• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender - USD Repository"

Copied!
163
0
0

Teks penuh

(1)

DAN

PERAN GENDER

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Oleh :

PATRISIUS SUSILO HADI PURNOMO

NIM : 019114082

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2009

▸ Baca selengkapnya: jenis anugerah pelajar prasekolah

(2)
(3)
(4)

Imple superna gratia

quae tu creasti pectora.

Accende lumen sensibus,

infunde amorem cordibus,

Infirma nostri corporis

virtute firmans perpeti.

Deo Patri sit gloria,

et Filio, qui a mortuis

Surrexit, ac Paraclito,

In saeculorum saecula.

Amen.

(Hrabanus Maurus, abad ke-9)

....Kebijaksanaan....

Aku berdoa dan akupun diberi pengertian, aku bermohon lalu roh

kebijaksanaan datang kepadaku. Dialah yang lebih kuutamakan daripada

tongkat kerajaan dan takhta, dan dibandingkan dengannya kekayaan

kuanggap bukan apa-apa. Permata yang tak terhingga nilainya tidak

kusamakan dengan dia, sebab segala emas di bumi hanya pasir saja di

hadapannya, dan perak dianggap lumpur belaka di sampingnya. Ia kukasihi

lebih dari kesehatan dan keelokan rupa, dan aku lebih suka memiliki dia

daripada cahaya sebab kilau daripadanya tidak kunjung hentinya. Namun

demikian besertanya datang pula kepadaku segala harta milik, dan kekayaan

tak terhingga ada ditangannya.

(Kitab Kebijaksanaan 7: 7-11)

(5)

gt~ ~tÇ Äxu|{ uxÜtÜà| wtÜ| ^xut{tz|ttÇA

AAA ^xut{tz|ttÇ twtÄt{ {|wâÑ AAA

`xá~| AAA

[|wâÑ ÑxÇâ{ ÑxÜ}âtÇztÇA

UxÜ}âtÇz ÅxÄtãtÇ wxÜ|àt?

uxÜ}âtÇz ÅxÄtãtÇ {âÜt@{âÜtA

gt~ {tÇçt àxÜutàtá àxÜÄxÑtáÇçt ÇçtãtA

;ctàÜ|á|âá? ECCL<

Kupersembahkan karya yang sederhana ini untuk:

Orangtuaku tercinta

, yang selalu mendoakanku dan

senantiasa memberikan dukungan tiada henti kepadaku.

(6)

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

(7)

By:

Patrisius Susilo Hadi Purnomo Psychology Faculty Sanata Dharma University

2009

This research was aimed to know the preschooler’s comprehension about gender identity and gender role. This research tried to figure out the preschooler’s comprehension about gender identity and gender role.

This was a descriptive research, which using interview method for collecting data. The interview data were getting from the preschoolers as prime data, and also parents and teacher as secondary data. Then the data in this research analyzed with triangulation technique.

The research found that 1) the preschoolers had the gender identity comprehension as a boy or a girl. Which means the preschooler could identify them self and others people, have known the characteristics of man and woman, and also had appropriate feeling as a boy or a girl. 2) Preschoolers children also had the gender role comprehension. Those are means that the preschoolers had the comprehension about feeling, interest, ability, and behavior as boy and girl, and also known how boy’s and girl’s feeling, interest, ability, and behavior, suppose to be. 3) The environment factor contributed to the figuration of preschooler’s comprehension about gender identity and gender role. The children comprehension of gender identity and gender role were getting by understanding the social roles, through observation, imitation, reinforcement-punishment, and also gender scheme.

Key word: preschoolers, gender identity, and gender role.

(8)

Oleh:

Patrisisus Susilo Hadi Purnomo Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma

2009

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender. Penelitian ini berusaha untuk menggambarkan pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, dengan menggunakan metode wawancara sebagai metode pengambilan data. Data wawancara didapatkan dari anak prasekolah sebagai data subjek utama, serta orangtua dan guru sebagai data subjek pendukung. Data dalam penelitian ini kemudian dianalisa menggunakan teknik trianggulasi.

Hasil temuan menunjukkan 1) Anak prasekolah telah memiliki pemahaman mengenai identitas gender sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah dapat mengidentifikasi jenis kelamin diri sendiri dan orang lain, telah memiliki pemahaman ciri-ciri laki-laki dan perempuan serta mempunyai perasaan yang sesuai sebagai laki-laki dan perempuan. 2) Anak prasekolah juga mempunyai pemahaman tentang peran gender. Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah telah memiliki pemahaman tentang perasaan, minat, kemampuan dan perilaku sebagai anak laki-laki dan perempuan serta pemahaman tentang bagaimana seharusnya perasaan, minat, kemampuan dan perilaku anak laki-laki dan perempuan. 3) Faktor lingkungan berperan dalam pembentukan pemahaman anak prasekolah tentang identitas gender dan peran gender. Pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender didapatkan dengan memahami peran-peran sosial, melalui observasi, melalui imitasi, melalui sistem hadiah-hukuman serta melalui skema gender.

Kata kunci: anak prasekolah, identitas gender, dan peran gender.

(9)

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Patrisius Susilo Hadi Purnomo

Nomor Mahasiswa : 019114082

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan Peran Gender

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me-ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 19 Oktober 2009

(10)

limpahan rahmat dan karunianya sehingga skripsi yang berjudul, “Pemahaman Anak Prasekolah mengenai Identitas Gender dan Peran Gender” dapat diselesaikan dengan baik.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M.Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Terima kasih atas semua perijinan dan persetujuan yang diberikan dalam penelitian dan karya ini. 2. Ibu Agnes Indar, S.Psi., M.Si., Psi. selaku dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih untuk waktu, bimbingan, pemikiran dan pembelajaran yang telah Ibu berikan kepada saya sehingga karya ini dapat terbentuk.

3. Ibu Dra. L. Pratidarmanastiti, MS. dan Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., selaku dosen penguji pada saat ujian pendadaran skripsi. Terima kasih atas saran dan masukan yang telah ibu dan bapak berikan, semua itu amat bermanfaat bagi perbaikan dan kemajuan karya ini.

4. Ibu Sylvia Carolina M.Y.M, S.Psi, M.Si. selaku dosen pembimbing akademik dan dosen kepala program studi. Trimakasih atas semangat dan kesempatan yang ibu berikan, sehingga karya ini dapat terwujud.

5. Keluargaku tercinta: Ibu, Bapak, Mas Yuli&Mbak Arinda serta Sigit, Mbak Evy&Mas Supriyadi serta Aar dan Rafa, Mbak Sr. Kristi PK yang

(11)

6. Puella mea, terima kasih atas cinta, kesabaran, masukan dan semua dukungan darimu. Aku mencintaimu.

7. Teman-temanku yang budiman: Doni, Heru, Heri, Yudhi, Tiwik, Dhedy, Kris, Aris, Cyrill, Astrid, Deka, Hari, serta teman - teman semuanya yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih untuk semua bantuan material, dukungan, doa, saran, serta sharingnya sehingga karya ini dapat terwujud.

8. Adik-adik siswa TK Kanisius Sengkan yang lucu dan lugu, terimakasih telah bersedia menjadi subjek dalam penelitian ini.

9. Kepada para orangtua subjek penelitian ini, terimakasih untuk kesediaan dan kepercayaan yang diberikan sehingga penelitian ini bisa berjalan. 10.Bu Titik, Yu Kristin, Bu Kris, Bu Yam, Bu Wiwik, Mas Wawan, Pak

Rinto, Bu Retno, Pak Wawan, sebagai jajaran pendidik TK Kanisius Sengkan, terimakasih telah mengijinkan, menerima dan atas kerjasama selama berbulan-bulan sehingga karya ini bisa terwujud.

11.Seluruh karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma yang telah ikut membantu memperlancar proses ini. Kepada Pak Gie, Mas Gandung, Mas Doni, Mas Muji, Bu Nanik. Terima kasih banyak.

12.Semua pihak - pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang juga telah memberikan dorongan serta bantuan baik material maupun spiritual selama penyusunan skripsi ini. Terima kasih banyak.

(12)

HALAMAN JUDUL ……… HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. HALAMAN PENGESAHAN DOSEN PENGUJI ……….. HALAMAN MOTTO ………..………..………..… HALAMAN PERSEMBAHAN ……….. HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ………. ABSRACT ……… ABSTRAK ……….. HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH … KATA PENGANTAR ……….... DAFTAR ISI ……….. DAFTAR TABEL……….. DAFTAR SKEMA ……… DAFTAR LAMPIRAN………..

i ii iii iv v vi vii viii

ix x xii xv xv xvi

BAB I PENDAHULUAN……….

A. Latar Belakang……….. B. Rumusan Masalah………. C. Tujuan Penelitian……….. D. Manfaat Penelitian………

1 1 10 10 10

BAB II LANDASAN TEORI ...……… 11

(13)

a. Definisi Identitas Gender ……… b. Definisi Peran Gender ……… 2. Teori-teori tentang Proses Pemahaman Gender ……… a. Teori Peran Sosial……… b. Teori Sosial Kognitif……… c. Teori Perkembangan Kognitif……… 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender .. a. Faktor Biologis……… b. Faktor Lingkungan ………..

