• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

D. Pembahasan

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 5 sampai 6 tahun (Santrock, 2002) yang memasuki taman kanak-kanak dan sudah siap memulai karir sekolah mereka (Watson & Lindgren,1973). Di usia ini anak harus menguasai tugas perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah adalah mengetahui perbedaan seks dan tata caranya (Hurlock, 1998).

Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah diharapkan memiliki pemahaman atas dirinya dan orang lain sebagai laki-laki atau perempuan serta mampu menunjukkannya. Pemahaman tersebut berupa pemahaman mengenai identitas gender dan peran gender. Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender adalah kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin, pemahaman ciri-ciri dan perasaan atas diri sendiri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan. Pemahaman anak prasekolah tentang peran gender adalah perasaan, minat, kemampuan dan perilaku

anak prasekolah sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak prasekolah mengenai perasaan, minat, kemampuan dan perilaku anak laki-laki dan perempuan.

Merujuk pada devinisi pemahaman identitas gender yang telah disepakati, pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender adalah kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin, pemahaman ciri-ciri dan perasaan atas diri sendiri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan.

Dari penelitian di atas didapatkan bahwa kedelapan subjek mampu mengidentifikasi diri sendiri, orangtua dan keluarga, teman dan orang lain di lingkungan subjek sebagai laki-laki dan perempuan. Kedelapan subjek juga mampu menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan perempuan, antara lain ciri-ciri fisik seperti panjang-pendek rambut, tinggi-rendah dan keras lembut suara, paras cantik-tampan, dan ciri-ciri perilaku seperti memakai celana-rok dan kaos-gaun, aksesoris seperti anting-anting dan kalung, laki-laki lebih agresif dan aktif, perempuan yang mudah menangis. Kedelapan subjek juga mempunyai perasaan yang sesuai dan nyaman sebagai laki-laki atau perempuan.

Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa para subjek telah memiliki pemahaman mengenai identitas gender. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa anak prasekolah di Indonesia yang berusia 5-6 tahun telah memiliki pemahaman mengenai identitas gender, dimana anak prasekolah telah mampu mengidentifikasi jenis kelamin diri sendiri dan orang lain, mampu menunjukkan ciri-ciri laki-laki dan perempuan, serta memiliki rasa nyaman sebagai anak laki-laki atau anak perempuan.

Sejak kapan sesungguhnya anak-anak menyebut diri mereka anak laki-laki atau anak perempuan? Dalam Marriage and Family Encyclopedia (2007) dijelaskan bahwa ketika lahir, hampir semua bayi secara sosial diberi label sebagai laki-laki atau perempuan, berdasarkan pada alat kelaminnya. Anak-anak mungkin diperlakukan secara berbeda, tergantung pada label jenis kelaminnya. Anak mulai mengembangkan

body image dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Setelah anak mampu berbahasa, usia 18 bulan sampai 2 tahun, anak dapat menyebut dirinya sebagai laki-laki atau perempuan.

Demikian pula dengan kedelapan subjek dalam penelitian ini, mereka juga mendapatkan label dari orangtua, tetangga, guru, ataupun teman sebaya sebagai laki-laki atau perempuan. Pelabelan tersebut dimaksudkan untuk membantu anak dalam mengenal dirinya. Sehingga dalam perkembangan selanjutnya anak mencari pemahaman tentang bagaimana seharusnya berpikir, bertindak dan merasa sebagai anak laki-laki atau perempuan –disebut juga sebagai pemahaman anak mengenai peran gender–. Pemahaman anak mengenai peran gender tersebut meliputi aspek perasaan, minat, kemampuan dan perilaku.

Pemahaman anak yang tampak dalam aspek pikiran, minat, kemampuan dan perilaku tersebut merujuk pada karakteristik peran gender sebagai laki-laki atau peran gender sebagai perempuan. Berdasarkan pendapat para ahli (dalam Vasta, 1995; Berk, 2007; dan Handayani&Novianto, 2004) karakter peran gender laki-laki antara lain aktif, mandiri, kompetitif, percaya diri bersifat pemimpin, asertif, agresif, kurang hangat dan kurang bisa mengekspresikan kehangatan, serta kurang responsif terhadap

hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Karakteristik peran gender perempuan antara lain lebih bersikap manis, rapi, kalem/tenang, berjiwa asuh, suka merasa kasihan, suka berafiliasi, ekspresif, hangat dalam menjalin hubungan interpersonal, senang dengan kehidupan kelompok, tergantung, penakut, kompromistik, sensitif secara emosional dan terhadap keberadaan orang.

