• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Lingkungan Abiotik 1 Suhu dan kelembaban udara

7. Herbarium yang sudah kering, dapat diidentifikasi nama ilmiahnya berdasarkan ciri morfologi maupun keterangan yang tertera pada label.

3.4 Faktor Lingkungan Abiotik 1 Suhu dan kelembaban udara

Rata-rata suhu dan kelembaban udara di Cagar Alam Mandor pada kedua tipe habitat adalah 32.810C dan 79.14% (hutan kerangas), serta 29.800C dan 84.30% (hutan rawa gambut) (Tabel 4). Pengukuran suhu dan kelembaban dilakukan satu kali yaitu pada siang hari dengan waktu pengukuran yang berbeda- beda. Suhu udara di hutan kerangas lebih tinggi dibandingkan dengan hutan rawa gambut. Sebaliknya, kelembaban udara di hutan rawa gambut lebih tinggi dibandingkan pada hutan kerangas.

Tabel 4 Suhu dan kelembaban udara pada kedua tipe habitat N. ampullaria di Cagar Alam Mandor

Tipe habitat Suhu (0C) Kelembaban (%)

Hutan kerangas 32.81 ± 1.81 79.14 ± 1.15

Hutan rawa gambut 29.80 ± 1.32 84.30 ± 4.12

Hasil pengukuran suhu dan kelembaban udara pada kedua tipe habitat N. ampullaria di Cagar Alam Mandor menggambarkan keadaan suhu dan kelembaban udara yang menjadi persyaratan tumbuh bagi kantong semar dataran rendah. N. ampullaria membutuhkan kondisi suhu dan kelembaban udara yang cocok untuk dapat tumbuh dan beradaptasi dengan lingkungannya. Suhu dan kelembaban udara yang cocok bagi N. ampullaria pada masing-masing habitat di Cagar Alam Mandor berkisar 25-350C dan 70-85% (hutan kerangas), serta 20- 350C dan 70-90% (hutan rawa gambut).

Suhu dan kelembaban udara berperan penting terhadap pertumbuhan kantong semar. Suhu udara untuk pertumbuhan Nepenthes secara umum berkisar antara 230C-310C dan kelembaban udara berkisar antara 50–70% (Menurut Mansur 2006). Nepenthes jenis dataran rendah akan tumbuh lebih baik pada suhu 30-340C (pada siang hari) dan 80C (suhu terendah pada malam hari), serta kelembaban udara berkisar antara 60–80% untuk semua spesies Nepenthes (Rice 2009).

3.4.2 Curah hujan

Curah hujan pada saat penelitian di kawasan Cagar Alam Mandor tergolong normal. Buku Informasi Cuaca Kekeringan Kalimantan Barat periode Januari- April menyebutkan bahwa di seluruh Kabupaten Landak memiliki nilai indeks kekeringan sebesar 0.32. Artinya curah hujan per tiga bulan pada kawasan Cagar Alam Mandor bersifat normal (BMKG Stasiun Klimatologi Siantan Pontianak 2015). Rata-rata curah hujan bulanan sepanjang tahun 2015 adalah 209.33 mm/bulan. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli (Gambar 11). Keadaan curah hujan sepanjang tahun 2015 dan curah hujan per 10 tahun di Kabupaten Landak dapat dilihat pada Lampiran 6.

26

Gambar 11 Data curah hujan tahun 2015 di Kabupaten Landak

Curah hujan yang terjadi pada bulan Maret tergolong tinggi (Gambar 11). Ukuran curah hujan pada bulan tersebut melebihi rata-rata curah hujan tahun 2015. Curah hujan tinggi yang terjadi pada bulan Maret menyebabkan habitat N. ampullaria di hutan rawa gambut tergenangi oleh air. Kondisi ini menyebabkan pertumbuhan N. ampullaria di Cagar Alam Mandor lebih sedikit dibandingkan pada hutan kerangas.

