• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

2.1.2. Penguasaan Lahan dan Pendapatan Petani

Konversi lahan pada akhirnya berakibat pada pengurangan luas lahan yang dimiliki oleh rumah tangga petani. Berdasarkan hasil penelitian Rusastra et al., (2009), antara tahun 1993 sampai tahun 2003 terjadi peningkatan jumlah rumah tangga petani kecil dengan kepemilikan lahan yang sempit. Tabel 5 memperlihatkan perkembangan jumlah rumah tangga petani, kepemilikan lahan rumah tangga petani, dan petani kecil dengan luasan lahan kurang dari 0,5 ha antara tahun 1993 sampai 2003. Pada tahun 1993, proporsi petani kecil dibanding rumah tangga petani yang memiliki lahan sebesar 69,76 persen, sedangkan pada tahun 2003 mencapai 74,68 persen.

Tabel 5. Proporsi dan Kecenderungan Kepemilikan Lahan dan Rumah Tangga Petani Kecil di Pulau Jawa, 1993 dan 2003

Sumber: Sensus Pertanian 1993 dan 2003. Angka Nasional Hasil Pendaftaran Rumah Tangga. (BPS)

Deskripsi Sensus Pertanian (% per

tahun)

1993 2003

Total rumah tangga petani 11 671 13 965 1,81

Rumah tangga petani dengan

kepemilikan lahan 11 564 13 377 1,47

Rumah tangga petani dengan

kepemilikan lahan kecil 8 067 9 990 2,16

Persentase rumah tangga petani dengan kepemilikan lahan dibanding total rumah tangga petani

99,080 95,79

Persentase rumah tangga dengan kepemilikan lahan kecil dibanding rumah tangga dengan kepemilikan lahan

Semakin kecilnya lahan yang dimiliki rumah tangga petani telah mendorong petani untuk mencari sumber pendapatan dari sektor non-pertanian. Sumaryanto dan Sudaryanto (2009) menyatakan bahwa peranan sektor pertanian dalam struktur pendapatan masyarakat perdesaan di Pulau Jawa cenderung menurun. Gambaran lebih rinci tentang kontribusi masing-masing sektor di Jawa adalah sebagai berikut (Tabel 6).

Tabel 6. Struktur Pendapatan Rumah Tangga Perdesaan di Jawa,1995 dan 2007 (%) Uraian 1995 2007 Pertanian 49,8 25,2 - Usahatani padi 16,4 13,6 - Usahatani lainnya 2,3 5,4 - Buruh tani 7,1 6,2 Non-pertanian 40,2 59,7 - Usaha sendiri 23,0 36,5 - Buruh/karyawan, dsb. 17,2 23,2 Lainnya 10,0 15,1 Total 100 100

Sumber: Patanas 1995 dan 2007 (diolah).

2.1.3 Transformasi Ekonomi dan Tenaga Kerja Pertanian dan Industri

Selanjutnya, Sumaryanto dan Sudaryanto (2009) menyatakan bahwa pada kegiatan non-pertanian sebagai buruh, partisipasi rumah tangga petani di Pulau Jawa berbeda dengan di luar Pulau Jawa. Dalam konteks ini, tingkat tingkat partisipasi rumah tangga petani di Pulau Jawa jauh lebih tinggi daripada di luar Pulau Jawa (30% vs 19%). Hal ini terkait dengan banyak faktor, tetapi secara empiris terkait dengan dua faktor utama berikut. Pertama, kesempatan kerja untuk berburuh non-pertanian di perdesaan dan perkotaan di Pulau Jawa (sebagai komuter dan atau sirkuler), relatif lebih banyak. Kedua, secara relatif usahatani rumah tangga di perdesaan di luar Pulau Jawa lebih dapat diandalkan sebagai sumber nafkah utama untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga (karena lahan garapannya lebih luas).

Hasil kajian di lapang, khususnya di pedesaan Pulau Jawa menunjukkan pola-pola migrasi yang banyak dilakukan oleh masyarakat di perdesaan adalah sebagai berikut. Untuk desa yang sangat dekat dengan pusat-pusat kota atau

industri dengan aksesibiltas yang baik, jenis migrasi yang dominan dilakukan adalah komutasi sepanjang tahun. Untuk desa yang agak jauh dari kota atau industri ternyata sebagian besar penduduknya ada yang melakukan migrasi secara sirkular musiman. Sementara untuk yang sangat jauh dengan tujuan migrasinya adalah kota-kota besar atau setingkat provinsi, sebagian besar migrasinya adalah migrasi permanen (Supriyati et al., 2009). Nurmanaf (2002) menambahkan bahwa Keputusan seseorang pekerja di desa melakukan migrasi ke kota lebih disebabkan adanya “tarikan” dari kota berupa tersedianya berbagai pekerjaan yang menarik disamping mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi. Secara spesifik, faktor penarik tersebut meliputi kesempatan kerja, tingkat upah dan aksesibilitas terhadap fasilitas sosial ekonomi yang tidak dijumpai di pedesaan. Apabila sektor pertanian yang merupakan sumber pendapatan utama yang tidak lagi mencukupi dan alternatif pekerjaan lain tidak tersedia, seseorang akan mencari sumber pendapatan tambahan dengan bekerja di luar desa, termasuk migrasi ke kota.

Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Collier, W. L., Soentoro dan O. Jamasy pada tahun 2006 yang meneliti perbandingan transformasi di dua desa di Jawa Timur yang mengalami konversi lahan sawah selama kurun waktu 1969 sampai 2006. Pada desa yang disekitarnya terdapat pabrik-pabrik industri, transformasi yang terjadi adalah dalam bentuk komuting harian, sedangkan pada desa yang tidak terdapat pabrik disekitarnya, transformasi yang terjadi adalah dalam bentuk migrasi dalam jangka waktu tertentu. Dari kedua desa ini, transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke non-pertanian lebih tinggi pada desa yang disekitarnya terdapat pabrik.

Proses transformasi tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor non-pertanian dapat didekati dengan Model Lewis dan Model Fei-Ranis.Arthur Lewis mengemukakan teori yang dikenal dengan surplus tenaga kerja dua sektor (two sector surplus labor), yaitu sektor tradisional yang merujuk pada sektor pertanian atau perdesaan subsisten dan sektor modern yang merujuk pada sektor industri perkotaan (Todaro, 2006).

Pada sektor tradisional terjadi surplus tenaga kerja dan ditandai oleh produktivitas marjinal tenaga kerja yang sama dengan nol sehingga bila sebagian tenaga kerja ditarik dari sektor pertanian, sektor pertanian tidak akan kehilangan

outputnya. Sektor industri memiliki produktivitas yang tinggi dan menjadi penampung tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor pertanian. Pengalihan tenaga kerja dan perluasan kesempatan kerja dimungkinkan oleh adanya peningkatan output dengan asumsi bahwa kelebihan keuntungan di sektor industri akan diinvestasikan kembali untuk memperluas industri. Asumsi yang lain adalah bahwa tingkat upah di sektor industri perkotaan konstan dan melebihi tingkat rata-rata upah di sektor tradisional (pertanian) sehingga kurva penawaran tenaga kerja perdesaan bersifat elastis sempurna (Todaro, 2006). Ilustrasi model pertumbuhan dua sektor dalam Teori Lewis ini dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Transformasi Tenaga Kerja dari Sektor Pertanian ke Sektor Industri berdasarkan Teori Lewis

L1 T o tal p ro d u k ( m an u fak tu r) H G F D1(KM1)=MPLM D2(KM2) D3(KM3) WM WA LM 0 TPM2 TPM1 TPM3 KKM3>KM2>KM1 M3>KM2>KM1 TPM(KM3) TPM(KM2) TPM(KM1) 0 L1 L2 L2 L3 L3 KM3>KM2>KM1 S Up ah r iil ( =M PLM )

Kuantitas tenaga kerja (QLM) (ribuan)

(a) sektor modern (industri)

0 Pro d u k r ata -r ata (m ar g in al) T o tal p ro d u k ( b ah an p n g an ) WA

Surplus tenaga kerja

L MPLA APL MPL APLA TPA 0 KM3>KM2>KM1 L L QLA

Kuantitas tenaga kerja (QLA) (jutaan)

Pada peraga sebelah kanan atas di Gambar 2. tersebut fungsi produksi pertanian hanya ditentukan oleh variabel input tenaga kerja (LA), sedangkan input modal (KA) dan teknologi (tA) diasumsikan tetap. Turunan fungsi ini merupakan produktivitas tenaga kerja marjinal (MPLA) dan produktivitas tenaga kerja rata-rata (APLA) seperti yang digambarkan pada diagram kanan bawah. Lewis mengasumsikan bahwa di sektor pertanian MPLA sama dengan nol dan semua pekerja di sektor pertanian menghasilkan output yang sama sehingga upah riil di perdesaan ditentukan oleh produktivitas rata-rata, bukan oleh produktivitas marjinal sebagaimana di sektor modern. Upah di sektor pertanian ini (WA) dapat dinyatakan dengan total output pangan dibagi total tenaga kerja (TPA/LA).

