i
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S. Psi)
Program Studi Ilmu Psikologi
Oleh :
Mellissa Catalina Trisnadi
NIM : 039114029
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
Karya ini kupersembahkan untuk orang-orang yang kukasihi
“Jesus Christ”
v
If there seems NO WAY OUT
You have to FACE U’R FEARNESS
NEVER GIVE UP !!!
viii
Mellissa Catalina Trisnadi
Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma
Penderita
pasca stroke
membutuhkan usaha
coping
untuk mengatasi situasi
stress pasca stroke
. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan bagaimana
strategi
coping
yang digunakan oleh penderita
pasca stroke
dewasa madya. Penelitian
ini menggunakan 2 bentuk strategi
coping
berdasarkan fungsinya,
yaitu
problem-focused coping
(PFC) dan
emotional-focused coping
(EFC). PFC terdiri dari lima
komponen dan EFC terdiri dari 8 komponen.
Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Subjek penelitian
ini adalah pria dan wanita dengan usia 40-60 tahun yang pernah mengalami
stroke
,
dalam kondisi pemulihan
pasca stroke
dan sedang menjalani program rehabilitasi
pasca stroke
di rumah sakit tertentu. Jumlah subjek dalam penelitian ini adalah 50
subjek yang terdiri dari 25 subjek pria dan 25 subjek wanita. Alat pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala strategi
coping
yang disusun oleh
peneliti. Koefisien realibilitas menggunakan teknik
Alpha Cronbach,
yaitu sebesar
0,913 untuk skala PFC sedangkan untuk skala EFC sebesar 0,899.
Sebagian besar penderita
pasca stroke
(72 %) menggunakan PFC pada kategori
tinggi dan 72 % menggunakan EFC pada kategori sedang. Subjek wanita lebih
banyak menggunakan EFC pada kategori tinggi dan penggunaan EFC pada kategori
sedang lebih banyak digunakan oleh subjek pria. Tidak ada perbedaan yang
signifikan penggunaan PFC dan EFC berdasarkan pendidikan subjek. Berdasarkan
pekerjaan, persentase penggunaan PFC paling tinggi diperoleh penderita
pasca stroke
yang memiliki pekerjaan tidak terikat instansi sedangkan persentase penggunaan EFC
yang paling tinggi diperoleh penderita
pasca stroke
yang tidak bekerja, namun tidak
ditemukan perbedaan yang signifikan penggunaan PFC dan EFC pada penderita
pasca stroke
berdasarkan status pekerjaannya. Berdasarkan lama masa
pasca stroke
,
penggunaan PFC dan EFC cenderung menurun seiring dengan makin lama masa
pasca stroke
dan tidak ada perbedaan yang signifikan penggunaan PFC dan EFC
penderita
pasca stroke
berdasarkan lama masa
pasca stroke
.
ix
Mellissa Catalina Trisnadi
Fakultas Psikologi
Universitas sanata Dharma
Post stroke sufferers need coping effort to overcome stressfull situation during
post stroke. This research aimed to describe how coping strategies which used by post
stroke middle age sufferers. This research used 2 kinds of coping strategies based on
their functions,
problem-focused coping
(PFC)
and
emotional-focused coping
(EFC).
PFC consists of 5 component and EFC consists 8 component.
This is a descriptive quantitative research. The subjects of this research are 50
subjects, consists of 25 women and 25 men, 40-60 years old, who had experienced
stroke,
going through period of recovery and joining
post-stroke
rehabilitation at
certain hospitals. The instrument in this research is the strategy coping scale that was
designed by researcher. The reliability coefficient used Alpha Cronbach technique,
0,913 for PFC scale and 0,899 for EFC scale.
Almost the post stroke sufferers (72 %) used PFC in the high category and 72 %
used EFC in the average category. The women used more EFC in the high category
and men used more EFC in the average category. There were didn’t found significant
different PFC and EFC between the subject based on their education. Based on their
occupation, the post stroke sufferers who worked as self-employed used PFC in the
higher percentage and the post stroke sufferers who didn’t work used EFC in the
higher percentage EFC, but in general there were didn’t found significant different
PFC and EFC between the subject based on their occupation status. Based on the long
post stroke time, the using PFC and EFC was decreased along with the longer post
stroke time and there were didn’t found significant different PFC and EFC between
subject based on their long post stroke time.
x
berkat dan penyertaanNya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan akhir ini dengan baik. Laporan akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu
persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu
Psikologi (S. Psi).
Penulis banyak mengalami kesulitan-kesulitan dan masalah dalam
menyelesaikan laporan akhir ini. Tetapi dengan adanya bantuan dari berbagai pihak,
akhirnya penulis dapat menyelesaikan laporan akhir ini. Oleh karena itu dengan
segala kerendahan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih atas segala bantuan
yang telah diberikan kepada :
1.
P. Eddy Suhartanto, S.Psi., M. Si selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta.
2.
Agnes Indar Etikawati, S. Psi., Psi., M. Si, selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan bimbingan dan pengarahan kepada penulis.
3.
Aquilina Tanti Arini, S. Psi., M. Si, selaku dosen penguji yang telah menguji
sekaligus memberi saran dan kritik yang membangun bagi penulis.
4.
Passchedona Henrietta, P.D.A.D.S., S. Psi, selaku dosen penguji yang telah
xi
membantu memudahkan penulis dalam proses pengambilan data pasien di rumah
sakit Ngesti Waluyo Parakan.
7.
Dr. Kriswanto, selaku dokter ahli syaraf di R.S Bethesda Yogyakarta yang telah
membantu memudahkan penulis dalam proses pengambilan data pasien di rumah
sakit Bethesda Yogyakarta.
8.
Perawat RSK Ngesti Waluyo Parakan dan Perawat R.S Bethesda yang telah
membantu penulis untuk mengambil data di Rumah Sakit.
9.
Teman-teman GPdI Syiloh Parakan : Kak Nana, Kak Iin, Hazzy, Kak Elphi, Kak
Tutik, Kak Bram terimakasih untuk kebersamaan dan dukungan doa yang
diberikan kepada penulis.
10.
Teman-teman Kos Dewi : Lanny, Lia, Renny, Indah, Dianing, Yohana, Eunike,
Novi, Chika dan Selvi terimakasih untuk setiap dorongan semangat yang kalian
berikan.
11.
Teman-teman Fakultas Psikologi angkatan 2003 : Inoenx, Mitha, Natalia, Nana,
Wiwit, Melati, Otic, Nice dan Jane, terimakasih untuk dorongan semangat yang
selalu diberikan kepada penulis.
12.
Jojon, Lia, Kristin, Wiwik dan Agatha, Kaka terimakasih untuk dukungan doa
xii
dan kekurangan mengingat keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis. Untuk
itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak. Akhir
kata semoga laporan ini dapat berguna bagi pembaca.
xiii
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI... xiii
DAFTAR TABEL...xix
DAFTAR LAMPIRAN...xxi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
A.
Latar Belakang ... 1
B.
Rumusan Masalah ... 6
C.
Tujuan Penelitian ... 6
D.
Manfaat Penelitian ... 6
xiv
a. Kondisi fisik
Pasca Stroke
... 9
b. Kondisi Psikis
Pasca Stroke
... 9
3.
Depresi
Pasca Stroke
... 10
4.
Rehabilitasi
Pasca Stroke
... 13
B.
Masa Dewasa Madya ... 15
1.
Pengertian Dewasa Madya... 15
2.
Karakteristik Dewasa Madya ... 15
3.
Tugas Perkembangan Dewasa Madya ... 18
C.
Coping
pada Penderita
Pasca Stroke
... 20
1.
Pengertian
Coping
... 20
2.
Strategi
Coping
... 22
3.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi
Coping
... 28
D.
Strategi
Coping
Pada Penderita
Pasca Stroke
Dewasa Madya... 33
E.
Skema Penelitian... 36
F.
Pertanyaan Penelitian... 37
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN ... 38
A.
Jenis Penelitian... 38
xv
1.
Metode Pengumpulan Data... 43
2.
Alat Pengumpulan Data ... 44
3.
Skoring ... 45
4.
Isi Skala... 45
F.
Pertanggungjawaban Alat Ukur ... 46
1.
Validitas ... 46
2.
Analisis Item ... 47
3.
Reliabilitas ... 50
G.
Metode Analisis Data... 51
H.
Prosedur Penelitian ... 53
BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 55
A.
Orientasi Kancah Penelitian... 55
1.
Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 55
2.
Distribusi Subjek Penelitian... 55
a. Berdasarkan Komposisi Usia dan Jenis Kelamin... 56
b. Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 57
c. Berdasarkan Jenis dan Status Pekerjaan... 57
xvi
1.
Data Mean Strategi
Coping
... 61
2.
Kategorisasi Strategi
Coping
... 63
a.
Kategorisasi Penggunaan Strategi
Coping
Secara
Umum ... 63
b.
Kategorisasi Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Jenis Kelamin... 65
c.
Kategorisasi Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Latar Belakang Pendidikan ... 66
d. Kategorisasi Strategi
Coping
Berdasarkan Jenis dan
Status Pekerjaan ... 67
e. Kategorisasi Strategi
Coping
Berdasarkan Lama Masa
Pasca Stroke
... 69
3.
Analisis Tambahan (Uji t dan Anova satu jalur)... 70
a.
Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Jenis Kelamin... 71
b.
Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Latar Belakang Pendidikan ... 73
xvii
E. Pembahasan ... 78
1. Penggunaan Strategi
Coping
Secara Umum ... 78
a. Penggunaan PFC ... 78
b. Penggunaan EFC... 79
2. Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan Jenis kelamin ... 80
a. Penggunaan PFC ... 80
b. Penggunaan EFC... 81
3. Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan Pendidikan Subjek.... 82
a. Penggunaan PFC ... 82
b. Penggunaan EFC... 83
4. Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan Jenis dan Status
Pekerjaan Subjek... 83
a. Penggunaan PFC ... 83
b. Penggunaan EFC... 84
5. Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan Lama Masa
Pasca
Stroke
... 85
a. Penggunaan PFC ... 85
xviii
C.
Saran ... 89
1.
Bagi Penderita
Pasca Stroke
... 89
2.
Bagi Praktisi Kesehatan ... 90
3.
Bagi Anggota Keluarga dan
Pengasuh Penderita
Pasca Stroke
... 90
4.
Bagi Penelitian Selanjutnya ... 90
DAFTAR PUSTAKA ... 92
xix
Tabel 2.
Blue Print
Skala Strategi
Coping
Pada Penderita
Pasca Stroke
Dewasa
Madya
(Sebelum Uji Coba) ... 46
Tabel 3. Deskripsi Item-item yang Gugur ... 49
Tabel 4.
Blue Print
Skala Strategi
Coping
Pada Penderita
Pasca Stroke
Dewasa
Madya
(Setelah Uji Coba) ... 50
Tabel 5. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Usia dan Jenis Kelamin... 56
Tabel 6. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan ... 57
Tabel 7. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Jenis Pekerjaan... 58
Tabel 8. Distribusi Subjek Penelitian Berdasarkan Lamanya Sakit ... 59
Tabel 9. Deskripsi Data Mean Strategi
Coping
... 61
Tabel 10. Kategorisasi PFC dan EFC ... 63
Tabel 11. Hasil Pengkategorisasian dan Persentase Penggunaan Strategi
Coping
Penderita
Pasca Stroke
Dewasa Madya... 64
Tabel 12. Strategi
Coping
yang Digunakan Masing-masing Penderita
Pasca Stroke
Dewasa Madya... 64
xx
Penderita
Pasca Stroke
Dewasa Madya Berdasarkan Jenis Pekerjaan ... 68
Tabel 16. Hasil Pengkategorisasian dan Persentase Penggunaan Strategi
Coping
Penderita
Pasca Stroke
Dewasa Madya Berdasarkan Status Pekerjaan . 69
Tabel 17. Hasil Pengkategorisasian dan Persentase Penggunaan Strategi
Coping
Penderita
Pasca Stroke
Dewasa Madya Berdasarkan Lama Masa
Pasca
Stroke
... 70
Tabel 18. Perbedaan Mean PFC dan EFC Pria dan Wanita... 72
Tabel 19. Independent Samples Test ... 72
Tabel 20. Test Homogeneity of Variances... 73
Tabel 21. Anova Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Pendidikan... 74
Tabel 22. Test Homogeneity of Variances... 75
Tabel 23. Anova Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Status
Pekerjaan ... 76
Tabel 24. Test Homogeneity of Variances... 77
xxi
Lampiran 2. Skala strategi
coping
uji coba
Lampiran 3. Tabulasi skor skala strategi
coping
uji coba
Lampiran 4. Uji realibilitas skala strategi
coping
uji coba
Lampiran 5. Skala strategi
coping
setelah uji coba
Lampiran 6. Tabulasi skor skala strategi
coping
setelah uji coba
Lampiran 7. Uji realibilitas skala strategi
copin
g setelah uji coba
Lampiran 8. Deskripsi dan analisis statistik data penelitian secara keseluruhan
Lampiran 9. Output Uji t (Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan Jenis
Kelamin
Lampiran 10. Output Uji Anova Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Latar Belakang Pendidikan
Lampiran 11. Output Uji Anova Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan
Status Pekerjaan
Lampiran 12. Output Perbedaan Penggunaan Strategi
Coping
Berdasarkan Lama
Pasca Stroke
1
A.
Latar Belakang
Setiap manusia termasuk mereka yang berusia dewasa madya pasti ingin
memiliki tubuh yang sehat. Mereka rela menjalani berbagai aktivitas yang dapat
mendukung kesehatan baik berupa olah raga maupun pemeriksaan kesehatan
secara teratur. Meskipun demikian tidak semua orang mampu menghindar dari
timbulnya suatu penyakit. Cohen dan Lazarus (dalam Cohen,1987)
mengemukakan pendapat bahwa menderita suatu penyakit seringkali dianggap
sebagai kondisi yang tidak hanya mengancam hidup dan keselamatan jiwa
seseorang namun juga mengancam konsep diri
,
keyakinan
,
fungsi sosial dan
pekerjaan, nilai, komitmen dan keseimbangan emosional. Oleh karena itu,
sedapat mungkin kondisi sakit dihindari.
Masa dewasa madya adalah masa di mana individu mengalami penurunan
keterampilan fisik dan semakin besarnya tanggung jawab (Santrock, 1995).
Menurunnya keterampilan fisik yang dialami oleh dewasa madya tampak dari
kesehatan yang mulai memburuk. Masalah kesehatan yang utama bagi dewasa
madya adalah penyakit kardiovaskuler, kanker, berat badan, hipertensi dan
gangguan pencernaan.
Insidensi
stroke
semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya umur, hal ini
merupakan salah satu karakteristik
stroke
(Harsono, 1994).
Menurut Miscbach (2005), di Indonesia
stroke
merupakan penyakit nomor
tiga yang mematikan setelah jantung dan kanker. Bahkan, menurut survei tahun
2004,
stroke
merupakan pembunuh nomor satu di rumah sakit pemerintah di
seluruh penjuru Indonesia. Apabila tidak ada upaya penanggulangan
stroke
yang
lebih baik maka jumlah penderita
stroke
pada tahun 2020 diperkirakan akan
meningkat 2 kali lipat (Admin, 2007). Dari catatan penelitian Yayasan
Stroke
Indonesia, tiap tahun setidaknya ada sekitar 180.000 orang yang mengalami
cacat ringan, 80.000 orang mengalami cacat sedang, 60.000 orang mengalami
cacat berat dan 80.000 orang meninggal dunia akibat
stroke
(dalam Gatra,
2001).
Hal ini sangat ironis, mengingat bahwa masa dewasa madya adalah masa
dimana seseorang akan mengalami kestabilan, baik dalam bidang karir maupun
hubungan keluarga (Santrock, 1995). Kestabilan di bidang karir dan hubungan
keluarga tersebut akan menjadi tidak ada artinya ketika seseorang terserang
stroke
. Erikson (dalam Santrock, 1995) mengatakan bahwa seseorang yang
berada dalam masa dewasa madya memiliki tanggung jawab untuk
meninggalkan warisan bagi generasi berikutnya. Namun, tanggung jawab
tersebut akan sulit dipenuhi ketika seseorang terserang penyakit
stroke
.
dengan daerah yang terganggu.
Stroke
merupakan salah satu contoh penyakit
yang termasuk dalam kelompok akut. Serangan penyakit akut bersifat cepat,
memiliki pola perjalanan yang singkat dan relatif berat serta memerlukan
pemecahan secepatnya (Kumala, 1998).
Gejala
stroke
tergantung pada dimana lokasi pecahnya pembuluh darah.
