• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.3 Pengelolaan Kawasan

5.3.1 Status Hukum Kawasan

SKSDA Garut (1995) menyatakan bahwa sejarah penunjukkan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada awalnya ditunjuk sebagai kawasan Suaka Margasatwa dan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 1959, akan tetapi pada tahun 1960 sampai saat ini statusnya berubah menjadi Cagar Alam Leuweung Sancang yang terdiri dari cagar alam darat dan laut. Fungsi dari kedua status tersebut adalah sama, yaitu sebagai kawasan perlindungan dan pengawetan, akan tetapi berbeda pada objek tujuan pengelolaannya.

Tujuan pengelolaan Cagar Alam Leuweung Sancang secara umum ditujukan sebagai upaya pengawetan keanekaragaman spesies dan tipe ekosistem hutan yang berfungsi sebagai penyangga antara daratan dan lautan, terutama sebagai salah satu keterwakilan ekosistem dataran rendah yang kaya akan jenis di Pulau Jawa. Prinsip pengelolaan cagar alam dengan berdasarkan peraturan perundangan di Indonesia adalah tidak diperkenankan adanya kegiatan pendayagunaan potensi dan pengembangan sarana dan prasarana. Kegiatan yang diperkenankan hanya pembangunan sarana prasarana yang dapat mendukung kegiatan monitoring dan perlindungan kawasan.

Pengelolaan dan pengawasan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diserahkan kepada Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Ciamis dengan wilayah kerja Seksi Konservasi Wilayah Garut melalui Kepala Satuan Kerja Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sancang. Pengelolaannya dibagi ke dalam beberapa blok dengan batasan sungai, yaitu Sungai Cimerak, S. Cisanggiri, S. Cibaluk, S. Cijeruk, S. Cipanyawungan, S. Cipalawah, S. Cipangikis, S. Cikolomberan, S. Cipunaga, S. Cibako, S. Cicucakangjambe, S. Ciporeang, S. Cipangikisan, S. Cipadarum, S. Cidahon dan S. Bantarlimus.

Tujuan pengelolaan Suaka Margasatwa adalah untuk menjamin dan menjaga jenis satwa, populasi dan/atau habitatnya, sehingga dalam menunjang kegiatan pengawetan diperbolehkan melakukan pembinaan habitat dan populasi dengan beberapa bentuk kegiatan, seperti pembinaan padang rumput untuk makanan satwa, pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa, penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon

sumber makanan satwa, penjarangan populasi satwa, penambahan tumbuhan atau satwa asli dan pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu, sehingga kegiatan-kegiatan tersebut dapat mempengaruhi terhadap kelestarian banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang pada saat itu.

5.3.2 Tata Batas

Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa tata batas merupakan hal yang sangat esensial untuk daerah yang dilindungi dan harus jelas, baik di peta maupun dilapangan dengan tujuan agar dapat menghindari terjadinya sengketa dan bila terjadi sengketa merupakan dasar bagi penyelesaian sengketa serta sebagai pegangan yang kuat bagi para petugas untuk melakukan pengawasan, perlindungan dan penertiban. Sengketa atau tumpang tindih batas kawasan terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang akibat adanya dorongan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait, yaitu PTPN VIII Mira Mare dan pemerintah daerah setempat yang tidak sepakat atau adanya perbedaan batas kawasan menurut masing-masing pihak.

Tujuan tata batas adalah untuk memberikan batasan yang jelas antara kawasan yang dilindungi (Cagar Alam Leuweung Sancang) dengan tanah milik masyarakat dan perkebunan PTPN VIII Mira Mare sehingga pihak terkait tersebut dapat membedakan batas penggunaan lahan antara cagar alam dan tanah masyarakat. Penataan batas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dilakukan dengan beberapa tahap, antara lain:

1. Tata batas pertama kali dilakukan sebagai tindak lanjut dari penunjukkan SK nomor 166/Um/19-59 tanggal 1 Juli 1959 dan SK nomor 9470/Su/M/1960 oleh Brigade Planologi Kehutanan pada tahun 1964. Akan tetapi tidak selesai dan tidak dibuat pal batas serta proses verbalnya. Hal demikian terulang lagi pada tahun 1968 tanpa alasan yang jelas.