Jumlah individu dan pertumbuhan N. ampullaria di Cagar Alam Mandor dipengaruhi oleh faktor curah hujan. Curah hujan yang tinggi menyebabkan kondisi tanah lembab dan tergenangi oleh air. Sifat pertumbuhan N. ampullaria

akan menghindari tanah yang tergenangi oleh air. Hal ini dibuktikan dengan jumlah individu dan pertumbuhan kantong N. ampullaria di hutan rawa gambut lebih sedikit dibandingkan di hutan kerangas. Pertumbuhan N. ampullaria yang bersifat liana lebih banyak ditemukan pada hutan rawa gambut dibandingkan pada hutan kerangas juga menjadi alasan lain bahwa faktor curah hujan dapat mempengaruhi jumlah dan pertumbuhannya.

Kemelimpahan dan pertumbuhan N. ampullaria tidak bergantung pada ketersediaan air yang banyak di Cagar Alam Mandor. Pada spesies lain seperti N. mirabilis, pertumbuhan dan kemelimpahannya bergantung pada kondisi tanah berpasir dan ketersediaan air. Menurut Mardhiana et al. (2012) ketersediaan air yang banyak dapat mendukung pertumbuhan kantong semar. Kondisi ini bertolak belakang dengan sifat tumbuh N. ampullaria di Cagar Alam Mandor. Habitat N. ampullaria di Cagar Alam Mandor tidak ditemukan pada daerah yang tergenangi oleh air. N. ampullaria tumbuh pada daerah yang berpasir, tidak tergenangi dan terkena cahaya matahari.

Pertumbuhan kantong pada N. ampullaria dapat berpotensi sebagai penampung (receiver) air hujan. Curah hujan tinggi dapat menyebabkan aliran air permukaan meningkat dibanding pada kondisi normal. Peningkatan air permukaan pada daerah-daerah terbuka menygakibatkan air hujan yang mengenai tanah langsung mengalir ke sungai dan menyebabkan peningkatan terhadap debit air sungai. Keberadaan kantong N. ampullaria sebagai receiver air hujan akan

0 50 100 150 200 250 300 350

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Agust Sep Okt Nov Des

281 178 303 241 293 167 52 95 73 195 310 324 Cura h huja n (m m )

27 mengurangi volume air yang jatuh ke permukaan, sehingga dapat membantu mengurangi resiko banjir. Selain itu, air hujan yang tertampung pada kantong N. ampullaria sangat bermanfaat bagi satwa-satwa seperti burung, mamalia besar yang hidup di sekitarnya.

Potensi kantong N. ampullaria sebagai receiver air hujan di Cagar Alam Mandor dapat dihitung berdasarkan jumlah kantong dan volume tampung kantong

N. ampullaria (Tabel 5). Jumlah kantong diperoleh dari rata-rata jumlah kantong pada masing-masing tipe habitat (hutan kerangas dan hutan rawa gambut). Perhitungan volume kantong N. ampullaria diasumsikan sama dengan perhitungan pada volume tabung. Dasar asumsi ini adalah bentuk kantong N. ampullaria yang meyerupai bentuk tabung sehingga, pada perhitungannya dapat menggunakan rata-rata diameter dan tinggi kantong pada kedua tipe habitat (hutan kerangas dan hutan rawa gambut). Jumlah individu diperoleh dari kerapatan individu.

Tabel 5 Daya tampung kantong N. ampullaria terhadap air hujan pada kedua tipe habitat

Tipe habitat Rata-rata ukuran kantong Jumlah kantong (kantong) Kerapatan individu Daya tampung (liter/ha) Diameter (cm) Tinggi (cm) (ind/ha) Hutan kerangas 3.05 5.17 17.80 294 790.29

Hutan rawa gambut 3.70 6.14 6.60 86 149.81

Berdasarkan perhitungan daya tampung air hujan setiap individu N. ampullaria pada masing-masing habitat pada Tabel 5, dapat diprediksi potensi kantong N. ampullaria sebagai receiver air hujan di kedua tipe habitat tersebut (hutan kerangas dan hutan rawa gambut). Potensi kantong untuk menampung air hujan pada masing-masing tipe habitat di Cagar Alam Mandor, yaitu 790.29 liter/ha (hutan kerangas) dan 149.81 liter/ha (hutan rawa gambut).

