• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.4 Faktor Penentu Penyebab Kepunahan

Faktor penentu penyebab kepunahan banteng diperoleh dari hasil analisis ketiga kondisi Cagar Alam Leuweung Sancang yang mempengaruhi langsung terhadap penurunan populasi banteng terdiri dari beberapa faktor, yaitu:

1. Luas padang penggembalaan

Semakin luas padang penggembalaan, maka ketersediaan pakan banteng dapat terpenuhi sehingga keberadaan populasinya akan tetap lestari, demikian sebaliknya semakin berkurang luasan padang penggembalaan maka populasi banteng akan mengalami penurunan (Gambar 11). Ketersediaan pakan bagi banteng tergantung pada luas kualitas dari keberadaan pakan di padang pengembalaan atau luas secara alami atau luas awal penentuan padang pengembalaan tersebut. Semakin luas padang penggembalaan yang dipelihara secara intensif, maka produktivitas pakan yang dihasilkan juga akan tinggi dan ketersediaan pakan banteng akan tercukupi, demikian sebaliknya.

Kurangnya luas padang penggembalaan dan rendahnya produktivitas pakan telah mengakibatkan adanya persaingan, baik antara spesies banteng maupun antara spesies lain dan keluarnya banteng dari kawasan cagar alam serta mengganggu areal perkebunan PTPN VIII Mira Mare dan kebun masyarakat di sekitarnya. Akibat penyebaran banteng ke luar kawasan tersebut telah menimbulkan adanya persepsi negatif dari masyarakat bahwa banteng merupakan satwa hama karena telah merusak perkebunan mereka. Persepsi tersebut mendorong masyarakat untuk mmeburu banteng agar tidak mengganggu perkebunannya.

Luas padang penggembalaan sangat berhubungan dengan luas dan bentuk kawasan karena semakin luas padang dan lebar bentuk kawasannnya, maka akan luas pula padang penggembalaan yang akan dibuat sehingga dapat mencukupi kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan. Luas kawasan dan luas padang

93

penggembalaan tersebut sangat jelas mempengaruhi terhadap populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang.

Gambar 11. Hubungan populasi banteng dengan luas padang penggembalaan

2. Interaksi dan persepsi masyarakat

Interaksi masyarakat yang mempengaruhi langsung terhadap penurunan populasi banteng dilihat dari banyaknya kegiatan masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang (pengambilan hasil laut, pemukiman, perambahan dan ziarah), sehingga diberikan nilai 10 untuk setiap kegiatan masyarakat. Penilaian ini bertujuan untuk memudahkan dalam proses analisis, sehingga dapat dilihat pada Gambar 12. Semakin banyak kegiatan atau interaksi masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan ternyata menyebabkan penurunan populasi banteng.

Penilaian terhadap persepsi masyarakat berbeda dengan penilaian terhadap jumlah jenis kegiatan atau interaksi masyarakat terhadap kawasan. Persepsi masyarakat yang menyatakan bahwa banteng adalah hama diberikan nilai 10 karena dianggap bahwa persepsi ini merupakan persepsi negatif yang dapat menyebabkan penurunan populasi banteng, sedangkan persepsi yang menyatakan bahwa banteng merupakan satwa dilindungi yang harus dilestarikan diberikan nilai 40 karena memiliki persepsi positif yang mau melestarikan keberadaan banteng. Pada Gambar 12 terlihat bahwa semakin rendah atau negatif persepsi

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 20 40 60 80 100 120 140 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 E k o r Tahun Luas Padang Penggembalaan Populasi Banteng N il ai

masyarakat terhadap keberadaan banteng, maka dapat mempengaruhi penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang.

Persepsi masyarakat yang negatif seperti telah dijelaskan di sub bab sebelumnya bahwa mendorong adanya perburuan. Hal ini berbeda dengan persepsi yang positif, yaitu masyarakat berpendapat bahwa banteng merupakan satwa yang sangat penting untuk dilindungi dan dilestarikan, sehingga keberaaan populasinya dimungkinkan akan tetap bahkan mengalami peningkatan tidak seperti pada Gambar 12.

