• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II DESKRIPSI KAWASAN

2.6. Isu Strategis, Kendala dan Permasalahan

2.6.1. Faktor Internal

1. Potensi hasil hutan kayu, bukan kayu dan hasil hutan ikutan lain relatif masih tinggi

Rata-rata potensi pohon masak tebang komersil dan non komersil

sebesar 47,46 m3/ha yang tersedia diolah untuk memenuhi kebutuhan kayu

lokal. Secara umum potensi kayu komersil yang ada di wilayah KPHL Biak Numfor per hektarnya sangat rendah (1,31 m3/ha). Jenis kayu yang

menjadi primadona masyarakat dalam memenuhi kebutuhan

pembangunan lokal adalah merbau. Potensi merbau per hektar di kepulauan Padaido untuk semai 2080 individu/hektar, pancang (12,8 individu/hektar) dan pancang (4 individu/hektar) (Tokede et all, 2006).

Potensi hasil hutan bukan kayu unggulan di Biak Numfor adalah rotan, gaharu, dan bambu. Berdasarkan hasil penelitian Simyapen (2007) bahwa potensi jenis rotan yang terdapat pada kawasan hutan pulau Meosmangguandi terdiri dari empat jenis yang tumbuh alami di pulau tersebut. Penamannya menurut bahasa ilmiah dan bahasa daerah (bahasa biak) yaitu: Calamus Sp1 (Warar), Calamus Sp2 (Waneren ), Calamus Sp3 (Warsam) an Calamus Sp4 (Say). Jenis rotan yang tumbuh dominan pada tingkat semai adalah: jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya adalah 103,3782 % sedangan jenis yang paling jarang pada kawasan hutan pulau Meosmanggaundi, yaitu jenis Calamus Sp 4 dengan Indeks Nilai Pentingnya adalah: 13,4509 %. Pada tingkat rotan remaja jenis rotan yang tumbuh dominan adalah jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya sebesar: 186,7979 % sedangkan jenis yang paling jarang adalah jenis Calamus sp4 dengan Indeks Nilai Pentingnya yaitu 8,1503%. Sedangkan pada rotan tingkat dewasa jenis yang paling dominan adalah jenis Calamus Sp1 dengan Indeks Nilai Pentingnya yaitu: 173,3595 % sedangkan yang paling jarang adalah Calasmus sp4 dengan Indeks Nilai pentingnya sebesar 12,6668 %.

Sedangkan jenis-jenis bambu yang terdapat pada kawasan hutan Kampung Amoi Biak Utara ditemukan ada 7 (tujuh) jenis bambu yang

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

60

terdiri dari 3 (tiga) marga yaitu Bambusa vulgaris var. vulgaris,

Shizosthacyium brachyladum, Schizostachyum, Zollingeri, Bambusa vulgaris striata, Neololeba atra, Schizostachyum lima, Shizostachyum blumei. Jenis-jenis bambu tersebut dimanfaatkan untuk bahan konstruksi,

perabot rumah tangga, alat berburu, alat musik, bahan kerajinan, tanaman hias dan bahan makanan. Jenis yang paling banyak dimanfaatkan oleh Masyarakat Kampung Amoi Distrik Warsa Kabupaten Biak Numfor adalah Bambusa vulgaris var vulgaris, masyarakat banyak memanfaatkan karena jenis ini mudah didapatkan dan banyak tersedia pada kawasan hutan Kampung Amoi.

2. Organisasi KPHL telah Terbentuk dan Memiliki Kedudukan Sejajar dengan SKPD lain

Organisasi KPHL Biak Numfor telah dibentuk dan memiliki kedudukan sebagai suatu Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) berdasarkan peraturan daerah (PERDA) Kabupaten Biak Numfor Nomor 28 Tahun 2011. Pegawai negeri sipil maupun tenaga honorer yang bekerja di KPHL Biak Numfor sebanyak 12 orang dengan jabatan 1 (satu) orang Kepala KPHL, 1 orang Kepala Sub Bagian Tata Usaha, 11 orang sebagai tenaga kontrakdari Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua , 3 orang tenaga kontrak dari Kementerian Kehutanan (SKMA), 1 orang tenaga Basarhut dan 2 orang tenaga kontrak dari KPHL Biak Numfor.

