• Tidak ada hasil yang ditemukan

Impact of Wetland Conversion and Industrialization to Labor Transformation in Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Impact of Wetland Conversion and Industrialization to Labor Transformation in Java"

Copied!
161
0
0

Teks penuh

(1)

TRANSFORMASI TENAGA KERJA DI PULAU JAWA

DYAH MARGANI UTAMI

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis Dampak Konversi Lahan Sawah dan Industrialisasi terhadap Transformasi Tenaga Kerja di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Desember 2012

(3)

DYAH MARGANI UTAMI. Impact of Wetland Conversion and Industrialization to Labor Transformation in Java. Under direction of SETIA HADI as Chairman and I WAYAN RUSASTRA as Member of the Advisory Committee)

Java is the biggest rice supplier with the largest wetland compared to other islands in Indonesia. However as the most of non-agricultural activities occur in Java, Java suffered from largest wetland conversion. The aims of the reseach were analyzing the wetland conversion in Java spatially, comparing the wetland conversion rate and rice productivity, economic and population growth as well as viewing the influence of wetland conversion rate, industrialization and other factors to the rate of labor transformation from agricultural to industrial sector. Result of spatial analizing using Arc View showed largest wetland conversion from 1986 to 2010 occured in biggest cities and composing economic regions. From the linear trends of wetland availability and rice production, the rice production still increased annually although the availability of wetland decreased. In every region there is disparity of relative productivity between industry and agricultural sector. From 2000 to 2010, some disparities are convergent and some other are divergent due to fluctuation of share of GDP and amount of labor. The econometric result using Eviews 7 in estimating panel data from 2001 to 2010 to predict the effect of GDP and population showed that GDP and population significantly effect on wetland availability. In predicting some factor that influence the labor transformation, the multiple regression model showed only education index that significantly effect the labor transformation from agricultural to industry sector. Other factors such as rate of wetland conversion, disparity of relative productivity between agricultural and industry sector do not significantly cause the shift of labor from agricultural to industrial sector. Tipology of labor based industry presented the biggest addition to transformation rate compare to capital based and natural resources based industries.

(4)

DYAH MARGANI UTAMI. Dampak Konversi Lahan Sawah dan Industrialisasi terhadap Transformasi Tenaga Kerja di Pulau Jawa. Dibimbing oleh SETIA HADI dan I WAYAN RUSASTRA.

Pulau Jawa merupakan pemasok utama beras di Indonesia dan memiliki lahan sawah paling luas dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia. Namun Pulau Jawa mengalami konversi lahan sawah terluas seiring dengan beragam kegiatan non-pertanian yang sebagian besar berpusat di Pulau Jawa. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa konversi lahan sawah di Pulau Jawa secara spasial, membandingkan perkembangan antara laju konversi dengan produksi padi, serta pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk. Di dalam penelitian ini juga dibahas pengaruh konversi lahan sawah, industrialisasi dan faktor-faktor lainnya yang mempengaruhi transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hasil analisis spasial dengan menggunakan Arc View menunjukkan bahwa berdasarkan data dari tahun 1986 sampai 2010, konversi lahan sawah terbesar terjadi di kota-kota besar dan membentuk suatu wilayah. Dari analisa penggambaran perubahan secara linier antara ketersediaan lahan sawah dan produksi padi, terlihat bahwa produksi padi mengalami peningkatan dari tahun ke tahun walaupun ketersediaan lahan sawah semakin berkurang. Di setiap wilayah selalu terjadi disparitas atau ketimpangan produktivitas relatif antara sektor industri dan pertanian. Antara tahun 2000 sampai 2010 disparitas ini mengalami perubahan. Di sebagian wilayah disparitas ini semakin mengecil (konvergen) tetapi beberapa wilayah lain disparitasnya semakin melebar (divergen). Hal ini terjadi seiring dengan perubahan PDRB yang dihasilkan dan jumlah tenaga kerja yang ada. Hasil perhitungan ekonometri berdasarkan data panel tahun 2000-2010 dengan menggunakan program Eviews 7, menunjukkan bahwa PDRB total dan jumlah penduduk mempengaruhi luas lahan sawah di suatu wilayah. Dari persamaan model regresi linier berganda yang digunakan untuk menduga pengaruh beberapa faktor terhadap transformasi tenaga kerja dapat dikatakan bahwa hanya indeks pendidikan yang berpengaruh nyata terhadap transformasi tenaga kerja. Faktor-faktor lainnya seperti laju konversi lahan sawah dan ketimpangan produktivitas relatif antara sektor pertanian dan industri tidak mempengaruhi tranformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Tipologi industri padat tenaga kerja menyumbang penambahan rata-rata transformasi tenaga kerja yang terbesar dibandingkan industri padat modal dan padat sumber daya alam.

(5)

Pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia disertai dengan perubahan struktur perekonomian yang direfleksikan oleh menurunnya pangsa sektor pertanian dan meningkatnya pangsa sektor non-pertanian terhadap produk domestik bruto. Perubahan struktur perekonomian ini diiringi oleh transformasi spasial dalam bentuk alihfungsi atau konversi lahan dari fungsi pertanian ke non-pertanian dan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke non pertanian. Konversi lahan pertanian, khususnya lahan sawah di Jawa akan mengurangi input tetap sektor pertanian, khususnya padi sawah yang sebagian besar diusahakan oleh petani. Pengurangan luas lahan sawah ini dapat mendorong petani untuk berpindah mata pencaharian atau bertransformasi dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian (sektor industri dan jasa). Di sisi lain, struktur industrialisasi juga mempengaruhi besaran serapan tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri. Hal ini melatarbelakangi tujuan penelitian yaitu: (1) mempelajari sebaran laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa, (2) mempelajari dinamika produksi padi terkait dengan laju konversi lahan sawah, (3) menganalisis hubungan antara laju konversi dengan pertumbuhan ekonomi dan jumlah penduduk, (4) mempelajari dinamika produktivitas di sektor pertanian dan sektor industri dan (5) menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri.

Secara umum, penelitian ini bersifat deskriptif terkait dengan sebaran konversi dan kuantitatif dalam menganalisa data cross-section tahun 2010 serta data panel tahun 2001 sampai 2010. Analisis spasial menggunakan Arc View, sedangkan analisis ekonometrika menggunakan Eviews 7 dan Minitab 15. Penelitian ini menggunakan data sekunder di 33 kabupaten/kota di Pulau Jawa. Data diperoleh dari laporan Daerah dalam Angka, Sensus Pertanian, Sensus Penduduk dan Susenas yang dilakukan oleh BPS, serta data-data lain yang ada di tingkat kabupaten. Data yang dibutuhkan adalah data tingkat provinsi dan kabupaten yang antara lain berupa: (1) luasan lahan sawah padi, poduksi, luas lahan panen dan produksi rata- rata padi sawah antara tahun 1986 sampai 2010, (2) PDRB, jumlah penduduk dan tenaga kerja sektor pertanian dan sektor industri tahun 2000 sampai 2010, (3) pangsa atau kontribusi masing-masing klasifikasi industri terhadap PDRB antara tahun 2000 sampai 2010, dan (4) persentase tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan minimal setingkat SMU atau sederajat.

Analisis menggunakan Arc View untuk penggabungan data ke peta sehingga dapat disajikan luas dan sebaran konversi lahan secara spasial. Berdasarkan besaran perubahan luasan lahan, maka seluruh kabupaten/kota di Pulau Jawa akan dibedakan menjadi beberapa kategori berdasarkan interval tertentu. Laju konversi netto rata-rata per tahun dibedakan menjadi: (1) laju konversi netto rata-rata per tahun ≤ 1%, (2) 1% < laju konversi netto rata-rata per tahun ≤ 3%, (3) 3% < laju konversi netto rata-rata per tahun ≤ 5%, (4) 5% < laju konversi netto rata-rata per tahun ≤ 7% dan (5) laju konversi netto rata -rata per tahun > 7%. Sedangkan perbandingan luas lahan sawah dibanding luas wilayah keseluruhan dikelompokkan menjadi: (1) luas lahan sawah dibanding luas total wilayah >

40%, (2) 30% < luas lahan sawah dibanding luas total wilayah ≤ 40%, (3) 20% < luas lahan sawah dibanding luas total wilayah ≤ 30%, (4) 10% < luas lahan sawah dibanding luas total wilayah ≤ 20%, dan (5) luas lahan sawah dibanding luas total wilayah < 10%.