Merujuk pada devinisi pemahaman peran gender yang telah disepakati, pemahaman anak prasekolah tentang peran gender adalah perasaan, minat, kemampuan dan perilaku anak prasekolah sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak prasekolah mengenai perasaan, minat, kemampuan dan perilaku anak laki-laki dan perempuan .

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa keempat subjek laki-laki memiliki perasaan antara lain seperti senang, gembira, bangga, berani, sedih, kesal, marah, khawatir, dan bosan; demikian pula pada keempat subjek perempuan memiliki perasaan antara lain seperti gembira, bahagia, malu, takut, kesal dan marah. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki kedelapan subjek, kedelapan subjek dapat menyebutkan bahwa anak perempuan seharusnya lebih sering merasa gembira, senang, sedih, dan lebih mudah malu, sedangkan anak laki-laki seharusnya lebih sering merasa gembira, marah, dan sedih.

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa minat anak perempuan antara lain bermain ayunan, prosotan, putaran, boneka, barbie serta lebih suka menari, menggambar, menyanyi, mewarnai, bongkar pasang. Minat anak laki-laki antara lain lebih suka bersepeda, bermain robot, mobil-mobilan, kereta, truk, tembak-tembakan

serta lebih suka menggambar, drumband, bicara-bicaraan dengan anjing dan boneka. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, kedelapan subjek menyebutkan bahwa seharusnya perempuan suka bermain boneka, masak-masakan, ayunan, barbie, kupu-kupu, capung dan melodi drumband. Anak perempuan seharusnya juga lebih memilih menggambar kupu-kupu, membeli mainan kupu-kupu, membeli makanan yang berhadiah, dan suka menonton acara tv yang untuk perempuan. Anak perempuan suka warna pink, ungu, biru. Anak laki-laki seharusnya memiliki minat lebih sering membaca, suka bermain mobil-mobilan, main sepeda, robot, truk, menggambar robot dan roket, dan boleh menari. Anak laki-laki seharusnya suka warna biru dan merah.

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa keempat subjek perempuan memiliki kemampuan dalam bernyanyi, menggambar, berhitung, membaca, mewarnai, mencocokan dan merias boneka; sedangkan keempat subjek laki-laki memiliki kemampuan dalam membaca, drumband, mewarnai, menggambar dan bercerita serta mampu membantu. Berdasarkan pengetahuan kedelapan subjek ditemukan bahwa kemampuan yang seharusnya dimiliki anak perempuan antara lain pintar menggambar kupu-kupu, berhitung, menari, dan menyanyi; sedangkan anak laki-laki seharusnya memiliki kemampuan dalam menggambar mobil dan robot serta mampu bermain sepeda dengan baik. Menurut kedelapan subjek seharusnya semua anak harus pintar dalam hal belajar, terutama membaca dan menulis.

Dari penelitian di atas ditemukan bahwa keempat subjek perempuan memiliki perilaku antara lain sering menangis, mengompol, bermain kejar-kejaran, lompat-lompat, bermain layang-layang, sering berteriak-teriak, dan agresif. Demikian pula

keempat subjek laki-laki ditemukan bahwa perilaku subjek laki-laki antara lain lebih aktif, agresif, bersuara keras, bermain kejar-kejaran, penurut, mengalah. Berdasarkan pengalaman kedelapan subjek ditemukan bahwa perilaku anak perempuan seharusnya antara lain lebih sering menangis dan boleh sering menangis, serta sering mendengarkan dibanding anak laki-laki. Anak perempuan boleh berambut pendek dan memakai celana tetapi tidak boleh merokok. Anak perempuan tidak boleh nakal karena suka menangis, dan harus dilindungi. Kedelapan juga menunjukkan bahwa perilaku anak laki-laki antara lebih seperti sering marah-marah, lebih nakal dengan memukul, banyak berbicara dan bercerita di kelas, sering berteriak-teriak karena suaranya keras, dan cara berjalannya lebih cepat dari anak perempuan. Anak laki-laki tidak boleh berambut panjang, tidak boleh memakai rok dan sepatu hak tinggi serta memakai anting-anting. Anak laki-laki lebih sering merokok.