1). Orang Tua……….. 2). Teman Sebaya………... 3). Sekolah dan Guru……….. 4). Media ……… 4. Karakteristik Peran Gender ……… a. Karakteristik Peran Gender Laki-laki ……… b. Karakteristik Peran Gender Perempuan ……… B. Anak Parasekolah ………... 1. Batasan Anak Prasekolah ……… 2. Karakteristik Umum Anak Prasekolah ……… 3. Tugas Perkembangan Anak Prasekolah ………. C. Perkembangan Identitas Gender dan Peran Gender Anak

(14)

Peran Gender ……… 36 BAB III METODE PENELITIAN………

A. Tujuan Penelitian …………... B. Jenis Penelitian …... C. Variabel Penelitian ………..

D. Subjek Penelitian ………

E. Metode Pengumpulan Data ………

F. Valliditas dan Realibilitas………

G. Analisis Data……….

H. Prosedur Penelitian ……… 

41 41 41 42 44 45 53 54 58

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN………. A. Pelaksanaan Penelitian……….. B. Deskripsi Subjek ……… C. Hasil Penelitian ………

I. Subjek I ………

II. Subjek II ……… III. Subjek III ……… IV. Subjek IV ………

V. Subjek V ………

61 61 67 67 68 70 73 76 78

(15)

BAB V.

VIII. Subjek VIII ……… D. Pembahasan ……… PENUTUP ……… A. Kesimpulan ………

B. Saran ………

86 96 109 109 110

DAFTAR TABEL

TABEL 1. Pedoman Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah mengenai

Identitas Gender ……… 45

TABEL 2. Pedoman Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah mengenai

Peran Gender ……….……… 46 TABEL 3. Pedoman Wawancara dengan Orangtua ………. 48 TABEL 4. Pedoman Wawancara dengan Guru ………. 51 TABEL 5. Kode dalam Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah

mengenai Identitas Gender ………

55

TABEL 6. Kode dalam Wawancara Pemahaman Anak Prasekolah

mengenai Peran Gender ………..

57

TABEL 7. Ringkasan Waktu dan Tempat Pelaksanaan Penelitian ………… 62 TABEL 8. Komposisi Subjek Penelitian ……….………. 67 TABEL 9. Rangkuman Pemahaman Identitas Gender dan Peran Gender … 89

(16)

xvi

DAFTAR SKEMA

Skema 1 Skema 2

Skema Gender ……… Skema Penelitian ………

16 38

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran-lampiran A. Trianggulasi ……… Trianggulasi Data Subjek I ……… Trianggulasi Data Subjek II ……… Trianggulasi Data Subjek III ……… Trianggulasi Data Subjek IV ……… Trianggulasi Data Subjek V ……… Trianggulasi Data Subjek VI ……… Trianggulasi Data Subjek VII ……… Trianggulasi Data Subjek VIII ……… B. Rangkuman Observasi ……… C. Surat Ijin ……… D. Lembar Persetujuan ………

(17)

A. Latar Belakang

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 5 sampai 6 tahun (Santrock, 2002) yang memasuki taman kanak-kanak dan sudah siap memulai karir sekolah mereka (Watson & Lindgren, 1973). Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah menurut Havighurst dalam Hurlock (1998) adalah mengetahui perbedaan seks dan tata caranya. Ahli lain, Wenar & Kerig (2000) juga mengungkapkan bahwa anak-anak harus belajar mengklasifikasikan dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut berarti bahwa anak usia prasekolah harus mulai memahami jenis kelamin, baik jenis kelamin dirinya sendiri dan jenis kelamin orang lain seperti teman, orangtua, dan guru.

Santrock (1995) menjelaskan jenis kelamin mengacu pada dimensi biologis sebagai laki-laki atau perempuan, dan gender mengacu pada dimensi sosial sebagai laki-laki dan perempuan. Dua aspek gender mengandung sebutan khusus identitas gender dan peran gender. Identitas gender atau gender identity

ialah rasa sebagai laki-laki atau perempuan, yang diperoleh oleh sebagian besar anak-anak pada waktu berusia 3 tahun. Menurut Santrock (1995) peran gender atau gender role adalah seperangkat harapan yang menggambarkan laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak dan merasa. Wenar & Kerig (2000) mengungkapkan bahwa masyarakat turut menentukan yang mana perilaku dan perasaan yang sesuai untuk laki-laki dan perempuan, dan anak-anak harus belajar perilaku peran gender yang sesuai.

(18)

Menurut Kinsey Institute dalam Yustina (2006), sejak lahir hingga usia tiga tahunan seorang anak menemukan identitas jenis kelaminnya atau gender identity. Di usia tiga tahun anak mulai mengenal apa yang disebut dengan peran jenis kelamin atau gender role, yaitu kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan laki-laki dan perempuan. Dasar dari pengetahuan peran jenis ini adalah pengenalan identitas kelamin.

Pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor biologis dan faktor lingkungan. Faktor pertama adalah faktor biologis antara lain kromosom seks dan hormon. Faktor kedua adalah faktor lingkungan, antara lain orangtua, teman sebaya, sekolah dan guru, serta media.

(19)

Hal senada juga diungkapkan Allan & Barbara (1999), bahwa masa enam hingga delapan minggu setelah pembuahan, sebuah janin jantan (XY) menerima sejumlah besar hormon jantan yang disebut androgen, yang pertama-tama membentuk testis kemudian dosis berikutnya untuk mengubah otak dari susunan otak betina menjadi susunan otak jantan. Jika janin jantan tidak mendapatkan hormon jantan yang mencukupi pada waktu yang tepat, satu dari dua hal mungkin akan terjadi. Pertama-tama, seorang bayi laki-laki mungkin terlahir dengan susunan otak yang cenderung feminin daripada maskulin. Kedua, seorang anak laki-laki yang secara genetis pria namun dengan otak sepenuhnya wanita dan alat kelamin pria. Orang ini akan menjadi transgender. Ini adalah seorang yang secara biologis pria tetapi perasaannya sebagai wanita. Bahkan kadang-kadang terlahir sebagai pria genetik dengan sepasang alat kelamin pria dan wanita.

Pemahaman tentang identitas gender dan peran gender anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sosial anak, melalui belajar sosial. Huston (1983) (dalam Santrock, 1995) berpendapat, anak laki-laki dan perempuan mempelajari peran-peran gender melalui peniruan atau belajar mengobservasi dengan cara menonton apa yang dikatakan dan dilakukan oleh orang lain. Kebudayaan, sekolah, teman-teman sebaya, media dan anggota keluarga adalah sumber belajar yang lain. Terlebih pada tahun awal perkembangan, orangtua mempunyai pengaruh yang penting bagi perkembangan gender.

(20)

secara berbeda. Di rumah sakit seringkali perbedaan perlakuan sudah mulai tampak, misalnya bayi perempuan dibungkus dengan selimut warna merah jambu dan anak laki-laki dengan selimut warna biru. Orangtua cenderung memilih baju dengan warna yang dianggap sesuai dengan jenis kelamin anak. Rasanya tidak nyaman kalau anak laki-laki memakai baju merah jambu, tetapi sebaliknya tidak terlalu menjadi masalah kalau anak perempuan memakai baju biru.

Orangtua mempunyai harapan agar anak mereka memahami jenis kelamin serta berperilaku sesuai dengan norma masyarakat yang berlaku. Hal tersebut dijelaskan dalam Berk (2007) bahwa sejak lahir, orangtua mempunyai perlakuan yang berbeda pada anak laki-laki dan perempuan. Banyak orangtua menyatakan bahwa mereka menginginkan agar anak-anak mereka bermain dengan mainan yang sesuai dengan gendernya. Orangtua memberi anak laki-laki mereka mainan yang menekankan aksi dan kompetisi, seperti tembak-tembakan, mobil-mobilan, alat-alat servis, dan bola kaki serta memberi anak perempuan mereka mainan yang menampilkan pengasuhan, pasar-pasaran dan keterampilan fisik, seperti boneka, alat masak-masakan, dan perhiasan mainan.

(21)

laki-laki dalam penelitian tersebut memakai baju warna biru; sisanya mengenakan baju dengan berbagai warna lainnya. Sekalipun warna baju tidak memperlihatkan jenis kelamin anak-anak tersebut, barang-barang lain yang digunakan akan menunjukkan mereka laki-laki atau perempuan (Naland, 2007).

Perlakuan yang berbeda bukan saja berhubungan dengan penampilan, tetapi juga berbagai perlakuan yang lain. Orangtua lebih bisa menerima anak perempuan yang bermanja-manja daripada bila hal tersebut dilakukan oleh anak laki-laki. Anak perempuan diperlakukan lebih lembut dan lebih mendapat perhatian dalam segi penampilan. Anak laki-laki dianggap tidak pantas bila menangis tetapi orangtua tidak berkeberatan bila itu terjadi pada anak perempuan (Naland, 2007).