Pada diagram sebelah kiri atas juga diasumsikan bahwa fungsi produksi sektor modern juga hanya ditentukan oleh variabel input tenaga kerja (LM), sementara variabel input modal (KM) dan teknologi (tM)konstan. Dalam model Lewis, stok modal di sektor modern bisa bertambah dari KM1, KM2, kemudian menjadi KM3 dan seterusnya akibat dari reinvestasi keuntungan. Penambahan stok modal ini diikuti oleh peningkatan total produksi dari TPM(KM1) ke TPM(KM2), TPM(KM3) dan seterusnya.

Tingkat upah sektor tradisional (WA) lebih rendah dari pada upah sektor modern (WM). Pada tingkat upah itu, penawaran tenaga kerja di perdesaan tidak terbatas atau elastis sempurna (kurva penawaran tenaga kerja horizontal (WMSL). Hal ini dapat diartikan bahwa penyedia lapangan kerja di sektor modern dapat merekrut tenaga kerja perdesaan sebanyak yang diperlukan tanpa harus khawatir tingkat upah akan naik. Dengan asumsi tingkat upah di sektor modern konstan (WM), penambahan investasi yang akan menambah total produksi dan menggeser kurva permintaan tenaga kerja dari D1(KM1), ke D2(KM2), D3(KM3) dan seterusnya. Sehingga tenaga kerja yang terserap di sektor modern juga bertambah dari L1, ke L2, L3 dan seterusnya.

John Fei dan Gustav Ranis pada tahun 1964 kemudian melengkapi Model Lewis yang menggambarkan bahwa penawaran tenaga kerja tidak terbatas dan analisa yang lebih ditekankan pada sektor modern serta mengabaikan perubahan pada sektor pertanian. Model transformasi tenaga kerja yang kemudian dikenal dengan Model Fei-Ranis ini menganalisa perubahan-perubahan yang terjadi di

sektor pertanian. Model ini membagi perubahan tenaga kerja di sektor pertanian menjadi tiga tahap berdasarkan produktivitas marginal dan tingkat upah yang dianggap konstan dan ditetapkan secara eksogen.Kecepatan transfer tenaga kerja ini tergantung pada tingkat pertumbuhan penduduk, perkembangan teknologi dan tingkat pertumbuhan stok modal di sektor industri (Fei et al., 1989).

Dalam Model Fei-Ranis, terdapat 3 tahapan transfer tenaga kerja berdasarkan produktivitas fisik marginal (PM) dan upah yang dianggap konstan. Pada tahap pertama tenaga kerja melimpah dan PM sama dengan atau mendekati nol, tahap kedua ditandai oleh PM tenaga kerja positif namun masih di bawah tingkat upah, sedangkan pada tahap ketiga PM tenaga kerja positif dan di atas tingkat upah. Model ini dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Model Transformasi Tenaga Kerja Fei-Ranis C

Produk fisik marginal Produk rata-rata

(a) Sektor Pertanian O Upah (konst Tenaga kerja B W I II III S’ O S Produk marginal Produk fisik marginal Tenaga kerja S’’

Pada tahap I (O-B) surplus tenaga kerja dari sektor pertanian ke sektor industri mempunyai kurva penawaran elastis sempurna (garis S-S’). Adanya transfer tenaga kerja tidak menurunkan produksi sektor pertanian. Produktivitas tenaga kerja meningkat dan sektor industri dapat tumbuh dengan adanya tambahan tenaga kerja. Sehingga transfer tenaga kerja menguntungkan kedua sektor. Pada tahap II (B-C), terjadinya pengurangan tenaga kerja di sektor pertanian akan menurunkan produksi sektor pertanian dengan biaya imbangan positif. Produsen sektor pertanian akan senang hati melepas tenaga kerjanya walaupun produksinya menurun karena penurunan tersebut lebih rendah dari besarnya upah yang tidak jadi dibayarkan. Di lain pihak, karena surplus produksi yang ditawarkan ke sektor industri menurun sementara permintaannya meningkat (karena adanya tambahan tenaga kerja yang masuk), harga relatif komoditas pertanian akan meningkat. Pada tahap III produsen pertanian akan mempertahankan tenaga kerjanya. Sementara itu permintaan tenaga kerja meningkat terus dari sektor industri dengan asumsi keuntungan (pembentukan modal) di sektor ini diinvestasikan kembali untuk memperluas usaha (Fei et al., 1989).