Dari penelitian tentang pemahaman peran gender di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa anak-anak telah mempunyai pengetahuan tentang peran gender meski belum dapat memberikan batasan yang pasti mengenai perasaan, minat, kemampuan dan perilaku bagi anak laki-laki dan perempuan. Dari penelitian ini juga ditemukan bahwa sebagian kecil anak laki-laki memiliki pemahaman peran gender yang kurang tepat pada aspek perilaku –penurut dan mengalah; sebagian besar anak perempuan memiliki pemahaman peran gender yang kurang tepat pada aspek perilaku –bermain kejar-kejaran, bermain layang-layang, dan agresif.

Beberapa ahli menyatakan tentang karakteristik peran gender laki-laki dan perempuan (dalam Vasta, 1995; Berk, 2007; Handayani&Novianto, 2004).

Karakteristik peran gender laki-laki antara lain aktif, kompetitif, percaya diri bersifat pemimpin, mandiri, asertif, agresif, kurang hangat dan kurang bisa mengekspresikan kehangatan, serta kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi. Karakteristik peran gender perempuan antara lain lebih bersikap manis, rapi, kalem/tenang, berjiwa asuh, suka merasa kasihan, suka berafiliasi, ekspresif, hangat dalam menjalin hubungan interpersonal, senang dengan kehidupan kelompok, tergantung, penakut, kompromistik, sensitif secara emosional dan terhadap keberadaan orang.

Berdasarkan pendapat tentang karakteristik peran gender laki-laki dan perempuan, dapat dikatakan bahwa terdapat kekurangpahaman peran gender pada sebagian kecil anak laki-laki terutama dalam aspek perilaku. Pernyataan tersebut didasari oleh peran gender Padahal seharusnya anak laki-laki diharapkan mempunyai sifat pemimpin; Dan kekurangpahaman peran gender pada sebagian besar anak perempuan terutama aspek perilaku. Padahal seharusnya anak perempuan dapat bersikap manis dan kalem/tenang. Hal tersebut berarti bahwa anak perempuan lebih mengalami kesulitan pemahaman peran gender terutama pada aspek perilaku. Faktor pengasuhan adalah salah satu faktor yang mungkin membuat anak kurang paham dalam perilaku yang semestinya.

Penelitian ini merupakan penelitian yang dilakukan di Indonesia tepatnya di kota Yogyakarta. Yogyakarta merupakan kota dengan masyarakat mayoritas berkebudayaan Jawa. Sehingga anak-anak prsekolah sangat mungkin mendapatkan pengasuhan berbasis kebudayaan Jawa. Handayani&Novianto (2004) menjelaskan

bahwa pola pengasuhan dalam kultur Jawa menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki dan wanita. Anak laki-laki dipersiapkan untuk bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya. Anak laki-laki dididik untuk dapat mencari nafkah dan diberi kesempatan untuk mempunyai cita-cita tinggi sehingga orientasinya lebih keluar rumah dan untuk itu dia dibebaskan dari tugas-tugas rumah tangga. Akibatnya, anak laki-laki tidak dibekali dengan keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah. Berbeda dengan anak laki-laki, anak wanita sejak kecil dipersiapkan untuk menjadi ibu dan istri yang berbakti kepada suami. Untuk itu ia banyak dibekali keterampilan-keterampilan praktis mengelola rumah tangga. Pola pengasuhan ini telah membiasakan laki-laki untuk lebih banyak terlibat dalam tugas-tugas yang bersifat abstrak, sedangkan wanita justru langsung terlibat dalam tugas-tugas konkret. Akibatnya, laki-laki menjadi gagap ketika harus terjun kepada masyarakat, sementara wanita lebih trampil dan luwes karena sudah terbisa mengelola rumah tangga. Pembiasaan ini juga membuat laki-laki dan wanita Jawa memiliki perbedaan dalam cara menyelesaikan masalah; laki-laki cenderung berorientasi abstrak, sedangkan wanita justru bisa lebih taktis dan praktis.

