• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Karet Alam

Perusahaan menghadapi berbagai macam sumber risiko yang dapat mempengaruhi hasil produksi karet alam yang dihasilkan. Produksi karet alam

dapat menghasilkan berbagai standar mutu sesuai Standard Indonesia Rubber

(SIR). Penelitian Setyoningsih (2005) menjelaskan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi produksi karet alam adalah lump, silicon emulsion, solar listrik,

tenaga kerja lepas, dan tenaga kerja tetap. Sitanggang (2011) menggunakan empat variabel yang diduga dapat mempengaruhi produksi karet, yaitu lahan, pupuk, ethrel dan curah hujan. Berbeda dengan penelitian Rachmawati (2003) yang menggunakan faktor lateks, asam semut, tenaga kerja, listrik, dan solar pada produksi pengolahan karet remah way berulu.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Ordinary Least Square

(OLS) dengan menggunakan metode regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruh dari faktor-faktor produksi yang dapat mempengaruhi produksi karet alam. Faktor-faktor produksi yang digunakan Rachmawati (2003) berpengaruh nyata terhadap produksi karet alam pada taraf nyata 1 persen. Setyoningsih (2005) menjelaskan bahwa faktor lump, listrik, dan tenaga kerja tetap berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen, sedangkan solar dan listrik berpengaruh nyata pada taraf nyata 20 persen. Untuk faktor tenaga kerja lepas tidak berpengaruh nyata pada taraf nyata 5 persen ataupun 20 persen. Pada penelitian Sitanggang (2011), faktor ethrel menjadi faktor yang berpengaruh nyata terhadap produksi karet alam pada

17 taraf nyata 5 persen dan faktor luas lahan, pupuk, curah hujan menunjukkan hasil yang tidak berpengaruh nyata.

Berbeda dengan penelitian Wiyanto (2009) yang membandingkan kualitas karet desa terprogram pengembangan karet dan desa tidak terprogram pengembangan karet. Hasil perbandingan kualitas menunjukkan bahwa kualitas karet yang diproduksi petani di desa terprogram lebih rendah dibandingkan kualitas karet petani di desa tidak terprogram. Salah satu penyebabnya adalah

penggunaan pembeku tambahan yaitu air ekstrak umbi gadung (Dioscorea hispida

Dennst) dan tercampurnya koagulump dengan kotoran seperti tatal, daun, dan karet kering yang berwarna hitam, sehingga petani karet dapat melakukan beberapa kegiatan atau upaya dalam meningkatan kualitas karet.

Salah satu faktor lain yang dapat mempengaruhi karet alam adalah adanya sumber risiko yang diakibatkan oleh penyakit. Penyakit yang sering terkena pada tanaman menghasilkan (TM) karet alam adalah penyakit gugur daun kedua, jamur

akar putih (fomes), kering alur sadap (Brown bast), dan kerusakan kulit batang

karet (Bark Necrosis). Sujatno dan Pawirosoemardjo (2001) menjelaskan bahwa

penyebab penyakit jamur akar putih pada tanaman karet adalah jamur Rigidoporus lignosus. Jamur ini termasuk kategori jamur yang bersifat parasit fakultatif yang berarti dapat hidup pada jaringan tanaman yang telah mati dan tidak dapat bertahan lama tanpa adanya sumber makanan. Oleh karena itu, penyakit ini dapat timbul dikarenakan adanya sisa-sisa tunggul dan akar tanaman dilapangan, sehingga dapat menular ke tanaman karet lain yang masih sehat. Gejala penyakit ini ditandai dengan adanya perubahan warna daun secara mendadak, terutama pada daun-daun muda.

Berbeda dengan jamur Fusarium sp. Jamur ini adalah penyebab penyakit

kerusakan kulit batang pada tanaman karet. Fusarium merupakan patogen tular

tanah (soil borne) yang mampu hidup dan bertahan lama dalam tanah

(Sumarmadji 2001). Penelitian Budiman dan Suryaningtyas (2001) menyatakan

bahwa tinggginya tingkat populasi jamur fusarium dapat diakibatkan oleh

penggunaan pupuk kandang yang berasal dari kotoran ayam. Gejala penyakit ini mulai timbul dengan adanya bercak-bercak coklat pada batang. Sedangkan

18 ditimbulkan oleh penyakit ini adalah daun akan berubah berwarna kuning, menggulung, layu, dan kemudian akan gugur. Penelitian Nurhayati, Fatma, dan Aminuddin (2010) menyatakan bahwa untuk klon yang tahan akan penyakit gugur daun kedua adalah PB 260, sedangkan untuk klon yang rentan adalah IRR 39, GT 1, BPM 24, dan PR 261.

Penyakit kering alur sadap tidak diakibatkan oleh jamur, tetapi disebabkan adanya gangguan fisiologis tanaman karet yang mengalami ketidakseimbangan antara lateks yang dieksploitasi dengan lateks yang terbentuk kembali (regenerasi/biosintesis). Tahap terakhir yang harus dilakukan adalah pohon harus diistirahatkan terlebih dahulu. Gejala yang timbul adalah tidak mengalirnya lateks apabila dideres atau disadap (Sumarmadji 2001).

Tehnik penyadapan atau penderes lateks terbagi atas dua cara, yaitu dengan cara menderes ke arah bawah dan menderes ke arah atas. Setelah melakukan pembukaan pertama deresan, penderes melanjutkannya dengan menderes lateks ke arah bawah. Pohon karet yang telah selesai dideres dengan ketentuan menderes ke arah bawah, maka akan dilanjutkan untuk menderes ke arah atas. Penelitian Lukman (1996) menyatakan bahwa menderes ke arah atas dapat mengurangi terjadinya penyakit kering alur sadap daripada menderes ke arah bawah, tetapi disimpulkan tidak mempengaruhi kilogram karet kering lateks. Faktor lain yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya produksi karet alam adalah populasi tanaman karet. Siagian (2000) menyatakan bahwa semakin tinggi populasi tanaman karet, maka akan semakin rendah produksi karet kering yang dihasilkan, tetapi pengaruhnya tidak nyata dalam statistik.

Kesimpulan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan bahwa terdapat banyak faktor-faktor yang mempengaruhi hasil produksi dan kualitas karet. Persamaan penelitian ini terdapat pada penelitian Rachmawati (2003), Setyoningsih (2005), dan Sitanggang (2011) yang menggunakan pendekatan Ordinary Least Square (OLS) dan metode regresi linier berganda. Selain itu, persamaan juga terdapat pada variabel yang diteliti penelitian ini adalah variabel- variabel penyakit yang dijelaskan pada penelitian Sujatno dan Pawirosoemardjo (2001), Sumarmadji (2001), Budiman dan Suryaningtyas (2001), Nurhayati, Fatma, dan Aminuddin (2010). Perbedaan penelitian ini terdapat pada variabel

19 faktor-faktor produksi yang diteliti, seperti jumlah pohon yang mati, curah hujan, tenaga kerja yang melakukan kesalahan, jumlah blok yang terkena gugur daun

kedua, biaya perawatan Brown Bast/Bark Necrosis dengan variabel input produksi

yang diteliti oleh penelitian sebelumnya, seperti solar, listrik, pupuk, lahan, asam

semut, lump, dan silicon emulsion, dan ethrel. Tujuan penelitian ini juga menjadi

perbedaan, yaitu untuk melihat faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi karet alam, sedangkan penelitian Wiyanto (2009) yaitu untuk membandingkan kualitas karet alam desa terprogram dengan desa tidak terprogram.