2. Pengukuran dilakukan kembali oleh Direktur Pembinaan Hutan pada tahun 1970 hasilnya tidak selesai dan tidak dibuat pal batas serta proses verbalnya. 3. Pada tahun 1972 Brigade Planologi Kehutanan Jawa Barat melakukan tata

batas kembali serta dibuat proses verbalnya dan dipasang patok, tetapi pihak PTPN VIII Mira Marea tidak sepakat dengan batas tersebut, sehingga

77

pengukuhan belum diajukan dan persetujuan tanda-tanda batas di lapangan baru terjadi pada tanggal 5 Desember 1974.

4. Permasalahan tata batas kembali terjadi karena adanya penyerobotan kawasan cagar alam oleh masyarakat dengan alasan bahwa yang digarap adalah lahan penduduk di luar kawasan, maka pada tahun 1978 dilakukan rekonstruksi pal batas mulai pal nomor 1-63 blok Cimerak/Cihurang dan pal batas nomor 230- 290 blok plang dengan luas kawasan yang telah diserobot ± 33.7910 ha. Hasil pengukuran tersebut dituangkan pada SKPT Menteri Pertanian nomor 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 7 Juni 1978 tentang penegasan kembali batas- batas Cagar Alam Leuweung Sancang. Akan tetapi pengukuran tersebut tidak pernah berhasil sampai dilakukan rekontruksi kembali pada tahun 1983, tahun 1985, tahun 1989 dan hasilnya tetap bahwa kawasan hutan telah diduduki oleh masyarakat. Jumlah pal batas yang ada di dalam kawasan adalah 385 buah dengan panjang batas ± 41. 375 km yang terdiri dari batas alam (sungai ± 4.25 km dan laut ± 19.375 km) dan batas buatan 17.75 km.

5. Permasalahan lain juga muncul dengan adanya surat Bupati Kepala Daerah Tingkat II Garut nomor 556/774 Diparda tanggal 31 Oktober 1987 perihal pengembangan kepariwisataan di Garut Selatan yang isinya antara lain menyetujui pola pengembangan daerah tujuan wisata dan muara sungai Cibaluk dan Cijeruk dijadikan tempat tujuan wisata yang akan segera diusulkan ke pusat. Hal ini tidak sesuai dengan status dan tujuan kawasan sebagai cagar alam.

5.3.3 Sumber Daya Manusia Pengelola

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa sumber daya manusia

pengelola cagar adalah orang-orang yang diberikan bertanggung jawab dalam pengelolaan cagar. Pengelola ini diarahkan oleh status sah kawasan, kriteria perlindungan serta tujuan pengelolaan yang dinyatakan dalam rencana pengelolaan. Pengelola dalam suatu pengelolaan kawasan dapat dilihat dari beberapa hal, antara lain:

1. Jumlah pengelola

Jumlah pengelola secara keputusan Balai Konservasi Sumber Daya Alam berjumlah 10 orang jagawana atau yang dikenal dengan sebutan Polisi Kehutanan, akan tetapi yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang sebanyak 5 orang, sedangkan 5 orang lainnya masih diperbantukan di kawasan konservasi lainnya dan belum secara resmi bertugas di resort Sancang dengan pos jaga berlokasi di Cibaluk/Cijeruk. Adapun rincian jumlah pengelola yang ada tersebut adalah satu orang sebagai kepala resort yang memiliki tupoksi sama dengan tupoksi seksi Konservasi Sumber Daya Alam secara tersirat, sedangkan yang lainnya merupakan anggota dari kesatuan resort.

Jumlah pengelola di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang tidak memiliki struktur organisasi dan uraian tugas yang tertulis, baik mengenai status, tempat jaga, tugas rutin dan kemungkinan diminta bantuannya untuk melaksanakan tugas tambahan khusus. MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa uraian tugas yang jelas sangat penting untuk mendorong kesadaran individu pengelola dalam pengelolaan kawasan.

Trimarsito (2010) menyatakan bahwa jumlah sumber daya manusia untuk pengelolaan suatu kawasan khususnya pengamanan, idealnya ditentukan dengan jumlah personel pengamanan yang dibutuhkan berdasarkan pada kriteria tertentu seperti rasio jumlah personel per luas area, panjang batas kawasan dan intensitas tekanan masyarakat terhadap kawasan. Rasio jumlah sumber daya manusia yang aktif di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dengan luas total kawasannya memiliki tanggung jawab sebesar 661.4 ha per orang.