Dalam Santrock (1995), banyak orangtua mendorong anak laki-laki dan anak perempuan untuk terlibat dalam jenis-jenis permainan dan kegiatan-kegiatan yang berbeda. Anak-anak perempuan lebih cenderung diberi boneka untuk dimainkan selama masa awal anak-anak. Mulyadi (2003) mengungkapkan bagaimanapun akan lain perilaku laki-laki dan perempuan terhadap mainannya, walaupun itu mungkin terlihat permainan untuk perempuan atau untuk laki-laki, mungkin si laki-laki yang bermain masak-masakan akan terlihat kasar dan tangkas ketika dia memasak, atau ketika bermain boneka dia akan sradak-sruduk

(22)

Guru juga mempunyai peran dalam pembentukan pemahaman anak tentang identitas gender dan peran gender. Dalam observasi awal di TK Pertiwi Tunas Abadi, Cepu, Jawa Tengah, dicatat bahwa guru mencoba memberikan gambaran tentang identitas gender dan peran gender kepada siswa di kelasnya. Di tengah waktu belajar menulis huruf kelas Nol-kecil, salah seorang guru meminta siswa mengulangi tulisan di papan tulis. Karena sebagian besar anak angkat tangan, guru menunjuk siswa yang tidak angkat tangan, Dino. Pada saat itu Dino tidak mau maju karena takut, di lain sisi guru berusaha agar Dino berani maju ke depan kelas, “Masak anak laki-laki takut. Ayo Dino”. Karena Dino tetap tidak mau maju, guru berkata “Dino anak laki-laki atau perempuan?”. Dino tetap takut dan diam dan guru terus berusaha agar Dino mau maju, “Dino, anak laki-laki nggak boleh takut. Masa kalah sama anak perempuan. Anak perempuan aja banyak yang mau maju. Masak Dino mau kalah sama anak perempuan. Ayo Dino berani ya? Kita belajar bareng-bareng”. Guru menggandeng Dino untuk maju ke depan kelas.

(23)

mereka. Anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman yang berbeda jenis kelamin cenderung dikritik oleh teman-teman sebayanya atau ditinggal bermain sendirian. Anak-anak memperlihatkan suatu keinginan yang jelas untuk sama dengan dan menyukai teman-teman sebaya yang sama jenis kelamin.

Pemahaman anak mengenai identitas dan peran gender juga didapatkan dari media, hal tersebut juga dijelaskan dalam Santrock (2007) bahwa pada iklan media, kaum perempuan lebih sering diperlihatkan dalam iklan-iklan produk kecantikan, produk kebersihan, dan perkakas rumah tangga, sementara kaum laki-laki dalam iklan-iklan mobil, minuman, dan perjalanan. Dibanding dengan masa lalu, program-program televisi telah menggambarkan kaum perempuan lebih berkompeten, tetapi pengiklan belum memberikan status yang sama kepada mereka dibanding dengan kaum laki-laki). Pramono (2004) berpendapat bahwa seorang anak akan melihat dunia dan masyarakat sekitarnya, yang memberikan pengertian perbedaan gender laki-laki dan perempuan. Misalnya dalam tayangan-tayangan khusus televisi yang memperlihatkan peranan perempuan dan laki-laki.

(24)

Setiap anak mungkin pernah mengalami kesulitan dalam memahami identitas gender dan peran gender sebagai laki-laki atau perempuan. Kesulitan yang dialami anak dalam memahami identitas gender dan peran gender bisa disebabkan karena tingkat dominasi sisi maskulin atau sisi feminin seseorang. Hal tersebut dijelaskan oleh Hartington (dalam Rezki, 2006). Seseorang yang dominan maskulin akan menunjukkan sifat suka mencari gara-gara untuk berkelahi, perusak, kasar dan keras terhadap orang lain. Ia terus menerus tidak dapat mengendalikan perilaku kasar dan tidak sensitif.

Di lingkungan sosial kita sekarang ini, banyak kita lihat laki-laki yang mempunyai peran sosial sebagai perempuan –seperti laki-laki yang bekerja sebagai penata rias ataupun tukang masak– dan perempuan yang mempunyai peran sosial sebagai laki-laki –seperti pekerja pertambangan ataupun pekerja bangunan. Sepertinya sekarang ini para orangtua mempersiapkan anak mereka agar kelak dapat bekerja sesuai kemampuan anak, terlepas dari kehadirannya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal tersebut memungkinkan anak prasekolah lebih mengalami kesulitan dalam memahami identitas gender dan peran gender sebagai laki-laki atau perempuan.

(25)

aturan untuk hal tersebut dan anak laki-laki akan melakukannya bila menginginkannya’. Subjek 9 tahun menyatakan salah bila George bermain boneka. Pada subjek 9 tahun, anak-anak mempunyai perbedaan antara apa yang boleh dilakukan anak laki-laki dan perempuan, dan apa itu ‘salah’. Seorang anak laki-laki mengungkapkan, sebagai contoh, membanting jendela adalah salah dan buruk, tetapi bermain boneka tidaklah buruk. Anak tersebut juga mengatakan: ‘Jangan sekali-kali kamu membanting jendela. Dan jika bermain boneka, boleh, anak laki-laki kadang juga memainkannya’. Dari penelitian tersebut dapat dikatakan bahwa anak berusia 4-9 tahun masih dalam tahap belajar mengenai identitas gender dan peran gender.

(26)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, pertanyaan dalam penelitian ini adalah bagaimana pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender di Indonesia?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi psikologi perkembangan khususnya mengenai pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

b. Penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti lain untuk memberikan masukan khususnya mereka yang akan meneliti lebih lanjut mengenai perkembangan anak terutama tentang perkembangan gender.

2. Manfaat Praktis

(27)

A. Identitas Gender dan Peran Gender

1. Pengertian Identitas Gender dan Peran Gender

a. Definisi Identitas Gender

Identitas gender ialah rasa sebagai laki-laki atau perempuan, yang diperoleh oleh sebagian besar anak-anak pada waktu berusia 3 tahun (Santrock, 1995). Vasta (1995) menjelaskan identitas gender sebagai kemampuan mengkategorisasikan diri sendiri sebagai laki-laki atau perempuan. Papalia, Olds & Feldman (2007) mendefinisikan identitas gender sebagai kesadaran seseorang sebagai laki-laki atau perempuan dan perwujudannya dalam lingkungan sosial. Identitas gender merupakan aspek penting dalam perkembangan konsep diri. Berk (2007) mendefinisikan identitas gender sebagai pandangan diri seseorang terhadap ciri-ciri sebagai feminin dan maskulin.

Menurut Money (2007), identitas gender adalah anggapan seseorang tentang dirinya dengan kepribadian laki-laki, perempuan atau berlainan dengan dirinya yang diwujudkan dalam proses mental dan perilaku sadar. Menurut Salbiah (2003) identitas gender merupakan perasaan seseorang menjadi laki-laki atau perempuan, dan mendeskripsikan perasaan seseorang akan sifat kelaki-lakiannya atau kewanitananya.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa identitas gender adalah kesadaran, perasaan pandangan diri serta kemampuan anak

(28)

prasekolah dalam mengkategorisasi dan memahami diri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan.

b. Definisi Peran Gender

Peran gender adalah seperangkat harapan yang menggambarkan bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya berpikir, bertindak dan merasa (Santrock, 1995). Papalia, et al (2007) berpendapat bahwa peran gender adalah perilaku, minat, sikap, kemampuan dan ciri kepribadian yang sesuai dan diterima oleh masyarakat bagi laki-laki dan perempuan. Demikian pula Vasta (1995) berpendapat bahwa peran gender adalah aturan-aturan atau hukum-hukum tentang perilaku yang sesuai bagi laki-laki dan perempuan serta diterima oleh masyarakat.

Menurut Money (2007), peran gender adalah perwujudan umum tentang identitas gender seseorang, tentang bagaimana orang harus berkata dan berperilaku atau kecocokan dan ketidak cocokan yang menunjukkan pribadi sebagai laki-laki dan perempuan. Salbiah (2003) berpendapat, peran gender merupakan ekspresi publik tentang identitas gender. Menurut Kinsey Institute peran gender adalah kesadaran tentang apa yang lazim dilakukan laki-laki dan perempuan (Yustina, 2006).

(29)

2. Teori-teori tentang Proses Pemahaman Gender

a. Teori Peran Sosial

Dalam Santrock (2007) dijelaskan teori peran sosial, yang menyatakan bahwa perbedaan gender merupakan akibat dari pembedaan peran pria dan wanita. Di sebagian besar kebudayaan di dunia, kaum wanita kurang memiliki kekuatan dan status sedangkan kaum pria memilikinya dan mereka mengatur beberapa sumber. Dibanding laki-laki, perempuan lebih sering melakukan pekerjaan domestik, menghabiskan waktu yang sedikit untuk upah pekerjaan, menerima gaji yang lebih rendah, dan jarang dijumpai berkedudukan tinggi dalam organisasi. Dalam pandangan Eagly (dalam Santrock, 2007), sebagaimana para wanita menyesuaikan diri terhadap peran dengan sedikit kekuatan dan sedikit status di masyarakat, mereka tampak lebih kooperatif, profil dominan yang kurang dibanding laki-laki. Dengan demikian, hierarki sosial dan pembagian tenaga kerja merupakan hal yang penting pada perbedaan gender dalam kekuasaan, asertivitas, dan pengasuhan.

b. Teori Sosial Kognitif

(30)

Orangtua seringkali menggunakan hadiah dan hukuman untuk mengajarkan anak perempuan mereka agar bersikap dan berperilaku feminin dan maskulin.