3. Terdapat Keindahan Bentang Alam dan Peninggalan Budaya yang Unik

Wilayah KPHL Biak Numfor memiliki keindahan bentang alam dan peninggalan budaya serta sejarah yang potensial untuk menjadi obyek-obyek wisata unggulan. Wilayah pengelolaan KPHL Biak Numfor memiliki jasa lingkungan hutan yang sangat potensial untuk dikembangkan dalam mendukung terwujudnya visi Biak sebagai kota jasa. Dari 26 Obyek Daya Tarik Wisata (ODTW) yang potensial di wilayah KPHL Biak Numfor, wisata alam sangat dominan memberikan peran besar dimana terdapat 19 ODTW untuk tujuan wisata alam. Selain itu,

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

61

terdapat 2 (dua) ODTW berupa wisata budaya dan 6 (enam) ODTW wisata sejarah.

4. Komitmen Pemerintah Daerah Tinggi untuk Meningkatkan Perekonomian dan Kesejahteraan Masyarakat Melalui Pembangunan Bidang Kehutanan

Komitmen pemerintah daerah Biak Numfor dalam meningkatkan perekenomian di sektor kehutanan terlihat dengan adanya pemberian dukungan yang penuh terhadap pembentukan KPHL Biak Numfor sebagai KPHL Model di Indonesia, dengan status sama sebagai suatu SKPD. Kebijakan ini konsekuensi logisnya adalah bahwa pemerintah daerah Biak Numfor harus memberikan dana dari APBD untuk mendorong pelaksanaan tugas-tugas KPHL Biak Numfor. Selain itu, pemerintah daerah juga memberikan dukungan dana untuk upaya-upaya peningkatan kesejahteraan rakyat melalui dana APBD melalui Dinas Kehutanan, dan dinas-dinas lain yang terkait dengan pengelolaan lingkungan dan kehutanan.

5. Sistem Pemukiman dan Pemilikan Ulayat Menyebar Secara Komunal

Sistem pemukiman dan pemilikan hak ulayat masyarakat adat menyebar secara komunal. Kondisi ini merupakan kekuatan karena akan sangat memudahkan penataan sistem pengelolaan kawasan hutan baik menyangkut pemanfaatan kawasan hutan untuk pemukiman maupun kepentingan-kepentingan lainnya. Melihat kondisi ini, pemetaan partisipatif untuk menentukan areal kelola masyarakat adat akan menjadi lebih mudah dilakukan dan tidak menimbulkan biaya yang besar .

6. Kepemimpinan Adat dan Hak Masyarakat Masih Berlaku di beberapa Wilayah Distrik dan Kampung

Struktur sosial masyarakat Biak telah menunjukan adanya tingkatan atau lapisan sosial masyarakat, yaitu Manseren/Supriman, Mandaman dan budak. Manseren/Supriman adalah kelompok-kelompok kerabat dan keluarga yang merupakan keturunan dari orang-orang yang pertama menduduki suatu wilayah dan membuka ladang-ladang, sehingga memiliki hak kepemilikan yang kuat. Lapisan kedua adalah keluarga yang

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

62

merupakan keturunan dari orang yang datang kemudian di wilayah nenek moyang Manseren. Sedangkan budak-budak adalah keturunan dari orang-orang yang di tangkap dalam peperangan. Lapisan sosial seperti ini pada beberapa kampung masih terlihat jelas, namun sebagian besar telah mengalami akulturasi sehingga tidak nampak adanya pelapisan tersebut. Dengan adanya lapisan sosial ini maka kekuatan hak kepemilikan dari suatu keret atau marga menjadi jelas dan tidak akan menimbulkan konflik kepemilikan sehingga property right masyarakat adat menjadi lebih efisien karena semakin banyaknya syarat hak kepemilikan yang dapat dipenuhi. Kuatnya hak kepemilikan dapat membatasi masuknya free rider (penunggang bebas) dan rent seeking ( pencari rente) serta kaum oppurtunistik di tengah kehidupan masyarakat.