(6)

tinggi PDRB total dan semakin banyak penduduk, luas lahan sawah akan semakin kecil. Hasil pengamatan pada delapan kabupaten di Pulau Jawa secara umum menunjukkan bahwa sebagian tenaga kerja pertanian tidak langsung berpindah ke sektor industri formal, tetapi terlebih dulu menjadi tenaga kerja di sektor informal. Semakin banyak industri kecil dan rumah tangga informal, perpindahan tenaga kerja dari sektor pertanian ke industri akan relatif lebih mudah. Dinamika ketimpangan produktivitas relatif antara tahun 2000 - 2010 menunjukkan kecenderungan yang berbeda antara delapan kabupaten yang menjadi fokus penelitian. Ketimpangan produktivitas relatif antara sektor industri dan sektor pertanian di beberapa daerah seperti Kabupaten Serang, Purwakarta, Magelang, Kudus, Tuban dan Pasuruan semakin konvergen. Sedangkan di Kabupaten Bekasi dan Garut ketimpangan ini semakin divergen. Kecenderungan ini merupakan gambaran dari perubahan pangsa/share PDRB terhadap perubahan pangsa tenaga kerja di sektor industri dan sektor pertanian. Kedelapan kabupaten yang menjadi fokus penelitian memiliki produktivitas relatif sektor industri yang lebih tinggi daripada sektor pertanian, kecuali Kabupaten Garut. Di Kabupaten Garut, produktivitas relatif sektor industri lebih rendah daripada sektor pertanian.

(7)

@ Hal Cipta milik IPB, tahun 2013 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

TRANSFORMASI TENAGA KERJA DI PULAU JAWA

DYAH MARGANI UTAMI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

SEKOLAH PASCA SARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

NIM : H152100091

Menyetujui Komisi Pembimbing

Mengetahui

Tanggal Ujian: 21 November 2012 Tanggal Lulus: Dr. Ir. Setia Hadi, MS

Ketua

Prof. Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU Anggota

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan

Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, M. Si

Dekan Sekolah Pasca Sarjana

(10)

Ungkapan yang paling utama dihaturkan Penulis adalah Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa melimpahkan nikmat tak terhingga selama Penulis menyelesaikan program pendidikan stratra dua (S2) di IPB.

Kepada Dr. Ir. Setia Hadi, MS dan Prof. Dr. Ir. I Wayan Rusastra, APU selaku tim pembimbing, penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya atas bimbingan, arahannya dan segala bantuannya. Penulis juga mengucakan terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Bambang Juanda, MSi sebagai Ketua Program Studi PWD, Dr. Ir. Eka Intan Kumala, dosen-dosen PWD serta jajarannya yang telah memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan S2.

Rasa terima kasih penulis yang spesial untuk Kabul Indrawan, belahan jiwa yang selalu membantu dan mendampingi, juga kepada Khalil Acyuta Hafiidh Indrawan dan Khafi Dheva Adhzeem Indrawan atas warna dan keceriaan yang telah dibagi kepada penulis. Terima kasih juga atas doa eyang tuban dan eyang bekasi serta keluarga lainnya.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada rekan-rekan mahasiswa PWD, khususnya angkatan 2010 serta rekan-rekan di bagian perencanaan BPPSDMP Kementerian Pertanian atas segala support dan inspirasinya. Tidak lupa juga penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu. Semoga Allah SWT membalas kebaikan Bpk/Ibu/Sdr semua.

Penulis menyadari bahwa keterbatasan ilmu dan pemahaman yang ada pada penulis menyebabkan tesis ini jauh dari sempurna. Semoga ketidaksempurnaan ini tidak banyak mengurangi manfaat dari tesis ini. Oleh karena itu, kritik dan saran yang konstruktif sangat penulis harapkan. Atas perhatian semua pihak, penulis ucapkan terima kasih.

(11)

kedua dari tiga bersaudara. Ayah penulis bernama Margono dan ibu penulis bernama Kusti Rahayu.

Pendidikan SD sampai dengan SMU penulis tempuh di Tuban. Pada tahun 1995 penulis diterima di Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian IPB dan lulus pada tahun 2000. Setelah lulus sarjana penulis sempat bekerja di CIDES Consultant, Sampoerna Print Pack dan pada tahun 2005 penulis mulai bekerja di Kementerian Pertanian. Selama bertugas di Kementerian Pertanian inilah penulis mendapatkan beasiswa S2 di IPB.

(12)
(13)

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian ... 8

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 11

2.1. Tinjauan Teoritis... 11

2.1.1. Proses dan Dampak Konversi Lahan Sawah ... 11

2.1.2. Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani ... 15

2.1.3. Transformasi Ekonomi dan Tenaga Kerja Pertanian dan Industri 16 2.1.4. Industrialisasi ... 23

2.1.5. Tingkat Pendidikan Masyarakat ... 26

2.2. Penelitian Terdahulu ... 27

2.3. Kerangka Pemikiran ... 28

2.4. Hipotesis ... 30

BAB III. METODE PENELITIAN ... 31

3.1. Pendekatan Penelitian ... 31

3.2. Jenis dan Sumber Data ... 31

3.3. Lokasi Penelitian ... 32

3.4. Metode Analisis Data ... 33

3.4.1. Analisis Spasial ... 33

3.4.2. Transformasi Tenaga Kerja... 34

3.4.3. Konversi Lahan Sawah ... 35

3.4.4. Produktivitas Tenaga Kerja ... 36

3.4.7. Persamaan Ekonometrika ... 37

BAB IV. KONVERGENSI DAN FAKTOR DETERMINAN KONVERSI LAHAN SAWAH ... 45

4.1. Sebaran Laju Konversi Lahan Sawah di Pulau Jawa ... 45

4.2. Kecenderungan Produksi Padi Sawah di Pulau Jawa ... 56

4.3. Pengaruh PDRB dan Jumlah Penduduk terhadap Luas Lahan Sawah 58 BAB V. INDUSTRIALISASI DAN PENDIDIKAN ... 65

5.1. Komparasi Spasial Profil Industri di Lokasi Penelitian ... 65

5.1.1. Kabupaten Serang ... 66

(14)

5.1.3. Kabupaten Purwakarta ... 70

5.1.4. Kabupaten Garut ... 72

5.1.5. Kabupaten Magelang ... 73

5.1.6. Kabupaten Kudus ... 75

5.1.7. Kabupaten Tuban ... 76

5.1.8. Kabupaten Pasuruan ... 78

5.2. Komparasi Disparitas Produktivitas Relatif ... 79

5.2.1. Kabupaten Serang ... 81

5.2.2. Kabupaten Bekasi ... 83

5.2.3. Kabupaten Purwakarta ... 85

5.2.4. Kabupaten Garut ... 87

5.2.5. Kabupaten Magelang ... 90

5.2.6. Kabupaten Kudus ... 93

5.2.7. Kabupaten Tuban ... 94

5.2.8. Kabupaten Pasuruan ... 96

5.2. Analisis Tingkat dan IndeksPendidikan ... 98

BAB VI. FAKTOR DETERMINAN TRANSFORMASI TENAGA KERJA PERTANIAN ... 101

6.1. Estimasi Parameter Transformasi Tenaga Kerja ... 101

6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Transformasi Tenaga Kerja ... 102

BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN ... 107

7.1. Kesimpulan ... 107

7.2. Saran ... 108

DAFTAR PUSTAKA ... 111

(15)
(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Jawa, 2000-2009 ... 2

2. PDRB dan Tenaga Kerja pada Berbagai Sektor di Pulau Jawa, 2002-2009 ... 3

3. Perkembangan Produktivitas Parsial menurut Sektor Ekonomi di Pulau Jawa (Rp. juta/orang) ... 4

4. Perkembangan Luas Konversi Lahan Sawah Netto di Jawa, 1979- 2000 ... 14

5. Proporsi dan Kecenderungan Kepemilikan Lahan dan Rumah Tangga Petani Kecil di Jawa ... 15

6. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan di Jawa, 1995 dan 2007 (%) ... 16

7. Tipologi Industrialisai sebagai Variabel Dummy ... 41

8. Matriks Hubungan antara Tujuan, Metode Analisis dan Jenis/Sumber Data ... 44

9. Luas Lahan Sawah di Jawa, 1986 - 2010 (ha) ... 46

10. Laju Konversi Lahan Sawah Netto per provinsi di Pulau Jawa, 1986 -

2010 ... 46

11. Wilayah dengan Laju Konversi Netto Tertinggi di Pulau Jawa, 1986 -

2010 ... 47

12. Luas Lahan Sawah, Luas Panen, Produkdsi dan Rata-rata Produksi Padi Sawah di Pulau Jawa, 1986 - 2010 ... 57

13. Hasil Estimasi Model Persamaan Luas Lahan Sawah menggunakan Metode PLS di Pulau Jawa, 2001 - 2010 ... 59

14. Hasil Estimasi Model Persamaan Luas Lahan Sawah menggunakan Metode FEM di Pulau Jawa, 2001 - 2010 ... 60

15. Hasil Estimasi Model Persamaan Luas Lahan Sawah menggunakan Metode REM di Pulau Jawa, 2001 - 2010 ... 61

16. Profil Industri di Beberapa Kabupaten di Jawa, 2010 ... 65

17. Komparasi Tingkat dan Trend Produktivitas Relatif Industri dan Pertanian di Delapan Kabupaten di Jawa, 2000 - 2010 ... 81