Dalam kenyataannya, tidak semua surplus tenaga kerja dari sektor pertanian dapat diterima di sektor modern (industri) yang formal. Hadi (2001) menyatakan bahwa industri modern di perkotaan pada umumnya membutuhkan tenaga kerja yang mempunyai ketrampilan dan keahlian tertentu yang sebagian besar sulit dipenuhi, disamping kesempatannya terbatas dan kecil dibandingkan dengan jumlah pihak pencari kerja. Oleh karena itu sektor informal di perkotaan menjadi satu-satunya alternatif bagi masyarakat di sektor tradisional untuk mendapatkan lapangan pekerjaan dan mencari penghidupan. Hal ini sangat terasa di kota-kota di Kawasan Barat Indonesia (KBI), khususnya di Pulau Jawa yang menjadi tempat tujuan pencari kerja. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4 yang menunjukkan hubungan macro-spatial kawasan perdesaan dan perkotaan. Garis putus-putus menunjukkan aliran perpindahan penduduk.

Gambar 4. Hubungan Macro-spatial Kawasan Perkotaan dan Perdesaan (Hadi, S., 2001)

Karakteristik sektor informal antara lain sangat bervariasinya bidang kegiatan produksi barang dan jasa, berskala kecil, unit-unit produksinya dimiliki secara perorangan atau keluarga, banyak menggunakan tenaga kerja (padat karya), dan teknologi yang dipakai relatif sederhana. Beberapa dari sektor informal yang berhasil ini dapat beralih menjadi sektor formal yang terdaftar secara hukum dan terikat oleh peraturan ketenagakerjaan pemerintah (Todaro, 2009). Karakteristik seperti ini juga dimiliki oleh Usaha Kecil Menengah (UKM) yang merupakan transisi tenaga kerja dari pekerjaan di sektor pertanian subsisten ke sektor non-pertanian (Rusastra et al, 2010). Kawasan Perdesaan Sektor Tradisional Sektor Modern Pasar Internasion al Sektor industri modern di perkotaan Sektor informal di perkotaan Industri modern di daerah (rural ) Masyarakat miskin yang mayoritas adalah petani miskin di perdesaan Kawasan Perkotaan

2.1.4 Industrialisasi

Dalam suatu perekonomian yang terbuka dan persaingan pasar sempurna, pengembalian marjinal faktor-faktor produksi dalam berbagai sektor akan merata. Apabila perbedaan produktivitas ini semakin lebar, maka perbedaan pendapatan antara masyarakat perdesaan yang menggantungkan diri pada sektor pertanian dan masyarakat perkotaan yang sebagian besar bekerja di sektor non-pertanian akan semakin besar pula. Dengan demikian, kemiskinan juga akan terus terjadi, terutama di perdesaan (Lin, 2003).

Selanjutnya, Lin (2003) juga menyatakan bahwa dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja di sektor pertanian, upaya peningkatan produksi pada on-farm di sektor pertanian kurang efektif dibandingkan pembangunan sektor industri yang menyerap tenaga kerja. Terkait dengan hal ini, strategi pemilihan industri berdasarkan rasio modal dan tenaga kerja akan mempengaruhi percepatan pemerataan pendapatan antara sektor pertanian dan non-pertanian. Data dari berbagai negara berkembang menunjukkan bahwa strategi pengembangan industri yang padat tenaga kerja berdampak positif terhadap pengurangan ketimpangan pendapatan.

Sektor pertanian mempunyai sifat yang akomodatif terhadap tenaga kerja. Hal ini mengakibatkan sektor pertanian terpaksa meanampung tenaga kerja yang melebihi kapasitasnya, sehingga menanggung beban pengangguran yang tinggi. Oleh karena itu, industrialisasi perdesaan menjadi suatu program yang harus segera dilaksanakan untuk mengurangi jumlah pengangguran dan setengah pengangguran di perdesaan. Pengembangan industrialisasi di perdesaan untuk mendorong tenaga kerja pertanian keluar ke sektor industri saat ini sangat gencar dilaksanakan di RRC. Kebijakan industri perdesaan yang dilakukan oleh RRC sejak tahun 1980-an telah berhasil mengalihprofesikan sebesar 100 juta petani untuk bekerja pada sektor industri di perdesaan. Data tahun 1998 menunjukkan bahwa di RRC telah berdiri sekitar 22 juta perusahaan perdesaan yang bergerak di sektor industri berupa township and village enterprise (Malian et al., 2004).

