• Tidak ada hasil yang ditemukan

The Extinction Factors Of Banteng (Bos Javanicus) In Leuweung Sancang Natural Reserve West Java

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The Extinction Factors Of Banteng (Bos Javanicus) In Leuweung Sancang Natural Reserve West Java"

Copied!
266
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB KEPUNAHAN BANTENG

(

Bos javanicus

) DI CAGAR ALAM LEUWEUNG SANCANG

JAWA BARAT

RENI SRIMULYANINGSIH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor-Faktor Penyebab Kepunahan Banteng (Bos javanicus) di Cagar Alam Leuweung Sancang Jawa

Barat adalah karya saya sendiri dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2012

Reni Srimulyaningsih

(3)

javanicus) in Leuweung Sancang Natural Reserve West Java. Under direction by HADI SUKADI ALIKODRA dan RINEKSO SOEKMADI.

Banteng (Bos javanicus) is one of wildlife species that is categorized into the conservation status of "Endangered" which its habitat and population continue to decline to extinction even in natural reserve such as Leuweung Sancang Natural Reserve. Habitat and population of banteng currently just located in national park which is wide area and intensive management with other protected areas including Leuweung Sancang Natural Reserve. The objective of this research is to anlyze the extinction factors of banteng in Leuweng Sancang Natural Reserve by identifying and analyzing the population, distribution, habitat, socio-economic activities of communitie and area management system. To identify ecology, socio economic and management condition with literature study and interview. The research analysis is reliability and validity instrument, spatial, qualitative, quantitative and correlation factors. Wide and shape area, boundary area, area status, PMP activities, stakeholders, community perception and community interaction are all factors than can affect to banteng extinction in Leuweung Sancang Natural Reserve. Correlation factors are (a) wide and shape area (WSA) with community interaction (0.540350); (b) PMP activities with community interaction; (c) boundary area with area status (0.531250). The extinction factors of banteng are illegal hunting that impact of 3 factors, are: (1) habitat degradation especially less maintenance of grazing area and the elongated shape of Leuweung Sancang Natural Reserve did not support banteng population, (2) less of management intensity, (3) local people negative perception for banteng existence.

(4)

javanicus) di Cagar Alam Leuweung Sancang Jawa Barat. Dibimbing oleh HADI SUKADI ALIKODRA dan RINEKSO SOEKMADI.

Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang telah

dikategorikan ke dalam status konservasi “Terancam Kepunahan” yang dilindungi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa karena populasinya dan penyebarannya semakin terdesak oleh aktivitas manusia yang jumlahnya terus meningkat, sehingga menyebabkan kerusakan dan perubahan habitat banteng. Kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terjadi pada tahun 2003 yang dinyatakan oleh Peraturan Mneteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng yang diperkirakan terjadi karena beberapa faktor, seperti rusaknya padang rumput akibat pemukiman dan perambahan masyarakat sekitar cagar, intensitas pengelolaan sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang dilakukan melalui kajian terhadap (1) perkembangan populasi, penyebaran dan habitat banteng dari waktu ke waktu, (2) kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan dan (3) kondisi pengelolaan kawasan.

Penelitian dilakukan di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III, Seksi Konservasi Wilayah V, Resort Konservasi Sumber Daya Alam Sancang yang secara administratif termasuk wilayah Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat. Penelitian dan penulisan tesis berlangsung selama ± 10 bulan, yaitu mulai bulan Agustus 2011 sampai Mei 2012. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan studi literatur. Analisis data dilakukan melalui dua tahapan, yaitu uji realibilitas kuesioner masyarakat menggunakan software SPSS 16.0, analisis korelasi dan pengelompokan antara faktor menggunakan software Statistica 7.

Kondisi populasi banteng pada tahun 1984-1988, tahun 1988-1992, dan tahun1992-1996 mengalami penurunan jumlah, yaitu masing-masing 77 ekor, 32 ekor dan 52 ekor. Jika dilihat dari proporsi jenis kelamin antara jantan dan betina setiap tahunnya mengalami perbandingan rata-rata 1 : 2, hanya pada tahun 1992 mencapai 1 : 5, sedangkan laju pertumbuhan tiap tahunnya berturur-turut adalah - 19, -8, -13 ekor/tahun. Hal ini berarti populasi banteng menuju kepunahan yang diduga akibat angka kematian tinggi atau laju pertumbuhan banteng terganggu yang disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: decimating factors, welfare factors, influence factors, dan kematian karena umur tua.

(5)

pemeliharaan berkelanjutan sampai tahun 1987.

Bentuk kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah hampir membentuk persegi panjang yang memiliki tingkat kecepatan kepunahan spesies lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk lain, yaitu persegi dan bulat karena bentuk yang kompak dan teratur, misalnya lingkaran atau persegi empat, mempunyai garis keliling lebih kecil dari bentuk yang memanjang dan teratur mempunyai kementakan mengandung keanekaragaman jenis yang lebih besar dan mempengaruhi luas jelajah banteng yang mencapai 1-2 km, sehingga hanya dapat menampung 6-24 ekor, sedangkan daya dukung berdasarkan produktivitas rumput padang penggembalaan dengan luas total 130 ha adalah 147-390 ekor.

Sebagian besar masyarakat berasal dari Desa Sancang (81%) dan berumur 40-50 tahun (41%) yang berhubungan langsung dengan keberadaan banteng sejak tahun 1960 an dengan tingkat pendidikan lulusan SD (94%) dan pendapatan rata-rata Rp 500 000 (lima ratus ribu rupiah) samapai Rp 1000 000 (satu juta rupiah). Masyarakat mengetahui adanya perburuan banteng dan 27% mengakui keterlibatannya, dan hampir semua responden pernah memakan daging banteng. Selain itu, juga pernah terjadi konflik banteng dengan manusia sehingga menimbulkan 2 korban tewas akibat serangan banteng pada tahun 1980an. Sebagaian besar masyarakat (69%) tersebut berpendapat bahwa banteng merupakan hama bagi kebun mereka dan tidak perlu dilestarikan and sebanyak 34% berpendapat bahwa kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang tidak bermanfaat bagi kehidupan mereka. Kegiatan yang sering dan telah dilakukan masyarakat di dalam kawasan cagar alam sejak tahun 1980an, antara lain: pengambilan hasil laut, pemukiman, ziarah, perambahan, perburuan satwa, penggembalaan ternak dan pemusnahan amunisi TNI, sehingga beberapa hal tersebut dapat mempengaruhi keberadaan banteng.

