• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

E. Pembahasan

Berdasarkan deskripsi data yaitu dari mean empirik, tampak bahwa

secara umum penderita pasca stroke dewasa madya dalam penelitian ini

menggunakan strategi coping bentuk problem-focused coping maupun

emotional-focused coping yang tinggi ketika menghadapi situasi stress pasca

stroke. Hasil penelitian ini sesuai dengan pendapat Folkman dan Lazarus,

Dunkel-Schetter, Delongis dan Gruen (1986) yang mengatakan bahwa

sebagian besar individu menggunakan dua tipe strategi coping secara

simultan. Penggunaan dua bentuk strategi coping tersebut akan membuat

individu lebih mampu menyesuaikan diri terhadap situasi stress. Semakin

seorang individu menguasai berbagai teknik coping dan menggunakannya

secara tepat maka akan lebih efektif dalam menghadapi situasi stress (Passer

dan Smith, 2004).

1. Penggunaan Strategi Coping Secara Umum

a. Penggunaan Problem-Focused Coping

Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh 36 subjek (72 %)

menggunakan problem-focused coping pada kategori tinggi dan 14 subjek

(28 %) menggunakan problem-focused coping pada kategori sedang. Pada

penelitian ini, tidak didapatkan subjek penelitian yang menggunakan

problem-focused coping dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan

bahwa sebagian besar (lebih dari 50 %) penderita pasca stroke dewasa

madya menggunakan problem-focused coping pada kategori tinggi, artinya

mereka memiliki usaha yang tinggi dan aktif dalam menghadapi situasi

stress pasca stroke dengan cara melakukan berbagai tindakan yang dapat

mengurangi hal-hal yang membahayakan dari kondisi pasca stroke dan

meningkatkan kemampuannya untuk pulih. Salah satu hal yang

membahayakan dan dihindari dari kondisi pasca stroke adalah terjadinya

stroke ulang.

Adanya usaha yang tinggi dan tindakan aktif untuk mengatasi situasi

stress akibat kondisi pasca stroke dilatarbelakangi karena adanya penilaian

dari penderita pasca stroke bahwa mereka memiliki kesempatan untuk

mengubah situasi stress pasca stroke yang dialaminya. Hal ini sesuai

dengan pendapat Lazarus dan Folkman (1984) yang mengatakan bahwa

problem-focused coping digunakan ketika seseorang memiliki kesempatan

untuk mengubah situasi yang penuh tekanan.

b. Penggunaan Emotional-Focused Coping

Dari hasil penelitian, didapatkan 14 subjek (28 %) menggunakan

emotional-focused coping pada kategori tinggi dan sebanyak 36 subjek (72

%) menggunakan emotional-focused coping pada kategori sedang. Dari

hasil pengkategorisasian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar

penderita pasca stroke dewasa madya dalam penelitian ini menggunakan

emotional-focused coping pada kategori sedang, artinya mereka memiliki

usaha yang cukup dalam menghadapi situasi stress pasca stroke dengan

cara mengatur emosinya. Pengaturan emosi yang dilakukan penderita

pasca stroke bertujuan agar mereka mampu menyesuaikan diri terhadap

kondisi pasca stroke, mempertahankan citra diri yang positif dan

mempertahankan keseimbangan emosional sehingga dapat meneruskan

hubungan yang memuaskan dengan orang lain.

2. Penggunaan Strategi Coping Berdasarkan Jenis Kelamin

a. Penggunaan Problem-Focused Coping

Sebanyak 18 subjek pria (36 %) menggunakan problem-focused

coping pada kategori tinggi dan 7 subjek pria (14 %) menggunakan

problem-focused coping pada kategori sedang. Pada subjek wanita juga

diperoleh hasil yang sama, yaitu sebanyak 18 subjek wanita (36 %)

menggunakan problem-focused coping pada kategori tinggi dan 7 subjek

wanita (14 %) menggunakan problem-focused coping pada kategori

sedang.

Pada hasil analisis tambahan juga ditemukan bahwa rerata

penggunaan problem-focused coping pada penderita pasca stroke pria dan

wanita adalah sama. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa penderita

pasca stroke baik pria dan wanita dalam penelitian ini menggunakan

strategi problem-focused coping dalam tingkatan yang sama, yaitu

sebagian besar pada kategori tinggi.

Hasil penelitian tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Sandra Hamilton dan Beverly Fagot (Brannon, 1996) yang

menemukan bahwa baik pria maupun wanita menggunakan strategi coping

yang sama dalam situasi yang sama. Tidak adanya perbedaan yang

signifikan untuk penggunaan problem-focused coping pria dan wanita

disebabkan karena penyakit stroke merupakan penyakit akut sehingga

dibutuhkan pemecahan secepatnya. Pemecahan terhadap kondisi stroke

diatasi dengan cara melakukan pemeriksaan kesehatan secara rutin.