Strategi yang ditawarkan terkait peranan sektor pertanian yang masih menjadi tumpuan penyerapan tenaga kerja di perdesaan dan tingginya angka pengangguran tidak kentara di sektor pertanian diantaranya adalah mempercepat

proses transformasi melalui transisi pengembangan agroindustri berbasis komoditas unggulan di perdesaan. Agroindustri yang mempunyai kemampuan sebagai masa transisi untuk mendorong proses transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri harus memenuhi syarat sebagai berikut: (1) produk industri yang dikembangkan berbasis komoditas unggulan nasional dan spesifik daerah, sehingga meningkatkan nilai tambah produk pertanian; (2) mempunyai kaitan yang luas, baik ke industri hulu (backward linkage) maupun kaitan ke industri hilir (forward linkage); (3) memiliki permintaan pasar yang luas baik pasar lokal, regional, maupun ekspor, sehingga produk yang dikembangkan sesuai dengan dinamika permintaan pasar dan dinamika preferensi konsumen; (4) nilai tambah yang diciptakan didistribusikan secara adil diantara pelaku-pelaku yang tercakup, sehingga terjadi sinergi optimum; (5) bersifat padat tenaga kerja sehingga mampu menyerap tenaga kerja secara luas sebagai prasyarat menuju industrialisasi; (6) ketersediaan modal sesuai dengan tahap pekembangan skala usaha dan kematangan usaha agroindustri yang dikembangkan; (7) memiliki kandungan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai tahap perkembangan agroindustri yang dikembangkan; (8) memiliki kandungan jiwa kewirausahaan yang tinggi sebagai penggerak agroindustri; serta (9) lokasi pengembangan pada daerah sentra produksi komoditas unggulan (Supriyati, 2009).

Departemen Perindustrian (2005), menyatakan bahwa hasil analisis pengukuran daya saing membagi perusahaan industri menengah dan besar ke dalam dua kelompok berdasarkan orientasi pasarnya, yaitu kelompok industri potensi ekspor dan kelompok industri pasar dometik. Selanjutnya, kedua kelompok tersebut juga dibedakan lagi menjadi empat kategori, yaitu industri padat sumber daya alam, industri padat tenaga kerja, industri padat modal dan industri padat teknologi.

Industri padat sumber daya alam mencakup perusahaan industri yang banyak memanfaatkan input produksi (bahan baku) yang berasal dari sumber daya alam. Industri ini mempunyai potensi yang kuat dari sisi internal supply dan untuk pengembangan produknya sudah dapat didukung oleh unit penelitian dan pengembangan dalam negeri. Beberapa industri yang termasuk dalam kategori padat sumber daya alam yang cukup potensial diantaranya adalah industri

makanan lainnya, industri barang-barang dari kayu dan barang-barang anyaman dari rotan, bambu dan sejenisnya, industri barang-barang dari batu, dan industri furnitur.

Industri padat tenaga kerja mencakup perusahaan industri pengolahan yang banyak menggunakan tenaga kerja dalam kegiatan produksinya. Untuk dapat mengembangkan produksinya, diperlukan usaha meningkatkan ketrampilan dan produktivitas tenaga kerja, melalui kegiatan pendidikan dan pelatihan. Beberapa jenis industri yang tercakup dalam kelompok ini adalah industri pemintalan, pertenunan, dan pengolahan akhir tekstil, industri pakaian jadi dan perlengkapannya kecuali pakaian jadi berbulu, industri kulit dan barang dari kulit, dan industri pengolahan lainnya.

Industri padat modal mencakup industri yang banyak menyerap modal dalam proses produksinya. Dalam pengembangan produknya, diperlukan usaha meningkatkan penanaman modal, baik domestik maupun asing. Pada umumnya, untuk mengembangkan produk ini sangat tergantung pada faktor eksternal. Contoh industri ini adalah industri barang dari plastik.

Industri padat teknologi mencakup perusahaan industri yang mengandalkan teknologi sebagai faktor keunggulan dalam bersaing. Untuk mengembangkan produksinya, diperlukan usaha meningkatkan penguasaan teknologi, baik melalui alih teknologi maupun teknologi yang menyatu pada barang modal yang diimpor. Termasuk dalam industri ini adalah industri pesawat terbang.

BPS membagi skala industri dalam empat kelompok berdasarkan jumlah tenaga kerja yang terlibat, yaitu (1) industri rumah tangga atau industri mikro dengan jumlah tenaga kerja sampai dengan empat orang, (2) industri kecil yang memiliki tenaga kerja 5 sampai 20 orang, (3) industri sedang atau menengah dengan tenaga kerja berjumlah 21 sampai 99 orang, dan (4) industri besar yang memperkerjakan 100 orang atau lebih.Dari keempat kelompok tersebut, proporsi UKM terbesar adalah unit usaha mikro (98,58%), usaha kecil (1,01%), usaha menengah (0,08%). Selama tahun 2005-2008, UKM telah menyumbang PDB sebesar 55,56% (Anwar, S. D., 2009).