Perubahan status kawasan dari cagar alam dan suaka margasatwa menjadi cagar alam memiliki perbedaan tujuan pengelolaan, sehingga sangat mempengaruhi keberadaan banteng, karena banteng bukan merupakan objek utama dalam pengelolaan. Hal ini didukung dengan belum adanya penegasan mengenai tata batas kawasan aktivitas dan keberadaan banteng yang ada didalam kawasan.

Sumber Daya Manusia pengelola kawasan rata-rata lulusan SMA/sederajat dan belum pernah ada pelatihan mengenai pengelolaan kawasan maupun spesies yang ada di dalam kawasan. Kegiatan PMP (Patroli, Monitoring dan Penyuluhan) yang telah jarang dilakukan setiap hari kerja bahkan di hari libur jika ada kejadian di dalam kawasan, sehingga sangat mempengaruhi pengelolaan banteng dan frekuensi interaksi masyarakat ke dalam kawasan. Hal ini didukung pula dengan keberadaan mitra dalam pengelolaan.

Faktor penentu penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang, terdiri dari luas padang penggmbalaan, interaksi masyrakat terutama perburuan, persepsi masyarakat, status kawasan, tata batas, kegiatan PMP dan keberadaan mitra. Hubungan faktor-faktor berdsarkan penilaian dari para ahli yang kemudian dianalisis menggunakan software Statistica 7 terdiri dari 5 faktor

(6)
(7)

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(8)

RENI SRIMULYANINGSIH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Konservasi Biodiversitas Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)
(10)
(11)

karena atas rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan penyusunan tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Konservasi Biodiversitas Tropika dari Institut Pertanian Bogor. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, Kabupaten Garut, Jawa Barat.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, MS dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F sebagai dosen pembimbing atas curahan pemikiran, waktu, kesabaran, saran dan arahan serta petunjuk yang diberikan selama pembimbingan sehingga penyusunan tesis ini dapat diselesaikan.

2. Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc yang telah bersedia menjadi dosen penguji luar pada saat ujian tesis.

3. Para pakar yang telah bersedia mengisi kuisioner penelitian, yaitu Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB), Prof. Dr. Ir. Dudung Darusman (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB), Prof. Dr. Ir. Ani Mardiastuti (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB), Prof. Ervizal AM Zuhud (Guru Besar Fakultas Kehutanan), Dr. Harnios Arief (Dosen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB), Prof (R). Dr. Ir. M Bismark, MS, APU (Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi Kementerian Kehutanan Bogor), Ir. Indra Rinal (Kepala Balai Taman Nasional Baluran), Rachman Sidik, M.Si (Kepala Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat), Ian Kosasih, M.Si (Wakil Dirut PT Hatfield Indonesia), dan Adhi RS Hariyadi, BSc. Msi (Project Leader WWF Indonesia).

(12)

sampai saat ini.

6. Keluarga besar Dr. Ir. Emi Karminarsih dan Prof. Dr. Ir. Hadi Sukadi Alikodra, Wulan Sari Lestari, M.Si, Silfariani, M.Si yang telah saya anggap sebagai keluarga sendiri atas dukungan dan motivasinya.

7. Teman-teman seperjuangan mahasiswa S2 KVT angkatan 2010, khususnya Wenda Yandra Komara, M.Si yang telah sabar mengajarkan GIS dan analisis statistiknya, Deden Mudiana, S.Hut dan Tresika Deryanti, S.Hut atas diskusi dan motivasi-motivasinya.

8. Ivan Y Noor, M.Si, U Mamat Rahmat, M.Si, Abdul Muin, M.Si dan Mufti Sudibyo, M.Si yang selalu memberikan arahan, diskusi dan motivasinya selama persiapan penelitian serta yang tidak tersebutkan satu per satu terima kasih terhadap bantuannya.

Apabila terdapat kesalahan dalam penulisan tesis ini, maka hanya penulis yang bertanggungjawab. Kiranya Allah SWT yang memberi balasan berkah kepada semua pihak yang telah banyak membantu penulis dan akhir kata semoga tesis ini bermanfaat bagi banyak pihak.

Bogor, Juni 2012

(13)

Tasikmalaya pada tanggal 29 Juli 1987, sebagai anak tunggal dari pasangan Bapak Sodik dan Ibu Arningsih. Tahun 2005 penulis lulus dari Madrasah Aliyah Negeri Cipasung, Tasikmalaya dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB pada mayor Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata dan minor Agroforestri, Fakultas Kehutanan dan lulus pada tahun 2009. Tahun 2010 penulis melanjutkan pascasarjana pada program Konservasi Biodiversitas Tropika, Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis menjadi pemandu ekowisata

Agroedutorism IPB pada tahun 2007-2008, asisten peneliti mahasiswa S3 Tsukuba University, Jepang (Iwanaga Seiji) pada tahun 2009, asisten mata kuliah Rekreasi Alam dan Ekowisata pada tahun ajaran 2009/2010. Pada tahun 2010 penulis menjadi Fasilitator Teens Go Green for Environment Education di Desa Cibalung Bogor, Jawa Barat, fasilitator pendidikan lingkungan untuk anak SD di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, panitia United State Sports Enjoy Program

Kedutaan Besar Amerika untuk Kota Jakarta, dan guru bimbingan belajar di Bintang Pelajar sampai tahun 2011. Pada tahun 2011 penulis menjadi fasilitator pelatihan penelitian di Sekolah Menengah Atas se-Kecamatan Ciampea, Bogor. Pada tahun 2012 penulis menjadi finalis pada KAMI (Komunitas Alumni Muda

Indonesia) project Service Competition and Conference Program yang

diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Amerika dan Center for Civic Education

Indonesia. Pada tahun yang sama, yaitu tahun 2012 penulis juga menjadi fasilitator pada program “Penghijauan Tumbuhan Buah Obat di Desa Lingkar

