• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

C. Coping pada Penderita Pasca Stroke

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping

Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, 1997) mengatakan bahwa cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi :

a. Kesehatan Mental dan Energi

Aldwin dan Revenson (1987) mengemukakan bahwa individu yang kurang sehat mental cenderung menggunakan bentuk coping

menghindar (avoidance coping). Bentuk coping ini cenderung kurang efektif dibandingkan dengan individu yang memiliki kesehatan mental yang baik.

Huffman (1997) mengatakan bahwa individu yang kuat memiliki cara mengatasi stress yang lebih baik dan mampu bertahan tanpa mengalami tahap keletihan dalam mengatasi stress.

b. Keyakinan atau pandangan yang positif

Gambaran diri dan sikap yang positif merupakan sumber coping

yang sangat efektif. Salah satu bentuk sikap yang positif adalah adanya harapan. Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, 1997) mengatakan bahwa harapan bisa berasal dari keyakinan pada diri sendiri. Dengan adanya harapan, seseorang menjadi mampu untuk merancang strategi

coping yang akan digunakan. Selain berasal dari keyakinan diri sendiri, harapan bisa juga berasal dari keyakinan akan orang lain, misalnya keyakinan pada dokter yang menangani penyakit yang diderita ataupun keyakinan pada Tuhan. Keyakinan merupakan sumber daya psikologis yang sangat penting.

c. Internal Locus of Control

Seseorang yang memiliki internal locus of control yang tinggi biasanya mampu mengontrol setiap kejadian yang terjadi dalam hidupnya sehingga akan sukses dalam mengatasi tekanan yang dihadapinya. Wallston dan Maides (dalam Huffman, 1997) mengemukakan bahwa pasien yang memiliki internal locus of control

biasanya suka mencari informasi mengenai penyakit yang dideritanya dan lebih rutin mengikuti program kesehatan sedangkan pasien dengan

external locus of control akan merasa bahwa dirinya tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan dan penyakitnya. d. Keterampilan Sosial

Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Huffman (1997) mengatakan bahwa keterampilan sosial tidak hanya membantu kita dalam berinteraksi dengan orang lain namun juga membantu kita untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan kita sehingga dapat mengurangi hostilitas terhadap situasi yang sedang dihadapi.

e. Dukungan Sosial

Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat sekitar. Huffman (1997) mengatakan bahwa dukungan sosial membantu seseorang untuk mengatasi tekanan yang sedang dihadapinya karena seseorang bisa belajar mengenai teknik-teknik menghadapi tekanan dari orang lain yang memiliki masalah yang serupa dengan dirinya. Bantuan atau dukungan keluarga merupakan salah satu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang mengalami

stroke (Hartanti, 2002). Hasil penelitian Pierce et al (dalam Hartanti, 2002) menunjukkan bahwa individu yang memperoleh dukungan sosial, tingkat depresinya lebih rendah bila dibandingkan dengan yang

tidak memperoleh dukungan sosial. Selain itu, individu yang memiliki dukungan sosial cenderung memilih bentuk coping yang adaptif daripada bentuk coping yang menghindar.

f. Sumber Material

Meliputi sumber daya baik berupa uang, barang ataupun layanan yang biasanya dapat dibeli. Uang merupakan salah satu sumber yang dapat mengurangi dampak akibat stress. Dengan menggunakan uang seseorang dapat mencari bantuan medis untuk mengobati penyakitnya atau mencari bantuan psikologis. Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) juga mengemukakan bahwa status ekonomi mempengaruhi penggunaan bentuk coping. Individu dengan status ekonomi yang tinggi cenderung menggunakan bentuk coping adaptif yang mengandung unsur fleksibilitas, logis dan realistis.

Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) menemukan bahwa status sosial juga berpengaruh terhadap kecenderungan perilaku coping. Pekerjaan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi status sosial khususnya bagi individu yang ada pada usia dewasa madya karena pada masa dewasa madya seorang individu akan mengalami kestabilan karir dan peningkatan prestasi kerja (Santrock, 1995). Makin tinggi status sosial individu cenderung menggunakan bentuk coping yang adaptif.

Folkman dan Lazarus (1986) mengatakan bahwa kepribadian merupakan faktor penting yang mempengaruhi respon coping individu. Individu dengan ciri kepribadian yang berbeda-beda akan memiliki

kemampuan mempersepsi, menilai, mengevaluasi dan bereaksi terhadap stimulus secara berbeda antara individu yang satu dengan yang lain. Individu yang mampu mempersepsikan bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk berhasil dalam mengatasi stimulus yang mengancam cenderung menggunakan coping yang adaptif sedangkan individu yang mempersepsi bahwa dirinya akan gagal dalam mengatasi stimulus yang mengancam akan menggunakan bentuk coping menghindar. Karakteristik kepribadian yang paling banyak diteliti adalah pola perilaku kepribadian Tipe A dan tipe B. Menurut beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengan tipe kepribadian A cenderung melakukan coping dalam bentuk mencari pokok masalah (problem-focused coping)

Folkman dan Lazarus (dalam Brannonn, 1996), juga menemukan bukti bahwa terdapat perbedaan jenis kelamin dalam pengalaman stress. Dalam penelitiannya, pria memiliki kecenderungan menggunakan strategi

problem-focused coping untuk mengatasi stress. Kecenderungan pria untuk menggunakan teknik yang berorientasi pada tindakan konsisten dengan pandangan stereotip bahwa pria mengambil tindakan untuk mengatasi masalah. Hal ini juga sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh J.T. Ptacek, Ronald Smith dan John Zanas (dalam Brannon, 1996) yang mengatakan bahwa pria diduga bereaksi secara aktif dan wanita diduga bereaksi secara emosional terhadap stress. Menurut mereka, hal ini dikarenakan perbedaan situasi stress yang dialami pria dan wanita. Plutchik (1995) mengemukakan bahwa subjek yang banyak dipengaruhi

oleh emosi seperti mudah tersentuh, perasa atau sensitif dan spontan banyak menggunakan emotional-focused coping. Namun, dalam penelitian Folkman dan Lazarus ditemukan tidak ada perbedaan frekuensi emotional-focused coping antara pria dan wanita. Peneliti lain yaitu Sandra Hamilton dan Beverly Fagot (Brannon, 1996) menemukan bahwa baik pria maupun wanita menggunakan strategi coping yang sama dalam situasi yang sama.

Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) menunjukkan bahwa ada perbedaan penggunaan bentuk coping pada individu dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung menggunakan problem-focused coping. Peneliti lain yaitu Menaghan (dalam Nurhayati, 1994) juga menemukan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan realistis dan lebih aktif dalam memecahkan masalah dibandingkan orang-orang yang kurang berpendidikan sehingga mereka cenderung menggunakan bentuk coping

menghindar. Menurut Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) faktor usia juga mempengaruhi penggunaan bentuk coping. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Berk (2007) yang mengatakan bahwa individu yang berusia dewasa madya cenderung memiliki bentuk

coping yang efektif.

Dokumen terkait