Pecahnya pembuluh darah di otak tersebut akan berpengaruh pada semua aspek
kehidupan seseorang baik secara pribadi, sosial, pekerjaan dan fisik.
Stroke
akan
mengakibatkan seseorang mengalami ketidakmampuan motorik seperti
kesulitan untuk menggerakkan tangan atau kaki pada salah satu sisi tubuh yang
terserang
stroke
, kesulitan kognitif, gangguan otak kiri, dan gangguan emosi
(S.C Thompson dalam Taylor, 1995).
Umumnya
stroke
berlanjut dengan depresi, sekitar 25 – 50 % pasien
stroke
mengalami depresi setelah serangan
stroke
(Andri, 2006). Para penderita
stroke
sadar, kondisinya sudah lain untuk melakukan berbagai aktivitas secara rutin,
seperti makan harus disuapi, ketika berjalan menjadi lambat dan mandi harus
dibantu.
pengobatan hanya ditujukan pada penyakit fisiknya saja, sehingga
gangguan-gangguan psikis yang timbul tidak terdiagnosis dan terobati secara memadai
(Tonam, Sylvia dan Martina, 2003).
Untuk mengatasi situasi
stress pasca stroke
dibutuhkan usaha yang disebut
coping
.
Coping
adalah usaha-usaha pengelolaan
stress
yang dilakukan individu,
baik bersifat intrapsikis maupun tindakan nyata. Usaha pengelolaan
stress
meliputi usaha-usaha untuk menguasai, memberi toleransi, mengurangi dan
memperkecil tuntutan eksternal maupun internal, beserta konflik-konflik yang
ada dan banyak menguras sumber daya dalam individu (Cohen, 1987).
Coping
dapat berupa sikap, perasaan atau pikiran individu dalam usaha untuk
mengatasi, menahan atau menurunkan efek negatif dari situasi yang mengancam
(Baron dan Byrne dalam Nurhayati,1994).
Coping
akan sangat berpengaruh
pada tingkat
stress
yang dialami oleh seseorang termasuk penderita
stroke
.
Lazarus (1984) membedakan strategi
coping
berdasarkan fungsinya
menjadi dua bentuk, yaitu
problem-focused coping
dan
emotional-focused
coping.
Problem-focused coping
yaitu usaha nyata berupa perilaku individu
untuk mengatasi masalah, tekanan, tantangan dengan mengubah kesulitan
hubungan dengan lingkungan.
Emotional-focused coping
yaitu usaha untuk
memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan, hal ini
sifatnya sementara.
individu yang diamputasi,
coping
pada individu yang mengalami kebutaan dan
coping
pada penderita kanker yang sedang menjalani proses perawatan.
Penelitian strategi
coping
pada penderita hipertensi yang dilakukan oleh Miller,
Leinbach dan Brody (1989) dan strategi
coping
pada penderita
Rheumatoid
Arthritis
yang dilakukan oleh Felton dan Revenson (1989) menunjukkan bahwa
penderita yang melakukan strategi
problem-focused coping
lebih mampu
menghadapi penyakit yang dialami dan mampu menjalani prosedur medis yang
diterapkan pada dirinya dengan perasaan lebih positif dibandingkan dengan
penderita yang melakukan strategi
coping
bentuk
emotional-focused coping
.
Penelitian mengenai strategi
coping
juga dilakukan oleh Vitaliano, Katon,
Maiuro (1989) yang meneliti
coping
pada penderita sakit jantung yang disertai
dengan gangguan psikiatri dan yang tidak mengalami gangguan psikiatri.
Adapun hasil dari penelitian ini menemukan bahwa
problem-focused coping
digunakan oleh penderita sakit jantung yang tidak mengalami gangguan psikiatri
sedangkan bentuk
coping
menghindar dan lari ke angan-angan digunakan oleh
penderita sakit jantung yang mengalami gangguan psikiatri.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah strategi
coping
yang digunakan penderita
pasca stroke
dewasa madya?
C.
Tujuan Penelitian
Untuk mendeskripsikan mengenai strategi
coping
yang digunakan oleh
penderita
pasca stroke
dewasa madya
.
D.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis :
a.
Bagi dunia pendidikan : menambah kepustakaan dalam bidang psikologi
kesehatan mengenai strategi
coping
yang digunakan penderita
pasca
stroke
dewasa madya
b.
Bagi peneliti lain : sebagai informasi bagi penelitian selanjutnya mengenai
strategi
coping
yang digunakan oleh penderita
pasca stroke
dewasa
madya.
2. Manfaat praktis :
a.
Bagi penderita
pasca stroke
: memberi gambaran mengenai strategi
coping
yang telah digunakan oleh penderita
pasca stroke
dewasa madya sebagai
bahan refleksi dan upaya peningkatan penyesuaian diri pada masa
pemulihan
pasca stroke
.
memahami strategi
coping
yang digunakan penderita
pasca stroke
dewasa
madya dan membantu upaya peningkatan kesehatan mental penderita
pasca stroke
.
8 A. Penderita Pasca Stroke
1. Pengertian Pasca Stroke
Penderita pasca stroke adalah individu yang sudah pernah terserang
stroke. Dengan kata lain, penderita pasca stroke adalah individu yang pernah mengalami gangguan fungsi saraf yang disebabkan olehgangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam beberapadetik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu (Lasmiati, 1994). Penyakit stroke merupakan salah satu penyakit akut, dikatakan akut karena serangan penyakit stroke bersifat cepat, memiliki pola perjalanan yang singkat dan relatif berat serta memerlukan pemecahan secepatnya (Kumala, 1998). Insidensi stroke semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya umur, hal ini merupakan salah satu karakteristik stroke
(Harsono, 1994). 2. Kondisi Pasca Stroke
Kondisi pasca stroke dibagi dalam dua golongan yaitu : a. Kondisi Fisik Pasca Stroke
Kondisi seseorang setelah mengalami serangan stroke (pasca stroke) sangat beragam tergantung pada lokasi pecahnya pembuluh darah. Ada penderita stroke yang pulih sempurna, ada pula yang sembuh dengan cacat ringan, cacat sedang atau cacat berat. Dari catatan penelitian Yayasan Stroke Indonesia, tiap tahun setidaknya ada sekitar 180.000 orang yang mengalami cacat ringan, 80.000 orang mengalami cacat sedang, 60.000 orang mengalami cacat berat dan 80.000 orang meninggal dunia akibat stroke (dalam Gatra, 2001).
Stroke yang mengakibatkan kecacatan pada penderitanya akan mempengaruhi semua aspek kehidupan seseorang baik secara pribadi, sosial, pekerjaan dan fisik (S.C Thompson dalam Taylor, 1995). Cacat yang diderita dapat mengakibatkan penderitanya tidak mampu melakukan banyak hal, misalnya : tidak mampu berbicara atau berkomunikasi, tidak dapat jalan sendiri, harus dibantu buang air besar, harus dibantu makan, masih ngompol, harus dibantu pindah dari tempat tidur ke kursi, harus dibantu berpakaian dan mandi. Selain itu, penderita dengan cacat akibat stroke juga mengalami gangguan potensial seksual baik pada pria maupun pada wanita.
b. Kondisi Psikis Pasca Stroke
dari dua juta penderita stroke ini mengalami gangguan kognitif dan emosional. Gangguan emosional terutama berupa kecemasan, frustasi dan depresi merupakan masalah umum dijumpai pada penderita pasca stroke. Tidak jarang pula dijumpai masalah lain yaitu : pikiran yang kaku, tidak fleksibel, tidak sabar, mudah tersinggung, impulsif, kurang memahami masalah, tidak sensitif terhadap perasaan atau pendapat orang lain, persepsi sosial yang buruk (Kriswanto, 2001). Dari hasil penelitian Hartanti (2002) ditemukan bahwa secara umum masalah yang dihadapi penderita stroke adalah perasaan malu, rendah diri, kecemasan terhadap masa depan, kekhawatiran akan mengecewakan pasangan dalam melakukan hubungan seksual, kesulitan dalam mengambil keputusan, gangguan tidur dan minat seksual yang terganggu.
