• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender

D. Manfaat Penelitian

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender

Tahun 1920-an para peneliti telah menegaskan eksistensi kromosom jenis kelamin manusia, yakni material genetis yang menentukan jenis kelamin kita. Manusia normal memiliki 46 kromosom yang terangkai dalam pasangan. Pasangan ke-23 mungkin memiliki dua kromosom X untuk menghasilkan seorang perempuan, atau mungkin memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y untuk menghasilkan seorang laki-laki. Pada beberapa minggu pertama pembuahan, embrio perempuan dan laki-laki tampak sama. Organ-organ jenis kelamin laki-laki mulai bebeda dari Organ-organ-Organ-organ jenis kelamin perempuan saat kromosom XY pada embrio laki-laki memicu keluarnya androgen, yakni hormon jenis kelamin laki-laki yang utama. Tingkat androgen yang rendah pada embrio perempuan memungkinkan perkembangan normal organ-organ jenis kelamin perempuan (Santrock, 2002)

Erik Erikson dalam Santrock (1995) berpendapat bahwa jenis kelamin seseorang mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam perilaku gender. Erikson berpendapat bahwa, karena struktur jenis kelamin, laki-laki lebih suka mengganggu dan agresif, perempuan lebih suka bersikap inklusif dan pasif. Pandangan tersebut dikuatkan oleh pendapat Bernhardt (1997); Starzyk & Quinsey (2001); Ramirez (2003) (dalam Papalia, et al, 2007), mereka menjelaskan bahwa hormon dalam aliran darah sebelum atau setelah masa kelahiran mempengaruhi perkembangan otak. Testosteron bersama dengan tingkat serotonin neuorotransmiter yang rendah mempunyai hubungan dengan agresifitas, daya kompetifitas, dan kekuasaan, mungkin berdampak pada struktur otak seperti hypothalamus dan amygdale.

Di usia 5 tahun, ketika otak berkembang kira-kira seukuran orang dewasa, otak anak laki-laki 10 persen lebih besar dibanding otak anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena anak laki-laki memiliki lebih banyak otak kecerdasan di cerebral cortex, sebaliknya anak perempuan mempunyai kepadatan neuron yang lebih baik. Fakta menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ukuran pada corpus collosum berhubungan dengan kemampuan verbal. Karena anak perempuan memiliki corpus collosum yang lebih besar – koordinasi antara dua belahan otak lebih baik– maka anak perempuan cenderung mempunyai kemampuan verbal yang sangat baik (Papalia, et al, 2007)

Bukti lain, seperti yang diungkapkan Angela (2002), tampak dalam sebuah penelitian di Inggris, bahwa perilaku kelaki-lakian ternyata dipengaruhi

pula oleh hormon ibu saat mengandung. Penelitian ini menyebutkan kadar hormon testosteron ibu yang tinggi saat mengandung akan mempengaruhi perilaku bayi perempuan yang dikandungnya kelak ketika telah lahir. Setelah mempertimbangkan faktor lain seperti pengaruh pola asuh ibu, keberadaan kakak atau adik, orangtua laki-laki, dan bagaimana orangtua menerapkan peran gender secara tradisional, peneliti menemukan hubungan antara kadar hormon testosteron selama sang ibu mengandung dengan perilaku anak perempuan setelah lahir. Semakin tinggi kadar hormon testosteron si ibu, semakin besar pula kemungkinan bayi mempunyai perilaku kelaki-lakian dalam perkembangannya.

Eleanor Maccoby (1998) berpendapat bahwa hormon selalu mempengaruhi gaya bermain seseorang, anak laki-laki tampak bermain dengan kasar, ribut, sedangkan anak perempuan bermain dengan sopan dan lemah lembut. Selanjutnya, meskipun anak-anak berinteraksi dengan teman sebayanya, mereka lebih memilih teman yang mempunyai ketertarikan dan yang berperilaku seperti dirinya. Anak perempuan berusaha mencari anak perempuan yang lain agar dapat diajak bermain rumah-rumahan dengan peran pasar-pasaran. Di lain sisi, anak laki-laki berusaha membentuk kelompok bermain yang besar dengan anak laki-laki lainnya, agar dapat bermain kejar-kejaran, panjat-panjatan, perang-perangan, saling bersaing, dan permainan gobak sodor. (Berk, 2007)

b. Faktor Lingkungan

1. Orangtua

Sebuah penelitian dari Peterson & Peterson (1973) dalam Santrock (1995) mengungkapkan bahwa, pada umumnya orangtua cenderung berharap mempunyai anak laki-laki. Sebuah penyelidikan di tahun 1970-an, dari 90 persen laki-laki dan 92 persen wanita berharap bayi pertama mereka adalah laki-laki. Penelitian selanjutnya, oleh Hamilton (1991), orangtua masih berharap anak laki-laki sebagai anak pertama mereka –75 persen laki-laki dan 79 persen wanita berharap demikian. Orangtua melalui tindakan dan contoh mempengaruhi perkembangan gender anak-anak mereka. Ibu dan ayah secara psikologis mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan gender anak-anak. Ibu-ibu diberi tanggung jawab mengasuh dan merawat anak-anak; ayah lebih cenderung terlibat dalam interaksi yang bersifat permainan dan bertanggung jawab menjamin anak laki-laki dan anak perempuan menyesuaikan diri dengan norma-norma kebudayaan yang ada.