7. Sebagian Besar Masyarakat Menggantungkan Hidup dari Bertani, Meramu dan Berburu Hasil Hutan

Komposisi penduduk menurut mata pencaharian dapat

menggambarkan aktivitas penduduk dalam memenuhi kehidupannya. Aktivitas tersebut seperti penduduk yang penghidupannya sebagai petani, nelayan, pedagang, jasa, pegawai, buruh, dsb. Mata pencaharian penduduk Kabupaten Biak Numfor terutama yang bertempat tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan KPHL Biak Numfor adalah berladang dan menangkap ikan. Mata pencaharian menangkap ikan banyak dilakukan terutama oleh penduduk yang bertempat tinggal di Kepulauan Padaido dan Biak Timur. Sedangkan mata pencaharian penduduk yang tinggal di perkotaan lebih beragam, diantaranya sebagai Pegawai Negeri Sipil (guru), pegawai pemerintah, pegawai swasta dan pedagang. Namun sebagian besar menekuni pertanian sebagai pekerjaan utama maupun sampingan dalam memenuhi kebutuhan subsiten maupun semi komersil.

8. Terdapat Usaha-Usaha Pemungutan Tradisional Hasil Hutan

Masyarakat yang berdiam di dalam maupun di luar kawan hutan KPHL Biak Numfor memiliki aktivitas pemungutan terhadap hasil hutan yang dilakukan secara tradisional. Diantaranya adalah pemanfaatan buah bakau atau mangrove sebagai makanan tradisional yang dalam bahasa

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

63

lokal disebut “Aibon”. Aibon berasal dari jenis Bruguiera sp yang banyak mengandung karbohidrat. Selain itu, dalam hal pembuatan perahu tradisional masyarakat Biak memiliki pengetahuan tradisional dalam hal memilih kayu sebagai bahan baku pembuatan perahu, sehingga pemanenan kayu dilakukan secara selektif. Untuk pembuatan perahu tradisional atau dalam bahasa Biak disebut”Waypapa” jenis kayu yang biasanya digunakan terdiri dari “marem” (Litsea tuberculata), “moref” (Palaquim

amboinicum), ‘adoi” (Adenathera microsperma), “kabui” (Intsia bijuga),

“sner”(Manilkara) dan jenis-jenis lainnya (Aji, 2000). Pengetahuan tradisional dalam pemungutan hasil hutan menjadi modal bagi pengelola KPHL Biak Numfor dalam mengatur cara pemungutan hasil hutan, sehingga sumberdaya hutan dapat dikelola secara berkelanjutan.

Kelemahan (Weaknesses- W)

1. Peta Tata Ruang Kehutanan dan Batas Kawasan Hutan Masyarakat Adat Belum Ada

Pemetaan partsipatif dalam rangka memperjelas status hak kepemilikan masyarakat adat secara legal formal di wilayah KPHL Biak Numfor belum dilakukan, sehingga dalam tata ruang kehutanan provinsi maupun kabupaten, kedudukan dan status wilayah kelola masyarakat adat tidak mendapat ruang. Akibatnya terjadi tumpang tindih pemanfaatan lahan dan kawasan hutan baik secara vertikal maupun horizontal. Fakta ini menjadi kelemahan dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor ke depan, sehingga perlu dilakukan pemetaan wilayah kelola masyarakat adat secara partsipatif dan melakukan registrasi secara nasional pada Badan Registrasi Wilayah Adat pada Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) dan dimasukan dalam peta Tata Ruang Kehutanan Provinsi.