18. Tingkat Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan oleh Angkatan Kerja di Delapan Lokasi Penelitian, 2010 ... 99

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Perbandingan Produktivitas Parsial antara Sektor Pertanian, Industri dan

Jasa di Jawa (Rp. juta/orang) ... 4 2. Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri berdasarkan

Teori Lewis ... 18 3. Model Transformasi Tenaga Kerja Fei-Ranis ... 20 4. Hubungan Macro-spatial Kawasan Perkotaan dan Perdesaan (Hadi,

2001) ... 22 5. Kerangka Pemikiran Konversi Lahan dan Transformasi Tenaga Kerja dari

Sektor Pertanian ke Sektor Non-Pertanian ... 30 6. Sebaran Spasial Laju Konversi Netto Rata-rata per Tahun di Kabupaten/ Kota di

Jawa ... 49 7. Persentase Luas Lahan Sawah terhadap Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa,

1986 ... 52 8. Persentase Luas Lahan Sawah terhadap Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa,

1994 ... 53 9. Persentase Luas Lahan Sawah terhadap Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa,

2002 ... 54 10. Persentase Luas Lahan Sawah terhadap Luas Wilayah Kabupaten/Kota di Jawa,

2010 ... 55 11. Kecenderungan Perubahan Luas Lahan Sawah dibandingkan dengan Luas Panen,

Produksi dan Rata-rata Produksi Padi Sawah di Pulau Jawa ... 56 12. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Serang, 2000 - 2010

... 82 13. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Bekasi, 2000 -

2010 ... 84 14. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Purwakarta, 2000 -

2010 ... 86 15. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Garut, 2000 -

2010 ... 88 16. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Magelang, 2000 -

2010 ... 91 17. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Kudus, 2000 -

2010 ... 93 18. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Tuban, 2000 -

2010 ... 95 19. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri Kabupaten Pasuruan, 2000 -

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Laju Konversi Netto Rata-rata per Tahun Kabupaten/Kota di Jawa, 1986 - 2010 ... 117 Lampiran 2a. Luas Lahan Sawah di 33 Kabupaten/Kota di Jawa, 2001-2010

... 124 Lampiran 2b. PDRB Total di 33 Kabupaten/Kota Atas Harga Konstan di Jawa,

2001-2010 ... 125 Lampiran 2c. Jumlah Penduduk di 33 Kabupaten/Kota di Jawa, 2001-2010 ... 126 Lampiran 3a. Tampilan Eviews dengan Metode PLS ... 127 Lampiran 3b. Tampilan Eviews dengan Metode FEM ...128 Lampiran 3a. Tampilan Eviews dengan Metode PLS ... 129 Lampiran 4a. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Serang, 2010

... 130 Lampiran 4b. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Bekasi,

2010... 131 Lampiran 4c. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Purwakarta, 2010

... 132 Lampiran 4d. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Garut,

2010... 133 Lampiran 4e. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Magelang, 2010

... 134 Lampiran 4f. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Kudus,

2010... 135 Lampiran 4g. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Tuban,

2010... 136 Lampiran 4h. Sebaran Umit Industri dan Tenaga Kerja di Kabupaten Pasuruan,

2010... 137 Lampiran 5. Pangsa PDRB dan Tenaga Kerja Sektor Pertanian dan

Industri... 138 Lampiran 6. Produktivitas Relatif Sektor Pertanian dan Industri ... 140 Lampiran 7. Persentase Angkatan Kerja dengan Latar Belakang Pendidikan SMU dan

sederajat di 33 Kabupaten/Kota di Jawa, 2010...141

(19)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konversi lahan pertanian dapat dikatakan sebagai proses yang mengikuti

pembangunan. Proses pembangunan diringi dengan pengadaan infrastruktur baik

berupa jalan, bangunan industri dan pemukiman. Akibatnya banyak lahan

pertanian, khususnya sawah, terutama disekitar perkotaan mengalami alih fungsi

ke penggunaan non-pertanian.

Lahan sawah merupakan lahan pertanian utama yang menghasilkan beras.

Lahan sawah tahun 2009 seluas 8,06 juta hektar dengan sebaran di Pulau Jawa

seluas 3,25 juta ha (40,33%) dan di luar Jawa seluas 4,81 juta ha (59,67%). Jika

dilihat menurut pulau, lahan sawah terluas kedua setelah Pulau Jawa adalah

Sumatera dengan luas 29,11%. Sedangkan persentase lahan sawah terkecil adalah

di Maluku dan Papua dengan total sebesar 0,71% dari total lahan sawah di seluruh

Indonesia.

Berdasarkan data BPS, selama periode 2000-2009 terjadi peningkatan lahan

sawah di Indonesia dari 7,85 juta ha menjadi 8,06 juta ha atau secara rata-rata

meningkat seluas 23,72 ribu ha per tahun. Peningkatan terjadi di luar Jawa seluas

34,09 ribu ha (0,73%) per tahun, sedangkan di Jawa justru mengalami penurunan

seluas 10,35 ribu ha (0,31%) per tahun. Tabel 1 memperlihatkan bahwa selama

sembilan tahun, luas lahan sawah beririgasi di Pulau Jawa menurun sebesar

95 810 ha, yaitu dari 2 583 518 ha pada tahun 2000 menjadi 2 487 708 ha pada

tahun 2009. Dalam kurun waktu yang sama, luas lahan sawah non irigasi

mengalami peningkatan sangat kecil bila dibandingkan dengan pengurangan luas

lahan sawah beririgasi, yaitu hanya sebesar 2 644 ha. Dengan demikian, total luas

lahan sawah di Pulau Jawa setiap tahun mengalami penurunan sekitar 10 351,78

ha per tahun. Penurunan luas lahan sawah di Pulau Jawa ini menunjukkan laju

(20)

Tabel 1. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Pulau Jawa, 2000-2009

Jenis Lahan Sawah Luas Lahan (ha) Perubahan

2000 2009 Total (%) Per tahun (ha) (%) Irigasi 2 583 518 2 487 708 -95 810 -3,71 -10 645,56 -0,41 Non irigasi 760 708 763 352 2 644 0,35 293,78 0,04 Total 3 344 226 3 251 060 -93 166 -0,03 -10 351,78 -0,31 Sumber: Sensus Pertanian BPS Tahun 2009 (diolah).

Konversi lahan sawah akan menimbulkan dampak negatif terhadap masalah

ketersediaan pangan akibat berkurangnya kapasitas produksi beras. Konversi yang

cukup tinggi akan mengurangi produksi padi yang merupakan ancaman terhadap

ketahanan pangan dan dapat mengurangi total produksi sektor pertanian. Adanya

konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional.

Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Irawan dan Friyatno (2002) menunjukkan

bahwa konversi lahan sawah yang terjadi di Jawa selama 18 tahun (1981-1999)

diperkirakan akan menurunkan produksi padi secara akumulasi sebesar 50,9 juta

ton atau sekitar 2,82 juta ton per tahun.

Seiring perkembangan waktu, secara keseluruhan produksi sektor pertanian

(termasuk didalamnya peternakan, kehutanan dan perikanan) terus meningkat.

Peningkatan ini dipengaruhi oleh peningkatan produktivitas padi per hektar sawah

serta peningkatan produksi sub sektor non tanaman pangan seperti peternakan,

kehutanan dan perikanan. Tabel 2 memperlihatkan bahwa menurut data BPS,

PDRB sektor pertanian, industri dan sektor jasa terus mengalami peningkatan.

Berdasarkan harga konstan tahun 2000, PDRB sektor pertanian mengalami

kenaikan sebesar Rp. 29 379 milyar (naik dari Rp. 106 240 milyar pada tahun

2002 menjadi Rp. 135 619 milyar pada tahun 2009) atau 3,95% per tahun. Dalam

jangka waktu yang sama, sektor industri mengalami kenaikan sebesar

Rp. 56 722 milyar atau 2,36% per tahun, dan sektor jasa mengalami kenaikan

sekitar Rp. 235 011 milyar atau 8,02% per tahun. Sehingga, dapat dikatakan

bahwa perkembangan sektor jasa di Pulau Jawa paling besar dibanding sektor

pertanian dan industri. Dari sisi tenaga kerja, sektor pertanian, industri maupun

jasa juga mengalami peningkatan. Dalam kurun waktu tujuh tahun (antara tahun

(21)

sekitar 184 ribu orang (0,13% per tahun), sektor industri bertambah 1,13 juta

orang (1,27% per tahun) dan sektor jasa bertambah 5,732 juta orang (3,66% per

tahun).