Gambar 12. Hubungan Populasi Banteng dengan Interaksi dan Persepsi Masyarakat

3. Status dan tata batas kawasan

Status atau lebih tepatnya fungsi kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada awalnya ditunjuk dan ditetapkan sebagai Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Leuweung Sancang dan kemudian berubah menjadi Cagar Alam Leuwueng Sancang darat dan laut. Perubahan fungsi kawasan ini dapat mempengaruhi pengelolaan populasi banteng di dalam kawasan karena dengan statusnya sebagai cagar alam, maka pengelolaan terhadap spesies khususnya banteng tidak ada perlakuan atau kegiatan pengelolaan khusus untuk menjaga kelestarian banteng tersebut karena tujuan pengelolaannya adalah untuk menjamin kelestarian jenis tumbuhan dan/atau satwa beserta ekosistemnya dan/atau ekosistem tertentu, sehingga pengelolaan habitat maupun spesies di dalamnya cenderung dibiarkan

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 10 20 30 40 50 60 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 E k o r Nilai Interaksi Masyarakat Persepsi Masyarakat Populasi Banteng N il ai

95

secara alami tanpa ada campur tangan dari pengelola. Hal ini berbeda dengan tujuan pengelolaan suaka margasatwa, yaitu untuk menjamin dan menjaga jenis satwa, populasi dan/atau habitatnya sehingga diperbolehkan melakukan kegiatan atau monitoring terhadap populasi dan habitat banteng di dalam kawasan.

Perbedaan fungsi kawasan jika dilihat pada Gambar 13 tidak signifikan mempengaruhi terhadap populasi banteng, akan tetapi sangat penting dalam penentuan banteng sebagai objek utama pelaksanaan pengelolaan. Fungsi kawasan sebagai suaka margasatwa yang menjadikan banteng sebagai objek utama dalam pengelolaannya dan diperbolehkannya kegiatan pembinaan habitat dan populasi dapat menyebabkan populasi banteng akan lebih termonitor dengan baik sehingga keberadaannya tetap lestari. Hal ini berbeda dengan fungsi kawasan sebagai cagar alam yang secara peraturan dalam PP No.28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam pelestarian dan perkembangannya dibiarkan secara alami.

Kondisi demikian diperlukan suatu kajian mengenai fungsi kawasan sehingga jelas dalam pelaksanaan pengelolaannya. Kejelasan dalam pelaksanaan pengelolaan juga diperlukan suatu tata batas yang jelas yang dapat mencegah adanya interaksi atau gangguan termasuk perburuan dari para pihak lain khususnya masyarakat yang dapat mengganggu aktivitas dan populasi banteng. Tata batas yang jelas, maka populasi di dalamnya akan lebih terjaga dan tetap lestari, demikian sebaliknya (Gambar 13).

Gambar 13. Hubungan populasi banteng dengan status dan tata batas kawasan

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 E k o r Tahun Status Kawasan Tata Batas Populasi Banteng NIl a i

4. Kegiatan PMP (Patroli, Monitoring dan penyuluhan) dan Keberadaan Mitra

Kegiatan PMP merupakan suatu upaya untuk melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia, baik yang berada di sekitar maupun yang jauh dari kawasan namun mempunyai akses yang tinggi terhadap kawasan tersebut, atau bentuk gangguan lainnya, seperti perburuan, kebakaran, gangguan ternak, hama dan penyakit. Kegiatan PMP ini sangat penting untuk mengetahui perkembangan populasi banteng, sehingga akan lebih mudah untuk menentukan pengelolaannya agar keberadaan dan keseimbangannya dengan spesies maupun komponen ekosistem lainnya tetap lestari. Pelaksanaan kegiatan PMP ini dapat bekerjasama dengan adanya mitra atau stakeholder terkait.

Mitra/stakeholder dalam suatu pengelolaan termasuk pengelolaan kawasan konservasi Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan hal yang penting untuk dilakukan, karena keberadaan dapat diharapkan akan memiliki persepsi yang sama mengenai kelestarian kawasan tersebut termasuk spesies banteng dan komponen- komponen yang ada di dalam kawasan. Mitra/stakeholder di Cagar Alam Leuweung Sancang tidak tertulis dan tidak berlangsung lama, sehingga sampai saat ini masih terdapat tumpang tindih kepentingan, baik dari masyarakat, Pemerintah Daerah maupun pihak terkait lain.

Kegiatan PMP dan keberadaan mitra ini saling terkait dan sangat mempengaruhi terhadap penurunan populasi banteng karena dengan adanya kedua faktor tersebut maka perkembangan populasi banteng akan terkontrol dan semua pihak akan bertanggung jawab untuk menjaga keamanan dan kelestarian banteng. Hubungan populasi dengan kegiatan PMP dan keberadaan mitra dalam pengelolaan yang dianalisis dengan memberikan nilai 20 untuk keberadaan kedua faktor tersebut dalam pengelolaan dan nilai 10 untuk ketidak adaan kedua faktor tersebut dalam pengelolaan, sehingga memudahkan dalam analisisnya. Keberadaan kegiatan PMP dan mitra dalam pengelolaan ternyata sangat mempengaruhi terhadap penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang (Gambar 14).