Rambaldi (2000) menyatakan bahwa perbandingan jumlah personel pengamanan per luas area adalah 1 orang per 1000 hektar yang merupakan hasil studi kasus mengenai efesiensi jumlah personel pengamanan yang dilakukan pada delapan kawasan konservasi di Filipina. Jumlah sumber daya manusia pengelola di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang tersebut jika mengacu pada Rambaldi (2000) telah efisien dalam pengamanan kawasan, sehingga faktor jumlah sumber daya manusia dianggap tidak berpengaruh signifikan terhadap kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang dan jumlah sumber daya manusia yang

79

terbatas tersebut dapat mengatasi pelaksanaan pengelolaan kawasan dengan melibatkan masyarakat sekitar kawasan.

2. Domisili

Domisili pengelola rata-rata secara batas administrasi masih berada di dalam satu kecamatan dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut. Domisili ini sangat mempengaruhi kinerja pengelolaan dikarenakan semakin jauh domisili pengelola diperkirakan akan mempengaruhi kesadarannya untuk melaksanakan tugasnya di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dengan mempertimbangkan gaji dan tunjangan lainnya untuk mengukur perjalanan ke dalam kawasan.

3. Umur

Rata-rata umur pengelola antara 40-45 tahun. Suardoyo (1990) menyatakan bahwa umur sangat mempengaruhi terhadap kinerja pengelola, semakin muda pengelola maka motivasi dan semangat kerjanya akan tinggi, demikian sebaliknya. Oleh karena itu, diperlukan sumber daya manusia yang masih berumur 40 tahun agar motivasi dan semangat kerjanya tinggi dalam mengelola Cagar Alam Leuweung Sancang.

4. Pendidikan dan pelatihan

Rata-rata pendidikan pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang khususnya di Resort Sancang adalah lulusan Sekolah Menengah Kehutanan dan Sekolah Menengah Pertanian. Pendidikan dan pelatihan bagi staf atau pengelola kawasan ini sangat penting untuk membentuk kualitas sumber daya manusia pengelola yang baik yang diperkirakan dapat mendorong terhadap disiplin dan motivasi kerja pengelola. Appleton et al. (2003) merekomendasikan bahwa seorang polisi

kehutanan harus memiliki kompetensi dalam bidang pendidikan dan penyadaran masyarakat serta kehumasan. Hermawan (2006) menambahkan bahwa untuk meningkatkan kompetensi tersebut dapat didukung dengan pembelajaran atau pelatihan yang pernah dialami oleh seseorang.

Semakin tinggi tingkat pendidikan yang diraih oleh seseorang akan membentuk persepsi seseorang ke arah yang lebih positif terhadap suatu pengelolaan karena dengan pendidikan akan semakin banyak ilmu pengetahuan yang diperoleh sehingga mendorong tingkat kesadarannya dalam pengelolaan. Pendidikan juga dapat didukung dengan adanya pelatihan untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan pengelola dalam pengelolaan kawasan, akan tetapi kegiatan pelatihan hanya pernah dilakukan kurang lebih 3 kali sekitar tahun 1990an. Adapun bentuk pelatihan yang telah dilaksanakan adalah pelatihan penyuluhan dan kebakaran hutan serta pelatihan jagawana/ semi militer dengan pemberian teori kehutanan selama 6 bulan. Kegiatan ini hanya diperuntukkan bagi kepala resort yang mewakili pelatihan tersebut, padahal peningkatan kualitas melalui pelatihan ini sangat penting, terutama pelatihan mengenai bioekologi spesies banteng untuk meningkatkan pengetahuannya sehingga dapat mengambil tindakan yang sesuai dalam pelaksanaan pengelolaannya.

5. Disiplin dan tanggung jawab

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa pengelolaan suatu cagar memerlukan tingkat disiplin dan tanggung jawab yang sama atau kurang sedikit dari tingkat disiplin yang diperlukan oleh polisi termasuk polisi kehutanan. Tim pengelola harus memiliki hirarki kewenangan yang jelas, sehingga setiap staf pengelola memiliki tanggung jawab khusus atas tugas pokok dan fungsinya masing-masing dalam pengelolaan. Tanggung jawab pengelola di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan wawancara sebenarnya memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk tetap menjaga dan melestarikan kawasan tersebut. Tanggung jawab ini akan tetap terjaga jika kebutuhan staf nya terpenuhi sehingga tanggung jawab staf pengelola terhadap keluarnganya pun terpenuhi. Salah satu upaya yang mungkin dapat dilakukan untuk meningkatkan rasa disiplin dan tanggung jawab staf pengelola tersebut adalah dengan memberikan penilaian dan pemberian sanksi sehingga termotivasi untuk tetap menjaga tanggung jawabnya tersebut.

