BAB II LANDASAN TEORI
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Noehi Nasution dan kawan-kawan (dalam buku Psikologi
Belajar, karya Syaiful Bahri Djamarah, 2011:175), memandang belajar
itu bukanlah suatu aktivitas yang berdiri sendiri. Noehi Nasution dan
kawan-kawan mengemukakan berbagai faktor yang mempengaruhi
proses dan hasil belajar tersebut secara lebih luas seperti terlihat pada
Gambar 2.1
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Proses dan Hasil Belajar
Selanjutnya uraian berikut akan menguraikan berbagai faktor
yang mempengaruhi proses dan hasil belajar yang digambarkan pada
bagan di atas. Unsur Luar Lingkungan Alami Sosial Budaya Insrumental Kurikulum Program Sarana & Fasilitas Guru Dalam Fisiologis Kondisi Fisiologis Kondisi Panca- indra Psikologis Minat Kecerdsasan Bakat Motivasi Kemampuan Kognitif
1. Faktor Lingkungan
Selama hidup anak didik tidak bisa menghindarkan diri dari
lingkungan alami dan lingkungan sosial budaya. Interaksi dari kedua
lingkungan yang berbeda ini selalu terjadi dalam mengisi kehidupan
anak didik. Keduanya mempunyai pengaruh cukup signifikan
terhadap belajar anak didik di sekolah. Oleh karena kedua
lingkungan ini akan dibahas satu demi satu dalam uraian berikut.
a. Lingkungan Alami
Lingkungan hidup adalah lingkungan tempat tinggal anak
didik, hidup dan berusaha di dalamnya. Pencemaran lingkungan
hidup merupakan malapetakan bagi anak didik yang hidup di
dalamnya. Udara yang tercemar merupakan polusi yang dapat
mengganggu pernapasan. Udara yang terlalu dingin
menyebabkan anak didik kedinginan. Suhu udara yang terlalu
panas menyebabkan anak didik kepanasan, pengap, dan tidak
betah tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, keadaan suhu dan
kelembaban udara berpengaruh terhadap belajar anak didik di
sekolah. Belajar pada keadaan udara yang segar akan lebih baik
hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan
pengap. Berdasarkan kenyataan yang demikian, orang cenderung
berpendapat bahwa belajar di pagi hari akan lebih baik hasilnya
daripada belajar pada sore hari. Kesejukan udara dan ketenangan
kondusif untuk terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang
menyenangkan.
b. Lingkungan Sosial Budaya
Sebagai anggota masyarakat, anak didik tidak bisa
melepaskan diri dari ikatan sosial. Sistem sosial yang terbentuk
mengikat perilaku anak didik untuk tunduk pada norma-norma
sosial, susila, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Demikian juga halnya di sekolah. Ketika anak didik berada di
sekolah, maka dia berada dalam sistem sosial di sekolah.
Peraturan dan tata tertib sekolah harus anak didik taati.
Pelanggaran yang dilakukan oleh anak didik akan dikenakan
sanksi sesuai dengan jenis dan berat ringannya pelanggaran.
Lahirnya peraturan sekolah bertujuan untuk mengatur dan
membentuk perilaku anak didik yang menunjang keberhasilan
belajar di sekolah.
2. Faktor Instrumental
Setiap sekolah mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan
tentu saja pada tingkat kelembagaan. Dalam rangka melicinkan ke
arah itu diperlukan seperangkat kelengkapan dalam berbagai bentuk
dan jenisnya. Semua dapat diberdayagunakan menurut fungsi
masing-masing kelengkapan sekolah. Kurikulum dapat dipakai oleh
guru dalam merencanakan program pengajaran. Program sekolah
Sarana dan fasilitas yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya
agar berdaya guna dan berhasil guna bagi kemajuan belajar anak
didik di sekolah.
a. Kurikulum
Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansial dalam pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan
belajar mengajar tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang
harus guru sampaikan dalam suatu pertemuan kelas, belum guru
programkan sebelumnya. Itulah sebabnya, untuk semua mata
pelajaran, setiap guru memiliki kurikulum untuk mata pelajaran
yang dipegang dan diajarkan kepada anak didik. Setiap guru
harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke dalam
program yang lebih rinci dan jelas sasarannya. Sehingga dapat
diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar
mengajar yang telah dilaksanakan.
b. Program
Setiap sekolah mempunyai program pendidikan. Program
pendidikan disusun untuk dijalankan demi kemajuan pendidikan.
Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya
program pendidikan yang dirancang. Program pendidikan
disusun berdasarkan potensi sekolah yang tersedia, baik tenaga,
c. Sarana dan Fasilitas
Sarana mempunyai arti penting dalam pendidikan.
Gedung sekolah misalnya sebagai tempat yang strategis bagi
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Salah satu
persyaratan untuk membuat suatu sekolah adalah pemilikan
gedung sekolah yang di dalamnya ada ruang kelas, ruang kepala
sekolah, ruang dewan guru, ruang perpustakaan, ruang BP, ruang
tata usaha, auditorium, dan halaman sekolah yang memadai.
Semua bertujuan untuk memberikan kumudahan pelayanan anak
didik.
d. Guru
Guru merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan.
Kehadiran guru mutlak diperlukan di dalamnya. Kalau hanya ada
anak didik, tetapi guru tidak ada, maka tidak akan terjadi
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Jangankan ketiadaan guru,
kekurangan guru saja sudah merupakan masalah.
Sebagai tenaga profesional yang sangat menentukan jatuh
bangunnya suatu bangsa dan Negara, guru seharusnya menyadari
bahwa tugas mereka sangat berat, bukan hanya sekadar
menerima gaji setiap bulan atau mengumpulkan kelengkapan
administrasi demi memenuhi angka kredit kenaikan pangkat atau
golongan dengan mengabaikan tugas utama mengajar. Dengan
kompetensi melalui self study. Kompetensi yang harus ditingkatkan menyangkut tiga kemampuan, yaitu kompetensi
personal, profesional, dan sosial. Ketiganya mempunyai peranan
masing-masing yang menyatu dalam diri pribadi guru dalam
dimensi kehidupan di rumah tangga, di sekolah, dan di
masyarakat.
3. Kondisi Fisiologis
Kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh
terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan
segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam
keadaan kelelahan. Noehi Nasution dkk (dalam Syaiful Bahri
Djamarah, 2011:189), berpendapat bahwa anak-anak yang
kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anak-anak
yang tidak kekurangan gizi, mereka lekas lelah, mudah mengantuk,
dan sukar menerima pelajaran.
Menurut Noehi (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:189),
hal yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indra (mata,
hidung, pengecap, telinga, dan tubuh), terutama mata sebagai alat
untuk melihat dan telinga sebagai alat untuk mendengar. Sebagian
besar yang dipelajari manusia (anak) yang belajar berlangsung
dengan membaca, melihat contoh, atau model, melakukan observasi,
mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru,
diskusi dan sebagainya. Karena pentingnya peranan penglihatan dan
pendengaran inilah maka lingkungan pendidikan formal orang
melakukan penelitian untuk menemukan bentuk dan cara
penggunaan alat peraga yang dapat dilihat dan didengar.
4. Kondisi Psikologis
Belajar pada hakikatnya adalah proses psikologis. Oleh
karena itu, semua keadaan dan fungsi psikologis tentu saja
mempengaruhi belajar seseorang. Itu berarti belajar bukanlah berdiri
sendiri, terlepas dari faktor lain seperti faktor dari luar dan faktor dari
dalam. Faktor psikologis sebagai faktor dari dalam tentu saja
merupakan hal yang utama dalam menentukan intensitas belajar
seorang anak. Meski faktor luar mendukung, tetapi faktor psikologis
tidak mendukung, maka faktor luar itu akan kurang signifikan. Oleh
karena itu, minat, kecerdasan, bakat, motivasi, dan kemampuan-
kemampuan kognitif adalah faktor-faktor psikologis yang utama
mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik. Demi jelasnya,
kelima faktor ini akan diuraikan satu demi satu berikut ini.
a. Minat
Minat, menurut Slamento (dalam Syaiful Bahri Djamarah,
2011:191), adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada
suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada
sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat
hubungan tersebut, semakin besar minat.
