpsi dan
(5) Nilai pH dan kelarutan
Kalsium membutuhkan pH asam agar dapat berada dalam keadaan larut.
Kalsium hanya bisa diabsorpsi bila terdapat dalam bentuk larut air dan tidak
mengendap karena unsur makanan lain seperti oksalat (Almatsier 2002).
Anggorodi (1985) mengatakan bahwa pH usus juga berpengaruh
terhadap proses absorpsi kalsium dalam tubuh. Fosfor sulit diserap pada pH di
atas 6,5 dan baik diserap pada pH di bawah 6,0 dimana nilai pH tersebut dapat
dikontrol dengan cara tidak terlalu banyak memberikan kalsium.
Kelarutan merupakan salah satu syarat dalam penyerapan kalsium.
Menurut Allen dan Wood (1994) kelarutan kalsium meningkat dalam lingkungan
asam pada perut, tetapi ion terlarut akan bergabung kembali kemudian
berpresipitasi dalam yeyenum dan ileum dimana pH-nya mendekati netral.
Peningkatan penyerapan mineral terjadi pada suasana asam dan akan menurun
sejalan dengan penurunan nilai pH dan sebaliknya (Yoshie et al. 1997; Torre et al.
1995).
2.5. Fosfor
Fosfor banyak sekali ditemukan baik di hewan maupun tanaman. Unsur
ini dijumpai di dalam semua sel tubuh, dalam cairan tubuh dan dalam hampir
semua makanan. Dari segi fisiologi, fosfor memegang peranan di dalam
proses kontraksi otot, pada pembentukan tulang (osifikasi) dan aktivitas
sekretosis. Disamping itu fosfor memegang peranan penting dalam
pembentukan fosfat yang sangat diperlukan dalam transformasi energi
(Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Penyebaran fosfor di dalam tubuh dilakukan dengan bantuan peredaran
darah dan cairan antar sel (intercellular fluid). Bentuk fosfor yang diserap oleh
usus beragam bergantung kepada makanan yang digunakan. Bentuk fosfor yang
diserap melalui usus terdiri dari ikatan atau senyawa fosfat anorganik dan fosfat
organik. Senyawa-senyawa fosfat ini dibebaskan dari makanan setelah mengalami
hidrolisis selama proses pencernaan terjadi (Piliang dan Djojosoebagio 2006).
Dalam proses absorpsi fosfor dan kalsium saling berpengaruh erat sekali.
perbandingan Ca:P dalam hidangan 1:1 sampai 1:3. Selanjutnya menurut Guthrie
(1975) batasan bagi rasio perbandingan Ca:P adalah dibawah 1:2. Perbandingan
Ca:P lebih besar dari 1:3 akan menghambat penyerapan kalsium, sehingga
hidangan yang demikian akan menimbulkan penyakit defisiensi kalsium yaitu
rakhitis (Sediaoetama 2006).
Allen dan Wood (1994) menyatakan bahwa baik jumlah fosfor bahan
pangan maupun rasio Ca:P tidak mempengaruhi penyerapan kalsium pada orang
dewasa atau bayi dengan berat di bawah normal. Hal tersebut serupa dengan
pernyataan dari Almatsier (2002), bahwa bukti nyata terhadap anggapan adanya
pengaruh rasio Ca:P ini belum ada sampai sekarang, dan pada umumnya rasio
kalsium : fosfor dalam makanan antara 1:1 dan 1:2.
2.6. Biskuit
Biskuit adalah kue manis berukuran kecil yang terbuat dari tepung terigu.
Menurut Standar Nasional Indonesia (1992), biskuit adalah produk pangan kering
yang dibuat dengan memanggang adonan yang mengandung bahan dasar terigu,
lemak dan bahan pengembang dengan atau tanpa penambahan bahan tambahan
lain yang diizinkan. Sedangkan menurut Charley (1982) biskuit yang bermutu
baik adalah biskuit yang memiliki kulit berwarna coklat keemasan dengan tanpa
adanya noda-noda coklat, bentuknya simetris serta bagian atasnya rata dan halus.
