• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Transformasi Tenaga Kerja

VI. FAKTOR DETERMINAN TERHADAP TRANSFORMASI TENAGA KERJA PERTANIAN

6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Transformasi Tenaga Kerja

Pengujian koefisien regresi secara individu menunjukkan bahwa hanya varibel indeks pendidikan (IP) yang mempunyai pengaruh signifikan secara statistik terhadap transformasi tenaga kerja dan terdapat perbedaan rata-rata indeks transformasi tenaga kerja berdasarkan tipologi industri. Bila dilihat dari nilai probalilitasnya, nilai probabilitas yang lebih kecil dari taraf nyata adalah partisipasi pendidikan dan jenis industrialisasi padat tenaga kerja. Sedangkan nilai probabilitas variabel-variabel lainnya seperti indeks konversi, indeks disparitas, dan tipologi industri padat modal lebih besar dari pada taraf nyata.

Dari model persamaan tersebut, implikasinya adalah dengan laju konversi, disparitas antara produktivitas relatif industri dan produktivitas relatif pertanian yang tetap serta tipologi industri yang sama, kenaikan satu persen tingkat pendidikan SMU atau yang sederajat dari angkatan kerja di suatu wilayah, akan dihasilkan penambahan transformasi tenaga kerja sebesar 4,43 persen. Analisa tipologi industri dapat diinterpretasikan bahwa terdapat perbedaan rata-rata laju transformasi tenaga kerja berdasarkan tipologi industri. Perbedaan terjadi antara industri yang padat sumber daya alam, padat tenaga kerja dan industri padat modal. Pada indeks konversi, disparitas, dan pendidikan tetap, transformasi tenaga kerja pada tipologi industri yang padat modal rata-rata lebih tinggi 20,1% dibanding transformasi tenaga kerja pada tipologi industri padat sumber daya alam. Pada indeks konversi, disparitas, dan pendidikan tetap, transformasi tenaga kerja pada tipologi industri yang padat tenaga kerja rata-rata lebih tinggi 188% dibanding transformasi tenaga kerja pada tipologi industri padat sumber daya alam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju konversi tidak berpengaruh signifikan terhadap laju transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini menunjukkan bahwa dengan berkurangnya kepemilikan lahan sawah oleh petani tidak sepenuhnya mendorong perpindahan mata pencaharian

dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti:

i Dengan berkurangnya atau tanpa kepemilikan lahan, transformasi tenaga kerja tidak hanya berlangsung dari sektor pertanian ke sektor industri, namun mungkin saja berlangsung dari sektor pertanian ke sektor jasa, ii Selain petani padi yang mengelola lahan sawah, tenaga kerja pertanian

dalam penelitian ini memiliki cakupan lebih luas, yaitu mencakup peternak, petani perkebunan, hortikultura serta pelaku usaha perikanan. Sehingga tidak seluruh petani akan mengalami pengurangan faktor produksi akibat terjadinya konversi lahan. Petani selain tanaman padi sawah, relatif tidak menanggung dampak dari konversi lahan sawah, sehingga konversi lahan sawah bukan menjadi alasan bagi petani perkebunan, hortikultura, peternak dan pelaku usaha perikanan untuk berpindah pekerjaan ke sektor industri, iii Terkait dengan relatif rendahnya produktivitas sektor pertanian, walaupun

tidak terjadi konversi, kepemilikan lahan sawah yang pada umumnya relatif kecil juga mendorong petani untuk mencari sumber pendapatan lain karena pendapatan yang didapatkan dari usaha padi sawah yang dimiliki belum dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak. Misalnya petani yang juga menjadi tukang ojek untuk mendapatkan pendapatan tambahan. Sehingga dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani yang memiliki lahan sawah sempit telah berada pada transisi ke sektor non-pertanian yang dimulai dari sektor informal.

Disparitas atau ketimpangan produktivitas relatif antara sektor industri dan pertanian tidak semata-mata menyebabkan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Disparitas produktivitas relatif secara sekilas memang menggambarkan tingkat perbandingan antara pendapatan tenaga kerja di sektor industri dengan tenaga kerja di sektor pertanian. Disparitas yang tinggi dapat memotivasi tenaga kerja di sektor pertanian untuk berpindah ke sektor industri, namun transformasi tenaga kerja ke sektor industri ini menemui beberapa hambatan dalam hal kualifikasi dan daya serap industri. Beberapa industri menghasilkan output yang relatif besar hanya dengan memperkerjakan sedikit tenaga kerja. Dari sisi pemerataan, disparitas yang tinggi bukan berarti pendapatan

semua tenaga kerja di sektor industri jauh lebih tinggi daripada sektor pertanian. Tenaga kerja tingkat bawah di pabrik umumnya mendapatkan gaji tidak jauh dari UMR, sedangkan tenaga kerja manajemen tingkat atas mendapatkan gaji jauh lebih tinggi. Selain itu, ada kemungkinan produktivitas relatif sektor pertanian yang lebih rendah dapat juga mendorong tenaga kerja sektor pertanian untuk semakin mengintensifkan usaha pertanian sehingga outputnya juga semakin besar.