Tabel 2. PDRB dan Tenaga Kerja pada Berbagai Sektor di Pulau Jawa, 2002 - 2009

Sektor Tahun

Trend (%/tahun) 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009

PDRB (milyar) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

106 240 106 532 111 116 118 107 119 880 123 275 127 570 135 619 3,95

Industri 342 747 359 729 375 532 392 081 414 299 438 146 466 055 475 301 2,36

Jasa 418 579 443 849 473 803 502 408 537 505 576 579 612 885 653 590 8,02

Total PDRB 867 566 910 110 960 451 1 012 596 1 071 684 1 138 000 1 206 510 1 264 510

Jumlah Tenaga Kerja (ribu) Pertanian,

Peternakan, Kehutanan dan Perikanan

19 566 20 236 19 298 20 175 19 213 20 123 19 544 19 750 0,13

Industri 12 755 11 903 12 576 12 414 12 987 13 599 13 722 13 885 1,27

Jasa 22 394 21 833 24 138 23 895 24 833 26 188 27 403 28 126 3,66 Total Tenaga Kerja 54 716 53 972 56 011 56 484 57 034 59 910 60 669 61 761

Sumber: BPS: Statistika Indonesia 2002-2010 (diolah)

Perhitungan produktivitas parsial yang dinyatakan dengan perbandingan

antara jumlah PDRB yang dihasilkan dan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada

Tabel 3. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa sampai dengan tahun 2009,

produktivitas parsial sektor pertanian hanya sekitar Rp. 6,9 juta/orang.

Produktivitas sektor industri hampir tujuh kali lipatnya, yaitu Rp. 34,2 juta per

orang, dan sektor jasa lebih dari tiga kali lipatnya, yaitu Rp. 23,3 juta per orang.

Dengan demikian terlihat bahwa produktivitas sektor pertanian paling kecil

dibandingkan dengan sektor industri dan jasa. Produksi sektor pertanian relatif

kecil tetapi beban tenaga kerjanya cukup besar. Perbandingan produktivitas

(22)

Tabel 3. Perkembangan Produktivitas Parsial antar menurut Sektor Ekonomi di

Sumber: BPS: Statistika Indonesia 2002-2010 (diolah)

Gambar 1. Perbandingan Produktivitas antar Sektor Pertanian, Industri dan Jasa di Pulau Jawa (Rp juta/orang)

Perbandingan produktivitas parsial antara sektor pertanian, industri dan jasa

tersebut menunjukkan bahwa secara empiris pertumbuhan ekonomi Indonesia

tidak disertai dengan perubahan struktur tenaga kerja yang berimbang. Artinya,

laju pergeseran ekonomi sektoral relatif lebih cepat dibanding dengan laju

pergeseran tenaga kerja, sehingga Manning (1995) mengatakan bahwa titik balik

aktivitas ekonomi (economic turning-point) tercapai lebih dahulu dibanding titik balik penggunaan tenaga kerja (labor turning-point), sehingga timbul masalah dan

menjadi perdebatan diantaranya: (1) apakah penurunan pangsa produk domestik

bruto sebanding dengan penurunan pangsa serapan tenaga kerja sektoral, dan (2)

0

2000 2002 2004 2006 2008 2010

(23)

industri mana yang berkembang lebih cepat, agroindustri atau industri

manufaktur. Jika transformasi kurang seimbang dengan perkembangan ekonomi,

maka dikhawatirkan akan terjadi proses pemiskinan dan eksploitasi sumber daya

manusia pada sektor pertanian (primer).

Dari aspek sosial, konversi akan menyebabkan pengurangan lapangan kerja

di bidang pertanian, padahal sektor pertanian dituntut untuk menyediakan

lapangan kerja untuk mengantisipasi pertumbuhan angkatan kerja. Hal ini

mengakibatkan surplus tenaga kerja di sektor pertanian. Konversi lahan sawah

yang terus terjadi dapat menyebabkan penurunan luas lahan yang dimiliki oleh

setiap rumah tangga petani, sehingga rumah tangga petani tidak lagi dapat

memenuhi kebutuhan hidupnya secara layak hanya dengan mengandalkan lahan

sawah yang dimilikinya. Akibatnya, petani akan berusaha mencari sumber

penghasilan tambahan lainnya bahkan harus berpindah pekerjaan ke sektor

lainnya, yaitu sektor industri dan jasa. Selain itu, ketimpangan yang tinggi antara

produktivitas parsial di sektor industri dan jasa terhadap sektor pertanian yang

juga menggambarkan ketimpangan tingkat pendapatan rata-rata tenaga kerja

mendorong petani dan tenaga kerja lainnya di bidang pertanian untuk berpindah

atau bertransformasi pekerjaan ke sektor pertanian. Namun, petani tradisional di

perdesaan umumnya tidak memiliki latar belakang pendidikan formal yang

memadai dan tidak memiliki keahlian lain selain bertani sehingga mereka tidak

siap memasuki lapangan kerja non-pertania setelah kehilangan tanah pertanian

mereka. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan pertumbuhan

output sektor industri dan jasa tidak diimbangi oleh penyerapan surplus tenaga

kerja dari sektor pertanian.

Apabila kondisi ini terus terjadi, selain muncul potensi pengurangan

produksi padi yang berakibat pada kekurangan pangan, dari sisi ekonomi juga

muncul ketimpangan pendapatan rata-rata tenaga kerja antara sektor pertanian dan

sektor jasa ataupun industri. Di perdesaan yang sebagian besar masyarakatnya

hanya bergantung dari pertanian lahan sawah, angka pengangguran dan

kemiskinan dapat terus meningkat bahkan sektor pertanian akan ditinggalkan oleh

generasi muda. Di perkotaan, kondisi ini dapat menyebabkan tingkat urbanisasi

(24)

berpindah dari perdesaan dapat tertampung oleh sektor industri maupun jasa. Pada

akhirnya, hal ini akan menimbulkan berbagai masalah sosial seperti kecemburuan

sosial, kriminalitas serta kegiatan ekonomi yang ilegal.

1.2. Perumusan Masalah

Pada dasarnya pembangunan ekonomi bertujuan untuk meningkatkan

produktivitas kerja, partisipasi kerja dan kesejahteraan masyarakat secara lebih

merata. Pertumbuhan ekonomi yang dialami oleh Indonesia dan negara-negara

lainnya disertai dengan perubahan struktur perekonomian, yaitu menurunnya

pangsa sektor pertanian dan meningkatnya pangsa sektor non-pertanian terhadap

produk domestik bruto. Perubahan struktur perekonomian ini diiringi oleh

transformasi spasial yang berupa alihfungsi atau konversi lahan dari fungsi

pertanian ke non-pertanian dan transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke

non-pertanian.

Idealnya, perubahan struktur ekonomi sektoral mengarah pada sektor

ekonomi yang lebih berimbang, khususnya dalam hal ketenagakerjaan. Lebih

jauh, dilihat dari kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto

memang semakin kecil dan sumbangan sektor non-pertanian semakin besar, tetapi

dalam penyerapan tenaga kerja sektor industri tidak begitu banyak memberikan

sumbangan. Artinya, sektor pertanian masih sangat padat akan tenaga kerja yang

sekaligus menjadi beban bagi sektor ini, sehingga produksi dan pendapatan

pertanian harus dibagi dengan jumlah orang yang lebih banyak. Hal ini akan

mengakibatkan terjadinya pemiskinan dan eksploitasi sumber daya manusia di

sektor pertanian. Kondisi ini diperparah dengan tingginya konversi lahan sawah

yang merupakan salah satu input utama pada produksi pertanian. Konversi lahan

ini terjadi sangat cepat di Pulau Jawa. Kehilangan tanah pertanian pada umumnya

diikuti dengan hilangnya mata pencaharian petani yang dapat menimbulkan

pengangguran dan pada akhirnya menimbulkan masalah sosial.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bahwa konversi lahan pertanian,

khususnya lahan sawah di Jawa berpotensi memperlebar ketimpangan

produktivitas dan merupakan faktor pendorong transformasi tenaga kerja dari

(25)

non-pertanian, terdapat faktor yang mempengaruhi seperti industri yang menentukan

besaran penyerapan tenaga kerja serta faktor tingkat pendidikan yang menentukan

kemampuan pekerja untuk pindah ke sektor non-pertanian. Pengembangan sektor

industri yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat di suatu

wilayah dapat berakibat pada pendapatan yang semakin timpang, bahkan

meningkatkan angka kemiskinan di perdesaan.

Berdasarkan data BPS, pada Agustus 2009 sebagian besar angkatan kerja di

Pulau Jawa berlatar belakang pendidikan SMU atau sederajat. Provinsi di Pulau

Jawa dengan persentase latar belakang pendidikan SMU atau sederajat yang

tertinggi adalah DKI Jakarta dengan persentase mencapai 44% dan terendah di

Provinsi Jawa Tengah yang mencapai 18%, namun persentase tenaga kerja

dengan latar belakang pendidikan SMU di Jawa rata-rata 22%. Di sisi lain, sektor

industri, terutama industri besar pada umumnya hanya menyerap sebagian kecil

tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMU atau yang sederajat, sehingga

banyak tenaga kerja dengan latar belakang pendidikan SMU yang tidak

tertampung di sektor industri formal. Kondisi ini terbantu dengan adanya industri

kecil dan menengah (UKM) yang dapat menampung sebagian besar tenaga kerja

berpendidikan SMUatau yang sederajat.