97

Gambar 14. Hubungan populasi banteng dengan kegiatan PMP dan keberadaan mitra

Faktor-faktor dari tiga kondisi, yaitu ekologi, sosial ekonomi masyarakat dan pengelolaan berdasarkan analisis kondisi yang ada dan hubungannnya dengan penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang, terdapat 7 faktor yang dapat mempengaruhi kepunahan banteng, yaitu: luas dan bentuk kawasan, persepsi masyarakat, interaksi masyarakat, status kawasan, tata batas kawasan, kegiatan PMP dan keberadaan mitra/stakeholder. Faktor-faktor penyebab

penurunan populasi atau kepunahan banteng tersebut kemudian dianalisis hubungannya antara masing-masing faktor tersebut yang bertujuan untuk mengetahui hubungan dan kedekatan antara faktor-faktor penyebab kepunahan banteng.

Hubungan faktor-faktor penyebab kepunahan berdasarkan penilaian dari para ahli yang kemudian dianalisis menggunakan software Statistica 7 (Lampiran 7) terdiri dari 5 faktor yang memiliki korelasi nyata dengan nilai p < 0.05 antara lain:

1) Luas dan Bentuk Kawasan (LBK) dengan interaksi masyarakat

Luas dan bentuk kawasan dengan interaksi masyarakat berdasarkan koefisien korelasi Kendall Tau ternyata memiliki hubungan nyata sebesar 0.540350. Hal ini sesuai dengan teori tepi (Edge effect theory) bahwa setiap

0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 0 5 10 15 20 25 1950 1960 1970 1980 1990 2000 2010 E k o r Tahun Kegiatan PMP Mitra Populasi Banteng Nila i

aktivitas manusia dan perubahan lansekap akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies tertentu (MacArrthur et al. 1963; Supriatna 2007).

2) Kegiatan PMP dengan interaksi masyarakat

Kegiatan PMP dalam pengelolaan kawasan ternyata berdasarkan hasil korelasi Kendall Tau memiliki hubungan nyata dengan interaksi masyarakat sebesar 0.612372. Semakin sering kegiatan PMP dilakukan secara berkala, maka akan dapat mengurangi gangguan terhadap kawasan termasuk interaksi masyarakat dan dapat mempengaruhi persepsi positif masyarakat terhadap kawasan dan spesies banteng yang berada di dalamnya.

3) Status kawasan dan tata batas kawasan

Status kawasan dengan tata batas kawasan memiliki hubungan nyata sebesar 0.531250 karena kedua faktor tersebut sangat penting dalam pengelolaan kawasan agar kawasan yang dikelola lebih jelas, sehingga tidak terjadi tumpang tindih penggunaan kawasan dengan pihak lain yang terkait dan dapat mengurangi interaksi pihak lain khususnya masyarakat ke dalam kawasan.

Faktor-faktor penyebab kepunahan banteng berdasarkan kondisi yang ada dan mempengaruhi terhadap penurunan populasi banteng dan analisis hubungan Kendall Tau tersebut dapat dikelompokkan ke dalam 5 kelompok seperti pada Gambar 15.

Gambar 15. Dendogram faktor-faktor penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

99

Kelompok pertama yang memiliki nilai kedekatan hampir sama sehingga memiliki pengaruh yang sama terhadap kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang antara lain: (1) luas dan bentuk kawasan; (2) status dan tata batas kawasan; (3) kegiatan PMP dan keberadaan mitra; (4) persepsi masyarakat dan (5) interaksi masyarakat. Luas dan bentuk kawasan, persepsi masyarakat dan interaksi masyarakat merupakan faktor tunggal yang mempengaruhi terhadap kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang sehingga diperlukan penataan batas, pengukuhan status kawasan dan kegiatan PMP untuk melestarikan keberadaan banteng.

Faktor penentu penyebab kepunahan berdasarkan analisis hubungan dan dendogram pengelompokkan faktor-faktor penyebab kepunahan terlihat bahwa pengelolaan merupakan faktor utama yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi banteng hingga terjadi kepunahan lokal di Cagar Alam Leuweng Sancang. Hal ini terlihat dari ketidakpastian dalam penetapan fungsi kawasan dan tata batas kawasan sehingga menimbulkan persepsi negatif dari masyarakat terhadap keberadaan banteng dan fungsi kawasan tersebut yang mengakibatkan adanya interaksi masyarakat ke dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Penyebab lainnya juga diakibatkan tidak adanya kegiatan PMP yang dilakukan oleh pengelola untuk melakukan kegiatan monitoring, pembinaan dan pelestarian habitat serta penyuluhan terhadap masyarakat sekitar, sehingga kondisi kawasan yang memiliki luas dan bentuk yang rentan terhadap gangguan tersebut keamannanya kurang terjaga dengan baik.

Dokumen terkait