Persyaratan mutu biskuit menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992
Tabel 2 Syarat mutu biskuit (SNI 01-2973-1992) tahun 1992
Kriteria uji (Parameter) Syarat mutu
Kadar air (% b/b)
Belum ada klasifikasi yang jelas untuk biskuit, bahkan terkadang dijumpai
saling tumpang tindih antar bentuk yang satu dengan lainnya. Hingga saat ini
biskuit diklasifikasikan berdasarkan beberapa sifat yaitu : (1) tekstur dan
kekerasan, (2) perubahan bentuk akibat pemanggangan, (3) ekstensibilitas adonan
dan (4) pembentukan produk (Manley 1983).
Berdasarkan ekstensibilitas adonannya, biskuit dapat digolongkan menjadi
tiga yaitu adonan lunak, adonan keras dan adonan fermentasi. Pada adonan lunak,
gluten tidak mengembang karena adanya efek dari shortening dan efek pelunakan
dari gula. Contoh biskuit dari adonan lunak adalah biskuit buah, biskuit krim dan
biskuit jahe. Untuk adonan keras dijumpai pengembangan gluten sampai batas
tertentu untuk penambahan air. Pada adonan fermentasi, gluten akan mengembang
penuh karena air yang ditambahkan memungkinkan kondisi tersebut. Contoh
biskuit yang dibuat dari adonan fermentasi adalah biskuit cracker (Booth 1990).
Menurut Faridi dan Faubion (1990), crackers umumnya hanya mengandung
sedikit gula dan lemak. Pada biskuit fermentasi ini dapat digolongkan menjadi dua
yaitu asin (saltine) dan snack.
Klasifikasi lain adalah berdasarkan pembentukan biskuit. Menurut Faridi
cara yaitu rotary molded, wire-cut dan pembentukan lembaran (sheeting).
Perbedaan ketiga cara ini adalah kandungan gula dalam adonan sehingga akan
mempengaruhi karakteristik sewaktu proses pembentukan.
Menurut Standar Nasional Indonesia tahun 1992 (SNI 01-2973-1992),
biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, cracker, cookies dan wafer.
Biskuit keras dibentuk dari adonan keras dan memiliki tekstur padat. Cracker
adalah biskuit yang dibuat dari adonan keras melalui fermentasi dan memiliki
tekstur yang berlapis-lapis. Jenis yang ketiga adalah cookies merupakan jenis
biskuit yang dibuat dari adonan lunak. Wafer adalah biskuit dari adonan dengan
sifat yang sangat renyah dan memiliki tekstur yang berongga.
Klasifikasi beberapa jenis biskuit menurut Manley (1983) dapat dilihat
pada Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi biskuit menurut Manley (1983)
Adonan lunak
Klasifikasi Cracker Adonan
keras HF HS
Kadar air adonan (%) Kadar air biskuit (%) Suhu adonan (oC)
Ket : HF = kandungan lemak tinggi; HS = kandungan gula tinggi
2.6.2. Bahan-bahan pembuat biskuit
Bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit dibedakan menjadi bahan
pengikat (binding materials) dan bahan pelembut (tederizing materials) (Matz dan
Matz 1978). Bahan pengikat terdiri dari tepung, air, susu, telur. Bahan pelembut
terdiri dari gula, shortening, baking powder, telur.
(a) Tepung terigu
Untuk mendapatkan biskuit yang baik, maka tepung terigu tipe lunak
yang mempunyai kadar protein sekitar 8% dan kadar gluten yang tidak
terlalu banyak adalah yang paling sesuai (Vail et al. 1978). Tepung terigu
dalam pembuatan biskuit berfungsi sebagai pembentuk tekstur, mengikat
bahan-bahan lain dan mendistribusikannya secara merata sebagai pembentuk
Komposisi gandum bervariasi tergantung jenisnya. Hal ini juga
berpengaruh pada kekuatan glutennya. Kekuatan tepung lebih tergantung
pada mutu daripada jumlah gluten. Tepung yang kuat adalah tepung yang
menghasilkan tepung yang sukar meregang dan mempunyai sifat dapat
menahan gas yang baik. Umumnya jenis tepung ini cocok untuk
pembuatan roti, sedangkan tepung yang lemah cocok untuk pembuatan kue dan
biskuit (Gaman dan Sherrington 1990).