Hal ini menjadi dasar identifikasi masalah penelitian yaitu: (1) bagaimana

gambaran konversi lahan sawah dan dinamika produksi padi di Pulau Jawa, (2)

bagaimana dinamika ketenagakerjaan di sektor pertanian dan industri, (3)

sejauhmana industrialisasi di suatu wilayah mempengaruhi transformasi tenaga

kerja serta (4) sejauhmana peranan tingkat partisipasi pendidikan setingkat SMU

dalam menentukan besaran transformasi tenaga kerja.

1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan fenomena

konversi lahan sawah, industrialisasi dan ketenagakerjaan pada sektor pertanian

dan sektor industri di Pulau Jawa. Secara khusus tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mempelajari sebaran laju konversi lahan sawah di Pulau Jawa

2. Mempelajari dinamika produksi padi di Pulau Jawa terkait dengan laju

(26)

3. Menganalisis hubungan antara laju konversi dengan pertumbuhan ekonomi

dan jumlah penduduk

4. Mempelajari dinamika produktivitas di sektor pertanian dan sektor industri

5. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi transformasi tenaga kerja

dari sektor pertanian ke sektor industri.

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

laju konversi lahan sawah, kondisi ketenagakerjaan dan industrialisasi di Pulau

Jawa. Selain itu, berdasarkan hasil analisa pada penelitian ini dapat diketahui

faktor-faktor apa saja yang seharusnya menjadi fokus utama dalam menentukan

kebijakan sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang lebih

merata.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Studi ini dilakukan dalam lingkup Pulau Jawa. Konversi lahan yang

dianalisa hanya meliputi lahan sawah (wetland), baik yang beririgasi maupun tidak beririgasi dan tidak mencakup lahan kering. Lahan yang digunakan untuk

perkebunan, usaha budidaya peternakan dan perikanan tidak digolongkan dalam

lahan sawah. Konversi lahan sawah menunjukkan alih fungsi lahan sawah padi

baik untuk usaha pertanian selain padi maupun untuk usaha non-pertanian.

Transformasi tenaga kerja dalam penelitian ini terbatas pada perpindahan

tenaga kerja dari sektor pertanian yang merupakan sektor tradisional ke sektor

industri yang merupakan salah satu sektor modern. Sedangkan perpindahan tenaga

kerja dari sektor pertanian ke sektor modern lainnya seperti sektor jasa tidak

dianalisa.

Dalam analisa yang meggunakan data PDRB dan tenaga kerja, sektor

pertanian yang dimaksud disini adalah pertanian dalam arti luas yang meliputi sub

sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan,

sedangkan sektor industri meliputi industri pengolahan/manufaktur. Berdasarkan

definisi BPS, industri pengolahan meliputi kegiatan produksi yang mengubah

barang dasar (bahan mentah) menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau

(27)

jasa industri pengolahan. Industri pengolahan ini mencakup Usaha Kecil

Menengah (UKM) dan industri besar.

Struktur ketenagakerjaan didasarkan pada banyaknya orang yang bekerja

di sektor pertanian dan industri pengolahan yang akan dianalisa tentang hubungan

antara kemampuan sektor dalam menyumbang PDRB dan kemampuannya

menyerap tenaga kerja. Transformasi atau perpindahan tenaga kerja mengacu

pada perpindahan pekerjaan utama, tidak mencakup perpindahan yang bersifat

sementara seperti musiman atau sirkuler. Migrasi tenaga kerja dari luar tidak

secara khusus menjadi salah satu faktor yang dianalisis dengan pertimbangan

migrasi tenaga kerja bukan hanya mengarah ke sektor industri tetapi juga

mengarah ke sektor jasa. Selain itu, jumlah tenaga kerja yang bermigasi dari luar

yang bersifat menambah jumlah tenaga kerja lokal sudah tercakup dalam jumlah

tenaga kerja total di sektor industri dan pertaian.

Skala industri dibedakan berdasarkan klasifikasi BPS yang membedakan

skala industri berdasarkan jumlah tenaga kerja yaitu (1) industri rumah tangga

dengan jumlah tenaga kerja sampai dengan empat orang, (2) industri kecil yang

memiliki tenaga kerja 5 sampai 20 orang, (3) industri sedang dengan tenaga kerja

berjumlah 21 sampai 99 orang, dan (4) industri besar yang memperkerjakan 100

orang atau lebih.

Keterbatasan lain pada penelitian ini adalah penggunaan data sekunder yang

agregatif tidak merinci perwilayahan sampai tingkat desa, jenis kelamin, status

(28)
(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.1. Proses dan Dampak Konversi Lahan Sawah

Konversi lahan pertanian cenderung terjadi pada lahan yang

produktivitasnya tinggi seperti lahan sawah beririgasi. Kecenderungan demikian

sangat tidak menguntungkan bagi pengadaan pangan dan kesempatan kerja di

perdesaan. Ada dua faktor utama yang menjadi penyebabnya (Irawan et al., 2002).

Pertama, ketersediaan infrastruktur ekonomi merupakan faktor posistif dominan

yang berpengaruh terhadap preferensi investor dalam memilih lahan yang akan

dibangun untuk kegiatan non-pertanian. Infrastruktur tersebut pada umumnya

lebih tersedia di daerah pertanian yang sudah berkembang akibat pembangunan

masa lalu. Konsekuensinya adalah permintaan lahan cenderung lebih tinggi di

daerah pertanian yang sudah berkembang, terutama yang berdekatan dengan

sasaran konsumen seperti di daerah pinggiran kota. Kedua, perlindungan

pemerintah terhadap lahan pertanian produktif relatif lemah akibat penilaian pasar

terhadap pasar pertanian yang cenderung under-estimate. Lahan pertanian dianggap hanya menghasilkan komoditas yang berharga murah dan bernilai

tambah rendah. Dalam perhitungan ekonomi makropun persepsi demikian sangat

dominan sehingga pertumbuhan ekonomi yang direfleksikan dalam pertumbuhan

GDP hanya diukur dari nilai produksi pertanian secara fisik, padahal lahan

pertanian memiliki multifungsi yang sangat luas secara lingkungan dan sosial.

Persepsi demikian pula yang menyebabkan konversi lahan pertanian seringkali

berlangsung dengan dukungan birokrasi daerah dengan alasan untuk mendorong

pertumbuhan ekonomi meskipun kadangkala alasan individual lebih dominan.

Menurut Isa (2007), faktor-faktor yang mendorong terjadinya konversi lahan

pertanian menjadi non-pertanian antara lain adalah:

1. Faktor kependudukan: pesatnya peningkatan jumlah penduduk telah

meningkatkan permintaan tanah untuk perumahan, jasa, industri, dan

(30)

juga turut berperan menciptakan tambahan permintaan lahan akibat

peningkatan intensitas kegiatan masyarakat, seperti lapangan golf, pusat

perbelanjaan, jalan tol, tempat rekreasi dan sarana lainnya.

2. Kebutuhan lahan untuk kegiatan non-pertanian antara lain pembangunan

real-estate, kawasan industri, kawasan perdagangan, dan jasa-jasa lainnya yang memerlukan lahan yang luas, sebagian diantaranya berasal

dari lahan pertanian sawah. Hal ini dapat dimengerti mengingat

lokasinya dipilih sedemikian rupa sehingga dekat dengan pengguna jasa

yang terkonsentrasi di perkotaan dan wilayah di sekitarnya (sub-urban area). Lokasi sekitar kota, yang sebelumnya didominasi oleh

penggunaan lahan pertanian, menjadi sasaran pengembangan kegiatan

non-pertanian, mengingat harganya yang relatif murah serta telah

dilengkapi dengan sarana dan prasarana penunjang seperti jalan raya,

listrik, telepon, air bersih, dan fasilitas lainnya. Selain itu, terdapat

keberadaan “sawah kejepit”, yaitu sawah–sawah yang tidak terlalu luas

karena daerah sekitarnya telah beralih menjadi perumahan atau kawasan

industri, sehingga petani pada lahan tersebut mengalami kesulitan untuk

mendapatkan air, tenaga kerja dan sarana produksi lainnya, yang

mendorong mereka untuk mengalihkan atau menjual tanahnya.