81

6. Motivasi

Motivasi pengelola suatu kawasan sangat penting dalam meningkatkan kinerja pengelolaan kawasan. Motivasi dapat didorong dengan adanya evaluasi terhadap kinerja staf pengelola sehingga terdorong untuk tetap fokus menjaga keamanan dan kelestarian kawasan. Hal lain juga dapat dilakukan dengan adanya tunjangan, hadiah atau intensif atau pelatihan dan pendidikan yang dapat mendorong staf pengelola untuk lebih giat dalam melaksanakan tugasnya. Motivasi staf pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang kurang terbentuk, hal ini terlihat dari kehadiran petugas di pos jaga dilakukan hanya sesuai jadwal patroli atau ada rapat koordinasi dan ada pengunjung yang datang, baik untuk tujuan penelitian maupun survei untuk kegiatan field trip, sehingga jarang ada yang jaga sambil menginap di pos jaga tersebut.

7. Kesejahteraan Sumber Daya Manusia

Kesejahteraan sumber daya manusia pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang sangat penting untuk memotivasi kinerja dalam pengelolaan, sehingga tidak merasa terbebani untuk menghidupi keluarganya dan akan lebih fokus dalam melakukan kegiatan pengelolaan kawasan. MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa bila memungkinkan pengelola kawasan dilindungi, termasuk cagar alam sebaiknya menyediakan fasilitas pendidikan dan kesehatan bagi staf dan keluarganya. Kesejahteraan staf pengelola dapat dilihat dari beberapa indikator, antara lain: besarnya gaji, tunjangan, sarana dan prasarana.

Besaran gaji pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang bervariasi, yaitu golongan II C (± Rp 1 800 000.00 (satu juta delapan ratus ribu rupiah), II D (± Rp 2 500 000.00 (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan III A (± Rp 3 000 000.00 (tiga juta rupiah) per bulan. Besar Golongan gaji tersebut juga tergantung pada masa kerja dan jabatan (struktural atau fungsional). Rata-rata masa kerja pengelola sekitar 20 tahun sebagai fungsional pengaman kawasan. Tunjangan atau dana intensif merupakan hal yang diperlukan sebagai penghargaan nyata bagi pekerja yang baik, seperti adanya Tunjangan Peningkatan Prestasi Kerja (TPPK) bagi setiap staf pengelola. Tunjangan yang diperoleh pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang ada dua macam, yaitu tunjangan lauk pauk sebesar Rp 400 000.00

(empat ratus ribu rupiah) per bulan dan TPPK sebesar Rp 100 000.00 (seratus ribu rupiah) per bulan. Besar gaji dan tunjangan tersebut berdasarkan pengakuan dari petugas resort setempat kurang mencukupi untuk kebutuhan sehari-hari dan kebutuhan menyekolahkan anak-anaknya terutama jika anaknya tersebut berada di perguruan tinggi.

Tingkatan gaji ini dapat mempengaruhi kinerja staf pengelola, seperti kedisiplinan dan tanggung jawabnya sebagi pengelola karena jika staf merasa tidak tercukupi dengan gaji tersebut, maka dapat memotivasinya untuk mencari sumber penghasilan tambahan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya, demikian sebaliknya. Kondisi tersebut dapat menyebabkan keamanan dan kelestarian kawasan akan sangat mudah mengalami kerusakan karena tidak adanya disiplin dan tanggung jawab pengelola.

8. Sarana dan prasarana

Sarana dan prasarana sangat diperlukan untuk mendorong kinerja staf pengelola kawasan terutama pengadaan pos jaga yang layak untuk staf yang tidak berdomisili di sekitar kawasan. Sarana yang terdapat di resort Cagar Alam Leuweung Sancang sampai saat adalah pos jaga yang terletak di Cibaluk yang kondisinya masih cukup baik dibandingkan dengan gedung serba guna yang terletak di sebelah kiri pos jaga tersebut yang saat ini telah roboh. Pos jaga difungsikan untuk penerimaan pengunjung yang akan berkunjung ke dalam kawasan untuk tujuan pendidikan, penelitian dan survei lainnya. Fungsi lainnya adalah tempat penginapan bagi pengunjung maupun petugas yang domisilinya jauh dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Keberadaan pos jaga ini sangat penting untuk menjaga keamanan kawasan agar keseimbangan ekosistem di dalamnya tidak terganggu. Kondisi demikian sangat penting untuk dilakukan perbaikan dan perlengkapan sarana dan prasarana untuk menunjang pengelolaan yang baik. Sarana dan prasarana untuk setiap staf pengelola hanya diberikan seragam dan atribut sebagai polisi kehutanan, seperti senjata api.