2. Kelembagaan KPHL Biak Numfor belum Efektif dan Efisien

Kapasitas kelembagaan KPHL Biak Numfor yang mantap merupakan salah satu kunci keberhasilan pengelolaan kawasan, sebagai sebuah lembaga SKPD saat ini KPHL Biak Numfor memiliki pegawai sebanyak 31 orang. (14 orang PNS, 17 orang tenaga kontrak). Keadaan

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

64

pegawai yang demikian secara kelembagaan akan sangat sulit menjalankan tugas pengelolaan kawasan yang luasnya mencapai 206.016 hektar dan memiliki 6 wilayah Resort Pengelolaan Hutan (RPH). RPH yang direncanakan hingga saat ini belum terisi oleh personil-personil yang memadai. Sehingga diperlukan penambahan pegawai atau personil yang secara teknis mampu dan memiliki kemampuan manajerial yang baik yang diharapkan mengisi kekosongan maupun kekurangan tenaga di KPHL Biak Numfor maupun pada tingkat RPH. Beberapa skenario untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perlu dipikirkan dan direncanakan agar efektifitas dan efisiensi lembaga KPHL Biak Numfor dalam menjalankan tugas dan fungsinya berjalan dengan baik.

3. Sumberdaya KPHL (Fasilitas dan Sumberdaya Manusia) Masih Terbatas

Salah satu faktor dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor yang perlu dilengkapi secara memadai adalah sumberdaya (resources) baik sumberdaya manusia maupun peralatan atau sarana dan prasarana. Sarana prasarana yang dimiliki KPHL Biak Numfor hingga Bulan Juli 2013 berupa : gedung kantor 70 m2, kantor RPH 100m2, kendaraan roda 2 berjumlah 4 unit, kendaraan roda 4 berjumlah 1 unit, alat ukur berupa GPS, kompas dan altimeter serta meubeler berupa meja dan kursi yang masih terbatas.

Pembentukan RPH tidak hanya memerlukan personil tetapi juga sarana dan prasarana baik berupa kantor maupun kendaraan operasional. Saat ini RPH merupakan sesuatu yang sangat diperlukan dalam pengelolaan KPHL Biak Numfor ke depan. Memperhitungkan luas wilayah bila diasumsikan bahwa setiap luas 2.500 hektar dikelola oleh satu orang maka KPHL memerlukan 82 orang staf pegawai maupun tenaga honorer untuk bekerja.

4. Data Potensi Hasil Hutan Kayu dan Bukan Kayu di Setiap Fungsi Kawasan Belum Tersedia

Potensi sumberdaya hutan baik hasil hutan kayu maupun hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang terdapat di dalam kawasan KPHL Biak Numfor

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

65

belum didata secara lengkap pada setiap fungsi kawasan hutan. Disisi lain tingkat pemanfaatan masyarakat terus meningkat dari wkatu ke waktu, maka upaya inventarisasi potensi hasil hutan merupakan hal penting untuk dilakukan terutama dalam tahun awal pengelolaan kawasan. Dari sisi ekonomi potensi sumberdaya hutan merupakan barang ekonomi yang bila tidak dimanfaatkan akan menjadi modal idle (modal diam) dan tidak memberikan added value (nilai tambah) bagi kesejahteraan masyarakat. Dikawatirkan keadaan ini akan makin memacu terjadinya kerusakan sumberdaya hutan.