3. Faktor ekonomi, yaitu tingginya land rent yang diperoleh aktivitas

sektor non-pertanian dibandingkan sektor pertanian. Rendahnya insentif

untuk berusaha tani disebabkan oleh tingginya biaya produksi,

sementara harga hasil pertanian relatif rendah dan berfluktuasi. Selain

itu karena faktor kebutuhan keluarga petani yang terdesak oleh

kebutuhan modal usaha atau keperluan keluarga lainnya (pendidikan,

mencari pekerjaan non-pertanian atau lainnya), seringkali membuat

petani tidak mempunyai pilihan selain menjual sebagian lahan

pertaniannya.

4. Faktor sosial budaya, antara lain keberadaan hukum waris yang

menyebabkan terfragmentasinya tanah pertanian, sehingga tidak

(31)

5. Degradasi lingkungan, antara lain kemarau panjang yang menimbulkan

kekurangan air untuk pertanian, terutama sawah;penggunaan pupuk dan

pestisida secara berlebihan yang berdampak pada peningkatan serangan

hama serta pencemaran air irigasi, serta rusaknya lingkungan sawah

sekitar pantai yang antara lain berupa intrusi air laut ke daratan yang

meracuni tanaman padi.

6. Otonomi daerah yang mengutamakan pembangunan pada sektor yang

menjanjikan keuntungan jangka pendek lebih tinggi guna meningkatkan

PAD dan kurang memperhatikan keuntungan jangka panjang dan

nasional. Hal ini tercermin dari RTRW yang cenderung mendorong

konversi tanah pertanian untuk non-pertanian.

7. Lemahnya sistem perundang-undangan dan penegakan hukum dari

peraturan-peraturan yang ada.

Selanjutnya, Irawan (2008) menyatakan bahwa konversi lahan pertanian

umumnya merupakan suatu proses bersifat progresif secara kuantitas dan spasial.

Hal ini terjadi akibat adanya gejala epidermis (menular) pada proses konversi

lahan tersebut. Konversi lahan yang terjadi di suatu lokasi cenderung merangsang

konversi lahan di sekitarnya. Gejala ini disebabkan oleh dua faktor yang saling

terkait. Pertama, sejalan dengan pembangunan suatu kawasan perumahan atau

industri di lokasi lahan yang dikonversi dengan aksesibilitas di lokasi tersebut

semakin baik akibat berkembangnya sarana/prasarana transportasi. Peningkatan

aksesibilitas selanjutnya memacu permintaan lahan investor lain atau spekulan

tanah sehingga harga lahan di sekitarnya meningkat. Kedua, meningkatnya harga

lahan yang selanjutnya mendorong petani untuk menjual lahannya. Sebagian dana

penjualan tersebut biasanya digunakan untuk membeli lahan dengan harga yang

lebih murah yang biasanya makin menjauhi daerah perkotaan.

Konversi lahan sawah di Jawa terus meningkat (Ilham, N., Y. Syaukat. dan

Friyatno, 2004).Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 4, dapat

disimpulkan bahwa laju konversi lahan sawah per tahun di Pulau Jawa meningkat

(32)

Tabel 4. Perkembangan Luas Konversi Lahan Sawah Netto di Jawa, 1979 – 2000

Uraian Konversi Lahan Sawah Netto (ha)

1979-1984 1985-1990 1991-1996 1997-2000

Total 41 736 37 631 142 626 186 813

Rataan (per tahun) 6 959 6 272 23 771 46 703

Sumber: BPS, Luas Lahan Menurut Penggunaannya, Tahun 1978-2000 (diolah).

Lebih lanjut, Irawan (2008) menyatakan bahwa selama tahun 2000-2002, di

Pulau Jawa, konversi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian terutama

dialokasikan untuk pembangunan perumahan dengan pangsa sebesar 74,96%,

posisi kedua untuk industri sebesar 12,27%, selanjutnya untuk perkantoran

sebesar 7,84% dan untuk kegiatan dan sarana publik lainnya sebesar 4,93%.

Pada tahun 2003, sebagian besar produksi gabah, yaitu 48,76 juta ton

(94,86%) diproduksi dari lahan sawah dan hanya 2,64 juta ton(5,14%) berasal dari

lahan kering. Produksi gabah tersebut dipengaruhi oleh tingkat produktivitas,

dalam hal ini ditentukan oleh teknologi dan luas lahan (Ilham et al., 2004).

Hasil analisis dampak konversi lahan sawah terhadap produksi padi dapat

dihitung dengan asumsi dampak yang bersifat temporer dan asumsi dampak

kumulatif. Bila dihitung berdasarkan asumsi dampak yang bersifat temporer,

konversi lahan sawah yang terjadi antara tahun 2000-2002 hanya menyebabkan

kehilangan peluang produksi padi sawah rata-rata sebesar 1,19 juta ton per tahun

atau 2,46% dari produksi padi sawah per tahun. Sedangkan jika digunakan asumsi

dampak yang bersifat permanen (asumsi ini lebih realistis), maka peluang

produksi padi yang hilang tersebut rata-rata 2,41 juta ton per tahun atau 4,97%

(Irawan, 2008).

Volume produksi yang hilang akibat konversi lahan sawah ditentukan oleh

pola tanam yang diterapkan di lahan sawah yang belum dikonversi, produktivitas

usahatani masing-masing komoditi dari pola tanam yang diterapkan, dan luas

lahan sawah yang terkonversi. Irawan dan Friyatno (2002) memformulasikan

rumus dasar kehilangan produksi akibat konversi pada tahun ke-t di wilayah ke-i

sebagai berikut:

Qti = Lti . Iti . Yti

(33)

Qti = produksi padi pada tahun t di wilayah i(ton)

Lti = luas baku sawah pada tahun t di wilayah i (ha)

Iti = intensitas panen padi per tahun pada tahun t di wilayah i

Yti = produktivitas padi per musim tanam padi pada tahun t di wilayah i

(ton/ha)

Pengurangan volume produksi pertanian ini selanjutnya mengurangi total

pendapatan di sektor pertanian. Pada skala rumah tangga, terutama pada daerah

yang tingkat konversi lahannya tinggi, terjadi pengurangan luas lahan yang

dikuasai oleh rumah tangga petani (Collier et al., 2009).

2.1.2. Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani

Konversi lahan pada akhirnya berakibat pada pengurangan luas lahan yang

dimiliki oleh rumah tangga petani. Berdasarkan hasil penelitian Rusastra et al., (2009), antara tahun 1993 sampai tahun 2003 terjadi peningkatan jumlah rumah

tangga petani kecil dengan kepemilikan lahan yang sempit. Tabel 5

memperlihatkan perkembangan jumlah rumah tangga petani, kepemilikan lahan

rumah tangga petani, dan petani kecil dengan luasan lahan kurang dari 0,5 ha

antara tahun 1993 sampai 2003. Pada tahun 1993, proporsi petani kecil dibanding

rumah tangga petani yang memiliki lahan sebesar 69,76 persen, sedangkan pada

tahun 2003 mencapai 74,68 persen.

Tabel 5. Proporsi dan Kecenderungan Kepemilikan Lahan dan Rumah Tangga Petani Kecil di Pulau Jawa, 1993 dan 2003

Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003. Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumah Tangga. (BPS)

Deskripsi Sensus Pertanian (% per

tahun)

1993 2003

Total rumah tangga petani 11 671 13 965 1,81

Rumah tangga petani dengan

kepemilikan lahan 11 564 13 377 1,47

Rumah tangga petani dengan

kepemilikan lahan kecil 8 067 9 990 2,16

Persentase rumah tangga petani dengan kepemilikan lahan dibanding total rumah tangga petani

99,080 95,79

Persentase rumah tangga dengan kepemilikan lahan kecil dibanding rumah tangga dengan kepemilikan lahan

(34)

Semakin kecilnya lahan yang dimiliki rumah tangga petani telah mendorong

petani untuk mencari sumber pendapatan dari sektor non-pertanian. Sumaryanto

dan Sudaryanto (2009) menyatakan bahwa peranan sektor pertanian dalam

struktur pendapatan masyarakat perdesaan di Pulau Jawa cenderung menurun.

Gambaran lebih rinci tentang kontribusi masing-masing sektor di Jawa adalah

sebagai berikut (Tabel 6).

Tabel 6. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan di Jawa,1995 dan 2007 (%)

Uraian 1995 2007

Pertanian 49,8 25,2

- Usahatani padi 16,4 13,6

- Usahatani lainnya 2,3 5,4

- Buruh tani 7,1 6,2

Non-pertanian 40,2 59,7

- Usaha sendiri 23,0 36,5

- Buruh/karyawan, dsb. 17,2 23,2

Lainnya 10,0 15,1

Total 100 100

Sumber: Patanas 1995 dan 2007 (diolah).