(14)

xiii

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 3

1.3 Manfaat ... 3

1.4 Kerangka Pemikiran ... 4

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Banteng. ... 7

2.2 Sosial Ekonomi Masyarakat dan Sumber Daya Alam. ... 16

2.3 Kawasan Konservasi. ... 17

2.4 Pengelolaan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa. ... 20

III. METODOLOGI ... 25

3.1 Lokasi dan Waktu ... 25

3.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data ... 25

3.3 Analisis Data ... 29

IV. KONDISI UMUM ... 31

4.1 Sejarah Penunjukan dan Administrasi Kawasan. ... 31

4.2 Kondisi Iklim. ... 33

4.3 Potensi Kawasan. ... 33

4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat... 34

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 37

5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng ... 37

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan ... 58

5.3 Pengelolaan Kawasan ... 75

5.4 Faktor Penentu Penyebab Kepunahan ... 92

5.5 Pembelajaran untuk Kepunahan ... 99

VI. SIMPULAN DAN SARAN ... 103

6.1 Simpulan ... 103

6.2 Saran ... 103

DAFTAR PUSTAKA ... 105

(15)

xiv

1 Penurunan Populasi Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ... 8

2 Pengumpulan Data Populasi, Penyebaran dan Habitat ... 26

3 Pengumpulan Data Sosial dan Ekonomi Masyarakat ... 27

4 Pengumpulan Data Pengelolaan Kawasan ... 28

5 Populasi Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ... 37

6 Jenis Pakan Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ... 41

7 Perkembangan Padang Penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang 45 8 Luas Tutupan Lahan Cagar Alam Leuweung Sancang ... 51

9 Jumlah Penduduk sekitar Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ... 58

10 Karakteristik Masyarakat Cagar Alam Leuweung Sancang ... 59

11 Pengetahuan Masyarakat mengenai Banteng ... 62

12 Persepsi Masyarakat ... 64

13 Perkembangan Keberadaan Gubuk-Gubuk Liar di dalam Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ... 69

(16)

xv

1 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Studi Kepunahan Banteng di Cagar Alam

Leuweung Sancang ... 5

2 Peta Status Sebaran Banteng di Indonesia ... 10

3 Lokasi Penelitian Cagar Alam Leuweung Sancang ... 25

4 Kondisi Pelindung Ideal Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ... 49

5 Kondisi Pelindung Banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang Tahun 2011 49 6 Peta Tutupan Lahan Cagar Alam Leuweung Sancang Tahun 1996 ... 52

7 Tutupan Lahan Cagar Alam Leuweung Sancang Tahun 2003 ... 53

8 Contoh Gubuk-Gubuk Liar di Blok Ciporeang... 69

9 Kegiatan Perburuan Satwa ... 74

10 Kondisi Jalan Setapak di dalam Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang 84 11 Hubungan Populasi Banteng dengan Luas Padang penggembalaan ... 93

12 Hubungan Populasi Banteng dengan Interaksi dan Persepsi Masyarakat . 94 13 Hubungan Populasi Banteng dengan Status dan Tata Batas Kawasan ... 95

(17)

xvi

1 Kuisioner Masyarakat sekitar Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang 112 2 Kuisioner Pengelola Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ... 114 3 Kuisioner Praktisi dan Para Ahli ... 116 4 Hasil Uji Realibilitas dan validitas Instrumen Penelitian ... 119 5 Hasil Peringkat faktor-Faktor Kepunahan berdasarkan Penilaian Para Ahli 120 6 Tabel Pemberian Skor Para Ahli terhadap Indikator Penyebab Kepunahan

(18)

1.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Banteng (Bos javanicus) merupakan salah satu jenis satwa liar yang

dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta telah dikategorikan ke dalam status konservasi “Terancam Kepunahan” berdasarkan pada penurunan populasinya yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir (IUCN 2004). Populasi dan penyebaran banteng saat ini semakin terbatas karena terdesak oleh aktivitas manusia yang jumlahnya terus meningkat, sehingga menyebabkan kerusakan dan perubahan habitat banteng.

Hoogerwerf (1970) mengemukakan bahwa wilayah penyebaran banteng di Indonesia meliputi Pulau Kalimantan dan Jawa dengan populasi pada tahun 1940 sekitar 2000 ekor, yang sebagian besar terdapat dalam kawasan perlindungan di dataran rendah sebelah selatan Jawa. Populasi tersebut terus menurun dari tahun ke tahun hingga pada tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor. Alikodra (1983) mengemukakan bahwa banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatwa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri, akan tetapi menurut Peraturan Menteri Kehutanan No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Tahun 2011-2020 saat ini daerah penyebarannya hanya terdapat di Taman Nasional Ujung Kulon, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Baluran.

Penyebab terus menurunnya populasi dan habitat banteng disebabkan pula oleh beberapa faktor, seperti kerusakan dan konversi habitat serta adanya predator seperti ajag (Cuon alpinus) yang juga termasuk satwa terancam punahyang terjadi

(19)

Paramphistomum spp, selain itu terdapat pula adanya dugaan kompetisi ekologi

dengan niche pakan badak jawa dan banteng di Taman Nasional Ujung Kulon

(Muntasib et al. 2000; YMR 2002; Effendy et al. 2004).

Kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena beberapa faktor, seperti rusaknya padang rumput akibat telah berubah fungsinya menjadi ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan banteng sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar (Mardi 1995; Subroto 1996; Jenuyanti 2002). Kondisi demikian, menyebabkan populasi banteng setiap tahunnya mengalami fluktuasi sejak tahun 1970 (100 ekor), 1980 (kurang dari 100 ekor), 1996 (12 ekor) dan tahun 2003 adalah nol. Peraturan Menteri Kehutanan No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng Tahun 2011-2020 pada akhirnya menyatakan bahwa populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang telah punah karena tidak pernah ditemukan lagi.

Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang ditetapkan sebagai cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 370/Kpts/Um/6/1978 tanggal 9 Juni 1978 tentang Penegasan Kembali Batas-Batas Cagar Alam Leuweung Sancang sebagaimana Dimaksud dalam SK Menteri Pertanian No.116/Um/59 jo. SK. Menteri Pertanian No.9470/SK/M tanggal 25 Oktober 1960 dengan luasan 2.157 ha dan pada tahun 1990 mengalami penambahan luas sebesar 1150 ha di bagian selatan sebagai cagar alam laut dengan nama Cagar Alam Laut Sancang berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 682/Kpts-II/1990 tanggal 17 Nopember 1990 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 92/Kpts-II/1990 tentang Penunjukkan Perairan Pantai di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang yang Terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Seluas ± 683 ha sebagai Cagar Alam laut (BBKSDA 2007). Intensitas pengelolaan cagar alam secara umum relatif lebih rendah jika dibandingkan dengan taman nasional. Hal ini dapat dilihat dari jumlah pengelola, kelengkapan sarana dan prasarana pengelolaan dan alokasi anggarannya.