Hartanti (2002) mengatakan bahwa penderita yang sudah terkena stroke

memerlukan pengobatan dan perawatan pada waktu-waktu selanjutnya

agar tidak terjadi serangan ulang. Pengobatan jangka panjang bahkan

seumur hidup merupakan satu hal yang penting untuk mencegah serangan

ulang stroke (Wibowo, 1999). Hal ini menyebabkan tingginya penggunaan

problem-focused coping baik pada subjek pria maupun wanita.

b. Penggunaan Emotional-Focused Coping

Dari hasil penelitian diperoleh, sebanyak 3 subjek pria (6 %)

menggunakan emotional-focused coping pada kategori tinggi dan 22

subjek pria (44 %) menggunakan emotional-focused coping pada kategori

sedang. Pada subjek wanita diperoleh, sebanyak 11 subjek wanita (22 %)

menggunakan emotional-focused coping pada kategori tinggi dan 14

subjek wanita (28 %) menggunakan emotional-focused coping pada

kategori sedang .

Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa, subjek wanita lebih

banyak menggunakan emotional-focused coping pada kategori tinggi

sedangkan penggunaan emotional-focused coping pada kategori sedang

sebagian besar digunakan oleh subjek pria. Hasil ini juga diperkuat

melalui hasil analisis tambahan yang menemukan bahwa rerata

penggunaan emotional-focused coping pada penderita pasca stroke pria

dan wanita berbeda, wanita memiliki rerata penggunaan emotional-focused

coping yang lebih tinggi daripada pria.

Penggunaan emotional-focused coping yang tinggi pada wanita ini

disebabkan karena wanita diduga akan bereaksi secara emosional terhadap

stress (J.T. Ptacek, Ronald Smith dan John Zanas dalam Brannon, 1996).

Plutchik (1995) juga berpendapat bahwa subjek yang banyak dipengaruhi

oleh unsur emosi seperti mudah tersentuh, perasa atau sensitif dan spontan

akan banyak menggunakan emotional-focused coping dalam mengatasi

situasi yang penuh tekanan.

3. Penggunaan Strategi Coping Berdasarkan Pendidikan Subjek

a. Penggunaan Problem-Focused Coping

Sebagian besar subjek dengan latar belakang pendidikan SD, SMP,

SMU, perguruan tinggi sampai diatas S1 menggunakan problem-focused

coping pada kategori tinggi. Persentase penggunaan problem-focused

coping yang paling tinggi justru diperoleh oleh penderita pasca stroke

yang memiliki latar belakang pendidikan SD. Hal ini menunjukkan bahwa

walaupun latar belakang pendidikan penderita pasca stroke hanya lulusan

SD namun memiliki usaha yang tinggi dan aktif dalam mengatasi situasi

stress pasca stroke dengan melakukan berbagai tindakan untuk

mengurangi dampak pasca stroke sehingga meningkatkan kemampuannya

untuk pulih.

Berdasarkan hasil analisis tambahan ditemukan bahwa rerata

penggunaan problem-focused coping pada penderita pasca stroke dengan

latar pendidikan SD, SMP sampai SMU dan perguruan tinggi sampai

diatas S1 adalah sama. Hasil penemuan ini menunjukkan bahwa penderita

pasca stroke dengan latar belakang pendidikan yang berbeda-beda

memiliki kesadaran yang tinggi untuk mengatasi kondisi pasca stroke

dengan cara menggunakan problem-focused coping.

b. Penggunaan Emotional-Focused Coping

Sebagian besar subjek dengan latar belakang pendidikan SD, SMP,

SMU, perguruan tinggi sampai diatas S1 menggunakan emotional-focused

coping pada kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa penderita pasca

stroke dengan latar pendidikan baik SD, SMP, SMU dan perguruan tinggi

sampai diatas S1 menggunakan usaha atau cara mengontrol emosi dalam

tingkat sedang untuk mengatasi situasi stress pasca stroke.

Hasil penelitian tersebut diperkuat dengan hasil analisis tambahan

yang menemukan bahwa rerata penggunaan emotional-focused coping

pada penderita pasca stroke dewasa madya dengan latar belakang

pendidikan SD, SMP sampai SMU dan perguruan tinggi sampai diatas S1

adalah sama.