2.1.3 Transformasi Ekonomi dan Tenaga Kerja Pertanian dan Industri

Selanjutnya, Sumaryanto dan Sudaryanto (2009) menyatakan bahwa pada

kegiatan non-pertanian sebagai buruh, partisipasi rumah tangga petani di Pulau

Jawa berbeda dengan di luar Pulau Jawa. Dalam konteks ini, tingkat tingkat

partisipasi rumah tangga petani di Pulau Jawa jauh lebih tinggi daripada di luar

Pulau Jawa (30% vs 19%). Hal ini terkait dengan banyak faktor, tetapi secara

empiris terkait dengan dua faktor utama berikut. Pertama, kesempatan kerja untuk

berburuh non-pertanian di perdesaan dan perkotaan di Pulau Jawa (sebagai

komuter dan atau sirkuler), relatif lebih banyak. Kedua, secara relatif usahatani

rumah tangga di perdesaan di luar Pulau Jawa lebih dapat diandalkan sebagai

sumber nafkah utama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (karena lahan

garapannya lebih luas).

Hasil kajian di lapang, khususnya di pedesaan Pulau Jawa menunjukkan

pola-pola migrasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat di perdesaan adalah

(35)

industri dengan aksesibiltas yang baik, jenis migrasi yang dominan dilakukan

adalah komutasi sepanjang tahun. Untuk desa yang agak jauh dari kota atau

industri ternyata sebagian besar penduduknya ada yang melakukan migrasi secara

sirkular musiman. Sementara untuk yang sangat jauh dengan tujuan migrasinya

adalah kota-kota besar atau setingkat provinsi, sebagian besar migrasinya adalah

migrasi permanen (Supriyati et al., 2009). Nurmanaf (2002) menambahkan bahwa

Keputusan seseorang pekerja di desa melakukan migrasi ke kota lebih disebabkan adanya “tarikan” dari kota berupa tersedianya berbagai pekerjaan yang menarik disamping mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi. Secara spesifik,

faktor penarik tersebut meliputi kesempatan kerja, tingkat upah dan aksesibilitas

terhadap fasilitas sosial ekonomi yang tidak dijumpai di pedesaan. Apabila sektor

pertanian yang merupakan sumber pendapatan utama yang tidak lagi mencukupi

dan alternatif pekerjaan lain tidak tersedia, seseorang akan mencari sumber

pendapatan tambahan dengan bekerja di luar desa, termasuk migrasi ke kota.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Collier, W. L.,

Soentoro dan O. Jamasy pada tahun 2006 yang meneliti perbandingan

transformasi di dua desa di Jawa Timur yang mengalami konversi lahan sawah

selama kurun waktu 1969 sampai 2006. Pada desa yang disekitarnya terdapat

pabrik-pabrik industri, transformasi yang terjadi adalah dalam bentuk komuting

harian, sedangkan pada desa yang tidak terdapat pabrik disekitarnya, transformasi

yang terjadi adalah dalam bentuk migrasi dalam jangka waktu tertentu. Dari kedua

desa ini, transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian lebih

tinggi pada desa yang disekitarnya terdapat pabrik.

Proses transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor

non-pertanian dapat didekati dengan Model Lewis dan Model Fei-Ranis.Arthur Lewis

mengemukakan teori yang dikenal dengan surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor), yaitu sektor tradisional yang merujuk pada sektor pertanian atau perdesaan subsisten dan sektor modern yang merujuk pada sektor industri

perkotaan (Todaro, 2006).

Pada sektor tradisional terjadi surplus tenaga kerja dan ditandai oleh

produktivitas marjinal tenaga kerja yang sama dengan nol sehingga bila sebagian

(36)

outputnya. Sektor industri memiliki produktivitas yang tinggi dan menjadi

penampung tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor pertanian.

Pengalihan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja dimungkinkan oleh

adanya peningkatan output dengan asumsi bahwa kelebihan keuntungan di sektor

industri akan diinvestasikan kembali untuk memperluas industri. Asumsi yang

lain adalah bahwa tingkat upah di sektor industri perkotaan konstan dan melebihi

tingkat rata-rata upah di sektor tradisional (pertanian) sehingga kurva penawaran

tenaga kerja perdesaan bersifat elastis sempurna (Todaro, 2006). Ilustrasi model

pertumbuhan dua sektor dalam Teori Lewis ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor

KKM3>KM2>KM1 M3>KM2>KM1

TPM(KM3)

Kuantitas tenaga kerja (QLM) (ribuan)

(a) sektor modern (industri)

0

Kuantitas tenaga kerja (QLA) (jutaan)

(37)

Pada peraga sebelah kanan atas di Gambar 2. tersebut fungsi produksi

pertanian hanya ditentukan oleh variabel input tenaga kerja (LA), sedangkan input

modal (KA) dan teknologi (tA) diasumsikan tetap. Turunan fungsi ini merupakan

produktivitas tenaga kerja marjinal (MPLA) dan produktivitas tenaga kerja rata-rata

(APLA) seperti yang digambarkan pada diagram kanan bawah. Lewis

mengasumsikan bahwa di sektor pertanian MPLA sama dengan nol dan semua

pekerja di sektor pertanian menghasilkan output yang sama sehingga upah riil di

perdesaan ditentukan oleh produktivitas rata-rata, bukan oleh produktivitas

marjinal sebagaimana di sektor modern. Upah di sektor pertanian ini (WA) dapat

dinyatakan dengan total output pangan dibagi total tenaga kerja (TPA/LA).

Pada diagram sebelah kiri atas juga diasumsikan bahwa fungsi produksi

sektor modern juga hanya ditentukan oleh variabel input tenaga kerja (LM),

sementara variabel input modal (KM) dan teknologi (tM)konstan. Dalam model

Lewis, stok modal di sektor modern bisa bertambah dari KM1, KM2, kemudian

menjadi KM3 dan seterusnya akibat dari reinvestasi keuntungan. Penambahan stok

modal ini diikuti oleh peningkatan total produksi dari TPM(KM1) ke TPM(KM2),

TPM(KM3) dan seterusnya.

Tingkat upah sektor tradisional (WA) lebih rendah dari pada upah sektor

modern (WM). Pada tingkat upah itu, penawaran tenaga kerja di perdesaan tidak

terbatas atau elastis sempurna (kurva penawaran tenaga kerja horizontal (WMSL).

Hal ini dapat diartikan bahwa penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat

merekrut tenaga kerja perdesaan sebanyak yang diperlukan tanpa harus khawatir

tingkat upah akan naik. Dengan asumsi tingkat upah di sektor modern konstan

(WM), penambahan investasi yang akan menambah total produksi dan menggeser

kurva permintaan tenaga kerja dari D1(KM1), ke D2(KM2), D3(KM3) dan seterusnya.

Sehingga tenaga kerja yang terserap di sektor modern juga bertambah dari L1, ke

L2, L3 dan seterusnya.

John Fei dan Gustav Ranis pada tahun 1964 kemudian melengkapi Model

Lewis yang menggambarkan bahwa penawaran tenaga kerja tidak terbatas dan

analisa yang lebih ditekankan pada sektor modern serta mengabaikan perubahan

pada sektor pertanian. Model transformasi tenaga kerja yang kemudian dikenal

(38)

sektor pertanian. Model ini membagi perubahan tenaga kerja di sektor pertanian

menjadi tiga tahap berdasarkan produktivitas marginal dan tingkat upah yang

dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogen.Kecepatan transfer tenaga kerja

ini tergantung pada tingkat pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi dan

tingkat pertumbuhan stok modal di sektor industri (Fei et al., 1989).

Dalam Model Fei-Ranis, terdapat 3 tahapan transfer tenaga kerja

berdasarkan produktivitas fisik marginal (PM) dan upah yang dianggap konstan.

Pada tahap pertama tenaga kerja melimpah dan PM sama dengan atau mendekati

nol, tahap kedua ditandai oleh PM tenaga kerja positif namun masih di bawah

tingkat upah, sedangkan pada tahap ketiga PM tenaga kerja positif dan di atas

tingkat upah. Model ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Model Transformasi Tenaga Kerja Fei-Ranis C

Produk fisik marginal Produk rata-rata

(a) Sektor Pertanian O

Upah

(konst

Tenaga kerja B

W

I II III

S’

O

S

Produk marginal

Produk fisik marginal

Tenaga kerja

S’’

(39)

Pada tahap I (O-B) surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor

industri mempunyai kurva penawaran elastis sempurna (garis S-S’). Adanya

transfer tenaga kerja tidak menurunkan produksi sektor pertanian. Produktivitas

tenaga kerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh dengan adanya

tambahan tenaga kerja. Sehingga transfer tenaga kerja menguntungkan kedua

sektor. Pada tahap II (B-C), terjadinya pengurangan tenaga kerja di sektor

pertanian akan menurunkan produksi sektor pertanian dengan biaya imbangan

positif. Produsen sektor pertanian akan senang hati melepas tenaga kerjanya

walaupun produksinya menurun karena penurunan tersebut lebih rendah dari

besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di lain pihak, karena surplus produksi

yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaannya meningkat

(karena adanya tambahan tenaga kerja yang masuk), harga relatif komoditas

pertanian akan meningkat. Pada tahap III produsen pertanian akan

mempertahankan tenaga kerjanya. Sementara itu permintaan tenaga kerja

meningkat terus dari sektor industri dengan asumsi keuntungan (pembentukan

modal) di sektor ini diinvestasikan kembali untuk memperluas usaha (Fei et al., 1989).