Menurut Astawan (1999) berdasarkan kandungan gluten (protein) tepung
terigu yang beredar dipasaran dapat dibedakan menjadi 3 macam sebagai berikut :
1. Hard flour. Tepung ini berkualitas paling baik. Kandungan proteinnya 12-13%.
Tepung ini digunakan untuk pembuatan roti dan mi berkualitas tinggi.
Contohnya adalah terigu ”Cakra Kembar”.
2. Medium hard flour. Tepung jenis ini mengandung protein 9,5-11%. Tepung ini
banyak digunakan untuk pembuatan roti, mi dan macam-macam kue serta
biskuit. Contohnya, terigu ”Segitiga Biru”.
3. Soft flour. Terigu ini mengandung protein sebesar 7-8,5%. Penggunaannya
cocok sebagai pembuatan kue dan biskuit. Contohnya, terigu ”Kunci Biru”.
(b) Telur
Penggunaan telur dalam pembuatan biskuit terutama berfungsi sebagai
pengemulsi yang dapat membantu mempertahankan kestabilan adonan. Selain
itu telur juga berperan meningkatkan dan menguatkan flavour, warna dan
kelembutan (Matz dan Matz 1978).
Menurut Whiteley (1971), adanya albumin telur membantu pembentukan
struktur adonan selama pemanggangan biskuit, karena membantu memerangkap
udara saat adonan dikocok sehingga udara dapat menyebar merata diseluruh
adonan. Selain itu telur dapat meningkatkan kerenyahan (crispy) biskuit.
(c) Gula
Gula berfungsi sebagai pemberi rasa manis biskuit, pelunakan gluten,
berperan membentuk flavor dan warna coklat pada biskuit lewat reaksi
pencoklatan nonenzimatis selama proses pemanggangan, memperbaiki tekstur
(d) Lemak
Lemak biasa digunakan untuk memberikan efek shortening sehingga
memperbaiki struktur fisik seperti volume pengembangan, tekstur dan kelembutan
serta memberi flavor (Matz 1993). Lemak berfungsi untuk memperbaiki kualitas
penerimaan (melezatkan dan menambah nilai gizi), melembutkan, membantu
pengembangan, membantu penyebaran dan memberikan flavor. Lemak dapat
melembutkan, membuat renyah dengan cara melapisi molekul pati dan gluten
dalam tepung serta memutuskan ikatannya, lemak juga dapat membatasi daya
serap air (Kaplan 1971)
Margarin merupakan pengganti mentega dengan rupa, bau dan konsistensi,
rasa, dan nilai gizi yang hampir sama. Margarin juga mengandung emulsi air
dalam minyak, dengan persyaratan mengandung tidak kurang 80% lemak.
Margarin terbuat dari minyak atau lemak nabati, dan bahan tambahan seperti susu
bubuk skim atau lemak hewani, air, garam, esens, pewarna dan zat antitengik.
Umumnya margarin memiliki kandungan lemak yang sedikit tetapi kandungan
airnya sangat banyak (Anonim 2000).
Karena minyak nabati umumnya dalam bentuk cair, maka harus
dihidrogenasi lebih dulu menjadi lemak padat, yang berarti margarin harus
bersifat plastis, padat pada suhu ruang, agak keras pada suhu rendah dan segera
dapat mencair dalam mulut (Winarno 2002).
(e) Susu
Penggunaan susu dalam pembuatan produk biskuit berfungsi untuk
membentuk flavour, mengikat air, sebagai bahan pengisi, membentuk tekstur
yang baik dan porous, meningkatkan nilai gizi terutama kadar protein biskuit.
Selain itu susu juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan
warna coklat pada permukaan biskuit dan memperkuat gluten karena kandungan
kalsiumnya (Anonim 1981).
Muchtadi dan Sugiyono (1989) menyatakan bahwa susu adalah suatu
emulsi lemak dalam air yang mengandung garam-garam mineral, gula dan protein.
Salah satu keuntungan penambahan susu didalam mixed food berfungsi sebagai
penguat protein dan lemak, juga mengandung karbohidrat, vitamin (terutama
pembuatan biskuit berperan sebagai bahan pengisi untuk mengikat kandungan gizi
yang dihasilkan (Buckle et al. 1987).