Suatu minat dapat diekspresikan melalui suatu pernyataan
yang menunjukkan bahwa anak didik lebih menyukai suatu hal
daripada hal lainnya, dapat pula dimanifestasikan melalui
partisipasi dalam suatu aktivitas. Menurut Slamento (dalam
Syaiful Bahri Djamarah, 2011:191), anak didik memiliki minat
terhadap subjek tertentu cenderung untuk memberikan perhatian
yang lebih besar terhadap subjek tersebut. Minat yang besar
terhadap sesuatu merupakan modal yang besar artinya untuk
mencapai/memperoleh benda atau tujuan yang diminati itu.
Timbulnya minat belajar disebabkan berbagai hal, antara lain
karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau
memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang dan
bahagia. Menurut Dalyono (dalam Syaiful Bahri Djamarah,
2011:191), minat belajar yang besar cenderung menghasilkan
prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar kurang akan
menghasilkan prestasi yang rendah.
Slamento (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:191),
berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk
membangkitkan minat pada suatu subjek yang baru adalah
dengan menggunakan minat-minat anak didik yang telah ada.
raga balap mobil. Sebelum mengajarkan percepatan gerak, guru
dapat menarik perhatian anak didik dengan menceritakan sedikit
mengenai balap mobil yang baru saja berlangsung, kemudian
sedikit demi sedikit diarahkan ke materi pelajaran yang
sesungguhnya.
b. Kecerdasan
Seorang ahli seperti Raden Cahaya Prabu (dalam Syaiful
Bahri Djamarah 2011:194), berkeyakinan bahwa perkembangan
taraf inteligensi sangat pesat pada masa umur balita dan mulai
menetap pada akhir masa remaja. Taraf inteligensi tidak
mengalami penurunan, yang menurun hanya penerapannya saja,
terutama setelah berumur 65 tahun ke atas bagi mereka yang alat
indranya mengalami kerusakan.
Karena inteligensi diakui ikut menentukan keberhasilan
belajar seseorang, maka orang tersebut seperti M. Dalyono
(dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:194), misalnya secara
tegas mengatakan bahwa seseorang yang memiliki inteligensi
baik (IQ-nya tinggi) umumnya mudah belajar dan hasilnya pun
cenderung baik. Sebaliknya, orang yang inteligensinya rendah,
cenderung mengalami kesukaran dalam belajar, lambat berpikir,
sehingga prestasi belajarnya pun rendah. Karenanya Walter B. Kolesnik (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:194), mengatakan bahwa: in most cases there is a fairly high cerrelation between
one’s IQ, and his scholastic success. Usually, the higher the grades he receives. Oleh karena itu, kecerdasan mempunyai peranan yang besar dalam ikut menentukan berhasil dan tidaknya
seseorang mempelajari sesuatu atau mengikuti suatu program
pendidikan dan pengajaran. Menurut Noehi Nasution (dalam
Syaiful Bahri Djamarah, 2011:194), orang yang lebih cerdas pada
umumnya akan lebih mampu belajar daripada orang yang kurang
cerdas.
c. Bakat
Di samping inteligensi (kecerdasan), bakat merupakan
faktor yang besar pengaruhnya terhadap proses dan hasil belajar
seseorang. Hampir tidak ada orang yang membantah, bahwa
belajar pada bidang yang sesuai dengan bakat memperbesar
kemungkinan berhasilnya usaha itu.