(20)

keterwakilan ekosistem dataran rendah yang kaya akan jenis flora dan fauna di Pulau Jawa. Salah satu jenis yang dikelola adalah banteng yang saat ini telah dinyatakan punah. Kepunahan banteng tersebut perlu suatu kajian mengenai faktor-faktor yang menjadi penyebab kepunahannya, seperti kondisi populasi, penyebaran, habitat, kegiatan sosial ekonomi masyarakat sekitar kawasan dan sistem pengelolaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang sehingga dapat merumuskan faktor- faktor penyebab kepunahan banteng tersebut. Kajian terhadap kepunahan ini sangat penting sebagai pembelajaran bagi pengelolaan populasi banteng di kawasan konservasi lainnya agar tidak mengalami hal yang sama.

1.2 Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis faktor-faktor penyebab kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang dilakukan melalui kajian terhadap:

1. Perkembangan populasi, penyebaran dan habitat banteng dari waktu ke waktu. 2. Kondisi sosial ekonomi masyarakat di sekitar kawasan.

3. Kondisi pengelolaan kawasan.

1.3 Manfaat

Manfaat penelitian ini antara lain:

1. Memperkaya ilmu pengetahuan faktor-faktor penyebab kepunahan suatu spesies dan memperoleh suatu pembelajaran mengenai faktor-faktor penyebab kepunahan banteng sehingga dapat dikembangkan untuk konservasi banteng maupun spesies lainnya.

2. Merekomendasikan pentingnya dilakukan rehabilitasi habitat agar lebih mendukung populasi di dalam kawasan konservasinya.

(21)

1.4 Kerangka Pemikiran

Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan oleh pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia yang sangat tinggi sehingga menyebabkan kerusakan habitat akibat adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nursahid (1999) menambahkan bahwa kegiatan manusia tersebut, yaitu pertambangan, perburuan, pertanian, perumahan hingga industri. Indrawan et al. (2007) menambahkan bahwa selain

kegiatan manusia tersebut juga diakibatkan adanya invasi spesies-spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktor-faktor tersebut.

Alikodra (2010) menyatakan bahwa faktor utama penyebab kepunahan adalah penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak terkendali, dan pencemaran lingkungan. Kepunahan tersebut akan terjadi pada suatu spesies jika populasi spesies tersebut telah mengalami pengurangan jumlah yang sangat tajam dan menyebabkan kematian. Alikodra (2002) menyatakan bahwa kematian pada spesies disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keadaan alam, kecelakaan, perkelahian, dan adanya aktivitas manusia.

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa populasi banteng di Indonesia tertekan oleh kerusakan habitat dan tidak terkontrolnya perburuan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon disebabkan penurunan jumlah dan luas kawasan padang penggembalaan, adanya pemangsaan yang intensif terutama terhadap anak banteng dan angka kelahiran yang rendah dan kematian banteng yang disebabkan oleh penyakit, parasit, diburu, kaeracunan, pemangsaan dan mati karena umur tua.

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa untuk mencegah kepunahan

(22)

merekomendasikan pengelolaan banteng dan pengelolaan kawasan yang merupakan habitat banteng di kawasan konservasi lainnya sehingga keberadaan banteng akan tetap lestari. Kerangka pemikiran tersebut dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan alir kerangka pemikiran studi kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang (Modifikasi dari Hoogerwerf 1970; Alikodra 1983, 2010; MacKinnon et al. 1990; Nursahid 1999; Soemarwoto 2004; Indrawan et al. 2007).

(23)
(24)

2.1.1 Taksonomi dan Morfologi Banteng

Menurut Lekagul dan McNeely (1977) banteng diklasifikasikan ke dalam dunia Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Artiodactyla, Famili Bovidae, genus Bos, spesies Bos Javanicus, subspesies Bos javanicus javanicus

terdapat di Jawa, Madura, dan Bali, Indonesia, Bos javanicus lowi terdapat di

Kalimantan dan Bos javanicus birmanicus terdapat di Indocina. Banteng memiliki morfologi tubuh yang tegap, besar dan kuat dengan bahu bagian depannya lebih tinggi dari pada bagian belakang tubuhnya dan memiliki tinggi pundak mencapai 120-170 cm. Bagian dada banteng memiliki gelambir yang dimulai dari pangkal kaki depan sampai bagian leher, tetapi tidak mencapai daerah kerongkongan (Lekagul dan McNeely 1977). Maryanto et al. (2008) menyatakan bahwa bentuk tubuh betina banteng lebih kecil dibandingkan dengan jantan, tinggi jantan mencapai 1.9 m dengan bobot badan 825 kg, sedangkan tinggi betinanya 1.6 m dengan bobot badan 635 kg.

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa banteng jantan berwarna hitam, semakin tua umurnya semakin hitam warna tubuhnya, sedangkan banteng betina berwarna coklat kemerah-merahan, semakin tua umurnya, maka warnanya akan semakin gelap menjadi coklat tua. Alikodra (1983) dan Maryanto et al.

(2008) juga menambahkan bahwa banteng memiliki sepasang tanduk yang dapat membedakan jenis kelamin dan umur banteng, tanduk pada banteng jantan berwarna hitam mengilap, runcing dan melengkung simetris ke dalam, sedangkan pada banteng betina memiliki ukuran tanduk yang lebih kecil.

2.1.2 Populasi dan Penyebaran

(25)

yang terdiri dari satu spesies, saling berinteraksi dan melakukan perkembangbiakkan pada waktu dan tempat yang sama dan menghasilkan keturunan yang sama dengan tetuanya. Populasi banteng di Indonesia mengalami penurunan yang disebabkan oleh beberapa faktor, seperti perburuan dan aktivitas manusia sekitar habitat banteng sehingga mempengaruhi keberadaan populasi banteng.

Imron et al. (2007) mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas

Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah. Suhadi (2009) dan Pudyatmoko et al. (2007) menyatakan bahwa populasi banteng di

Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006 mengalami penurunan disebabkan tingginya aktivitas manusia, kurang stabilnya ketersediaan rumput di padang penggembalan Bekol dan adanya predator.