83

5.3.4 Kegiatan PMP (Patroli, Monitoring dan Penyuluhan)

Kegiatan patroli merupakan satu fungsi mendasar dan terpenting dari satuan pengelola suatu kawasan yang dilindungi untuk melindungi dan mengamankan kawasan dari gangguan manusia, baik yang berada di sekitar maupun yang jauh dari kawasan namun mempunyai akses yang tinggi terhadap kawasan tersebut, atau bentuk gangguan lainnya, seperti perburuan, kebakaran, gangguan ternak, hama dan penyakit. Kegiatan patroli ini merupakan salah satu wewenang Polisi Kehutanan yang merupakan pengelola di Resort Sancang, seperti yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan bahwa Polisi Kehutanan memiliki wewenang meliputi kegiatan dan tindakan kepolisian khusus di bidang kehutanan yang bersifat preventif, tindakan administrative dan operasi represif, diantaranya mengadakan patroli atau perondaan di dalam kawasan hukumnya dan memeriksa surat-surat atau dokumen yang berkaitan dengan hasil hutan di dalam kawasan.

Kegiatan patroli di Cagar Alam Leuweung Sancang dilakukan secara rutin, yaitu setiap hari kerja, terlebih jika ada laporan mengenai isu keamanan di dalam kawasan, baik dari masyarakat atau petugas yang kebetulan sedang patroli. Jika kawasan dalam kondisi yang tidak aman, seperti ada laporan mengenai perburuan, perambahan dan sebagainya yang mengganggu terhadap kawasan maka patroli akan dilakukan walaupun di luar hari kerja di seluruh kawasan. Kegiatan patroli tersebut mencakup 3 kegiatan, yaitu identifikasi permasalahan dalam kawasan, monitoring kawasan dan penyuluhan kepada masyarakat.

Kegiatan patroli juga dapat dilakukan bersamaan dengan pendampingan penelitian atau pengunjung lain baik pelajar, mahasiswa, instansi maupun masyarakat umum yang masuk ke dalam kawasan dengan tujuan penelitian, survei atau tujuan lainnya. Seperti halnya selama pendampingan dalam penelitian ini terdapat empat kasus atau gangguan terhadap kawasan, yaitu pengambilan satu ikat rotan terjadi pada saat liburan idul fitri yang diangkut menggunakan motor dari blok Cipangikisan, pembuatan tasbih/kalung dari kayu kaboa (Aegiceras corniculatus) di blok Cikajayaan yang dipercaya mengandung mitos, penggembalaan sapi dan kerbau di blok Cijeruk, Cibako dan rancaherang dan perburuan di blok Cipalawah. Tindakan yang dilakukan oleh petugas berupa

penjelasan mengenai peraturan cagar alam dan teguran untuk tidak mengulanginya lagi. Kegiatan-kegiatan ini secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi keberadaan banteng karena terganggunya habitat dan aktivitas banteng.

Jalan yang digunakan untuk patroli berupa jalan setapak yang dengan ditambahkan batu-batuan kecil agar bisa dilalui oleh kendaraan bermotor yang dibuat masyarakat untuk melintasi kawasan menuju pantai yang terletak di beberapa blok, yaitu blok rancaherang, blok cijeruk, blok Plang/Sancang, blok Ciporeang dan blok Cipalawah. Jalan yang terletak di Rancaherang memiliki panjang ± 400 m dan hanya dapat dilalui oleh motor, sedangkan yang terletak di Blok Cijeruk sepanjang 1 km, memotong padang penggembalaan Cijeruk. Jalan ini sering dilalui oleh kendaraan bermotor yang mengangkut hasil laut dari pantai atau laut yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ke luar kawasan. Jalan tersebut juga digunakan sebagai pintu masuk ke pantai untuk kegiatan rekreasi. Jalan yang terletak di blok Ciporeang dibuat pada tahun 1970 ditujukan untuk jalan operasional dari Ciporeang ke pantai juga sebagai jalan untuk rekreasi. Penggunaan jalan tersebut dapat menggunakan kendaraan roda empat maupun roda dua. Jalan setapak tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.