Cohen dan Lazarus (dalam Cohen,1987) mengemukakan pendapat bahwa penyakit termasuk stroke seringkali dianggap sebagai kondisi yang tidak hanya mengancam hidup dan keselamatan jiwa seseorang namun juga mengancam konsep diri, keyakinan, fungsi sosial dan pekerjaan, nilai, komitmen dan keseimbangan emosional. 3. Depresi Pasca Stroke
Stroke memaksa penderita menjadi tergantung kepada orang lain, juga dalam kebutuhan dasar untuk mandiri, tentu akan menimbulkan depresi dan berkurangnya harga diri. Sekitar 25 – 50 % pasien stroke
stroke sadar, kondisinya sudah lain untuk melakukan berbagai aktivitas secara rutin, seperti makan harus disuapi, ketika berjalan menjadi lambat dan mandi harus dibantu.
Menurut dr. Andri (2006) depresi pasca stroke terjadi karena dua faktor yaitu :
1. Depresi pasca stroke yang disebabkan faktor neurobiologik
Yaitu, depresi yang disebabkan karena adanya sumbatan atau pecahnya pembuluh darah di otak sehingga jalur komunikasi ke daerah otak tersebut menjadi terhambat. Otak sendiri terdiri dari beberapa bagian yang tugasnya bermacam-macam. Bagian otak yang biasanya terkena dampak akibat pecahnya pembuluh darah pada penderita stroke adalah bagian otak yang mengatur fungsi perasaan dan gerakan sehingga penderita stroke akan mengalami kesulitan dalam melakukan gerakan akibat lumpuhnya sebagian tubuh dan gangguan suasana perasaan serta tingkah laku.
2. Depresi pasca stroke yang disebabkan faktor psikologik
mengatasi, terjadilah suatu gangguan mental emosional yang disebut depresi (Wicaksana, 1994).
Penderita pasca stroke yang terkena depresi akan mengalami disabilitas yang lebih berat dibandingkan yang tidak depresi. Feibel (dalam Hartanti, 2002) mengemukakan bahwa depresi pasca stroke akan makin memberat dan makin sering dijumpai sesudah 6 bulan sampai 2 tahun, sedangkan menurut penelitian Amstrom, Adolfson dan Asplund (dalam Hartanti, 2002) pada penderita stroke yang diikutinya sejak keluar rumah sakit sampai 3 tahun, ternyata angka depresi sesudah 3 bulan meningkat lagi pada tahun ke-3. Kepuasan hidup akan berkurang sesudah 2, 4, 5 tahun setelah serangan stroke.
psikologis dan sosial (Kompas, 2001). Taylor (1995) mengatakan bahwa psikoterapi merupakan salah satu intervensi psikologis yang dapat digunakan untuk menangani gangguan depresi pasca stroke. Psikoterapi dapat membantu pasien pasca stroke mempelajari bentuk coping yang baru, ketrampilan sosial dan menjaga pasien pasca stroke agar tidak mengalami depresi kembali (Hibbard dalam Taylor, 1995). Namun, dalam kenyataannya perhatian dokter ataupun tenaga medis terhadap kondisi psikis pasien pasca stroke masih sangat kurang karena prioritas pengobatan hanya ditujukan pada penyakit fisiknya saja, sehingga gangguan-gangguan psikis yang timbul tidak terdiagnosis dan terobati secara memadai (Tonam, Sylvia dan Martina, 2003).
4. Rehabilitasi Pasca Stroke
Hartanti (2002) mengatakan bahwa penderita yang sudah terkena
stroke memerlukan pengobatan dan perawatan pada waktu-waktu selanjutnya agar tidak terjadi serangan ulang. Pengobatan jangka panjang bahkan seumur hidup merupakan satu hal yang penting untuk mencegah serangan ulang stroke (Wibowo, 1999).
Fisioterapi, terapi bicara dan terapi okupasional harus diberikan sesegera mungkin. Program rehabilitasi stroke biasanya dilakukan pada hari-hari pertama, yaitu sekitar 2 hari setelah serangan stroke, walaupun penderita dalam keadaan koma. Harsono (1994) mengatakan bahwa perawatan stroke, termasuk upaya rehabilitasi merupakan aktivitas fisik dan mental yang melelahkan.
Program rehabilitasi stroke yaitu sebuah program percepatan pemulihan keadaan sekaligus mengurangi derajad ketidak mampuan masing-masing penderita pascastroke. Ada empat fungsi dari rehabilitasi (Harsono, 1994) yaitu :
1. Memulihkan ketrampilan lama (untuk anggota yang lumpuh)
2. Mengenalkan sekaligus melatih ketrampilan baru (untuk anggota tubuh yang tidak lumpuh)
3. Memperoleh kembali hal-hal yang telah hilang
4. Mempengaruhi sikap penderita, keluarga dan kelompok terapeutik Rehabilitasi bersumber daya masyarakat merupakan salah satu bentuk rehabilitasi dengan cara melakukan penyuluhan dan pelatihan masyarakat di lingkungan pasien agar mampu menolong, setidaknya bersikap tepat terhadap penderita.
B. Masa Dewasa Madya
1. Pengertian Dewasa Madya
Gilbert Brim (dalam Santrock, 1995) berpendapat bahwa masa dewasa madya adalah masa yang penuh dengan perubahan, perputaran dan pergeseran. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Hurlock (1999) bahwa masa dewasa madya adalah masa transisi dimana pria dan wanita akan melakukan berbagai perubahan minat, nilai, peran dan pola perilaku sebagai bentuk penyesuaian dengan periode kehidupan yang baru. Santrock (1995) mengatakan bahwa usia dewasa madya sebagai periode perkembangan yang dimulai kira-kira pada usia 35-45 tahun hingga memasuki usia 60-an.
2. Karakterisitik Dewasa Madya
Perubahan adalah satu kata yang tak bisa lepas dari perkembangan hidup manusia. Selama manusia hidup pasti mengalami berbagai perubahan baik dalam hal fisik maupun peran. Demikian pula halnya dengan individu yang ada pada masa dewasa madya, mereka selalu diperhadapkan dengan berbagai macam perubahan-perubahan dalam hidup. Adapun beberapa perubahan-perubahan itu antara lain :
a. Perubahan fisik
mulai memburuk. Masalah kesehatan yang utama bagi dewasa madya adalah penyakit kardiovaskuler, kanker, berat badan, hipertensi dan gangguan pencernaan. Penyakit stroke juga merupakan salah satu penyakit akut yang menjadi ancaman bagi dewasa madya karena bisa menyebabkan kecacatan setelah usia 45 tahun sehingga banyak penderita yang menjadi invalid atau tidak mampu lagi mandiri (Idris, 2007).
b. Perubahan Peran
fase siklus keluarga yang stabil, di mana pasangan mampu menerima segala kelebihan dan kekurangan masing-masing pasangan.
Dalam menghadapi berbagai perubahan tersebut, individu dewasa madya dituntut untuk melakukan penyesuaian. Kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan perubahan dalam hidup menyebabkan timbulnya stress. Hurlock (1999) mengemukakan bahwa masa stress
merupakan salah satu ciri dari dewasa madya. Menurut Marmor (dalam Hurlock, 1999) stress yang dialami oleh pria dan wanita dewasa madya antara lain :
a. Stress somatik, yang disebabkan oleh keadaan jasmani yang menunjukkan usia tua.
b. Stress budaya, yang berasal dari penempatan nilai yang tinggi pada kemudaan, keperkasaan dan kesuksesan oleh kelompok budaya tertentu.
c. Stress ekonomi, yang diakibatkan oleh beban keuangan dari mendidik anak dan memberikan status simbol bagi seluruh anggota keluarga. d. Stress psikologis, yang mungkin diakibatkan oleh kematian suami atau
istri, kepergian anak dari rumah, kebosanan terhadap perkawinan, atau rasa hilangnya masa muda dan mendekati ambang kematian.
dikemukakan oleh Erikson (dalam Santrock, 1995) di mana masa dewasa madya ada dalam tahap generativitas atau stagnasi. Generativitas mencakup rencana-rencana orang dewasa atas apa yang mereka harap dapat dikerjakan guna meninggalkan warisan bagi generasi selanjutnya. Individu berusia madya yang memiliki keinginan yang kuat untuk berhasil akan mengalami puncaknya pada usia ini sehingga mereka mampu memungut hasil dari kerja keras yang dilakukan sebelumnya (Hurlock, 1999). Oleh karena itu, masa dewasa madya sering disebut sebagai masa berprestasi, di mana individu yang berada pada usia dewasa madya biasanya sedang menikmati puncak karir dan hasil dari kesuksesan mereka. Mereka mengalami keberhasilan baik di bidang keuangan, sosial, kekuasaan dan prestise. Rhodes dan Tamir (dalam Santrock, 1995) juga mengatakan bahwa masa dewasa madya merupakan masa di mana kepuasan kerja meningkat secara stabil, baik orang dewasa yang berpendidikan tinggi maupun yang tidak berpendidikan tinggi. Berk (2007) mengemukakan bahwa masa dewasa madya adalah masa di mana individu merasakan perasaan bahagia dan berfungsi sepenuhnya. Sebaliknya, jika mereka yang ada pada usia dewasa madya tidak dapat meninggalkan warisan bagi generasi selanjutnya maka mereka ada dalam tahap stagnasi.