Mardi (1995) dan Subroto (1996) menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang diperkirakan terjadi karena rusaknya padang penggembalaan. Jenuyanti (2002) menambahkan bahwa penurunan tersebut diakibatkan telah berubah fungsinya padang penggembalaan menjadi ladang garapan petani yang menyebabkan berkurangnya ketersediaan pakan banteng, sehingga membuat kondisi populasi dan penyebarannya mengalami perubahan dan berakibat adanya perburuan liar. Penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

Tahun Jumlah Sumber

1988 200 Ashby dan Santiapillai 1988

2000 10 Kompas 28 Nov 2003

2003 Punah Kompas 28 Nov 2003

Sumber: Permenhut No. 58 tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng 2011-2020

(26)

mengalami penurunan hingga tahun 1978 populasi banteng yang ada di Pulau Jawa diperkirakan tidak lebih dari 1500 ekor.

Lekagul & McNeely (1977) berpendapat bahwa sebelum tahun 1940, banteng dapat ditemukan pada semua dataran rendah di Pulau Jawa, walaupun beberapa waktu kemudian hanya ditemukan di suaka dan cagar alam yang ada di Pulau Jawa. Hal ini dikuatkan oleh hasil penelitian Alikodra (1983) bahwa banteng di Pulau Jawa hanya dapat ditemukan di kawasan pelestarian alam seperti Taman Nasional Ujung Kulon, Suaka Margasatawa Cikamurang, Suaka Margasatwa Cikepuh, Cagar Alam Pananjung Pangandaran, Cagar Alam Leuweung Sancang, Taman Nasional Alas Purwo dan Taman Nasional Meru Betiri. Beberapa referensi dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Nasional Banteng Tahun 2010-2020 dikatakan bahwa banteng selain di kawasan konservasi pernah dan diduga masih ada sampai saat ini ditemukan di beberapa lokasi, seperti Bojong Larang-Jayanti, Cikamurang, Kediri, Pantai Blitar, Pantai Malang, Perkebunan Treblasara-Jatim, Kawasan Hutan Lindung Londo Lampesan, Kabupaten Nunukan, Malinau dan Berau.

Beberapa tempat penyebaran banteng yang dikemukakan oleh beberapa peneliti di atas, saat ini telah mengalami pengurangan yang cukup tinggi ditandai dengan hilangnya populasi di beberapa kawasan tersebut. Saat ini status sebaran dibagi dalam empat kategori yaitu kawasan yang dapat dipastikan sebagai habitat banteng (confirmed range), kawasan yang mungkin menjadi habitat banteng

(possible range), kawasan yang diragukan menjadi habitat banteng (doubtful

range) dan kawasan yang pernah menjadi habitat banteng (former range atau extirpated). Hal ini dapat dilihat pada Gambar 2.

(27)

Sumber: Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 58 Tahun 2011 tentang Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Banteng 2011-2020

Gambar 2. Peta status sebaran banteng di Indonesia

2.1.3 Habitat

Alikodra (2002) menyatakan bahwa habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik (iklim, suhu, kelembaban, tanah dan sebagainya) maupun biotik (organisme yang hidup) yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa liar. Alikodra (2002) juga menambahkan bahwa ukuran dari kelengkapan suatu habitat adalah mampu menyediakan berbagai keperluan bagi suatu spesies termasuk sumber makanan, air dan perlindungan (cover) yang diperlukan oleh

spesies hidupan liar untuk bertahan hidup dan melangsungkan reproduksinya secara normal.

(28)

30 ha. Subroto (1996) menyatakan bahwa kegiatan pemeliharaan terhadap padang penggembalaan Cibako, Cipadaruum, Ciporeang dan Cidahon sudah sejak lama tidak dilakukan, sedangkan pemeliharaan secara intensif hanya dilakukan pada blok Cijeruk dan Cipalawah sampai pada tahun 1992. Kebutuhan banteng akan air di dipenuhi dari sungai-sungai yang mengalir di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, seperti Sungai Cipadaruum, anak Sungai Cipangikisan dan Sungai Cikolomberan (Subroto 1996).

2.1.4 Perilaku

Alikodra (2002) menyatakan bahwa perilaku adalah semua gerakan atau kegiatan satwa untuk melestarikan atau mempertahankan hidupnya dan dapat diartikan sebagai ekspresi suatu binatang yang disebabkan atau ditimbulkan oleh semua faktor yang mempengaruhinya. Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng merupakan satwa liar yang kurang selektif terhadap jenis tumbuhan yang dimakannya dan lebih bersifat sebagai satwa pemakan rumput (grazer) dibandingkan dengan pemakan daun dan atau semak (browser). Beberapa jenis rumput yang merupakan pakan banteng adalah domdoman (Chrysopogon

aciculatus), kakawatan (Ischaemum muticum), rumput jarum (Chrysopogon sp.) dan rumput teki (Cyperus brevifolia). Sancayaningsih et al. (1983) dalam Destriana (2008) menyatakan bahwa banteng merupakan herbivora yang memiliki periode memamahbiak lebih kurang 2-5 jam/hari dengan kecepatan mengunyah selama periode tersebut 48-56 kali/menit.

Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon untuk memenuhi kebutuhannya, seperti mencari makan, minum, istirahat atau mencari tempat-tempat untuk bernaung dari teriknya matahari dan membesarkan anaknya dilakukan di padang penggembalaan. Hal ini berbeda dengan Santosa et al. (2007) yang menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional

Alas Purwo melakukan kegiatan-kegiatan tersebut di hutan tanaman. Perbedaan ini diperkirakan karena adanya perbedaan kondisi habitat yang dapat menyediakan kebutuhan banteng.

(29)

Banteng mengandung bayinya sekitar 9.5-10 bulan dengan jumlah anak per kelahiran 1-2 ekor, tetapi mayoritas 1 ekor setiap induk. Alikodra (1983) menyatakan bahwa musim kawin banteng di Taman Nasional Ujung Kulon terjadi pada bulan Agustus dan September dan perkawinan tersebut terjadi di padang penggembalaan antara jam 15.00 sampai dengan 17.00 dengan banteng jantan lebih agresif dibandingkan banteng betina, yang ditandai dengan mengeluarkan suara lebih banyak dari biasanya, mengikuti banteng betina sambil menjilat bagian pantat betina dan sering mendongakkan kepalanya ke atas, mengusir banteng jantan lain yang berada di dekatnya serta sering menanduk pohon ataupun semak sambil berjalan berputar-putar.