(a) (b)

Gambar 10. Kondisi jalan setapak di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang (a) jalan setapak blok Plang (b) jalan setapak blok Cipalawah

Monitoring merupakan kegiatan yang dilakukan untuk memantau atau mengontrol keberlangsungan atau kondisi kawasan, baik dari segi fisik maupun biotik kawasan. Kegiatan monitoring/pembinaan habitat dapat dilihat pada Tabel

85

15. Pembinaan habitat lainnya yang sering dilakukan, yaitu pemeliharaan padang penggembalaan dan penanaman kembali area bekas perambahan. Pemeliharaan padang penggembalaan hanya dilakukan sampai pada tahun 1989 pada dua lokasi padang penggembalaan yang dipelihara secara berkala, yaitu blok Cijeruk dan Cipalawah. Pemeliharaan ini juga bekerjasama dengan pihak PTPN VIII Mira Mare yang bertujuan untuk meringankan biaya pemeliharaan dan adanya tanggung jawab semua stakeholder. Kondisi demikian diperkirakan sangat

mempengaruhi terhadap habitat banteng terutama ketersediaan pakan banteng. Tabel 15 Kegiatan monitoring/pembinaan habitat yang dilakukan pengelola

Cagar Alam Leuweung Sancang

No Tahun Jenis Informasi

1 1982 Inventarisasi Flora dan fauna serta Permasalahannya

2 1984 Inventarisasi Banteng

3 1984 Peta Penyebaran Banteng (Skala 1 : 40000)

4 1988 Inventarisasi Banteng

5 1989 Peta Penyebarang banteng (Skala 1 : 40000) 6 1990 Inventarisasi Flora dan fauna

7 1991 Inventarisasi Flora dan fauna (1000 ha)

8 1992 Inventarisasi Banteng

9 1993 Inventarisasi Hutan Bakau (150 ha) 10 1993 Peta Penyebaran banteng (Skala 1 : 30000) 11 1988; 1992 Analisis Vegetasi CALS

12 1984; 1988; 1992 Studi Dinamika Populasi Banteng

13 1984; 1988; 1992 Informasi Hubungan Banteng dengan habitatnya 14 1984; 1988; 1992 Informasi daya dukung habitat banteng

15 Peta Topografi (Skala 1 : 500000)

16 Peta Situasi (Skala 1 : 30000)

17 2011 Rekontruksi Pal batas kejasama semua pihak Sumber : Departemen Kehutanan (1994) dan analisis data primer.

Kegiatan pembinaan populasi banteng lainnya yang dilakukan pihak pengelola berdasarkan informasi beberapa media bahwa terdapat rencana pemindahan banteng yang berada di Cagar Alam Leuweung Sancang dipindahkan ke hutan suaka margasatwa Pananjung Pangandaran sebagai tindak lanjut rusaknya habitat Cagar Alam Leuweung Sancang yang diakibatkan adanya debu letusan Gunung Galunggung pada tahun 1983. Rencana tersebut tidak berhasil karena proses penggiringan/pemindahan tidak bisa dilakukan dengan mudah mudah (Anonim 2002).

Tindak lanjut pihak pengelola (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) atas rusaknya kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan tidak ditemukannya populasi banteng pada tahun 2003, maka berdasarkan informasi media akan

melakukan pengadaaan banteng kembali ke dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang sebanyak 60 ekor dari Taman Nasional Ujung Kulon. Hal ini dapat didukung dengan dilakukannya pengukuran tapal batas kawasan dan dilanjutkan dengan pemulihahan kondisi hutan melalui kegiatan rehabilitasi.

Suyitno (1968) dan Dahana et al. (1980) menyatakan bahwa kegiatan

penyuluhan merupakan suatu pendidikan di luar sekolah tanpa paksaan yang membuat seseorang yakin bahwa sesuatu yang disuluhkan atau disampaikan adalah lebih baik dan lebih menguntungkan dari pada yang telah dikerjakan serta bertujuan untuk mengubah sikap dan keterampilan seseorang agar dapat melakukan pekerjaanya lebih baik. Kegiatan penyuluhan oleh petugas di Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan informasi masyarakat dan petugas resort Sancang terakhir dilakukan pada tahun 1993 dengan pemutaran film, sedangkan pada tahun 2003 telah dilakukan sosialisasi berupa ekspose tentang arti penting kawasan konservasi untuk sistem penyangga kehidupan yang dilakukan di depan Muspika Kecamatan Cibalong (Andono 2004). Kegiatan penyuluhan ini dilakukan agar masyarakat memiliki kesadaran agar tetap melestarikan banteng.

Dokumen terkait