3. Tugas Perkembangan Dewasa Madya
kehidupan individu, yang jika berhasil akan menimbulkan rasa bahagia dan membawa ke arah keberhasilan dalam melaksanakan tugas-tugas berikutnya. Berikut ini adalah tugas-tugas perkembangan pria dan wanita dewasa madya :
a. Mencapai tanggung jawab sosial dan dewasa sebagai warga negara. b. Membantu anak-anak remaja belajar untuk menjadi orang dewasa yang
bertanggung jawab dan bahagia.
c. Mengembangkan kegiatan-kegiatan pengisi waktu senggang untuk orang dewasa.
d. Menghubungkan diri sendiri dengan pasangan hidup sebagai suatu individu
e. Menerima dan menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada tahap ini.
f. Mencapai dan mempertahankan prestasi yang memuaskan dalam karier pekerjaan.
g. Menyesuaikan diri dengan orang tua yang semakin tua.
melaksanakan tugas-tugas selanjutnya. Salah satu faktor yang menyebabkan seseorang gagal dalam menguasai tugas-tugas perkembangan adalah kesehatan yang buruk dan cacat tubuh (Hurlock, 1999).
C. Coping Pada Penderita Pasca Stroke 1. Pengertian Coping
Setiap individu memiliki perilaku yang berbeda-beda dalam menghadapi tekanan akibat penyakit yang dialaminya. Hasil penelitian Kimball (dalam Cohen, 1979) menemukan bahwa pasien penyakit jantung yang mengalami depresi akibat penyakitnya menunjukkan angka kematian yang besar setelah operasi jantung. Sedangkan pasien yang “menerima” (optimis dan percaya diri) sebelum operasi retina menunjukkan pemulihan kesehatan yang cepat. Respon individu yang ditujukan terhadap stressor, baik itu berupa sikap, perasaan atau pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan atau menurunkan efek negatif dari situasi yang mengancam disebut coping (Baron dan Byrne dalam Nurhayati, 1994). Cohen (1979) juga mengemukakan bahwa mengalami suatu penyakit merupakan suatu ancaman bagi kehidupan sehingga dibutuhkan usaha
coping.
coping adalah usaha untuk mengelola stress dalam berbagai cara yang efektif. Adapun tujuan coping dalam proses pemulihan dari sakit (Cohen dan Lazarus, 1979) adalah :
1. Mengurangi hal-hal yang membahayakan dari situasi dan kondisi lingkungan, serta meningkatkan kemampuan untuk pulih
2. Menyesuaikan diri terhadap kejadian-kejadian negatif yang dijumpai dalam kehidupan nyata
3. Mempertahankan citra diri yang positif 4. Mempertahankan keseimbangan emosional
5. Meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain
Dari setiap pengertian coping di atas maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa coping adalah suatu usaha yang dilakukan seseorang baik bersifat intrapsikis maupun tindakan nyata sebagai bentuk reaksi seseorang untuk mengatasi, menahan atau menurunkan efek negatif dari situasi yang mengancam akibat penyakit yang dideritanya dan menguras sumber daya penderita penyakit tersebut.
2. Strategi Coping
Coping merupakan salah satu faktor penting yang berpengaruh pada kondisi pemulihan dari penyakit dan operasi (Cohen, 1979). Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa keefektifan strategi coping tergantung pada kecocokan antara penggunaan strategi coping dengan dapat atau tidaknya situasi tersebut dikontrol. Lazarus dan Folkman (1984) mengemukakan 2 bentuk strategi coping berdasarkan fungsinya, yaitu
problem-focused coping (PFC) dan emotional-focused coping (EFC).
Hamburg, Coelho, Adam, Lazarus (dalam Kasl dan Cooper, 1995) mendefinisikan problem-focused coping sebagai usaha untuk menyelesaikan tuntutan internal dan lingkungan dengan menciptakan suatu tindakan tertentu. Lazarus dan Folkman (1984) berpendapat bahwa
problem-focused coping (PFC) digunakan ketika seseorang memiliki kesempatan untuk mengubah situasi yang penuh tekanan. Hal ini sejalan dengan pendapat Huffman (1997) yang mengatakan bahwa, problem-focused coping merupakan strategi coping yang mana situasi stress
solving untuk mengatasi masalahnya tersebut. Ada 5 komponen dari
problem-focused coping (Carver et al, 1989) yaitu:
a. Active Coping, merupakan proses pengambilan langkah secara aktif untuk menghilangkan tekanan atau memperbaiki dampaknya. Cara ini melibatkan pengambilan tindakan logis, peningkatan upaya seseorang dan mencoba untuk melaksanakan cara coping yang bijak.
b. Planning, merupakan upaya memikirkan bagaimana mengatasi tekanan yang didalamnya terdapat strategi-strategi tindakan, memikirkan langkah yang akan dilakukan dan bagaimana penanganan terbaik untuk penyelesaian masalah.
c. Suppression of Competing Activities, merupakan usaha individu untuk berkonsentrasi pada usaha penyelesaian masalah dan mengesampingkan hal-hal atau aktivitas lain yang dianggap tidak perlu.
d. Restraint Coping, merupakan usaha untuk menahan diri melakukan respon terhadap masalah sampai ada kesempatan atau waktu yang dianggap tepat.
e. Seeking Social Support for instrumental reasons, merupakan usaha untuk mencari dukungan sosial, misalnya berupa nasehat, informasi dan bantuan dari orang lain.
disertai tindakan-tindakan tertentu. Emotional-focused coping berfungsi untuk mengatur emosi atau tekanan dengan cara mengubah persepsi terhadap situasi yang penuh tekanan tersebut dianggap bukan masalah. Lazarus dan Folkman (1984) mengatakan bahwa emotional-focused coping (EFC) digunakan ketika terdapat penilaian bahwa tidak ada sesuatupun yang bisa dilakukan untuk mengubah situasi yang penuh tekanan selain dengan menerima situasi tersebut. Ada 8 komponen tindakan dari emotional-focused coping (Carver et al, 1989) yaitu:
a. Positive Reinterpretation and Growth, merupakan usaha individu untuk berpikir positif atas masalah yang dihadapinya.
b. Acceptance, merupakan sikap menerima suatu keadaan karena situasi tersebut sulit diubah.
c. Denial, merupakan usaha untuk menolak realita untuk membuat emosi menjadi stabil.
d. Behavioral Disengagement, merupakan kecenderungan untuk menurunkan upaya dalam mengatasi tekanan dengan cara menghentikan upaya untuk mencapai tujuan (menyerah).
e. Mental Disengagement, merupakan upaya alternatif untuk melupakan masalah dengan cara melamun, menonton TV, dll.
g. Focus on and venting emotion, merupakan upaya yang dilakukan seseorang dengan cara melepaskan perasaan atau emosinya misalnya dengan menangis atau marah.
h. Seeking Social Support for Emotional Reasons, merupakan upaya untuk mencari dukungan sosial seperti mendapat dukungan moral, simpati atau pengertian dari orang lain.
Peneliti lain yaitu Miller (dalam Nurhayati, 1994) membagi strategi
coping berdasarkan kecenderungan mencari informasi. Adapun pembagiannya ada dua tipe, yaitu : tipe monitoring (pencari informasi) dan tipe blunting (menghindari informasi). Banyak penelitian yang dilakukan untuk mengungkap kecenderungan penggunaan strategi coping terhadap suatu penyakit. Dari hasil penelitian Cohen dan Lazarus (dalam Felton dan Revenson, 1984) ditemukan bahwa pencarian informasi merupakan bentuk strategi coping yang paling umum digunakan dalam menghadapi suatu penyakit dan pengobatannya. Felton dan Revenson, (1984) mengatakan bahwa pencarian informasi yang sering dilakukan adalah bertanya pada orang lain yang dinilai memahami apa yang ingin diketahui, misalnya pada dokter, membaca buku atau artikel yang membahas masalah yang ingin diketahui. Semakin banyak informasi yang diingini diperoleh maka strategi coping menjadi efektif karena informasi membantu individu untuk mempersiapkan diri mengendalikan situasi yang dihadapinya.
orang dewasa dalam menghadapi penyakit fisiologis yang dideritanya yaitu : pengingkaran, ketidak pedulian, pencarian informasi, penolakan, mencoba mempelajari hal-hal khusus yang berkaitan dengan penyakit yang dideritanya, lari ke angan-angan, menyalahkan orang lain, dan mencari perhatian orang lain.