Keberadaan kantong yang dapat menampung air hujan dapat meningkatkan fungsi kawasan hutan di Cagar Alam Mandor sebagai pengendali aliran DAS pada musim hujan. Areal-areal terbuka yang terdapat di dalam kawasan berupa padang pasir dengan kemampuan daya serap air yang rendah memudahkan terjadinya aliran permukaan. Air hujan tidak dapat disimpan oleh tanah sehingga menyebabkan volume air permukaan meningkat, sehingga air akan mengalir ke sungai. Pudjiharta (2008) menyebutkan bahwa, perbaikan terhadap kondisi hutan secara kuantitas dan kualitas dapat meningkatkan fungsi hutan sebagai pengendali daerah aliran sungai (DAS), sehingga dapat mengurangi bencana banjir.

3.4.3 Komposisi tanah

Analisis terhadap tingkat kesuburan tanah pada kedua tipe habitat (hutan kerangas dan hutan rawa gambut) di Cagar Alam Mandor menunjukkan bahwa pH tanah keduanya <4.50. Artinya tanah pada kedua tipe habitat (hutan kerangas dan hutan rawa gambut) bersifat sangat masam. Menurut Mansur (2006) kantong semar tumbuh pada tingkat keasaman tanah di bawah 4.00. Pada tingkat pH tanah tersebut kantong semar dapat tumbuh subur dengan baik. Sifat tanah masam yang

28

dimiliki oleh tanah pada kedua tipe habitat mempengaruhi jumlah individu N. ampullaria.

Kondisi pH tanah pada seluruh tipe habitat (hutan kerangas, hutan sekunder dan hutan rawa gambut) di Cagar Alam Mandor tergolong masam. Nilai pH masing-masing habitat adalah 3.40 (hutan kerangas), 3.20 (hutan sekunder) dan 4.30 (hutan rawa gambut) (Lampiran 7). Jika dibandingkan pH tanah pada ketiga tipe habitat tersebut, memperlihatkan bahwa nilai pH tanah pada hutan sekunder bernilai paling rendah dibandingkan kedua tipe habitat lainnya (hutan kerangas dan hutan rawa gambut). Hal ini mengindikasi bahwa N. ampullaria di Cagar Alam Mandor dapat tumbuh pada tanah dengan pH >3.40.

Habitat N. ampullaria di Cagar Alam Mandor sangat banyak ditemukan pada tanah-tanah yang berpasir. Persentase kandungan pasir pada kedua tipe habitat adalah 94.10% (hutan kerangas) dan 86.60% (hutan rawa gambut) (Tabel 6). Persentase fraksi pasir yang tinggi dibandingkan fraksi lainnya, yaitu debu dan liat menyebabkan kemampuan tanah dalam mengikat air (porositas) lebih rendah. Tingkat porositas tanah tidak hanya ditentukan oleh kandungan persentase pasir, tetapi juga dilihat perbandingannya terhadap kandungan debu dan liat. Perbandingan terhadap ketiga fraksi tanah menunjukkan bahwa tanah di hutan kerangas memiliki selisih perbadingan fraksi pasir lebih besar terhadap kedua fraksi lainnya (debu dan liat) dibandingkan hasil perbandingan di hutan rawa gambut. Kondisi ini merupakan persyaratan tumbuh yang dibutuhkan N. ampullaria di Cagar Alam Mandor.

Tabel 6 Kesuburan tanah pada kedua tipe habitat N. ampullaria

Parameter Kesuburan Tanah

Tipe Habitat

Hutan Kerangas Hutan Rawa Gambut PH : - H2O - CaCl 3.40 2.70 4.30 3.30 C organik 2.56% 5.51% N total 0.10 % 0.38% Rasio C/N 23.00 15.00 P2O5 tersedia 7.00 ppm 26.60 ppm KTK 8.06 cmol/kg 12.16 cmol/kg KB 23.44% 21.42% Pasir 94.10% 84.60% Debu 2.90% 9.40% Liat 3.00% 6.00%