Lekagul dan McNeely (1977) menyatakan bahwa musim melahirkan atau berkembangbiak banteng di Thailand adalah bulan Mei dan Juni, sedangkan Hoogerwerf (1970) di Cijungkulon atau Taman Nasional Ujung Kulon adalah bulan Mei dan Juni, sedangkan Alikodra (1983) musim melahirkan banteng di Cijungkulon adalah bulan Mei, Juni dan Juli. Hal ini terlihat bahwa musim melahirkan di Taman Nasional ujung Kulon lebih lama dibandingkan dengan banteng di Thailand yang diperkirakan terdapat perbedaan pada masa interval beranak banteng dan musim kawin yang tergantung kondisi dan keamanan habitatnya.

(30)

2.1.5 Status Konservasi dan Kepunahan

Peraturan Perlindungan Binatang Liar 1931 pada jaman Belanda tentang Dierenbeschermings-Or-Donantie 1931 JIS Dierenbeschermings Verordening untuk daerah di luar Jawa dan Madura, banteng merupakan kategori satwa yang dilindungi oleh undang-undang dengan nama yang tertulis Bos sondaicus.

Perlindungan terhadap banteng ini dinyatakan dengan pasal 1 bahwa “dilarang memburu, menangkap, membunuh, memperniagakan hidup atau mati, ataupun memiliki satwa liar yang termasuk dalam kategori dilindungi undang-undang”.

Banteng dalam undang-undang dan Peraturan Perburuan Jawa dan Madura tahun 1940 atau dalam bahasa Belanda adalah Jachtverordening Java En Madura

1940 (Staatsblad 1940 Nr 247) tentang Peraturan Perburuan merupakan satwa liar elok sama dengan satwa liar lainnya, yaitu kerbau liar, rusa/menjangan, kijang/muncak dan burung merak. Banteng dalam Peraturan Perburuan tersebut diperbolehkan untuk diburu selama bulan September sampai dengan Desember dengan syarat pemburu memiliki sertifikat berburu E (berlaku untuk memburu 2 ekor banteng dewasa atau 1 ekor kerbau dewasa dan 1 ekor banteng dewasa).

SK Menteri Pertanian No.327/Kpts/Um/7/1972 tentang Penetapan Tambahan Jenis-Jenis Binatang Liar yang Dilindungi Disamping Jenis-jenis Binatang Liar yang Telah Dilindungi berdasarkan Dierenbeschermings-Or-Donantie 1931 JIS Dierenbeschermings Verordening 1931 dan Surat Keputusan menteri pertanian No. 421/Kpts/Um/8/1970 yang menyatakan bahwa banteng termasuk dalam daftar jenis satwa yang dilindungi sesuai dengan Peraturan Perlindungan Binatang Liar Tahun 1931 Nomor 266. IUCN (1972) menyatakan

bahwa banteng termasuk dalam kategori “vulnerable” artinya populasinya sedang

menuju tahap membahayakan bagi kelestariannya (penurunan populasi). Penurunan populasi tersebut disebabkan karena adanya pengambilan yang berlebihan, perusakan habitat dan lingkungannya.

Tahun 1999, pemerintah kembali menguatkan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang dilindungi dengan nama Bos sondaicus (banteng) melalui

(31)

mengalami resiko kepunahan yang sangat tinggi di alam dan akan terjadi kepunahan jika dalam waktu dekat tindakan perlindungan yang cukup berarti terhadap populasinya tidak dilakukan. Hal ini berdasarkan pada penurunan populasi yang melebihi kisaran 80% dalam tiga generasi terakhir (IUCN 2004). Ancaman utama terhadap kelestarian banteng menurut IUCN (2004) adalah: 1. Hilangnya atau rusaknya habitat yang disebabkan oleh kegiatan pertanian dan

perkebunan serta pembangunan pemukiman penduduk.

2. Spesies asing invasif (yang berpengaruh secara langsung terhadap spesies dan munculnya kompetitor).

3. Perburuan, yaitu pengambilan berlebihan terhadap spesies yang dilakukan oleh manusia.

4. Perubahan dalam dinamika spesies asli, yaitu dengan adanya domestikasi dan hibridisasi serta adanya penyakit/pathogen.

Kondisi banteng yang mengalami penurunan setiap tahunnya mendorong CITES (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna

and Flora) sejak tahun 1996 mengusulkan banteng terdaftar dalam CITES Apendiks I, artinya semua jenis kehidupan liar yang terancam (threatened) dari kepunahan (extinction) yang dapat atau kemungkinan dapat disebabkan oleh adanya tindakan perdagangan, sehingga tidak diperbolehkan adanya perdagangan terhadap spesies tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya ancaman perburuan yang sangat tinggi sehingga dikhawatirkan mengancam kepunahannya.

Kepunahan menurut Redlist IUCN (2010) adalah status konservasi yang

diberikan kepada spesies yang terbukti (tidak ada keraguan lagi) bahwa individu terakhir spesies tersebut sudah mati atau tidak ditemukan lagi. Kepunahan di alam liar (extinct in the wild) adalah status konservasi yang diberikan kepada spesies

yang hanya diketahui berada di tempat penangkaran atau di luar habitat alami mereka. Kepunahan menurut PP nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar adalah ketika suatu spesies tidak ada satu pun individu dari spesies itu yang masih hidup di dunia. Tingkat kepunahan antara lain:

(32)

b. Punah dalam skala lokal (extirpated): jika tidak ditemukan di tempat

mereka dulu berada tetapi masih ditemukan di tempat lain di alam, seperti banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang.

c. Punah secara ekologi: jika terdapat dalam jumlah yang sedemikian sedikit sehingga efeknya pada spesies lain di dalam komunitas dapat diabaikan. d. Kepunahan yang terutang (extinction debt) : hilangnya spesies di masa

depan akibat kegiatan manusia pada saat ini

Kepunahan akan terjadi pada suatu spesies setelah mengalami pengurangan jumlah yang sangat tajam, perusakan atau penyempitan habitat dan menyebabkan kematian. Kriteria spesies yang sangat rentan terhadap kematian hingga punah menurut PP nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwaliar terbagi ke dalam beberapa kelompok, antara lain: (a) mempunyai populasi yang kecil, (b) adanya penurunan yang tajam pada jumlah Individu dialam, dan (c) daerah penyebarannya yang terbatas (endemik). Alikodra (2002) menyatakan bahwa faktor kematian yang dapat mengurangi kepadatan populasi satwa liar adalah:

1. Keadaan alam, seperti penyakit, pemangsaan, kebakaran dan kelaparan.

2. Kecelakaan, misalnya tenggelam, tertimbun tanah longsor atau tertimpa batu dan kecelakaan yang menyebabkan infeksi sehingga mengalami kematian. 3. Perkelahian dengan jenis yang sama untuk mendapatkan ruang, makanan, dan

air, serta persaingan untuk menguasai kawasan.