Pernyataan di atas diperkuat dengan pendapat Bussey & Bandura (1999) (dalam Santrock, 2007), berdasarkan teori sosial kognitif gender, perkembangan gender anak terjadi lewat observasi dan imitasi, serta lewat hadiah dan hukuman anak mengalami perilaku gender yang tepat dan gender yang tidak tepat. Orangtua terkadang memakai hadiah dan hukuman untuk mengajarkan anak perempuannya menjadi feminin –”Karen, kamu adalah anak yang baik ketika kamu mau main boneka dengan lemah lembut”– dan mengajarkan anak laki-lakinya menjadi maskulin –”Keith, anak laki-laki sebesar kamu tidak boleh menangis”. Fagot, Rodgers, & Leinbach (2000) juga menjelaskan bahwa anak-anak selalu belajar tentang gender dari observasi orang dewasa dalam lingkungan tetangga dan dari televisi.

c. Teori Perkembangan Kognitif

(31)

konsisten tentang dirinya sebagai laki-laki dan perempuan, anak-anak menyukai aktivitas-aktivitas, benda-benda, dan sikap-sikap konsisten dengan label ini.

Lawrence Kohlberg di tahun 1966, menggaris bawahi pentingnya pemahaman tentang arti menjadi seorang laki-laki dan perempuan dalam perkembangan peran gender. Kohlberg menjelaskannya dalam tiga tahap, pertama anak mempelajari identitas mereka –misal, “aku adalah anak laki-laki”– , selanjutnya stabilitas gender –“aku selamanya menjadi seorang anak laki-laki dan tumbuh menjadi seorang laki-laki”–, dan terakhir ketetapan gender – “meskipun aku memakai gaun, aku tetaplah seorang anak laki-laki”. Hal tersebut terjadi ketika anak berusia enam tahun (Noppe, 2002).

Teori skema gender menyatakan bahwa tipe gender muncul ketika anak-anak secara berangsur-angsur mengembangkan skema gender tentang apa yang disebut gender yang tepat dan gender yang tidak tepat dalam budaya mereka. Skema adalah stuktur kognitif, jaringan dari kesatuan yang mengarahkan persepsi individu. Skema gender mengatur dunia dalam lingkup laki-laki dan perempuan. Anak-anak termotivasi dari dalam untuk merasakan dunia dan untuk bertindak sesuai dengan perkembangan skemanya (Santrock, 2007).

(32)

mengorganisasikan pengalaman-pengalamannya dalam skema gender, atau kategori maskulin dan feminin, yang mereka gunakan untuk menginterpretasikan dunianya. Dan pada akhirnya anak dapat memberi label jenis kelamin mereka sendiri, mereka memilih skema gender berdasar hal tersebut –‘hanya anak laki-laki yang menjadi dokter’ dan ‘memasak adalah pekerjaan anak perempuan’– dan menggunakan kategori yang sesuai dengan dirinya. Persepsi diri mereka kemudian menjadi tipe gender dan menyajikan semacam skema tambahan dimana anak-anak memakai proses informasi dan mengatur perilakunya sendiri.

Skema 1

Skema Gender

(33)

tinggi. Jika pertanyaan ‘bolehkah anak laki-laki bermain boneka?’ dijawab ‘ya’ dan tertarik dengan boneka, dia mendekatinya, mengeksplorasinya, dan mempelajarinya lebih jauh. Jika jawabannya ‘tidak’, dia akan merespon dengan menghindari mainan yang tidak sesuai dengan gendernya. Tetapi jika Billy adalah anak dengan gender yang tak terskema, secara sederhana dia akan bertanya pada dirinya ‘Apakah aku suka mainan ini?’ dan merespon berdasarkan ketertarikan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Gender

a. Faktor Biologis

(34)

Erik Erikson dalam Santrock (1995) berpendapat bahwa jenis kelamin seseorang mempunyai pengaruh yang sangat penting dalam perilaku gender. Erikson berpendapat bahwa, karena struktur jenis kelamin, laki-laki lebih suka mengganggu dan agresif, perempuan lebih suka bersikap inklusif dan pasif. Pandangan tersebut dikuatkan oleh pendapat Bernhardt (1997); Starzyk & Quinsey (2001); Ramirez (2003) (dalam Papalia, et al, 2007), mereka menjelaskan bahwa hormon dalam aliran darah sebelum atau setelah masa kelahiran mempengaruhi perkembangan otak. Testosteron bersama dengan tingkat serotonin neuorotransmiter yang rendah mempunyai hubungan dengan agresifitas, daya kompetifitas, dan kekuasaan, mungkin berdampak pada struktur otak seperti hypothalamus dan amygdale.

Di usia 5 tahun, ketika otak berkembang kira-kira seukuran orang dewasa, otak anak laki-laki 10 persen lebih besar dibanding otak anak perempuan, hal tersebut disebabkan karena anak laki-laki memiliki lebih banyak otak kecerdasan di cerebral cortex, sebaliknya anak perempuan mempunyai kepadatan neuron yang lebih baik. Fakta menunjukkan bahwa terdapat perbedaan ukuran pada corpus collosum berhubungan dengan kemampuan verbal. Karena anak perempuan memiliki corpus collosum yang lebih besar – koordinasi antara dua belahan otak lebih baik– maka anak perempuan cenderung mempunyai kemampuan verbal yang sangat baik (Papalia, et al, 2007)

(35)

pula oleh hormon ibu saat mengandung. Penelitian ini menyebutkan kadar hormon testosteron ibu yang tinggi saat mengandung akan mempengaruhi perilaku bayi perempuan yang dikandungnya kelak ketika telah lahir. Setelah mempertimbangkan faktor lain seperti pengaruh pola asuh ibu, keberadaan kakak atau adik, orangtua laki-laki, dan bagaimana orangtua menerapkan peran gender secara tradisional, peneliti menemukan hubungan antara kadar hormon testosteron selama sang ibu mengandung dengan perilaku anak perempuan setelah lahir. Semakin tinggi kadar hormon testosteron si ibu, semakin besar pula kemungkinan bayi mempunyai perilaku kelaki-lakian dalam perkembangannya.

(36)

b. Faktor Lingkungan

1. Orangtua

Sebuah penelitian dari Peterson & Peterson (1973) dalam Santrock (1995) mengungkapkan bahwa, pada umumnya orangtua cenderung berharap mempunyai anak laki-laki. Sebuah penyelidikan di tahun 1970-an, dari 90 persen laki-laki dan 92 persen wanita berharap bayi pertama mereka adalah laki-laki. Penelitian selanjutnya, oleh Hamilton (1991), orangtua masih berharap anak laki-laki sebagai anak pertama mereka –75 persen laki-laki dan 79 persen wanita berharap demikian. Orangtua melalui tindakan dan contoh mempengaruhi perkembangan gender anak-anak mereka. Ibu dan ayah secara psikologis mempunyai peranan yang penting bagi perkembangan gender anak-anak. Ibu-ibu diberi tanggung jawab mengasuh dan merawat anak-anak; ayah lebih cenderung terlibat dalam interaksi yang bersifat permainan dan bertanggung jawab menjamin anak laki-laki dan anak perempuan menyesuaikan diri dengan norma-norma kebudayaan yang ada.

(37)

mainan. Orangtua cenderung menggambarkan bahwa kemampuan berprestasi, bersaing dan mengontrol emosi merupakan hal yang penting bagi anak laki-laki; sedangkan keramahan, berperilaku layaknya anak perempuan, dan sopan santun merupakan hal yang penting bagi anak perempuan. Secara umum anak laki-laki diharapkan lebih berperilaku berdasarkan gender. Orangtua lebih toleran kepada anak perempuan dibandingkan anak laki-laki bila anak-anak mereka melakukan perilaku gender yang berlawanan–lebih perhatian pada perilaku anak laki-laki seperti banci dibandingkan perilaku anak perempuan yang tomboy.

2. Teman Sebaya

Pergaulan dengan teman sebaya yang berjenis kelamin sama membuat suasana pertemanan semakin kuat tentang pemahaman peran gender. Sebuah penelitian yang diikuti anak-anak prasekolah dan kelompok bermain pada usia sekolah, anak-anak yang diberi banyak waktu bermain dengan teman berjenis kelamin sama di prosotan menunjukkan peningkatan yang sangat mencolok dalam pengenalan gender di musim semi–dalam hal pemilihan mainan, level aktifitas, agresi, dan tingkat bermain seperti orang dewasa (Martin & Faber, 2001 dalam Berk, 2007).

(38)

mengajar satu sama lain apa perilaku yang dapat diterima oleh gendernya dan apa perilaku yang tidak dapat ditolerir (Pramono, 2004). Buhrmester (1993) dan Maccoby (1989, 1993) juga menjelaskan bahwa anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman sebaya yang sama jenis kelaminnya cenderung dihargai oleh teman-teman mereka. Anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan dengan teman-teman yang berbeda jenis kelamin cenderung dikritik oleh teman-teman sebayanya atau ditinggal bermain sendirian. Anak-anak memperlihatkan suatu keinginan yang jelas untuk menjadi sama dan menyukai teman-teman sebaya yang berjenis kelamin sama (Santrock, 1995).

(39)

3. Sekolah dan Guru

Menurut Bhuiyan (2007), pendidikan di sekolah merupakan salah satu proses sosialisasi yang penting dimana anak mendapatkan pengalaman di luar rumah. Hal tersebut menguatkan pemahaman anak tentang dirinya dalam relasi dengan orang lain. Sekolah dan guru memainkan peranan yang sangat penting dalam usia pembentukan anak. Anak-anak mulai memahami identitas dirinya melebihi pemahamannya di rumah, peran yang ada dalam anggapan masyarakat. Pemahaman anak-anak tentang peran gender tertentu didapatkan dengan jelas ketika mulainya pendidikan di sekolah dan mendapat penguatan setiap hari melalui perilaku oleh guru, staff, anggota sekolah. Mereka mulai menjadi pemeran sistem patriarkal dan membawanya lebih banyak setelah mereka meninggalkan sekolah.