Dalam kenyataannya, tidak semua surplus tenaga kerja dari sektor pertanian

dapat diterima di sektor modern (industri) yang formal. Hadi (2001) menyatakan

bahwa industri modern di perkotaan pada umumnya membutuhkan tenaga kerja

yang mempunyai ketrampilan dan keahlian tertentu yang sebagian besar sulit

dipenuhi, disamping kesempatannya terbatas dan kecil dibandingkan dengan

jumlah pihak pencari kerja. Oleh karena itu sektor informal di perkotaan menjadi

satu-satunya alternatif bagi masyarakat di sektor tradisional untuk mendapatkan

lapangan pekerjaan dan mencari penghidupan. Hal ini sangat terasa di kota-kota di

Kawasan Barat Indonesia (KBI), khususnya di Pulau Jawa yang menjadi tempat

tujuan pencari kerja. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 yang menunjukkan

(40)

Gambar 4. Hubungan Macro-spatial Kawasan Perkotaan dan Perdesaan (Hadi, S., 2001)

Karakteristik sektor informal antara lain sangat bervariasinya bidang

kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki

secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya),

dan teknologi yang dipakai relatif sederhana. Beberapa dari sektor informal yang

berhasil ini dapat beralih menjadi sektor formal yang terdaftar secara hukum dan

terikat oleh peraturan ketenagakerjaan pemerintah (Todaro, 2009). Karakteristik

seperti ini juga dimiliki oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) yang merupakan

transisi tenaga kerja dari pekerjaan di sektor pertanian subsisten ke sektor

non-pertanian (Rusastra et al, 2010).

Kawasan Perdesaan Sektor Tradisional

Sektor Modern

Pasar Internasion

al

Sektor industri modern di perkotaan

Sektor informal di

perkotaan

Industri modern di

daerah (rural )

Masyarakat miskin yang mayoritas adalah petani

miskin di perdesaan

(41)

2.1.4 Industrialisasi

Dalam suatu perekonomian yang terbuka dan persaingan pasar sempurna,

pengembalian marjinal faktor-faktor produksi dalam berbagai sektor akan merata.

Apabila perbedaan produktivitas ini semakin lebar, maka perbedaan pendapatan

antara masyarakat perdesaan yang menggantungkan diri pada sektor pertanian dan

masyarakat perkotaan yang sebagian besar bekerja di sektor non-pertanian akan

semakin besar pula. Dengan demikian, kemiskinan juga akan terus terjadi,

terutama di perdesaan (Lin, 2003).

Selanjutnya, Lin (2003) juga menyatakan bahwa dalam meningkatkan

pendapatan tenaga kerja di sektor pertanian, upaya peningkatan produksi pada

on-farm di sektor pertanian kurang efektif dibandingkan pembangunan sektor industri yang menyerap tenaga kerja. Terkait dengan hal ini, strategi pemilihan

industri berdasarkan rasio modal dan tenaga kerja akan mempengaruhi percepatan

pemerataan pendapatan antara sektor pertanian dan non-pertanian. Data dari

berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa strategi pengembangan industri

yang padat tenaga kerja berdampak positif terhadap pengurangan ketimpangan

pendapatan.

Sektor pertanian mempunyai sifat yang akomodatif terhadap tenaga kerja.

Hal ini mengakibatkan sektor pertanian terpaksa meanampung tenaga kerja yang

melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang tinggi.

Oleh karena itu, industrialisasi perdesaan menjadi suatu program yang harus

segera dilaksanakan untuk mengurangi jumlah pengangguran dan setengah

pengangguran di perdesaan. Pengembangan industrialisasi di perdesaan untuk

mendorong tenaga kerja pertanian keluar ke sektor industri saat ini sangat gencar

dilaksanakan di RRC. Kebijakan industri perdesaan yang dilakukan oleh RRC

sejak tahun 1980-an telah berhasil mengalihprofesikan sebesar 100 juta petani

untuk bekerja pada sektor industri di perdesaan. Data tahun 1998 menunjukkan

bahwa di RRC telah berdiri sekitar 22 juta perusahaan perdesaan yang bergerak di

sektor industri berupa township and village enterprise (Malian et al., 2004). Strategi yang ditawarkan terkait peranan sektor pertanian yang masih

menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan tingginya angka

(42)

proses transformasi melalui transisi pengembangan agroindustri berbasis

komoditas unggulan di perdesaan. Agroindustri yang mempunyai kemampuan

sebagai masa transisi untuk mendorong proses transformasi dari sektor pertanian

ke sektor industri harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) produk industri

yang dikembangkan berbasis komoditas unggulan nasional dan spesifik daerah,

sehingga meningkatkan nilai tambah produk pertanian; (2) mempunyai kaitan

yang luas, baik ke industri hulu (backward linkage) maupun kaitan ke industri hilir (forward linkage); (3) memiliki permintaan pasar yang luas baik pasar lokal, regional, maupun ekspor, sehingga produk yang dikembangkan sesuai dengan

dinamika permintaan pasar dan dinamika preferensi konsumen; (4) nilai tambah

yang diciptakan didistribusikan secara adil diantara pelaku-pelaku yang tercakup,

sehingga terjadi sinergi optimum; (5) bersifat padat tenaga kerja sehingga mampu

menyerap tenaga kerja secara luas sebagai prasyarat menuju industrialisasi; (6)

ketersediaan modal sesuai dengan tahap pekembangan skala usaha dan

kematangan usaha agroindustri yang dikembangkan; (7) memiliki kandungan ilmu

pengetahuan dan teknologi sesuai tahap perkembangan agroindustri yang

dikembangkan; (8) memiliki kandungan jiwa kewirausahaan yang tinggi sebagai

penggerak agroindustri; serta (9) lokasi pengembangan pada daerah sentra

produksi komoditas unggulan (Supriyati, 2009).

Departemen Perindustrian (2005), menyatakan bahwa hasil analisis

pengukuran daya saing membagi perusahaan industri menengah dan besar ke

dalam dua kelompok berdasarkan orientasi pasarnya, yaitu kelompok industri

potensi ekspor dan kelompok industri pasar dometik. Selanjutnya, kedua

kelompok tersebut juga dibedakan lagi menjadi empat kategori, yaitu industri

padat sumber daya alam, industri padat tenaga kerja, industri padat modal dan

industri padat teknologi.

Industri padat sumber daya alam mencakup perusahaan industri yang banyak

memanfaatkan input produksi (bahan baku) yang berasal dari sumber daya alam.

Industri ini mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply dan untuk pengembangan produknya sudah dapat didukung oleh unit penelitian dan

pengembangan dalam negeri. Beberapa industri yang termasuk dalam kategori

Gambar

Tabel 1. Perkembangan Luas Lahan Sawah di Pulau Jawa, 2000-2009
Tabel 3. Pada Tabel tersebut terlihat bahwa sampai dengan tahun 2009,
Gambar 1. Perbandingan  Produktivitas  antar  Sektor  Pertanian,  Industri dan
Tabel 5. Proporsi  dan  Kecenderungan   Kepemilikan   Lahan   dan   Rumah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi keraguan masyarakat dalam penggunaan pasir sungai lematang, maka penulis sangat tertarik untuk menguji kuat tekan beton yang menggunakan pasir sungai lematang,

Seluruh Dosen Jurusan Teknik Industri Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya yang telah memberikan ilmu kepada saya selama 4 tahun mencari ilmu.. General Manager

Puji syukur penulis sampaikan kepada Allah Bapa di Surga dan PutraNya Yang Tunggal Yesus Kristus, karena hanya dengan bimbingan dan pertolonganNya penulis dapat

Angka Kematian Ibu (AKI) di kabupaten Klaten tiap tahun meningkat. Hal ini dikarenakan oleh kondisi kesehatan lingkungan, tingkat pendidikan dan pengetahuan ibu maternal,

Terdiri dari ijin yang definitf (existing) dan ijin pencadangan (proposed) Perkiraan Penggunaan Sumber Bahan Baku Kayu Industri Pulp Dan Paper Di Indonesia” Studi

Pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan material Wajib Pajak PPh Badan setelah dilakukan analisis menggunakan software SPSS version 17.0 diperoleh hasil

Jika suatu perusahaan hanya memiliki saham biasa, atau saham biasa dan saham preferen tidak dapat dikonversi yang beredar, dan tidak memiliki sekuritas lain yang dapat

Dengan ini kami beritahukan bahwa perusahaan Saudara telah lulus Evaluasi Administrasi, Teknik, Harga dan Kualifikasi untuk Paket tersebut di atas.. Sebagai kelanjutan proses