4. Penggunaan Strategi Coping Berdasarkan Jenis dan Status Pekerjaan

Subjek

a. Penggunaan Problem-focused Coping

Sebagian besar subjek yang memiliki pekerjaan terikat instansi yaitu

guru dan karyawan, pekerjaan yang tidak terikat instansi yaitu wiraswasta

dan petani maupun yang tidak bekerja yaitu pengangguran dan ibu rumah

tangga menggunakan problem-focused coping pada kategori tinggi, namun

persentase penggunaan problem-focused coping yang paling tinggi adalah

pada penderita pasca stroke yang memiliki pekerjaan tidak terikat instansi.

Subjek yang bekerja dengan tidak terikat instansi tidak memiliki jam

kerja yang tetap sehingga memungkinkan mereka memiliki banyak waktu

untuk memfokuskan diri pada usaha pemulihan kesehatan sehingga

penggunaan problem-focused coping pun meningkat. Selain waktu, dalam

menggunakan problem-focused coping juga dibutuhkan materi yang

cukup, apalagi untuk mengatasi penyakit stroke tentunya dibutuhkan biaya

yang cukup besar untuk pengobatan. Widyo (1995) mengatakan bahwa

stroke menimbulkan kerugian finansial yang cukup besar karena

memerlukan perawatan yang cukup lama. Bagi penderita pasca stroke

yang bekerja dengan tidak terikat instansi, hal ini tidak begitu menjadi

masalah karena mereka masih memiliki pendapatan dari usaha

pekerjaannya.

Berdasarkan hasil analisis tambahan menemukan bahwa rerata

penggunaan problem-focused coping pada penderita pasca stroke yang

memiliki pekerjaan yang terikat instansi, tidak terikat instansi maupun

tidak bekerja adalah sama.

b. Penggunaan Emotional-Focused Coping

Sebagian besar subjek yang memiliki pekerjaan terikat instansi yaitu

guru dan karyawan, pekerjaan yang tidak terikat instansi yaitu wiraswasta

dan petani maupun yang tidak bekerja yaitu pengangguran dan ibu rumah

tangga menggunakan emotional-focused coping pada kategori sedang,

namun penderita pasca stroke yang tidak bekerja memiliki persentase

penggunaan emotional-focused coping paling banyak pada kategori tinggi.

Penggunaan emotional-focused coping pada kategori tinggi oleh

penderita pasca stroke yang tidak bekerja dilatarbelakangi karena

mayoritas subjek yang tidak bekerja adalah ibu rumah tangga. Wanita

cenderung diduga bereaksi emosional terhadap stress (J.T Ptacek, Ronald

Smith dan John Zanas dalam Brannon, 1996).

Berdasarkan hasil analisis tambahan ditemukan bahwa rerata

penggunaan emotional-focused coping penderita pasca stroke dewasa

madya yang memiliki pekerjaan terikat dengan instansi, tidak terikat

dengan instansi maupun yang tidak bekerja adalah sama.

5. Penggunaan Strategi Coping Berdasarkan Lamanya Sakit (Lama Masa

Pasca Stroke)

a. Penggunaan Problem-Focused Coping

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar (lebih dari

50 %) penderita pasca stroke baik yang baru mengalami pasca stroke

sampai 23 bulan pasca stroke dan penderita pasca stroke yang sudah

mengalami masa pasca stroke selama 2 sampai 5 tahun menggunakan

problem-focused coping pada kategori tinggi. Namun yang unik dari hasil

penelitian ini ditemukan bahwa semakin lama masa pasca stroke yang

dialami subjek, persentase jumlah subjek yang menggunakan

problem-focused coping pada kategori tinggi menurun bahkan penderita pasca

stroke yang sudah mengalami stroke lebih dari 5 tahun sebagian besar

(83,33 %) menggunakan problem-focused coping pada kategori sedang.

Penderita yang baru mengalami stroke sampai 23 bulan pascastroke

dan penderita pasca stroke yang sudah mengalami stroke selama 2 sampai

5 tahun menggunakan problem-focused coping pada kategori tinggi karena

penderita pasca stroke yang baru mengalami stroke memiliki kesempatan

untuk pulih dengan cepat bila ditangani dengan benar. Dari beberapa

penelitian (Kompas, 2001) pemulihan yang paling cepat terjadi pada

minggu pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan pasca

stroke. Oleh karena itu penderita yang baru mengalami pasca stroke

sampai 23 bulan pascastroke dan penderita pasca stroke 2 sampai 5 tahun

sebagian besar menggunakan problem-focused coping pada kategori

tinggi. Hartanti (2002) juga mengemukakan bahwa pemulihan masih bisa

diharapkan pada penderita yang sudah mengalami kondisi pasca stroke

selama 2 tahun, namun dengan laju pemulihan yang lebih rendah.