Berikut ini merupakan bias sekolah dan guru pada anak laki-laki dan perempuan. Menurut DeZolt & Hull (2001) (dalam Santrock, 2007), beberapa hal tersebut antara lain:

a. Kepatuhan, taat peraturan, kerapian dan ketertiban merupakan hal yang dinilai dan dihargai di kelas. Dan hal tersebut seringkali dijumpai pada perilaku anak perempuan dibanding anak laki-laki. b. Kebanyakan pengajar adalah wanita, terutama di sekolah dasar.

Hal tersebut menyusahkan anak laki-laki dalam proses identifikasi pada guru dan model perilaku guru mereka.

c. Anak laki-laki lebih menyukai learning problem.

(40)

e. Kepala sekolah cenderung berpendapat bahwa banyak anak laki-laki mempunyai masalah akademis, terutama pada penguasaan bahasa.

f. Kepala sekolah cenderung menganggap perilaku anak laki-laki lebih bermasalah.

Ahli lain, Myra dan David Sadker (2000) (dalam Santrock, 2007) mempunyai pandangan:

a. Berdasarkan tipe kelas, anak perempuan lebih patuh, sedangkan anak laki-laki lebih suka merebut. Anak laki-laki membutuhkan lebih banyak perhatian, anak perempuan lebih suka diam menunggu giliran. Para guru lebih sering memarahi dan menegur anak laki-laki, seakan-akan anak laki-laki perlu didisplinkan. Para pendidik khawatir bila anak perempuan pada akhirnya cenderung menjadi pengalah dan pendiam: berkurangnya tingkat keasertifan. b. Di ruang kelas, guru lebih sering memperhatikan dan berinteraksi

dengan anak laki-laki dibandingkan anak perempuan yang bekerja dan bermain sendirian dengan tenang. Banyak guru bukan dengan tidak sengaja memberi perlakuan pada anak laki-laki dengan memberi banyak waktu pada mereka.

(41)

pertanyaan, banyak bantuan agar dapat menjawab dengan benar, dan memberi kesempatan lagi bila jawabannya salah.

d. Ketika anak sekolah dasar diminta menuliskan cita-cita mereka, anak laki-laki lebih banyak menuliskan pilihan pekerjaan dibandingkan anak perempuan.

4. Media

Sternglanz & Serbin (1974) (dalam Santrock, 2007) mengungkapkan suatu keprihatinan tentang penggambaran kaum perempuan di televisi. Pada tahun 1970-an, nampak bahwa televisi memotret kaum perempuan kurang berkompeten daripada laki-laki. Misalnya, sekitar 70 persen tokoh-tokoh dalam dalam tayangan utama (prime-time) adalah laki-laki. Laki-laki dewasa cenderung lebih banyak ditampilkan dalam lingkup kerja, perempuan dewasa cenderung ditampilkan sebagai ibu rumah tangga dan dalam peran-peran yang romantis. Laki-laki dewasa cenderung lebih banyak ditampilkan di dalam pekerjaan-pekerjaan berstatus lebih tinggi dan dalam pekerjaan-pekerjaan yang ragamnya banyak, dan laki-laki dewasa ditampilkan lebih agresif dan konstruktif.

(42)

para peneliti terus menemukan bahwa televisi menggambarkan kaum laki-laki lebih berkompeten daripada kaum perempuan (Santrock, 2007)

Penstereotipan peran gender juga nampak dalam media cetak. Pada iklan media, kaum perempuan lebih sering diperlihatkan dalam iklan-iklan produk kecantikan, produk kebersihan, dan perkakas rumah tangga, sementara kaum laki-laki dalam iklan-iklan mobil, minuman, dan perjalanan. Dibanding dengan masa lalu, program-program televisi telah menggambarkan kaum perempuan lebih berkompeten, tetapi pengiklan belum memberikan status yang sama kepada mereka dibanding dengan kaum laki-laki (Santrock, 2007).

4. Karakteristik Peran Gender

Terdapat dua karakteristik peran gender, yakni: a. Karakteristik Peran Gender Laki-laki

(43)

untuk mencapai keseimbangan laki-laki cenderung untuk berkompetisi, tidak mau mengalah (keras hati), dan menggunakan sterategi yang agresif.

Dari berbagai karakteristik di atas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik peran gender laki-laki antara lain aktif, kompetitif, percaya diri bersifat pemimpin, mandiri, asertif, agresif, kurang hangat dan kurang bisa mengekspresikan kehangatan, serta kurang responsif terhadap hal-hal yang berhubungan dengan emosi.

b. Karakteristik Peran Gender Perempuan

Vasta (1995) menjelaskan bahwa karakteristik perempuan antara lain berjiwa asuh, tergantung dan sensitif. Dalam Berk (2007), karakteristik perempuan antara lain penakut, sensitif secara emosional, serta mempunyai kemampuan dalam memahami ketidaknyamanan emosi. Dalam Handayani & Novianto (2004), Broverman (1972) mengatakan bahwa wanita lebih bersikap manis, rapi, kalem/tenang, emosional, ekspresif, sensitif, taktis, dan memiliki sifat kesalingtergantungan. Bakan (1966) menghubungkan wanita dengan sifat bersahabat, ramah dan suka bersosialisasi. Chodorow (1978) mengaitkan kekerabatan (relationship) dengan perkembangan wanita. Manajemen konflik antarpribadi menyarakan bahwa untuk mencapai keseimbangan wanita cenderung berintegrasi melalui kompromi dengan menggunakan strategi yang bijaksana (akal budi).

(44)

hangat dalam menjalin hubungan interpersonal, senang dengan kehidupan kelompok, tergantung, penakut, kompromistik, sensitif secara emosional dan terhadap keberadaan orang.

B. Anak Prasekolah

1. Batasan Anak Prasekolah

Dalam Puslata (2008) dijelaskan bahwa karakteristik anak TK (Taman Kanak-kanak/Prasekolah) adalah tanda-tanda atau ciri umum yang dimiliki oleh anak pada usia sekitar 4-6 tahun. Batasan usia tersebut melihat kondisi umum dimana usia rata-rata anak TK berada pada rentang 4-6 tahun. Murtadlo (2007) menjelaskan di Indonesia, yang dimaksud dengan anak usia dini adalah anak usia 0-6 tahun. Jadi, sedikit berbeda dari konsep usia dini yang berlaku di mancanegara, yaitu usia 0-8 tahun sesuai konvensi anak dunia.

(45)

menjelaskan bahwa usia prasekolah dimaksudkan sebagai usia dimana anak belum memasuki suatu lembaga pendidikan formal seperti Sekolah Dasar.

Harianti (2003) menjelaskan bahwa UNESCO dengan persetujuan negara-negara anggotanya membuat International Standard Classification of Education (ISCED) dengan 7 klasifikasi penjenjangan mulai dari prasekolah sampai dengan pendidikan tinggi. Jenjang Prasekolah (Level 0) disebut juga sebagai pendidikan usia dini. Pendidikan prasekolah adalah pendidikan bagi anak usia 3-5 tahun. Beberapa negara memulai lebih awal (2 tahun) dan beberapa negara lain mengakhiri lebih lambat (6 tahun). Dinyatakan pula bahwa untuk beberapa negara pendidikan usia dini termasuk baik pendidikan prasekolah maupun pendidikan dasar.

Harianti (2003) juga mengungkapkan bahwa NAEYC (National Association for the Education of Young Children) dalam NAEYC Position Statement menyebutkan bahwa Program Anak Usia Dini adalah program pada sekolah, pusat, atau lembaga lain yang memberikan layanan bagi anak sejak lahir hingga usia 8 tahun. Program tersebut termasuk penitipan anak, penitipan anak pada keluarga (family child care home), pendidikan prasekolah baik swasta maupun negeri, Taman Kanak-kanak, dan Sekolah Dasar. Dalam pelayanannya mereka mengelompokkan usia anak dalam 0-3 tahun (First Three Years of life), 3-5 tahun dan 6-8 tahun.

(46)

2. Karakteristik Umum Anak Prasekolah

Secara fisik anak di usia 2-6 tahun tubuhnya menjadi lebih panjang dan lebar, kemampuan motorik anak semakin baik, dan anak-anak lebih mampu mengontrol diri. Pemahaman dan kemampuan berbahasa meningkat pesat, moralitas semakin nyata, dan anak-anak semakin berhubungan dengan teman sebaya (Berk, 2006). Dalam Papalia, et al (2007) juga dijelaskan bahwa pertumbuhan fisik anak tampak di usia 3 sampai 6 tahun, tetapi lebih perlahan dibanding masa janin dan bayi. Anak laki-laki rata-rata lebih tinggi, berat, dan lebih berotot dibanding anak perempuan. Sistem organ dalam semakin mantap, dan gigi pertama tumbuh lengkap.