Banyak sebenarnya bakat bawaan (terpendam) yang dapat
ditumbuhkan asalkan diberikan kesempatan dengan sebaik-
baiknya. Di sini tentu saja diperlukan pemahaman terhadap bakat
apa yang dimiliki oleh seseorang. Menurut Sunarto dan Hartono
(dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:197), bakat memungkinkan
seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan
tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman dan dorongan
d. Motivasi
Menurut Noehi Nasution (dalam buku Psikologi Belajar
karya Syaiful Bahri Djamarah, 2011:200), motivasi adalah
kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan
sesuatu. Jadi motivasi untuk belajar adalah kondisi psikologis
yang mendorong seseorang untuk belajar. Penemuan-penemuan
penelitian menunjukkan bahwa hasil belajar pada umumnya
meningkat jika motivasi untuk belajar bertambah. Hal ini
dipandang masuk akal, karena seperti dikemukakan oleh Ngalim
Purwanto (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:200), bahwa
banyak bakat anak tidak berkembang karena tidak diperolehnya
motivasi yang tepat. Jika seseorang mendapat motivasi yang
tepat, maka lepaslah tenaga yang luar biasa, sehingga tercapai
hasil-hasil yang semula tidak terduga. Bahkan menurut Slamento
(dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:200), seringkali anak didik
yang tergolong cerdas tampak bodoh karena tidak memiliki
motivasi untuk mencapai prestasi sebaik mungkin. Berbagai
faktor bisa saja membuatnya bersikap apatis. Misalnya, karena
keadaan lingkungan yang mengancam, perasaan takut diasingkan
oleh kelompok bila anak didik berhasil atau karena kebutuhan
untuk berprestasi pada diri anak didik sendiri kurang atau
diri anak didik cukup mempengaruhi kemampuan intelektual
anak didik agar dapat berfungsi secara optimal.
e. Kemampuan Kognitif
Dalam dunia pendidikan ada tiga tujuan pendidikan yang
sangat dikenal dan diakui oleh para ahli pendidikan, yaitu ranah
kognitif, afektif dan psikomotor. Ranah kognitif merupakan
kemampuan yang selalu dituntut kepada anak didik untuk
dikuasai. Karena penguasaan kemampuan pada tingkatan ini
menjadi dasar bagi penguasaan ilmu pengetahuan.
Ada tiga kemampuan yang harus dikuasai sebagai
jembatan untuk sampai pada penguasaan kemampuan kognitif,
yaitu persepsi, mengingat dan berpikir. Persepsi adalah proses
yang menyangkut masuknya pesan atau informasi ke dalam otak
manusia. Melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan
hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat
indranya, yaitu indra penglihatan, pendengar, peraba, perasa, dan
pencium.
Mengingat adalah suatu aktivitas kognitif, di mana orang
menyadari bahwa pengetahuannya berasal dari masa lampau atau
berdasarkan kesan-kesan yang diperoleh di masa yang lampau.
Terdapat dua bentuk mengingat yang paling menarik perhatian,
yaitu mengenal kembali (rekognisi) dan mengingat kembali
dengan suatu objek dan pada saat itu dia menyadari bahwa objek
itu pernah dijumpai di masa yang lampau. Dalam mengenal
kembali, aktivitas mengingat ternyata terikat pada kontak
kembali dengan objek, seandainya tidak ada kontak, juga tidak
terjadi mengingat. Dalam mengingat kembali (reproduksi),
dihadirkan suatu kesan dari masa lampau dalam bentuk suatu
tanggapan atau gagasan, tetapi hal yang diingat itu tidak hadir
pada saat mengingat kembali seperti terjadi pada mengenal
kembali. Pada waktu mengingat kembali, orang memproduksikan
apa yang pernah dijumpai, tanpa kontak dengan hal yang pernah
dijumpai itu. Kegiatan mengingat kembali (reproduksi) ini
merupakan kegiatan yang terbanyak dilakukan anak didik di
sekolah. Materi pelajaran yang bersifat hafalan sangat
memerlukan kegiatan mengingat kembali ini.
Di kalangan ahli Ilmu Jiwa Asosiasi menurut Abror
(dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:204), menganggap bahwa
berpikir adalah kelangsungan tanggapan-tanggapan yang disertai
dengan sikap pasif dari subjek yang berpikir. Tetapi menurut
Garrett (dalam Syaiful Bahri Djamarah, 2011:204), berpikir adalah tingkah laku yang sering implicit dan tersembunyi dan
biasanya dengan menggunakan simbol-simbol (gambaran-
gambaran, gagasan-gagasan, dan konsep-konsep). Tingkah laku serupa itu tidak terbatas pada “jiwa”, tetapi bisa melibatkan
seluruh tubuh. Di sini ternyata harus diakui bahwa berpikir
murupakan kegiatan mental yang bersifat pribadi. Dan berpikir
itu sendiri mempunyai tingkatan. Frohn (dalam Syaiful Bahri
Djamarah, 2011:204), berpendapat ada tiga tingkat berpikir
manusia, yaitu berpikir kognitif, berpikir skematis, dan berpikir
abstrak.