(f) Bahan pengembang
Bahan pengembang yang umumnya digunakan dalam pembuatan
produk biskuit adalah baking powder dan amonium bikarbonat. Fungsi baking
powder dalam adonan adalah untuk melepaskan gas hingga jenuh dengan gas
CO2 lalu dengan teratur melepaskan gas selama pemanggangan agar adonan
mengembang sempurna, menjaga penyusutan dan untuk menyeragamkan remah.
Baking powder adalah bahan peragi hasil reaksi antara asam dan sodium
bikarbonat. Asam yang biasanya digunakan adalah tartarat, folat dan sulfat
(Anonim 1981). Winarno (2002) menyatakan bahwa bahan pengembang adalah
senyawa kimia yang apabila terurai akan menghasilkan gas dalam adonan.
(g) Air
Air digunakan sebagai media dan katalis reaksi yang terjadi dalam adonan,
selain itu air juga membentuk dan mempengaruhi tekstur produk (Sunaryo 1985).
Matz dan Matz (1978) menyatakan bahwa air dalam pembuatan produk biskuit
berfungsi sebagai bahan pembantu dalam pembuatan gluten, sehingga membentuk
sifat kenyal dari gluten disamping juga untuk melarutkan gluten, garam serta
bahan-bahan lain agar bisa bercampur. Apabila jumlah air yang ditambahkan
terlalu banyak maka adonan akan menjadi keras, sedangkan jika air yang
ditambahkan sedikit, warna produk akan menjadi kecoklatan, bau agak gosong
dan tekstur mudah hancur.
Air memungkinkan terbentuknya gluten gandum yang mengandung
protein dalam bentuk glutenin dan gliadin, jika ditambahkan air maka akan
membentuk gluten, air juga berperan mengontrol kepadatan adonan. Selain itu, air
juga mengontrol suhu adonan, pemanasan atau pendinginan adonan. Air dalam
adonan melarutkan garam, menahan dan menyebarkan bahan-bahan secara
seragam. Air membasahi serta mengembangkan pati sehingga dapat dicerna dan
memungkinkan terjadinya kegiatan enzim (Almond 1989).
(h) Flavor
Flavor didefinisikan sebagai komponen yang memiliki karakteristik yang
dan indera penciuman dan secara umum oleh berbagai reseptor yang ada di dalam
mulut. Flavor sintetik dibuat dari bahan organik dan bahan kimia yang telah
diisolasi dari sumber-sumber alami. Keuntungan menggunakan flavor sintetik
adalah lebih ekonomis, konsentrasi rendah, penyimpanan yang mudah, lebih stabil
3. METODOLOGI
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Nopember 2006 sampai dengan
Maret 2007. Pelaksanaan penelitian berlangsung di beberapa laboratorium yaitu
Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan dan Unit Poduksi Hasil Perikanan
untuk kegiatan preparasi, perebusan tulang, pembuatan biskuit. Laboratorium
Mikrobiologi dan Biokimia Hasil Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu
Kelautan IPB untuk analisis kadar air dan kadar abu tepung tulang ikan patin.
Pilot Plan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk proses penepungan.
Laboratorium Pengolahan Pangan Fakultas Teknologi Pertanian untuk analisis
derajat putih, daya serap air, densitas kamba tepung tulang ikan patin, kekerasan
biskuit. Laboratorium Nutrisi dan Pakan Ternak Fakultas Peternakan IPB untuk
analisis kadar Ca, P, pH, solubilitas Ca dan P. Laboratorium Kimia Terpadu Pusat
Antar Universitas Pangan dan Gizi IPB untuk analisis proksimat biskuit.
Laboratorium Organoleptik Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB untuk
pengujian organoleptik biskuit
3.2. Bahan dan Alat
3.2.1. Bahan yang digunakan
Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan tepung adalah tulang ikan
patin yang diperoleh dari Unit Usaha Fillet Ikan Patin Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB. Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan biskuit
adalah tepung terigu ”Kunci Biru”, margarin ”Blue Band”, susu bubuk ”Frisian
Flag”, baking powder ”Pesawat Angkasa”, telur, air, vanili. Bahan-bahan kimia
yang diperlukan untuk analisis fisika dan kimia biskuit yang ditambah dengan
tepung tulang ikan patin dan tepung tulang ikan patin terdiri atas : H2SO4, alkohol,
NaOH, Na2S2O3, HCl, HNO3, HClO4, akuades, tablet kjeltab, buffer pH 7 dan pH