(47)

Teori Psikoseksual Freud menjelaskan bahwa anak usia 3-6 tahun berada pada tahap palik. Tahap palik adalah tahap perkembangan ketiga Freud. Tahap palik terjadi antara usia 3-6 tahun; kata tersebut berasal dari bahasa Latin

‘phallus’, yang berarti penis. Selama tahap palik, baik anak laki-laki dan perempuan menemukan kesenangan berpusat pada alat kelamin (Santrock, 2007)

Teori perkembangan Kognitif Piaget mengemukakan bahwa anak usia 2-7 tahun berada pada tahap kedua perkembangan yakni tahap operasional. Pada tahap ini anak-anak mulai menggambarkan dunia dengan kata-kata, berangan-angan, dan gambar. Simbol-simbol secara sederhana menghubungkan informasi sensori dan tindakan fisik. Bagaimanapun, meskipun anak-anak prasekolah dapat secara simbolik menjelaskan dunia, menurut Piaget, mereka masih kurang memiliki kemampuan untuk mengoperasikan bentuk. Konsep internalisasi mental Piaget adalah anak melakukan secara mental apa yang mereka lakukan secara fisik (Santrock, 2007).

(48)

pemahaman tentang orang lain dapat memunculkan kepercayaan yang salah, kemampuan berbohong, dan kemampuan membedakan khayalan dan kenyataan. Faktor keturunan dan lingkungan mempengaruhi perbedaan individu dalam teori perkembangan otak (Papalia, et al, 2007).

3. Tugas Perkembangan Anak Prasekolah

Tugas-tugas perkembangan menurut Havighurst dalam Hurlock (1998) pada awal masa kanak-kanak adalah :

a. Mempelajari Perbedaan Seks dan Tata Caranya

Anak-anak sudah mempunyai pengertian sederhana mengenai kenyataan sosial dan fisik tetapi masih sangat kurang untuk menghadapi cakrawala sosial serta lingkungan fisik yang semakin meluas. Hanya sedikit anak yang mengetahui perbedaan seks lebih dari sekedar unsur dasarnya, dan lebih sedikit lagi yang mengetahui tentang arti sopan-santun seksual. Masih diragukan apakah setiap anak yang memasuki awal masa kanak-kanak benar-benar mengerti mengenai penampilan seks yang benar-benar, dan mereka hanya sedikit mengerti tentang perilaku seks yang benar.

b. Mempersiapkan Diri untuk Membaca

(49)

mengerti apa yang dikatakan orang lain masih dalam taraf yang rendah. Masih banyak yang harus mereka kuasai sebelum mereka masuk sekolah.

c. Belajar Membedakan Benar dan Salah

Demikian pula halnya dengan pengertian benar dan salah. Pengetahuan tentang benar dan salah masih terbatas pada situasi rumah dan harus diperluas dengan pengertian benar dan salah dalam hubungannya dengan orang-orang di luar rumah terutama di lingkungan tetangga, sekolah dan teman bermain. e. Mulai Mengembangkan Hati Nurani

Anak-anak harus meletakkan dasar-dasar untuk hati nurani sebagai bimbingan untuk perilaku yang benar dan salah. Hati nurani berfungsi sebagai sumber motivasi bagi anak-anak untuk melakukan apa yang diketahuinya sebagai hal yang benar dan salah bilamana mereka sudah besar dan terlepas dari pengewasan orangtua atau pengganti orangtua.

C. Perkembangan Identitas gender dan peran gender Anak Prasekolah

(50)

Dalam Marriage and Family Encyclopedia (2007) dijelaskan bahwa secara kromosomal janin orang laki-laki dan perempuan tidak berbeda –mempunyai persamaan bentuk– sampai janin berusia 2 bulan. Selama perkembangan, berbagai pengaruh memunculkan perbedaan jenis kelamin. Perubahan dalam jenis kelamin dan perkembangan gender terjadi –atau tidak terjadi– pada waktu yang jelas atau periode tertentu, dan selanjutnya mungkin tidak berubah. Proses dimulai pada masa prenatal dengan perbedaan kromosom seks (XX dan XY), perkembangan gonad-gonad janin, dan pengaruh hormon pada janin termasuk pengaruh pada otak. Model utamanya adalah perempuan (X-X), dan beberapa ekstra menjadi laki-laki (X-Y).

Ketika lahir, hampir semua bayi secara sosial diberi label sebagai laki-laki atau perempuan, berdasarkan pada alat kelaminnya. Anak-anak mungkin diperlakukan secara berbeda, tergantung pada label jenis kelaminnya. Anak mulai mengembangkan body image dirinya sebagai laki-laki dan perempuan. Setelah anak mampu berbahasa, usia 18 bulan sampai 2 tahun, anak dapat menyebut dirinya sebagai laki-laki atau perempuan. Hal ini merupakan ekspresi awal tentang identitas gender (Marriage and Family Encyclopedia, 2007).

(51)

akan hal tersebut. Antara usia dua belas bulan sampai delapan belas bulan, anak-anak mulai memilih mainan yang cocok dengan gender mereka. Anak perempuan memilih untuk bermain dengan boneka dan benda berwarna merah muda. Anak laki-laki memilih truk mainan dan senjata (Hirsh-Pasek, Golinkoff, & Eyer, 2006). Di usia 4 tahun, identitas gender anak mulai stabil, dan mereka tahu bahwa mereka akan selalu menjadi laki-laki atau perempuan.

Anak-anak mulai bisa mengkategorikan gendernya sendiri dan gender orang lain saat berusia antara dua sampai tiga tahun. Mula-mula mereka bisa melakukannya terhadap dirinya sendiri dan kemudian barulah terhadap orang lain. Hal tersebut disebabkan karena sepanjang hari mereka mendengar diri mereka disebut laki-laki atau perempuan. Untuk menebak gender orang lain mereka harus menebak kriteria apa yang harus digunakan seperti panjang rambut dan pakaian (Hirsh-Pasek, et al, 2006).

Selama usia 3 tahun, anak-anak belajar perilaku peran gender – yakni, melakukan ‘sesuatu yang semestinya dilakukan anak laki-laki’ dan ‘sesuatu yang semestinya dilakukan anak perempuan’. Jadi ketika main rumah-rumahan, anak laki-laki secara alamiah mengadopsi peran ayah dan anak perempuan mengadopsi peran ibu, mencerminkan apapun perbedaan yang mereka ketahui di keluarga mereka dan di lingkungan sekitar mereka (American Academy of Pediatrics, 2007).

(52)

menolak hal yang mereka anggap berlawanan, misalnya mereka menolak pernyataan bahwa ibu bisa menjadi pekerja bangunan dan pada saat yang bersamaan juga bisa menjadi ibu. Tampaknya, mereka perlu mempelajari dahulu pandangan yang lebih kaku tentang gender sebelum bisa melebarkan kategorinya. Namun, jika mereka melihat baik ayah maupun ibu mengurus bayi dan membuat kue, akan lebih sulit bagi mereka untuk memegang kategori stereotip gender yang kaku. Begitu mereka bisa memahami peraturan yang sesungguhnya untuk menentukan anak laki-laki dan perempuan, tidak berpegang pada jenis kelamin yang kaku akan membuat mereka lebih nyaman, khususnya jika orangtua mereka menyediakan contoh sejak awal (Hirsh-Pasek, et al, 2006).

D. Pemahaman Anak Prasekolah mengenai identitas gender dan peran

gender

Merujuk pada definisi yang sudah di sepakati, dengan demikian identitas gender adalah kesadaran, perasaan pandangan diri serta kemampuan anak prasekolah dalam mengkategorisasi dan memahami diri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan. Peran gender merupakan pikiran, perasaan, sikap, perkataan dan perilaku anak prasekolah tentang bagaimana seharusnya menjadi laki-laki dan perempuan.

(53)

Anak-anak diperlakukan secara berbeda setelah masa kelahiran. Di rumah sakit anak laki-laki diberi selimut biru dan anak perempuan diberi selimut merah muda, dengan tujuan mudah mengenali, sebab wajah bayi laki-laki dan perempuan sulit dibedakan. Anak-anak secara pasif mendapatkan pemahaman mereka dengan mendengar pelabelan yang diberikan orang kepada mereka sebagai laki-laki atau perempuan, misal “ini anak laki-laki ya, wah gantengnya” (Naland, 2007).

Di tahun berikutnya, orangtua memperlakukan anak laki-laki dan anak perempuan dengan berbeda, dari pakaian, dekorasi kamar tidur, mainan, aturan berperilaku hingga pemberian tugas yang berbeda semakin menguatkan anak dalam memahami identitas gender dan peran gender mereka (Santrock, 1995; Naland, 2007).

Sekolah dan guru juga berperan dalam sosialisasi sebagai anak laki-laki dan perempuan bagi siswa-siswa mereka. Anak-anak semakin tahu perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan dengan melihat teman mereka di sekolah, dari cara berpakaian, gaya rambut, mainan yang dimainkan, cara bermain, dan cara berperilaku. Guru juga memberi perlakuan yang berbeda bagi anak laki-laki dan perempuan. Dimana anak laki-laki cenderung diperhatikan daripada anak perempuan, anak laki-laki lebih dituntut untuk berkompetisi dan anak perempuan lebih memiliki sikap mengasuh (Bhuiyan, 2007; Santrock, 2007).

(54)

maka anak tersebut akan diejek atau dikucilkan dari kelompoknya. Pembentukan pemahaman juga tak lepas dari peranan media, yang mana banyak peran ditujukan dengan jelas bagi anak laki-laki dan perempuan, dari pekerjaan, tokoh jagoan, dan iklan yang sangat mempengaruhi perilaku mereka (Santrock, 1995; Berk, 2007).