Pemahaman mengenai identitas gender dan peran gender didapatkan melalui beberapa proses belajar. Bussey & Bandura (1999) dalam Santrock (2007) bahwa pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender didapatkan melalui belajar sosial yakni dengan observasi, imitasi dan modeling. Anak laki-laki belajar bagaimana berperilaku sebagai seorang laki-laki dengan mengobservasi dan mengimitasi perilaku maskulin, seperti yang dilakukan ayah mereka serta orang lain

di lingkungan rumah dan sekolah, dan anak perempuan belajar dari mengimitasi perilaku feminin dari ibu mereka serta orang lain di lingkungan rumah dan sekolah. Ketika anak-anak mengimitasi perilaku jenis kelamin yang sama mereka mendapatkan penghargaan, tetapi bila mereka mengimitasi model yang tidak cocok mereka mendapatkan hukuman.

Penelitian ini menunjukkan bahwa anak-anak seringkali mencontoh/melakukan modeling terhadap oranglain, seperti tokoh-tokoh film, ataupun orangtua atau oranglain di lingkungan mereka. Mereka juga mengetahui bahwa laki-laki kelak harus bekerja dan perempuan memasak. Hal tersebut merupakan hasil belajar sosial dari lingkungan. Mereka juga mengetahui bahwa laki-laki berambut pendek, tidak memakai rok, dan tidak boleh menggunakan sepatu hak tinggi. Hal tersebut juga merupakan pengalaman anak-anak yang didapatkan dari lingkungan sosial. Hal tersebut sama seperti diungkapkan oleh

Melalui belajar sosial anak mendapatkan pengetahuan dan kesesuaian sebagai laki-laki dan perempuan. Sejalan dengan perkembangan kognitif, anak mempunyai skema tentang bagaimana menjadi laki-laki dan perempuan, yang disebut sebagai skema gender. Anak-anak mungkin mengambil pilihan-pilihan dan perilaku-perilaku tipe gender dari orang lain. Mereka juga mengorganisasikan pengalaman-pengalamannya dalam skema gender, atau kategori maskulin dan feminin, yang digunakan untuk menginterpretasikan dunia. Dan pada akhirnya anak dapat memberi label jenis kelamin mereka sendiri, mereka memilih skema gender berdasar hal tersebut –‘hanya laki-laki yang menekuni pekerjaan kasar’ dan ‘memasak adalah

pekerjaan perempuan’– dan menggunakan kategori yang sesuai dengan dirinya. Persepsi diri tersebut kemudian menjadi tipe gender dan menyajikan semacam skema tambahan dimana anak-anak memakai proses informasi dan mengatur perilakunya sendiri (Berk, 2007).

Orangtua sangat memiliki andil yang besar dalam awal perkembangan anak. Sangatlah mungkin anak mendapatkan pemahaman tentang identitas gender dan peran gender dengan melakukan belajar sosial kepada orangtua mereka. Dalam penelitian ini didapatkan bahwa orangtua berperan dalam pembentukan pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender. Orangtua memberikan pengetahuan mengenai laki-laki dan perempuan, seperti ciri fisik dan perilaku. Sebagian besar orangtua juga memberikan aturan tentang mainan dan permainan serta perilaku yang diperbolehkan bagi anak laki-laki dan perempuan. Sebagian kecil orangtua memberikan kebebasan kepada anak untuk memilih mainan dan permainan yang disukai. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Santrock (1997), Berk (2007), Naland (2007) bahwa sejak lahir, orangtua mempunyai perlakuan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Perlakuan tersebut antara lain pakaian, dekorasi kamar tidur, mainan, aturan berperilaku hingga pemberian tugas yang berbeda, sehingga menguatkan anak dalam memahami identitas gender dan peran gender mereka.