Berdasarkan hasil penelitian strategi coping pada penderita hipertensi yang dilakukan oleh Miller, Leinbach dan Brody (1989) dan penelitian
strategi coping pada penderita Rheumatoid Arthritis yang dilakukan oleh Felton dan Revenson (1989) menunjukkan bahwa sebagian besar penderita penyakit hipertensi dan Rheumatoid Arthritis yang melakukan coping
bentuk problem-focused coping ternyata akan mampu menghadapi penyakitnya dan mampu menghadapi prosedur medis yang diterapkan pada dirinya dengan perasaan lebih positif. Penderita yang melakukan strategi coping bentuk emotional-focused coping cenderung memiliki perasaan negatif terhadap penyakitnya dan prosedur medis yang diterapkan pada dirinya. Oleh karena itu, sering dikatakan bahwa problem-focused coping lebih efektif digunakan oleh penderita penyakit fisiologis dibandingkan dengan penderita penyakit fisiologis yang menggunakan
sakit jantung yang tidak mengalami gangguan psikiatri sedangkan bentuk
coping menghindar dan lari ke angan-angan digunakan oleh penderita sakit jantung yang mengalami gangguan psikiatri.
Charles Holahan dan Rudolf Moss (dalam Passer dan Smith, 2004) mengatakan bahwa individu yang menggunakan problem-focused coping
lebih mampu menyesuaikan diri dengan situasi stress sedangkan individu yang menggunakan emotional-focused coping khususnya berupa penghindaran tidak mampu menyesuaikan diri dengan situasi stress
bahkan cenderung menjadi depresi. Penelitian lain yang dilakukan oleh Snyder (dalam Passer dan Smith, 2004) juga menemukan bahwa penggunaan emotional-focused coping khususnya penghindaran, penyangkalan dan lari ke angan-angan akan mengakibatkan individu tidak mampu dalam menyesuaikan diri terhadap situasi stress. Di sisi lain, komponen-komponen emotional-focused coping selain penghindaran, penyangkalan dan lari ke angan-angan efektif dalam mengatasi situasi
stress (DeLongis dan Meichenbaum dalam Passer dan Smith, 2004). Levine et al (dalam Carver, 1989) mengemukakan bahwa denial
akan berguna membantu menurunkan stress jika digunakan pada awal masa stress namun jika digunakan secara terus-menerus menjadi tidak efektif. Pendapat ini sesuai dengan Carver et al (1989) yang mengemukakan bahwa bentuk coping tertentu akan menjadi tidak berguna jika digunakan periode waktu yang lama sementara ada bentuk coping
Passer dan Smith (2004) mengemukakan bahwa tidak ada strategi coping
atau teknik yang efektif dalam semua situasi. Keefektifan coping yang digunakan tergantung pada karakteristik situasi, kecocokan antara situasi dengan teknik yang digunakan dan kemampuan individu dalam menyelesaikan suatu masalah. Individu akan dapat menyesuaikan diri dengan baik terhadap situasi stress dalam hidupnya termasuk ketika mengalami suatu penyakit jika individu tersebut mampu menguasai berbagai macam teknik coping dan tahu bagaimana serta kapan menggunakan teknik tersebut agar efektif menghadapi
stressor. Folkman dan Lazarus, Dunkel-Schetter, Delongis dan Gruen (1986) mengatakan bahwa kebanyakkan individu menggunakan kedua tipe strategi
coping secara simultan.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Strategi Coping
Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, 1997) mengatakan bahwa cara individu menangani situasi yang mengandung tekanan ditentukan oleh sumber daya individu yang meliputi :
a. Kesehatan Mental dan Energi
Aldwin dan Revenson (1987) mengemukakan bahwa individu yang kurang sehat mental cenderung menggunakan bentuk coping
Huffman (1997) mengatakan bahwa individu yang kuat memiliki cara mengatasi stress yang lebih baik dan mampu bertahan tanpa mengalami tahap keletihan dalam mengatasi stress.
b. Keyakinan atau pandangan yang positif
Gambaran diri dan sikap yang positif merupakan sumber coping
yang sangat efektif. Salah satu bentuk sikap yang positif adalah adanya harapan. Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, 1997) mengatakan bahwa harapan bisa berasal dari keyakinan pada diri sendiri. Dengan adanya harapan, seseorang menjadi mampu untuk merancang strategi
coping yang akan digunakan. Selain berasal dari keyakinan diri sendiri, harapan bisa juga berasal dari keyakinan akan orang lain, misalnya keyakinan pada dokter yang menangani penyakit yang diderita ataupun keyakinan pada Tuhan. Keyakinan merupakan sumber daya psikologis yang sangat penting.
c. Internal Locus of Control
Seseorang yang memiliki internal locus of control yang tinggi biasanya mampu mengontrol setiap kejadian yang terjadi dalam hidupnya sehingga akan sukses dalam mengatasi tekanan yang dihadapinya. Wallston dan Maides (dalam Huffman, 1997) mengemukakan bahwa pasien yang memiliki internal locus of control
external locus of control akan merasa bahwa dirinya tidak berdaya dan tidak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan dan penyakitnya. d. Keterampilan Sosial
Keterampilan ini meliputi kemampuan untuk berkomunikasi dan bertingkah laku dengan cara-cara yang sesuai dengan nilai-nilai sosial yang berlaku di masyarakat. Huffman (1997) mengatakan bahwa keterampilan sosial tidak hanya membantu kita dalam berinteraksi dengan orang lain namun juga membantu kita untuk mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan kita sehingga dapat mengurangi hostilitas terhadap situasi yang sedang dihadapi.
e. Dukungan Sosial
Dukungan ini meliputi dukungan pemenuhan kebutuhan informasi dan emosional pada diri individu yang diberikan oleh orang tua, anggota keluarga lain, saudara, teman dan lingkungan masyarakat sekitar. Huffman (1997) mengatakan bahwa dukungan sosial membantu seseorang untuk mengatasi tekanan yang sedang dihadapinya karena seseorang bisa belajar mengenai teknik-teknik menghadapi tekanan dari orang lain yang memiliki masalah yang serupa dengan dirinya. Bantuan atau dukungan keluarga merupakan salah satu keadaan yang bermanfaat bagi individu yang mengalami
tidak memperoleh dukungan sosial. Selain itu, individu yang memiliki dukungan sosial cenderung memilih bentuk coping yang adaptif daripada bentuk coping yang menghindar.
f. Sumber Material
Meliputi sumber daya baik berupa uang, barang ataupun layanan yang biasanya dapat dibeli. Uang merupakan salah satu sumber yang dapat mengurangi dampak akibat stress. Dengan menggunakan uang seseorang dapat mencari bantuan medis untuk mengobati penyakitnya atau mencari bantuan psikologis. Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) juga mengemukakan bahwa status ekonomi mempengaruhi penggunaan bentuk coping. Individu dengan status ekonomi yang tinggi cenderung menggunakan bentuk coping adaptif yang mengandung unsur fleksibilitas, logis dan realistis.
Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) menemukan bahwa status sosial juga berpengaruh terhadap kecenderungan perilaku coping. Pekerjaan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi status sosial khususnya bagi individu yang ada pada usia dewasa madya karena pada masa dewasa madya seorang individu akan mengalami kestabilan karir dan peningkatan prestasi kerja (Santrock, 1995). Makin tinggi status sosial individu cenderung menggunakan bentuk coping yang adaptif.
kemampuan mempersepsi, menilai, mengevaluasi dan bereaksi terhadap stimulus secara berbeda antara individu yang satu dengan yang lain. Individu yang mampu mempersepsikan bahwa dirinya memiliki kesempatan untuk berhasil dalam mengatasi stimulus yang mengancam cenderung menggunakan coping yang adaptif sedangkan individu yang mempersepsi bahwa dirinya akan gagal dalam mengatasi stimulus yang mengancam akan menggunakan bentuk coping menghindar. Karakteristik kepribadian yang paling banyak diteliti adalah pola perilaku kepribadian Tipe A dan tipe B. Menurut beberapa hasil penelitian ditemukan bahwa individu dengan tipe kepribadian A cenderung melakukan coping dalam bentuk mencari pokok masalah (problem-focused coping)
Folkman dan Lazarus (dalam Brannonn, 1996), juga menemukan bukti bahwa terdapat perbedaan jenis kelamin dalam pengalaman stress. Dalam penelitiannya, pria memiliki kecenderungan menggunakan strategi
oleh emosi seperti mudah tersentuh, perasa atau sensitif dan spontan banyak menggunakan emotional-focused coping. Namun, dalam penelitian Folkman dan Lazarus ditemukan tidak ada perbedaan frekuensi emotional-focused coping antara pria dan wanita. Peneliti lain yaitu Sandra Hamilton dan Beverly Fagot (Brannon, 1996) menemukan bahwa baik pria maupun wanita menggunakan strategi coping yang sama dalam situasi yang sama.
Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) menunjukkan bahwa ada perbedaan penggunaan bentuk coping pada individu dengan tingkat pendidikan yang berbeda. Individu dengan tingkat pendidikan yang tinggi cenderung menggunakan problem-focused coping. Peneliti lain yaitu Menaghan (dalam Nurhayati, 1994) juga menemukan bahwa orang-orang yang memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan realistis dan lebih aktif dalam memecahkan masalah dibandingkan orang-orang yang kurang berpendidikan sehingga mereka cenderung menggunakan bentuk coping
menghindar. Menurut Pearlin dan Billings (dalam Nurhayati, 1994) faktor usia juga mempengaruhi penggunaan bentuk coping. Hal ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Berk (2007) yang mengatakan bahwa individu yang berusia dewasa madya cenderung memiliki bentuk
coping yang efektif.
D. Strategi Coping Pada Penderita Pasca Stroke Dewasa Madya
semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya umur, hal ini merupakan salah satu karakteristik stroke (Harsono, 1994).
Stroke adalah gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul mendadak (dalam beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu. Gejala stroke tergantung pada dimana lokasi pecahnya pembuluh darah. Pecahnya pembuluh darah di otak tersebut akan berpengaruh pada semua aspek kehidupan seseorang baik secara pribadi, sosial, pekerjaan dan fisik (S.C Thompson dalam Taylor, 1995).
Stroke akan mengakibatkan perubahan pada kondisi fisik maupun psikis bagi penderitanya. Kondisi fisik seseorang setelah mengalami serangan stroke
(pasca stroke) sangat beragam tergantung pada lokasi pecahnya pembuluh darah. Ada penderita stroke yang pulih sempurna, ada pula yang sembuh dengan cacat ringan, cacat sedang ataupun cacat berat. Cacat yang diderita dapat mengakibatkan penderitanya tidak mampu melakukan banyak hal sehingga memaksa penderita menjadi tergantung kepada orang lain, juga dalam kebutuhan dasar untuk mandiri. Penderita pasca stroke juga mengalami gangguan pontesial seksual baik pada pria maupun pada wanita.
Selain mengalami perubahan pada kondisi fisik, penderita pasca stroke
Sekitar 25 – 50 % pasien stroke mengalami depresi setelah serangan stroke
(Andri, 2006). Depresi pasca stroke akan mempunyai dampak negatif pada pemulihan fungsi pasien dan memperlambat pemulihan kognitif pasien. Maka penanganan depresi pasca stroke dengan cepat, tepat dan baik akan sangat membantu pemulihan keadaan pasien, hingga lama perawatan di rumah sakit juga diperpendek. Namun, dalam kenyataannya perhatian dokter ataupun tenaga medis terhadap kondisi psikis pasien pasca stroke masih sangat kurang karena prioritas pengobatan hanya ditujukan pada penyakit fisiknya saja, sehingga gangguan-gangguan psikis yang timbul tidak terdiagnosis dan terobati secara memadai (Tonam, Sylvia dan Martina, 2003).
Perubahan kondisi fisik dan psikis yang dialami penderita pasca stroke
dinilai sebagai situasi stressfull bagi penderita pasca stroke karena perubahan tersebut akan berpengaruh pada semua aspek kehidupan dari penderitanya. Untuk mengatasi, menahan atau menurunkan aneka bentuk tekanan masalah yang ada dalam diri penderita pasca stroke dewasa madya dibutuhkan sebuah upaya yang disebut coping. Coping dapat berupa sikap, perasaan atau pikiran individu dalam usaha untuk mengatasi, menahan atau menurunkan efek negatif dari situasi yang mengancam (Baron dan Byrne dalam Nurhayati,1994).
1. Mengurangi hal-hal yang membahayakan dari situasi dan kondisi lingkungan, serta meningkatkan kemampuan untuk pulih
2. Menyesuaikan diri terhadap kejadian-kejadian negatif yang dijumpai dalam kehidupan nyata
3. Mempertahankan citra diri yang positif 4. Mempertahankan keseimbangan emosional
5. Meneruskan hubungan yang memuaskan dengan orang lain
Lazarus (1984) membedakan strategi coping menjadi dua bentuk, yaitu
problem-focused coping dan emotional-focused coping. Problem-focused coping yaitu usaha nyata berupa perilaku individu untuk mengatasi masalah, tekanan, tantangan dengan mengubah kesulitan hubungan dengan lingkungan sedangkan emotional-focused coping yaitu usaha untuk memperoleh rasa nyaman dan memperkecil tekanan yang dirasakan, hal ini sifatnya sementara.
E. Skema Penelitian
Stroke ancaman bagi dewasa
madya
Pasca stroke pada dewasa
madya
Perubahan : 1. Kondisi fisik : gangguan
motorik dan potensial seksual
2. Kondisi psikis : gangguan emosi dan kognitif
F. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan dalam penelitian ini adalah strategi coping apakah yang digunakan oleh penderita pasca stroke dewasa madya dan pada tingkat mana strategi coping tersebut digunakan oleh penderita pasca stroke dewasa madya? 1. Secara umum
2. Berdasarkan jenis kelamin 3. Berdasarkan tingkat pendidikan 4. Berdasarkan jenis dan status pekerjaan
38
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan
untuk mendeskripsikan atau memberikan gambaran terhadap objek yang
hendak diteliti melalui data sampel atau populasi sebagaimana adanya tanpa
melakukan analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku umum (Sugiyono,
2000). Penelitian ini menggunakan data kuantitatif yang diperoleh melalui
analisis skor jawaban subjek pada skala strategi
coping
sehingga nantinya
akan diperoleh gambaran ataupun deskripsi mengenai strategi
coping
yang
digunakan oleh penderita
pasca stroke
dewasa madya.
B. Identifikasi Variabel
Variabel penelitian adalah atribut atau sifat atau nilai dari orang, obyek
atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentu yang ditetapkan oleh peneliti
untuk dipelajari dan ditarik kesimpulannya (Sugiyono, 2000). Adapun variabel
C. Definisi Operasional
Data mengenai strategi
coping
yang digunakan oleh penderita
pasca stroke
dewasa madya diperoleh melalui respon subjek terhadap skala. Skala strategi
coping
yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua bentuk skala yaitu
skala
problem-focused coping
dan skala
emotional-focused coping
.
Problem-focused coping
adalah usaha berupa tindakan nyata yang dilakukan penderita
pasca stroke
untuk menghadapi
situasi stress pasca stroke
sedangkan
emotional-focused coping
adalah usaha yang dilakukan oleh penderita
pasca
stroke
untuk mengatasi situasi
stress pasca stroke
dengan cara mengatur
emosinya. Jadi, akan diperoleh skor tersendiri untuk masing-masing strategi
coping
.
Skor
problem-focused coping
diperoleh dari 5 komponen
problem-focused
coping
yang dikemukakan oleh Carver et al (1989), yaitu :
1)
Active Coping
(AC)
,
merupakan proses pengambilan langkah secara
aktif untuk menghilangkan tekanan yang dialami akibat
stroke
atau
memperbaiki dampak
stroke
.
2)
Planning
(P), merupakan upaya memikirkan bagaimana mengatasi
tekanan akibat sakit
stroke
yang didalamnya terdapat strategi-strategi
tindakan, memikirkan langkah yang akan dilakukan dan bagaimana
penanganan terbaik untuk mengatasi dampak
stroke
.
mengesampingkan hal-hal atau aktivitas lain yang dianggap tidak
perlu.