Berk (2007) menjelaskan bahwa sejak lahir, orangtua mempunyai perlakuan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Banyak orangtua menyatakan bahwa mereka menginginkan agar anak-anak mereka bermain dengan mainan yang sesuai dengan gendernya. Orangtua memberi anak laki-laki mereka mainan yang menekankan aksi dan kompetisi, seperti tembak-tembakan, mobil-mobilan, alat-alat servis, dan bola kaki serta memberi anak perempuan mereka mainan yang menampilkan pengasuhan, pasar-pasaran dan keterampilan fisik, seperti boneka, alat masak-masakan, dan perhiasan

mainan. Orangtua cenderung menggambarkan bahwa kemampuan berprestasi, bersaing dan mengontrol emosi merupakan hal yang penting bagi anak laki-laki; sedangkan keramahan, berperilaku layaknya anak perempuan, dan sopan santun merupakan hal yang penting bagi anak perempuan. Secara umum anak laki-laki diharapkan lebih berperilaku berdasarkan gender. Orangtua lebih toleran kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki bila anak-anak mereka melakukan perilaku gender yang berlawanan–lebih perhatian pada perilaku anak laki-laki seperti banci dibandingkan perilaku anak perempuan yang tomboy.

2. Teman Sebaya

Pergaulan dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama membuat suasana pertemanan semakin kuat tentang pemahaman peran gender. Sebuah penelitian yang diikuti anak-anak prasekolah dan kelompok bermain pada usia sekolah, anak-anak yang diberi banyak waktu bermain dengan teman berjenis kelamin sama di prosotan menunjukkan peningkatan yang sangat mencolok dalam pengenalan gender di musim semi–dalam hal pemilihan mainan, level aktifitas, agresi, dan tingkat bermain seperti orang dewasa (Martin & Faber, 2001 dalam Berk, 2007).

Teman-teman sebaya juga sudah mulai berperilaku sesuai dengan gendernya. Anak-anak mengelompok sesuai jenis kelaminnya. Anak laki-laki bermain dengan anak laki-laki, anak perempuan bermain dengan anak perempuan. Menurut hasil penelitian Eleanor Maccoby (1997), teman sebaya memainkan peranan penting dalam sosialisasi perilaku gender. Mereka

mengajar satu sama lain apa perilaku yang dapat diterima oleh gendernya dan apa perilaku yang tidak dapat ditolerir (Pramono, 2004). Buhrmester (1993) dan Maccoby (1989, 1993) juga menjelaskan bahwa anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman sebaya yang sama jenis kelaminnya cenderung dihargai oleh teman-teman mereka. Anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman yang berbeda jenis kelamin cenderung dikritik oleh teman-teman sebayanya atau ditinggal bermain sendirian. Anak-anak memperlihatkan suatu keinginan yang jelas untuk menjadi sama dan menyukai teman-teman sebaya yang berjenis kelamin sama (Santrock, 1995).

Santrock (1995) mengemukakan bahwa anak laki-laki saling mengajarkan satu sama lain perilaku maskulin yang diharapkan dan melaksanakannya dengan ketat. Anak-anak perempuan juga menyebarkan kebudayaan perempuan berkumpul utamanya dengan sesamanya. Anak-anak perempuan yang tomboy secara individual dapat bergabung dengan kegiatan anak laki-laki tanpa kehilangan status mereka dalam kelompok anak perempuan, tetapi sebaliknya ini tidak dibenarkan bagi anak laki-laki, yang mencerminkan tekanan penggolongan jenis kelamin yang lebih besar pada anak laki-laki. Pramono (2004) berpendapat bahwa seorang anak akan melihat dunia sekitarnya, masyarakat sekitarnya, yang memberikan pengertian perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Televisi juga berperan dalam mensosialisasikan peranan gender. Misalnya, dalam tayangan-tayangan khusus yang memperlihatkan peran perempuan dan laki-laki.

3. Sekolah dan Guru

Menurut Bhuiyan (2007), pendidikan di sekolah merupakan salah satu proses sosialisasi yang penting dimana anak mendapatkan pengalaman di luar rumah. Hal tersebut menguatkan pemahaman anak tentang dirinya dalam relasi dengan orang lain. Sekolah dan guru memainkan peranan yang sangat penting dalam usia pembentukan anak. Anak-anak mulai memahami identitas dirinya melebihi pemahamannya di rumah, peran yang ada dalam anggapan masyarakat. Pemahaman anak-anak tentang peran gender tertentu didapatkan dengan jelas ketika mulainya pendidikan di sekolah dan mendapat penguatan setiap hari melalui perilaku oleh guru, staff, anggota sekolah. Mereka mulai menjadi pemeran sistem patriarkal dan membawanya lebih banyak setelah mereka meninggalkan sekolah.