4. Aktivitas manusia, perusakan habitat, perburuan, pencemaran, dan kecelakaan lalu lintas, terperangkap dan sebagainya.

Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa kepunahan spesies disebabkan oleh pertumbuhan populasi dan aktivitas manusia yang sangat tinggi sehingga menyebabkan kerusakan habitat akibat adanya eksploitasi terhadap sumber daya alam untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Nursahid (1999) menambahkan bahwa kegiatan manusia tersebut, yaitu pertambangan, perburuan, pertanian, perumahan hingga industri serta Indrawan et al. (2007) menambahkan kegiatan

(33)

pemanfaatan spesies yang berlebihan untuk kepentingan manusia, invasi spesies-spesies asing dan meningkatnya penyebaran penyakit serta sinergi dari faktor-faktor tersebut. Alikodra (2010) menyatakan bahwa faktor-faktor utama penyebab kepunahan adalah penyempitan dan kerusakan habitat, pemburuan tidak terkendali, dan pencemaran lingkungan. Kepunahan tersebut akan terjadi pada suatu spesies jika populasi spesies tersebut telah mengalami pengurangan jumlah yang sangat tajam dan menyebabkan kematian.

Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa populasi banteng tertekan oleh kerusakan habitat dan tidak terkontrolnya perburuan, sedangkan Alikodra (1983) menyatakan bahwa penurunan populasi banteng di Taman Nasional Ujung Kulon disebabkan penurunan jumlah dan luas kawasan padang penggembalaan, adanya pemangsaan yang intensif terutama terhadap anak banteng dan angka kelahiran yang rendah dan kematian banteng yang disebabkan oleh penyakit, parasit, diburu, kaeracunan, pemangsaan dan mati karena umur tua. MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa untuk mencegah kepunahan suatu spesies yang berada di dalam cagar diperlukan suatu pengelolaan yang intensif dan dilakukan secara berkala, seperti kegiatan monitoring habitat, pengamanan kawasan, penyuluhan masyarakat dan sebagainya.

2.2 Sosial Ekonomi Masyarakat dan Sumber Daya Alam

Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan mendefinisikan masyarakat adalah orang seorang, kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat atau badan hukum. Sosial ekonomi masyarakat sangat berkaitan erat dengan lingkungan di sekitarnya termasuk dalam pemanfaatan sumber daya alam.

(34)

mempertahankan alam agar senantiasa memberikan layanan ekologisnya. Dengan demikian dikatakan bahwa alam sebagai lingkungan tempat hidup manusia di muka bumi merupakan suatu media pengetahuan yang melahirkan kebudayaan manusia, sehingga dapat mengelola sumber daya alam sekitarnya secara lestari, termasuk cagar alam.

Manan (1998) menyatakan bahwa masyarakat merupakan bagian dari mahluk hidup yang memegang peranan dalam menentukan kelestarian dan keseimbangan ekosistem, yang mencakup komponen makhluk hidup (hewan, jasad renik, tumbuh-tumbuhan) dan lingkungan yang tidak hidup (udara, energi matahari, air, tanah, angin, panas, cahaya, mineral dan sebagainya), yang keduanya saling berinteraksi dan berhubungan timbal balik, juga diantara sesama makhluk hidup tersebut, baik di ekosistem daratan maupun ekosistem perairan yang berada dalam keseimbangan dinamis.

Manan (1998) juga menyatakan bahwa ekosistem hutan, sebagaimana halnya dengan ekosistem lainnya, seperti ekosistem padang rumput dan perairan, memang harus dimanfaatkan oleh manusia sebagai penghuninya demi untuk kesejahteraan hidup, akan tetapi cara-cara pemanfaatan yang berlebihan, semena-mena, mengakibatkan terganggunya keseimbangan, bahkan hancurnya ekosistem hutan. Fokus dalam hubungan makhluk hidup dengan lingkungannya adalah hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya karena ruang lingkup hubungan manusia dengan lingkungan hidupnya mencakup lingkungan fisik serta tumbuhan dan hewan sebagai materi di dalam hidup manusia, oleh karena dalam pengelolaan lingkungan yang menjadi fokus adalah ekologi manusia.

2.3 Kawasan Konservasi

(35)

yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

IUCN (2008) dan pemerintahan Indonesia memiliki nama kategori maupun definisi yang diberikan keduanya agak berbeda tetapi berdasarkan tujuan pengelolaannya, kategori-kategori dari kedua sistem klasifikasi tersebut dapat saling dipadankan walaupun tidak berarti semua kategori dari sistem klasifikasi tersebut bisa dipadankan secara tepat karena mungkin saja kriteria tujuan pengelolaan dari suatu kategori dalam sistem IUCN ternyata terdapat pada lebih sari satu kategori dalam sistem Indonesia. Perlindungan kawasan konservasi dilakukan untuk melindungi keanekaragaman biota, tipe ekosistem, gejala dan keunikan alam bagi kepentingan plasma nutfah, ilmu pengetahuan dan pembangunan pada umumnya. IUCN (2008) dalam pedoman manajemen terdapat dua prinsip mendasar untuk menentukan luasan kawasan konservasi, yaitu daerah tersebut harus cukup luas untuk memelihara spesies dan dapat mendukung proses ekologi.

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa kawasan konservasi memiliki beberapa dasar sebagai berikut:

1. Karakteristik suatu ekosistem, misalnya hutan hujan dataran rendah, ekosistem pegunungan tropika.

2. Spesies khusus yang memiliki nilai, kelangkaan, atau ancaman misalnya badak, harimau sumatera dan satwa lainnya.

3. Habitat yang memiliki keanekaragaman spesies.

4. Ciri geografik yang bernilai estetik atau pengetahuan, misalnya glaiser, mata air panas, air terjun dan sebagainya.

5. Memiliki fungsi perlindungan hidrologi: tanah, air, iklim.

6. Memiliki potensi rekreasi alam dan wisata, misalnya danau, pantai, pegunungan, satwa liar dan sebagainya.

(36)

Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam dikelompokkan sebagai berikut:

1. Kawasan Suaka Alam

a. Cagar Alam (CA), adalah kawasan suaka alam yang karena keadaaan alamnya mempunyai kekhasan/keuinikan jenis tumbuhan dan/atau keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam dan ekosistemnya yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian agar keberadaan dan perkembangannya dapat berlangsung secara alami. Cagar alam dapat dimanfaatkan untuk beberapa kegiatan, antara lain: (a) penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, (b) pendidikan dan peningkatan kesadartahuan konservasi alam, (c) penyerapan dan/atau penyimpanan karbon, dan (d) pemanfaatan sumber plasma nutfah untuk penunjang budidaya.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa di dalam cagar alam setiap orang dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap keutuhan kawasan suaka alam, karena cagar alam hanya dapat dimanfaatkan secara langsung untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan budidaya. Cagar alam memiliki keutamaan pelestarian yang tinggi serta keunikan alam yang merupakan habitat dari spesies langka tertentu; merupakan habitat rapuh yang tidak terganggu. Kawasan ini memerlukan perlindungan mutlak (MacKinnon et

al. 1990).