4)
Restraint Coping
(RC)
,
merupakan usaha untuk menahan diri
melakukan respon terhadap usaha pemulihan kesehatan akibat
stroke
sampai ada kesempatan atau waktu yang dianggap tepat.
5)
Seeking Social Support for Instrumental Reasons
(SSSIR), merupakan
usaha untuk mencari dukungan sosial, misalnya nasehat, informasi dan
bantuan dari orang lain.
Skor
emotional-focused coping
diperoleh dari 8 komponen
emotional-focused coping
yang dikemukakan oleh Carver et al (1989),
yaitu :
1)
Positive Reinterpretation and Growth
(PRG), merupakan usaha
individu untuk berpikir positif atas masalah yang dihadapinya.
2)
Acceptance
(A)
,
merupakan sikap menerima kondisi
pasca stroke
karena situasi tersebut sulit diubah.
3)
Denial
(D)
,
merupakan usaha untuk menolak realita bahwa dirinya
mengalami
stroke
untuk membuat emosi menjadi stabil.
4)
Behavioral Disengagement
(BD)
,
merupakan kecenderungan untuk
menurunkan upaya dalam mengatasi tekanan akibat
stroke
dengan cara
menghentikan upaya untuk mencapai tujuan pemulihan kesehatan
(menyerah).
6)
Turning to Religion
(TR)
,
upaya yang dilakukan untuk kembali pada
agama karena agama dapat menjadi sumber dukungan moral dan
memperkuat sikap berpikir positif.
7)
Focus on and venting emotion
(FVE)
,
upaya yang dilakukan seseorang
dengan cara melepaskan perasaan atau emosinya.
8)
Seeking Social Support for Emotional Reasons
(SSSER), upaya untuk
mencari dukungan sosial seperti mendapat dukungan moral, simpati
atau pengertian dari orang lain.
Semakin tinggi skor subjek pada item-item yang mengungkap
problem-focused coping
berarti subjek memiliki kecenderungan yang tinggi
menggunakan
problem-focused coping
dalam menghadapi situasi
stress
pasca stroke
. Demikian pula halnya dengan perolehan skor pada item-item
yang mengungkap
emotional-focused coping
, semakin tinggi skor subjek
pada item-item yang mengungkap
emotional-focused coping
berarti subjek
memiliki kecenderungan yang tinggi menggunakan
emotional-focused coping
dalam menghadapi situasi
stress pasca stroke
.
D. Subjek Penelitian
Penelitian ini menggunakan teknik pengambilan sampel dengan cara
purposive sampling
yaitu teknik pengambilan sampel dengan cara memilih
sekelompok subjek berdasarkan ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang
dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau sifat-sifat
Berdasarkan hal tersebut, peneliti memilih penderita
pasca stroke
yang
sedang melakukan
check-up
kesehatan maupun sedang mengikuti program
rehabilitasi di Rumah Sakit Kristen Ngesti Waluyo Parakan dan Rumah Sakit
Bethesda Yogyakarta. Adapun kriteria subjek dalam, penelitian ini adalah :
1.
Pria dan wanita dengan usia antara 40-60 tahun
2.
Pernah mengalami
stroke
dan dalam kondisi pemulihan
pasca stroke
3.
Sedang menjalani program rehabilitasi
pasca stroke
di rumah sakit tertentu
Peneliti memilih subjek penelitian pria dan wanita yang berusia 40-60
tahun karena pada usia tersebut individu dikatakan memasuki usia dewasa
madya, selain itu pada usia tersebut banyak individu yang memiliki masalah
kesehatan khususnya
stroke
. Santrock (1995) mengemukakan bahwa masa
dewasa madya adalah masa di mana seseorang akan mengalami kestabilan di
bidang karir dan hubungan keluarga. Kestabilan ini akan menjadi tidak artinya
jika seorang individu terserang
stroke
karena
stroke
akan mengakibatkan
kecacatan bagi penderitanya. Alasan peneliti untuk memilih subjek penelitian
yang pernah mengalami
stroke
dan dalam kondisi pemulihan
pasca
stroke
ataupun sedang menjalani program rehabilitasi
pasca stroke
didasarkan pada
pertimbangan agar peneliti benar-benar mendapat data penelitian sesuai
dengan tujuan penelitian ini, yaitu memberi gambaran mengenai strategi
E. Metode dan Alat Pengumpulan Data
1. Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan untuk mengumpulkan data dalam penelitian
ini adalah dengan penyebaran skala yang diisi oleh subjek. Skala
merupakan kumpulan pernyataan yang disusun dengan cara tertentu
mengenai suatu objek yang hendak diungkap dari diri subjek. Skala yang
digunakan dalam penelitian ini adalah skala “Strategi
Coping
”. Pada skala
tersebut juga disertakan beberapa pertanyaan untuk mengungkap identitas
diri subjek penelitian seperti nama, usia, jenis kelamin dan pendidikan
terakhir, pekerjaan, alamat dan lama sakit.
Skala strategi
coping
yang digunakan dalam penelitian ini
merupakan skala baru yang disusun oleh penulis sendiri namun
menggunakan pendapat Carver et al (1989) dalam penyusunan item-item
skala strategi
coping
. Butir-butir item dalam skala strategi
coping
ini
disusun menggunakan metode
summated ratings
yang popular dengan
nama pengembangan skala Likert. Skala ini terdiri atas 5 kategori
jawaban, yaitu : sangat sesuai (SS), sesuai (S), netral (N), tidak Sesuai
(TS) dan sangat tidak sesuai (STS). Melalui kategori jawaban ini, dapat
dilihat kecenderungan responden ke arah sesuai atau tidak sesuai. Dalam
penelitian ini hanya digunakan 4 kategori jawaban, kategori netral (N)
tidak disertakan. Hadi (1991) mengatakan bahwa pengembangan skala
Likert yang terdiri dari 4 kategori jawaban dimaksudkan untuk
kategori jawaban. Kategori netral yang terdapat pada pengembangan skala
Likert dengan 5 kategori jawaban memiliki arti ganda, yaitu bisa diartikan
belum dapat memutuskan atau ragu-ragu. Tersedianya jawaban netral atau
tengah menimbulkan kecenderungan untuk menjawab ke tengah (
Central
Tendency Effect
) terutama bagi mereka yang ragu-ragu atas
kecenderungan arah jawabannya. Oleh karena itu, pengembangan skala
Likert yang digunakan dalam penelitian ini adalah pengembangan skala
Likert yang terdiri atas 4 kategori jawaban.
2. Alat Pengumpulan Data
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah skala
strategi
coping
. Skala ini bertujuan untuk melihat bentuk strategi
coping
yang
digunakan oleh penderita
pasca
stroke
dewasa madya. Skala ini
merupakan skala baru yang disusun oleh peneliti sendiri namun mengacu
pada komponen strategi
coping
yang dikemukakan oleh Carver et al
(1989). Komponen
problem-focused coping
terdiri dari
activate coping,
planning, suppression of competing activities, restraint coping dan seeking
social support for instrumental reason
sedangkan komponen
emotional-focused coping
terdiri dari
positive reinterpretation and growth,
acceptance, denial, behavioral disengagement, mental disengagement,
turning to religion, focus on and venting emotion dan seeking social
support for emotional reasons.
3. Skoring
Pemberian skor pada setiap item adalah, sbb : SS = 4, S = 3, TS = 2,
STS = 1. Untuk lebih jelasnya, lihat tabel 1.
Tabel 1
Skor Skala
Strategi Coping
Jawaban Skoring SS 4
S 3 TS 2 STS 1
Subjek yang memiliki nilai skor yang tinggi pada item-item yang
mengungkap
problem-focused coping
memiliki arti bahwa subjek tersebut
cenderung menggunakan
problem-focused coping
dalam menghadapi
situasi
stress pasca stroke
. Demikian pula, jika subjek memiliki nilai skor
yang tinggi pada item-item yang mengungkap
emotional-focused coping
memiliki arti bahwa subjek tersebut cenderung menggunakan
emotional-
focused coping
dalam menghadapi situasi
stress pasca stroke
.
4. Isi Skala
Tabel 2
Blue Print
Skala Strategi
Coping
pada Penderita
Pasca Stroke
Dewasa Madya (sebelum uji coba)
No. Bentuk Dimensi Tindakan Nomor Item Jumlahitem Active Coping 1, 6, 11, 16, 21, 26, 31,
36 8
Planning 2, 7, 12, 17, 22, 27, 32,
37 8
Suppression for Competing Activities