Berikut ini merupakan bias sekolah dan guru pada anak laki-laki dan perempuan. Menurut DeZolt & Hull (2001) (dalam Santrock, 2007), beberapa hal tersebut antara lain:

a. Kepatuhan, taat peraturan, kerapian dan ketertiban merupakan hal yang dinilai dan dihargai di kelas. Dan hal tersebut seringkali dijumpai pada perilaku anak perempuan dibanding anak laki-laki. b. Kebanyakan pengajar adalah wanita, terutama di sekolah dasar.

Hal tersebut menyusahkan anak laki-laki dalam proses identifikasi pada guru dan model perilaku guru mereka.

c. Anak laki-laki lebih menyukai learning problem.

e. Kepala sekolah cenderung berpendapat bahwa banyak anak laki-laki mempunyai masalah akademis, terutama pada penguasaan bahasa.

f. Kepala sekolah cenderung menganggap perilaku anak laki-laki lebih bermasalah.

Ahli lain, Myra dan David Sadker (2000) (dalam Santrock, 2007) mempunyai pandangan:

a. Berdasarkan tipe kelas, anak perempuan lebih patuh, sedangkan anak laki-laki lebih suka merebut. Anak laki-laki membutuhkan lebih banyak perhatian, anak perempuan lebih suka diam menunggu giliran. Para guru lebih sering memarahi dan menegur anak laki-laki, seakan-akan anak laki-laki perlu didisplinkan. Para pendidik khawatir bila anak perempuan pada akhirnya cenderung menjadi pengalah dan pendiam: berkurangnya tingkat keasertifan. b. Di ruang kelas, guru lebih sering memperhatikan dan berinteraksi

dengan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan yang bekerja dan bermain sendirian dengan tenang. Banyak guru bukan dengan tidak sengaja memberi perlakuan pada anak laki-laki dengan memberi banyak waktu pada mereka.

c. Anak laki-laki lebih mendapatkan banyak perintah dibandingkan anak perempuan dan mendapat banyak pertolongan ketika mereka mempunyai kesulitan dengan sebuah pertanyaan. Para guru lebih banyak memberi kesempatan pada anak laki-laki untuk menjawab

pertanyaan, banyak bantuan agar dapat menjawab dengan benar, dan memberi kesempatan lagi bila jawabannya salah.

d. Ketika anak sekolah dasar diminta menuliskan cita-cita mereka, anak laki-laki lebih banyak menuliskan pilihan pekerjaan dibandingkan anak perempuan.

4. Media

Sternglanz & Serbin (1974) (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan suatu keprihatinan tentang penggambaran kaum perempuan di televisi. Pada tahun 1970-an, nampak bahwa televisi memotret kaum perempuan kurang berkompeten daripada laki-laki. Misalnya, sekitar 70 persen tokoh-tokoh dalam dalam tayangan utama (prime-time) adalah laki-laki. Laki-laki dewasa cenderung lebih banyak ditampilkan dalam lingkup kerja, perempuan dewasa cenderung ditampilkan sebagai ibu rumah tangga dan dalam peran-peran yang romantis. Laki-laki dewasa cenderung lebih banyak ditampilkan di dalam pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih tinggi dan dalam pekerjaan-pekerjaan yang ragamnya banyak, dan laki-laki dewasa ditampilkan lebih agresif dan konstruktif.

Durkin (1985) mengungkapkan bahwa pada tahun 1980, jaringan-jaringan televisi menjadi lebih peka terhadap penggambaran kaum laki-laki dan perempuan di televisi. Sebagai akibatnya, banyak program sekarang berfokus pada perceraian keluarga, kumpul kebo, dan perempuan dalam status peran yang lebih tinggi. Bahkan dengan banyaknya program televisi tersebut

para peneliti terus menemukan bahwa televisi menggambarkan kaum laki-laki lebih berkompeten daripada kaum perempuan (Santrock, 2007)

Penstereotipan peran gender juga nampak dalam media cetak. Pada iklan media, kaum perempuan lebih sering diperlihatkan dalam iklan-iklan produk kecantikan, produk kebersihan, dan perkakas rumah tangga, sementara kaum laki-laki dalam iklan-iklan mobil, minuman, dan perjalanan. Dibanding dengan masa lalu, program-program televisi telah menggambarkan kaum perempuan lebih berkompeten, tetapi pengiklan belum memberikan status yang sama kepada mereka dibanding dengan kaum laki-laki (Santrock, 2007).

Dokumen terkait