Anak prasekolah adalah anak yang berusia 5 sampai 6 tahun (Santrock, 2002) yang memasuki taman kanak-kanak dan sudah siap memulai karir sekolah mereka (Watson & Lindgren,1973). Di usia ini anak harus menguasai tugas perkembangannya. Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah adalah mengetahui perbedaan seks dan tata caranya (Hurlock, 1998). Hal tersebut berarti bahwa anak prasekolah harus mulai memahami jenis kelamin baik jenis kelamin dirinya sendiri dan jenis kelamin orang lain seperti teman, orangtua, dan guru. Selain harus mulai memahami jenis kelamin diri sendiri dan orang lain, anak juga diharapkan memahami identitas gender dan peran gendernya serta mulai belajar dan mampu berperilaku sesuai dengan gendernya.

(55)

film kesukaan mereka. Teman-teman mereka juga memberikan contoh bagaimana seharusnya berperilaku sebagai anak laki-laki ataupun perempuan, meskipun mereka tidak mengetahui kebenaran ajaran teman-teman mereka (Santrock, 1995; Santrock 2007).

(56)

Skema 2

Skema Penelitian

Faktor Biologis

Kromosom Sex, Struktur Otak, Hormon

Faktor Lingkungan Sosial

Orangtua, Sekolah dan Guru, Teman Sebaya, Media

Proses Pemahaman

Peran-peran Sosial Observasi Imitasi Hadiah&Hukuman Skema Gender

Identitas Gender

Peran Gender

(57)

A. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender di Indonesia.

B. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif. Penelitian deskriptif adalah suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang yang diamati (Bogdan dan Taylor, dalam Moleong, 1989). Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang fakta-fakta atau keadaan tertentu, yaitu mengetahui pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender. Penelitian ini lebih memfokuskan diri untuk mendapatkan gambaran bagaimana pemahaman anak prasekolah tentang identitas gender dan peran gender. Travers dan Sevilla (dalam Halida, 2004), mengatakan bahwa data yang diperoleh bertujuan untuk menggambarkan suatu keadaan yang sementara berlangsung pada saat penelitian dilakukan dan memeriksa sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.

(58)

C. Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini ada 2, yaitu :

1. Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender.

Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender adalah kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin, pemahaman ciri-ciri dan perasaan atas diri sendiri dan orang lain sebagai laki-laki dan perempuan.

Pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dalam penelitian ini berupa pernyataan atau respon anak dari hasil wawancara sebagai data utama dan data hasil obervasi sebagai data pendukung. Komponen-komponen pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender yang akan diteliti antara lain:

a. Identifikasi Jenis Kelamin

Kemampuan anak dalam mengidentifikasi jenis kelamin sendiri dan orang lain.

b. Pemahaman Ciri

Pemahaman anak mengenai ciri-ciri laki-laki dan perempuan. c. Perasaan

Perasaan anak sebagai anak laki-laki atau perempuan 2. Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender.

(59)

Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender dalam penelitian ini berupa pernyataan atau respon anak dari hasil wawancara sebagai data utama dan data hasil obervasi sebagai data pendukung. Komponen-komponen pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender yang akan diteliti antara lain:

a. Perasaan

Perasaan yang sering muncul dan dialami anak sebagai laki-laki atau perempuan serta pengetahuan anak mengenai perasaan anak laki-laki dan perempuan.

b. Minat

Minat anak sebagai anak laki-laki atau perempuan serta pengetahuan anak mengenai minat anak laki-laki dan perempuan.

c. Kemampuan

Kemampuan anak sebagai anak laki-laki atau perempuan serta pengetahuan anak mengenai kemampuan anak laki-laki dan perempuan. d. Perilaku

Perilaku dan tutur kata anak sebagai anak laki-laki atau perempuan serta pengetahuan anak mengenai perilaku anak laki-laki dan perempuan.

(60)

D. Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak prasekolah laki-laki dan perempuan yang berusia 5 sampai 6 tahun yang mengikuti program belajar Taman Kanak-kanak. Anak usia 5 sampai 6 tahun termasuk anak usia prasekolah dimana pada usia ini anak diharapkan telah menyelesikan tugas perkembangan. Salah satu tugas perkembangan anak prasekolah adalah mengetahui perbedaan seks dan tata caranya.

Subjek dalam penelitian ini adalah anak-anak berusia 5-6 tahun yang mengikuti program belajar Taman Kanak-kanak kelas B (Nol Besar) di TK Indria Bakti Kanisius Sengkan, Sleman, Yogyakarta. Subjek dalam penelitian ini dipilih berdasarkan teori atau konstruk operasional (Poerwandari, 2001). Dimana penelitian ini bertujuan mendapatkan gambaran tentang pemahaman anak prasekolah, jadi subjek dalam penelitian ini adalah anak prasekolah. Subjek yang dipilih adalah anak-anak yang mempunyai kemampuan komunikasi dan penerimaan orang baru, sehingga didapatkan 8 subjek yang terdiri dari 4 subjek laki-laki dan 4 subjek perempuan. Penentuan pemilihan subjek laki-laki dan perempuan dengan jumlah yang sama diharapkan dapat mewakili keseluruhan dari pemahaman anak prasekolah mengenai identitas gender dan peran gender.

(61)

E. Metode Pengambilan Data

Metode pengambilan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara. Wawancara adalah percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu termasuk mengetahui perilaku subjek secara verbal dan non verbal (Poerwandari, 2001). Informasi dan data mengenai diri subjek sendiri, juga diperoleh dari orang-orang terdekat subjek (significant others) yaitu orangtua dan guru. Wawancara dengan subjek utama dilakukan di rumah subjek. Wawancara dengan orangtua dilakukan di rumah dan dengan guru dilakukan di sekolah.

Peneliti menggunakan wawancara semi terstruktur, yaitu membuat pedoman umum berdasarkan aspek-aspek yang ingin diketahui. Pertanyaan yang diajukan tidak berdasarkan urutan yang pasti tetapi berkembang dan disesuaikan dengan situasi subjek saat subjek menjawab pertanyaan. Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar pengecek/checklist apakah aspek-aspek yang relevan tersebut telah dibahas atau ditanyakan (Poerwandari, 2001).

Tabel 1

Pedoman Wawancara

Pemahaman anak prasekolah mengenai Identitas Gender

No Komponen Pertanyaan

1. Kemampuan

mengidentifikasi jenis

(62)

kelamin sendiri dan orang lain.

Bisakah kamu tunjukkan siapa di keluargamu yang laki-laki dan perempuan? (Ayah, Ibu, Kakak, Adik, Kakek, Nenek – atau melalui gambar)

2. Pemahaman anak mengenai ciri-ciri laki-laki dan perempuan.

Menurutmu apakah ada perbedaan antara anak laki-laki dan perempuan?

Apa saja ciri-ciri yang membedakan antara laki-laki dan perempuan?

3. Perasaan sebagai anak laki-laki/perempuan.

Bagaimana perasaanmu menjadi laki-laki/perempuan? (Senang/tidak senang)

Tabel 2

Pedoman Wawancara

Pemahaman anak prasekolah mengenai peran gender

No Komponen Pertanyaan

1. Perasaan yang sering muncul dan dialami anak sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai perasaan anak laki-laki dan

Apa yang kamu lakukan bila kamu senang? Apa yang kamu lakukan bila kamu marah/ada orang yang membuatmu marah?

(63)

perempuan.

2. Minat anak sebagai anak laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai minat anak

laki-laki dan perempuan.

Mainan/permainan/hobi/kesenangan apa yang lebih kamu senangi?

Bisakah kamu menyebutkan, mainan/permainan apa saja yang biasa dilakukan/dimainkan oleh anak laki-laki dan perempuan?

(misal: menari/ bernyanyi/ bersepeda/ berenang/ main ayunan/ mobil-mobilan/ rumah-rumahan/ drumband/ mewarnai/ menggambar/ menulis/ membaca/ main boneka/ main robot/ prosotan/dll)

3. Kemampuan anak sebagai anak laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai kemampuan anak laki-laki dan perempuan.

Menurutmu kamu pandai/memiliki kemampuan dalam hal/kegiatan apa?

Menurutmu kamu mudah mempelajari apa?

Bisakah kamu menyebutkan, kepandaian/kemampuan apa saja yang semestinya dimiliki oleh anak laki-laki dan perempuan?

(misal: berbahasa/ berhitung/ ketrampilan/ tari/ menggambar)

4. Perilaku dan tutur kata anak sebagai anak

laki-Pakaian apa yang sering kamu pakai?

(64)

laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai perilaku anak

laki-laki dan perempuan.

(lembut/keras)

Menurutmu, bagaimana cara berjalanmu? (tegak-gagah/lembut-gemulai)

Selain wawancara dengan anak sebagai subjek utama, juga dilakukan wawancara dengan orangtua dan guru untuk mendapatkan trianggulasi data. Wawancara dengan orangtua berkisar tentang latar belakang subjek, peran orangtua dalam memberikan penjelasan tentang identitas gender dan peran gender serta pengamatan orangtua terhadap pemahaman subjek mengenai identitas dan peran gender yang tampak dalam keseharian subjek di lingkungan rumah. Wawancara dengan guru bertujuan untuk mendapatkan informasi tentang peran sekolah dan guru dalam memberikan pemahaman tentang identitas gender dan peran gender kepada para siswa serta hasil pengamatan guru terhadap pemahaman subjek mengenai identitas dan peran gender yang tampak dalam kegiatan belajar dan bermain serta interaksi subjek di lingkungan sekolah.