5. Regulasi Pendukung Bidang Kehutanan Terkait dengan Perizinan, Retribusi dan Hak Masyarakat Adat Belum Tersedia Baik pada setiap Tataran Pemerintahan

Semua upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan yang menjadi visi dan misi pengelolaan KPHL Biak Numfor sangat tergantung pada regulasi yang berlaku pada semua tataran pemerintahan. Regulasi adalah alat pengatur dan penjamin yang mengikat setiap orang baik pelaku maupun pengelola dan penerima manfaat dari sumberdaya hutan. Karena itu, setiap regulasi harus dapat menjawab setiap kepentingan stakeholders kehutanan secara adil. Regulasi yang terkait dengan ijin kayu rakyat sampai saat ini sudah tersedia draft namun belum dapat diimplementasi secara luas. Selain itu, Peraturan Daerah Khusus (Perdasus) dan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) terkait pengelolaan sumberdaya hutan juga belum diimplementasi dan disosialisasi kepada para pihak di bidang kehutanan dan masyarakat awam.

Regulasi tidak hanya menjadi pendorong upaya pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hutan, namun disisi lain dapat menimbulkan konflik atas pengelolaan sumberdaya hutan, bila regulasi yang dihasilkan tidak menjawab semua kepentingan secara adil. Oleh sebab itu, regulasi yang dibuat harus meminimalisir konflik kepentingan.

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

66

6. Pemungutan Hasil Hutan Kayu dan Hasil Hutan Bukan Kayu oleh Masyarakat Belum Terorganisir

Aktivitas pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu dan HHBK yang dilakukan masyarakat saat ini dilakukan sendiri-sendiri pada areal kelola adat, sehingga terkesan manfaat ekonomi dan sosial budaya tertumpuk pada beberapa orang atau marga yang memiliki hak ulayat lebih besar. Pemungutan hasil hutan yang dilakukan sendiri-sendiri dapat dimanfaatkan oleh free rider (penunggang bebas), rent seeking (pencari rente) dan pelaku opportunistik untuk memanfaatakan kelemahan masyarakat dengan menyediakan cash money sehingga masyarakat menjual hasil hutan dengan harga yang jauh dibawah harga standar bahkan ada yang dilakukan dalam bentuk barter. Hal ini terlihat dari adanya penjualan kayu-kayu olahan untuk kebutuhan pembangunan di Biak Numfor, banyak kayu dijual tanpa legalitas dokumen yang resmi dikeluarkan oleh instansi terkait.

7. Kapasitas Masyarakat dalam Mengelola Hutan dan Lahan Sangat Terbatas

Masyarakat yang berdiam di dalam dan sekitar kawasan hutan KPHL Biak Numfor belum memiliki kapasitas yang memadai dalam mengelola hutan. Dalam hal modal usaha masyarakat sangat tergantung pada pengusaha dari luar sehingga terjadi penjualan hasil hutan dibawah standar harga pasar. Dari sisi sumberdaya manusia kapasitas masyarakat sangat rendah karena jenjang pendidikan yang pernah diikuti lebih banyak hanya sekolah dasar sehingga proses adopsi dan inovasi berjalan sangat lambat, hal ini mempengaruhi metode atau cara-cara masyarakat dalam mengelola hasil hutan terutama kearah yang lebih lestari. Selain itu, sarana dan prasarana pendukung usaha-usaha di bidang kehutanan yang dimiliki masyarakat juga sangat terbatas, kalaupun ada itu sebagian besar merupakan hasil barter dengan hasil hutan yang dimiliki.

Rencana Pengelolaan Hutan KPHL Biak Numfor

67

8. Kerjasama Lembaga Masyarakat dan Koordinasi Program dengan Instansi Terkait Belum Mantap, Masih Sektor

Upaya pemberdayaan masyarakat di dalam dan sekitar hutan bukan hanya tanggungjawab KPHL Biak Numfor dan Dinas Kehutanan namun menjadi tanggungjawab pemerintah secara utuh. Namun saat ini belum ada koordinasi dan kerjasama yang baik antar pemerintah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat terkesan masih sektoral. Akibatnya hasil yang dirasakan masyarakat relatif lebih kecil dibandingkan program dan kegiatan yang dilakukan secara kolaborasi. Program dan kegiatan yang bersifat kolaboratif perlu diwadahi dalam suatu kelembagaan yang baik dan lintas sektoral.

Dokumen terkait