Indeks pendidikan yang menggambarkan tingkat partisipasi pendidikan setingkat SMU berpengaruh terhadap transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Semakin tinggi tingkat pendidikan tenaga kerja, maka peluang untuk berpindah ke sektor industri juga semakin besar. Sebaliknya, semakin rendah tingkat partisipasi pendidikan setingkat SMU, semakin kecil peluang tenaga kerja pertanian untuk pindah ke sektor industri. Walaupun demikian, fenomena perpindahan tenaga kerja yang berlatar belakang pendidikan relatif tinggi dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian tidak selalu terjadi. Sektor pertanianpun masih menyediakan peluang bagi tenaga kerja yang berpendidikan tinggi. Tidak hanya agroindustri, budidaya beberapa komoditas pertanian yang bernilai tinggi juga memerlukan tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan dan keahlian yang relatif tinggi. Penggunaan mekanisasi dan teknologi modern di sektor pertanian menuntut penyediaan tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan tinggi ataupun memiliki keahlian tertentu. Dengan demikian, walaupun terdapat korelasi antara tingkat pendidikan tenaga kerja dengan transformasi tenaga kerja, tidak berarti bahwa yang bekerja di sektor pertanian adalah tenaga kerja yang berpendidikan rendah.

Dari beberapa jenis industrialisasi, industri yang memberi penambahan terhadap transformasi tenaga kerja terbesar adalah industri padat tenaga kerja. Industri padat tenaga kerja pada umumnya menyerap banyak tenaga kerja yang berpendidikan menengah, bahkan rendah dan tidak memiliki ketrampilan atau keahlian khusus. Industri semacam ini lebih cenderung mengutamakan jumlah tenaga kerja walaupun dengan ketrampilan dan keahlian yang relatif rendah. Tenaga kerja dengan pendidikan, ketrampilan ataupun keahlian khusus hanya berjumlah sangat sedikit. Dengan demikian, keberadaan industri padat tenaga

kerja di suatu wilayah dapat meningkatkan jumlah tenaga kerja sektor pertanian yang bertransformasi ke sektor industri.

Industri padat modal menyerap tenaga kerja relatif kecil dibanding industri padat tenaga kerja. Komponen modal merupakan faktor utama dalam menentukan keberlangsungan industri. Industri padat modal umumnya mengandalkan teknologi untuk menghemat tenaga kerja. Tenaga kerja yang diserap industri ini relatif sedikit namun memiliki latar belakang pendidikan, ketrampilan dan keahlian khusus. Sehingga keberadaan industri padat modal yang dominan dalam menyumbang PDRB di suatu wilayah tidak dapat menyediakan kesempatan kerja di sektor industri yang cukup banyak.

Jenis industrialisasi padat sumber daya alam berdasarkan hasil analisa ekonometri menunjukkan penambahan paling kecil terhadap transformasi tenaga kerja dibandingkan industri padat tenaga kerja maupun padat modal. Di dalam industri padat sumber daya alam ini terdapat industri berbasis komoditi pertanian lokal maupun berbasis bahan tambang. Beberapa agroindustri mampu menyerap tenaga kerja cukup banyak, namun beberapa agroindustri relatif membutuhkan bahan baku lebih banyak dibandingkan tenaga kerja. Pada agroindustri yang telah menggunakan teknologi, kebutuhan tenaga kerja menjadi semakin sedikit. Walaupun demikian, agroindustri tetap merupakan jenis industri yang dapat mrndorong peningkatan produksi sektor pertanian karena kuatnya backward effect ke sektor pertanian. Peningkatan volume produksi sektor industri padat sumber daya alam akan meningkatkan permintaan terhadap hasil-hasil pertanian, sehingga merangsang peningkatan produksi sektor pertanian.

Kondisi ini tidak terjadi pada wilayah dengan tipologi padat sumber daya alam yang berupa industri tambang. Perkembangan industri tambang tidak secara langsung mendorong peningkatan permintaan produk pertanian. Sebagian besar industri tambang, terutama skala besar tidak membutuhkan tenaga kerja yang cukup banyak. Industri-industri tambang skala besar umumnya menyumbang PDRB cukup besar, bahkan di beberapa daerah pertambangan, industri tambang dapat menjadi penggerak utama perekonomian. Terlepas dari peran industri tambang yang cukup penting ini, perkembangan industri tambang kurang diiringi dengan pertambahan penyerapan tenaga kerja.