Tabel 3

Pedoman wawancara dengan orangtua

No Komponen Kerangka Pertanyaan

(65)

Tanggal lahir/Usia Nama orangtua (Ayah dan Ibu)

Pekerjaan orangtua (Ayah dan Ibu) Urutan kelahiran dan jarak usia

Kedekatan/kelekatan dengan orangtua (ayah/ibu) 2. Pemahaman anak

tentang identitas gender

Kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin sendiri dan orang lain.

Pemahaman anak mengenai ciri-ciri laki-laki dan perempuan.

Perasaan sebagai anak laki-laki/perempuan. 3. Pemahaman anak

tentang peran gender

Perasaan yang sering muncul dan dialami anak sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai perasaan anak laki-laki dan perempuan.

Minat anak sebagai anak laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai minat anak laki-laki dan perempuan.

Kemampuan anak sebagai anak laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai kemampuan anak laki-laki dan perempuan.

(66)

mengenai perilaku anak laki-laki dan perempuan. 4. Faktor yang

mempengaruhi

Faktor Biologis

Kesehatan/Riwayat sakit (berkisar kromosom seks, struktur otak, hormon, dan jenis kelamin)

Faktor lingkungan sosial

Keluarga (Orangtua dan anggota keluarga termasuk aturan-aturan/batasan-batasan di rumah)

Sekolah dan Guru (berkisar materi pelajaran dan pengetahuan umum yang mendukung pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender

Teman di rumah dan di sekolah (termasuk jumlah teman, jenis kelamin, usia teman, kegiatan yang dilakukan dan rerata lama berinteraksi)

Media (Buku cerita, buku pelajaran, koran dan televisi. Intensitas anak melihat televisi, acara televisi kesukaan)

5. Keterlibatan

orangtua terhadap pemahaman anak mengenai identitas

Cara pembelajaran terhadap identitas gender dan peran gender

Mainan yang diberikan

(67)

gender dan peran gender.

Aturan-aturan praktis dalam berinteraksi dan berperilaku

Perlakuan terhadap anak (cara berpakaian, penataan ruang tidur, dll)

Tabel 4

Pedoman wawancara dengan guru

No Komponen Kerangka Pertanyaan

1. Interaksi Guru

Teman di sekolah 2. Pemahaman anak

tentang identitas gender

Kemampuan mengidentifikasi jenis kelamin sendiri dan orang lain.

Pemahaman anak mengenai ciri-ciri laki-laki dan perempuan.

Perasaan sebagai anak laki-laki/perempuan. 3. Pemahaman anak

tentang peran gender

Perasaan yang sering muncul dan dialami anak sebagai laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai perasaan anak laki-laki dan perempuan.

Minat anak sebagai anak laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai minat anak laki-laki dan perempuan.

(68)

laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai kemampuan anak laki-laki dan perempuan.

Perilaku dan tutur kata anak sebagai anak laki-laki/perempuan serta pengetahuan anak mengenai perilaku anak laki-laki dan perempuan. 4. Keterlibatan guru

terhadap

pemahaman anak mengenai identitas gender dan peran gender.

Materi pembelajaran

Mainan yang disediakan dan yang disuka anak Permainan yang di lakukan anak di sekolah Aturan-aturan di sekolah dalam kegiatan belajar dan bermain

Perlakuan guru terhadap siswa

Data penelitian ini akan didukung dengan data observasi. Observasi adalah kata lain dari pengamatan yang berarti kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul, dan mempertimbangkan hubungan antar aspek dalam fenomena tersebut, dengan tujuan mendapat data tentang suatu masalah, sehingga diperoleh pemahaman atau sebagai alat re-checking atau pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya (Ardiardani & Tri, 2004).

(69)

terjun dalam kehidupan sehari-hari subjek. Hal-hal yang ingin diamati adalah pemahaman subjek tentang identitas gender dan peran gender. Observasi dilakukan oleh dua orang pengamat untuk mengurangi kelemahan observasi yang dilakukan oleh satu orang, yaitu ketidakobyektifan (Ardiardani & Tri, 2004).

Observasi dilakukan dengan tujuan mengamati tutur kata serta perilaku berupa reaksi dan aktivitas subjek menyangkut pemahaman subjek terhadap peran gender. Observasi dilakukan pada saat subjek mengikuti kegiatan bermain dan belajar di sekolah serta pada saat subjek bermain dan berinteraksi dengan orang lain di lingkungan rumah setiap subjek.

Sebagai tambahan untuk mendapatkan data observasi tentang minat dan perilaku mewarnai, peneliti mengajak subjek untuk mewarnai salah satu gambar yang dipilih subjek dari duapuluh gambar tidak berwana yang ditawarkan kepada subjek. Dua puluh gambar terdiri dari 10 gambar yang stereotip bagi anak laki-laki dan 10 gambar yang stereotip bagi anak perempuan. Gambar-gambar tersebut disusun secara acak berdasarkan gambar stereotip laki-laki dan perempuan.

F. Validitas dan Realibilitas

(70)

Huberman, 1992). Triangulasi juga diartikan sebagai teknik check and recheck

(Bagoes, 2004). Menurut Denzin (dalam Muhadjir, 1998) menyarankan empat modus triangulasi yaitu menggunakan sumber ganda, metode ganda, peneliti ganda, dan teori yang berbeda-beda. Teknik triangulasi yang akan digunakan oleh peneliti adalah dengan menggunakan sumber ganda, yaitu wawancara dengan subjek utama (SU), dan subjek pendukung (SP) yakni orangtua dan guru. Penelitian ini juga memanfaatkan pengamat lain dalam melakukan observasi.

G. Analisis Data

Penelitian ini akan memiliki dua data, yaitu data verbatim dari hasil wawancara sebagai data utama, dan data observasi sebagai data pendukung. Penelitian ini akan menggunakan metode analisis isi atau content analysis karena data yang diperoleh merupakan data deskriptif. Suryabrata (2002) menjelaskan bahwa data deskriptif dianalisis menurut isinya, sehingga analisis semacam ini disebut juga analisis isi.

Langkah-langkah analisis isi adalah sebagai berikut: 1. Organisasi Data

(71)

terhadap subjek yang berupa catatan lapangan. Data yang diorganisir juga termasuk data yang sudah dikoding dan telah dikategorikan. Data-data tersebut diorganisir sesuai dengan masing-masing subjek dan disesuaikan dengan urutan pengambilan data.

2. Pengkodean Data

Langkah selanjutnya setelah data penelitian diperoleh adalah melakukan pengkodean. Proses koding dan analisis untuk data verbatim ini diawali dengan menyusun data verbatim dan catatan lapangan dalam kolom, dimana di samping kanan data diberi kolom kosong yang akan digunakan untuk pengkodean. Berikutnya masing-masing baris akan diberi nomor untuk memudahkan proses pengkodean.

Setelah data verbatim siap dalam kolom, selanjutnya peneliti melakukan analisis tematik. Analisis ini digunakan untuk mencari pola dari data yang ada. Analisis tematik merupakan proses mengkode informasi atau data yang dapat menghasilkan daftar tema, model tema atau indikator kompleks, kualifikasi yang biasanya terlihat dengan itu, atau hal-hal diantara/gabungan dari yang telah disebutkan. Tema diharapkan dapat mendeskripsikan fenomena dari data hasil penelitian ini, maupun digunakan untuk menginterpretasi data hasil penelitian ini (Poerwandari, 2001).

Tabel 5

Kode dalam Wawancara

Pemahaman anak prasekolah mengenai Identitas Gender

No Komponen Kode Arti Kode

(72)

jenis kelami

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3 Pedoman wawancara dengan orangtua
Tabel 4
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan umum penelitian ini yaitu mengetahui Perbedaan Intake Makan Sebelum Dan Sesudah Dilakukan Terapi Bermain Peran (Role Play) Pada Anak Sulit Makan Usia Prasekolah

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: (I) perbedaan kematangan sekolab antara anak prasekolah yang menggunakan metode bennain sambil belajar dengan anak prasekolah

Hasilnya, mengungkapkan perilaku transeksual (gangguan identitas gender) terjadi karena hilangnya model kelelakian yang diturunkan oleh ayah kepada subjek (individu

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kuantitatif dengan pendekatan deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan persepsi ibu terhadap obesitas pada anak usia

Aspek perkembangan identitas gender diawali dengan determinan genetik jenis kelamin pada saat konsepsi, setiap orang mengalami perkembangan melalui serangkaian tahap

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa identitas peran gender adalah sekumpulan sifat-sifat, pola-pola tingkah laku atau sikap- sikap yang dituntut oleh

Hasilnya, mengungkapkan perilaku transeksual (gangguan identitas gender) terjadi karena hilangnya model kelelakian yang diturunkan oleh ayah kepada subjek (individu

PERKEMBANGAN EMOSI ANAK USIA PRASEKOLAH 5 TAHUN 1 Anak mampu menggunakan kata-kata untuk menggambarkan perasaan yang kompleks seperti rasa bersalah dan kecemburuan 2 Anak menjadi