Berdasarkan hasil analisis tambahan ditemukan bahwa rerata

penggunaan problem-focused coping pada penderita pasca stroke dewasa

madya yang baru mengalami pasca stroke sampai 23 bulan, 2 sampai 5

tahun dan diatas 5 tahun pasca stroke adalah sama.

b. Penggunaan Emotional-Focused Coping

Berdasarkan lamanya sakit, subjek yang baru mengalami pasca

stroke sampai 23 bulan pasca stroke sebagian besar (68,97 %)

menggunakan emotional-focused coping pada kategori sedang. Subjek

yang sudah mengalami pasca stroke selama 2 sampai 5 tahun sebagian

besar (66,67 %) juga menggunakan emotional-focused coping pada

kategori sedang namun persentasenya tidak sebanyak subjek yang baru

mengalami pasca stroke sampai 23 bulan pasca stroke. Pada subjek yang

sudah mengalami stroke diatas 5 tahun, seluruh subjek (100 %) justru

menggunakan emotional-focused coping pada kategori sedang.

Dari hasil pengkategorisasian tampak bahwa penggunaan

emotional-focused coping pada penderita yang sudah menderita pasca stroke diatas 5

tahun cenderung menurun. Menurut, Harsono (1994) mengatakan bahwa

perawatan stroke merupakan aktivitas fisik dan mental yang melelahkan.

Semakin lama masa pasca stroke yang dialami oleh seseorang

berpengaruh pada energi yang dibutuhkan untuk mengatasi situai stress

pasca stroke. Tidak adanya energi yang cukup untuk menghadapi situasi

stress tersebut akan mengakibatkan subjek berada dalam fase keletihan

sehingga penggunaan emotional-focused coping dapat menurun. Hal ini

sesuai dengan pendapat Hadjam (1995) yang mengatakan bahwa tahap

keletihan muncul jika energi yang digunakan semakin banyak akan tetapi

individu tidak berhasil menghadapinya.

Berdasarkan hasil analisis tambahan ditemukan bahwa rerata

penggunaan emotional-focused coping pada penderita pasca stroke dewasa

madya yang baru mengalami pasca stroke sampai 23 bulan, 2 sampai 5

tahun dan diatas 5 tahun pasca stroke adalalah sama.

88

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan analisis data secara umum, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar penderita pasca stroke dewasa madya dalam penelitian ini (72 %) menggunakan problem-focused coping (PFC) pada kategori tinggi dan 72 % menggunakan emotional-focused coping (EFC) pada kategori sedang ketika menghadapi situasi stress pasca stroke.

2. Rerata penggunaan PFC penderita pasca stroke baik pria dan wanita dalam penelitian ini adalah sama, sebagian besar pada kategori tinggi. Untuk penggunaan EFC ditemukan ada perbedaan yang signifikan penggunaan EFC pada subjek pria dan wanita. Subjek wanita lebih banyak menggunakan EFC pada kategori tinggi sedangkan penggunaan EFC pada kategori sedang lebih banyak digunakan oleh subjek pria.

4. Rerata penggunaan PFC dan EFC penderita pasca stroke dengan latar belakang pendidikan SD, SMP sampai SMU dan perguruan tinggi sampai diatas S1 adalah sama, sebagian besar penggunaan PFC pada kategori tinggi dan penggunaan EFC sebagian besar pada kategori sedang.

5. Berdasarkan pekerjaan, persentase penggunaan PFC paling tinggi diperoleh penderita pasca stroke yang memiliki pekerjaan tidak terikat instansi

sedangkan persentase penggunaan EFC yang paling tinggi diperoleh penderita pasca stroke yang tidak bekerja, namun tidak ditemukan perbedaan yang signifikan penggunaan PFC dan EFC pada penderita pasca stroke berdasarkan status pekerjaannya.

6. Penggunaan PFC dan EFC cenderung menurun seiring dengan makin lama masa pasca stroke yang dialami penderita pasca stroke dan tidak ada perbedaan yang signifikan penggunaan PFC dan EFC penderita pasca stroke berdasarkan lama masa pasca stroke.

B. Keterbatasan Penelitian

Situasi pengisian skala yang kurang mendukung yaitu di poliklinik dan kondisi fisik subjek yang kurang baik dalam mengisi skala akan berpengaruh pada kurangnya konsentrasi subjek dalam mengisi skala sehingga peneliti tidak bisa menghindari respon subjek yang kurang sesuai dengan keadaan sebenarnya.

Dokumen terkait