Sekolah dan guru juga berperan dalam sosialisasi sebagai anak laki-laki dan perempuan bagi siswa-siswa mereka. Dari hasil penelitian tampak bahwa sekolah dan guru mempunyai peranan dalam pembentukan pemahaman anak. Sekolah telah memberikan aturan seperti cara berpakaian, perlakuan guru dan maian serta materi

pengajaran yang disediakan bagi anak laki-laki dan perempuan. Guru juga menjelaskan baik secara klasikal maupu personal tentang persaaan, minat, kemampuan dan perilaku yang sesuai bagi anak laki-laki dan perempuan. Dengan demikian anak-anak semakin tahu perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dengan melihat teman mereka di sekolah, dari cara berpakaian, gaya rambut, mainan yang dimainkan, cara bermain, dan cara berperilaku. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Bhuiyan (2007), dan Santrock (2007), dimana guru memberi perlakuan yang berbeda bagi anak laki-laki dan perempuan. Dimana anak laki-laki cenderung diperhatikan daripada anak perempuan, anak laki-laki lebih dituntut untuk berkompetisi dan anak perempuan lebih memiliki sikap mengasuh.

Dari penelitian ini juga tampak bahwa teman sebaya mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan pemahaman identitas gender dan peran gender. Anak laki-laki seringkali berkupul dan bnermain dengan anak laki-laki, demikian pula anak perempuan. Seakan-akan mereka saling mengajarkan hal-hal baru kepada sesama teman. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Santrock (1995) dan Berk (2007) bahwa teman sebaya juga memainkan peranan yang penting. Anak laki-laki berkumpul dengan anak laki-laki dan anak perempuan bermain dengan anak perempuan, bahkan bila anak bermain di luar dengan anak berjenis kelamin lain maka anak tersebut akan diejek atau dikucilkan dari kelompoknya. Teman sebaya juga saling mengajarkan perilaku kepada teman bermain mereka, dan anak berusaha menirukan perilaku yang baru tersebut dalam perilakunya.

Pembentukan pemahaman juga tak lepas dari peranan media, yang mana banyak peran ditujukan dengan jelas bagi anak laki-laki dan perempuan, dari pekerjaan, tokoh jagoan, dan iklan yang sangat mempengaruhi perilaku mereka. Jaringan-jaringan televisi menjadi lebih peka terhadap penggambaran kaum laki-laki dan perempuan di televisi (Durkin dalam Santrock, 2007). Anak prasekolah mungkin akan menemukan gambaran tentang orang-orang yang berkencimpung di pekerjaan tradisional seperti laki-laki sebagai tentara, pemimpin perusahaan, pekerja kasar, atau perempuan sebagai sekretaris, ibu rumah tangga, perawat, pramugari bahkan mungkin pekerjaan non-tradisional seperti laki-laki sebagai juru masak, pekerja salon, atau perempuan sebagai polisi, pemain bola. Gambaran-gmabaran tersebut mungkin saja semakain menyulitkan anak dan memungkinkan anak berpikir ambigu mengenai perean-peran sosial laki-laki dan perempuan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor lingkungan mempengaruhi pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender. Pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender juga dipengaruhi oleh faktor biologis. Kromosom sex, hormon dan struktur otak mempunyai pengaruh yang signifikan. Kromosom sex memicu munculnya hormon laki-laki dan perempuan serta mempengaruhi perkembangan (Santrock, 2002). Jenis kelamin seseorang juga mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam perilaku gender. Karena struktur jenis kelamin, laki-laki lebih suka mengganggu dan agresif, perempuan lebih suka bersikap inklusif dan pasif (Erikson dalam Santrock, 1995). Hormon dalam aliran darah sebelum atau setelah masa kelahiran mempengaruhi perkembangan otak.

Testosteron bersama dengan tingkat serotonin neuorotransmiter yang rendah mempunyai hubungan dengan agresifitas, daya kompetifitas, dan kekuasaan, mungkin berdampak pada struktur otak seperti hypothalamus dan amygdale

(Bernhardt, 1997; Starzyk & Quinsey, 2001; Ramirez, 2003, dalam Papalia, et al, 2007).

Karena subjek dalam penelitian ini tidak mengalami kelainan pada faktor biologis, maka dapat dikatakan bahwa kedelapan subjek tidak mengalami hambatan dan memiliki perkembangan yang normal dalam mencapai pemahaman mengenai identitas gender dan peran gender.

Dokumen terkait