(37)

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Kehutanan menyatakan bahwa di dalam suaka margasatwa dapat dilakukan berbagai kegiatan bagi kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, wisata dalam jumlah yang terbatas (menikmati keindahan dengan syarat tertentu) serta kegiatan lainnya yang menunjang budidaya. MacKinnon et al. (1990) juga menambahkan di dalam suaka margasatwa

dapat dilakukan pengelolaan habitat yang bertujuan untuk perlindungan spesies, populasi atau komunitas satwa serta mempertahankan fisik lingkungan yang penting walaupun dengan cara manipulasi habitat.

2. Kawasan Pelestarian Alam (KPA) adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Kawasan pelestarian alam terdiri dari Taman Nasional (TN), Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Hutan Rakyat (Tahura).

3. Hutan Lindung, adalah kawasan hutan yang memiliki habitat alami atau hutan tanaman yang berukuran sedang sampai besar, pada lokasi yang curam, tinggi, mudah terjadi erosi, serta tanah yang mudah tercuci oleh air hujan sehingga kawasan ini diutamakan untuk melindungi daerah tangkapan air, mencegah erosi dan longsor (MacKinnon et al. 1990).

4. Taman Buru, adalah kawasan hutan yang telah ditetapkan untuk diselenggarakannya perburuan satwa secara teratur (PP Nomor 13 Tahun 1994 tentang Perburuan Satwa Buru). Habitat yang ada bersifat alami atau semi alami berukuran sedang sampai besar, memiliki potensi satwa buru yang jumlah populasinya cukup besar, tersedianya fasilitas buru yang memadai dan lokasinya mudah dijangkau (MacKinnon et al. 1990).

2.4 Pengelolaan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa 2.4.1. Pengelolaan Cagar Alam

(38)

alaminya; (2) Mempertahankan sumberdaya genetik dalam keadaan yang dinamis; (3) Mempertahankan proses ekologi; (4) Melindungi struktur lansekap atau bebatuan; (5) Mengamankan contoh-contoh lingkungan alami untuk penelitian, monitor lingkungan dan pendidikan, termasuk batas kawasan dengan aksesibilitas tinggi; (6) Meminimalkan gangguan melalui perencanaan dan penelitian serta kegiatan-kegiatan dengan berhati-hati; (7) Membatasi akses manusia. Pemerintah Indonesia mengadopsi kategori IUCN tersebut dan untuk mencapai tujuan sebagaimana disebutkan di atas, memberlakukan pengelolaan cagar alam yang tidak memperkenankan adanya campur tangan manusia di dalam kawasan tersebut.

Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan cagar alam, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut (Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam):

a. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem. b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya.

c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia.

d. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami. e. Mempunyai ciri khas potensi, dan dapat merupakan contoh ekosistem yang

keberadaannya memerlukan upaya konservasi.

f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

(39)

ekologis dari lingkungan dan perkembangan kondisi lingkungan. Untuk mencapai tujuan tersebut, setiap kegiatan termasuk kegiatan penelitian harus terencana dengan baik dan dilaksanakan secara hati-hati untuk meminimalkan gangguan.

IUCN (2008) mengemukakan beberapa kriteria dalam pengelolaan cagar alam, sebagai berikut:

1. Kawasan tertutup bagi masuknya pengunjung untuk rekreasi maupun untuk tourisme

2. Proses alamiah yang terjadi bebas dari pengaruh keikutsertaan manusia secara langsung

3. Proses yang terjadi, yang merubah sistem ekologis dan ciri-ciri fisiologis, pada setiap waktu sebagai akibat terjadinya kebakaran, suksesi, serangan hama, badai gempa bumi dan lain sebagainya hanyalah terjadi secara alamiah bukan karena gangguan manusia.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyebutkan bahwa pengelolaan kawasan suaka alam ditekankan dalam aspek pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan atau jenis satwa beserta ekosistemnya. Usaha pengawetan dalam kawasan suaka alam tersebut dilakukan dalam bentuk kegiatan:

1. Perlindungan dan pengamanan kawasan. 2. Inventarisasi potensi kawasan.

3. Penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan.

IUCN (2008) menyatakan bahwa cagar alam dikategorikan ke dalam Ia (Scientific Reserve / Strict Naure Reserve-Strict Protection), yaitu suatu kawasan

pinjaman dari generasi mendatang kepada generasi sekarang yang suatu saat harus dikembalikan atau merupakan tanggungan atau pinjaman dari generasai sekarang untuk generasi mendatang. Adanya paradigma tersebut harus mempertimbangkan azas pemanfaatan disamping untuk tujuan pelestarian, artinya keberadaan cagar alam dapat bermanfaat bagi masyarakat dengan tetap menjamin kelestariannya.

2.4.2 Pengelolaan Suaka Margasatwa

(40)

sebagai Kawasan Suaka Margasatwa apabila telah memenuhi kriteriasebagai berikut:

a. Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yangperlu dilakukan upaya konservasinya.

b. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi.

c. Merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah.

d. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.

e. Mempunyai luas yangcukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. Upaya pengawetan kawasan Suaka Margasatwa selain memiliki perihal yang sama dengan Cagar Alam, yaitu dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan kawasan, inventarisasi potensi kawasan dan penelitian dan pengembangan dalam menunjang pengawetan juga dalam rangka pembinaan habitat dan populasi, antara lain:

a. Pembinaan padang rumput untuk makanan satwa.

b. Pembuatan fasilitas air minum dan atau tempat berkubang dan mandi satwa. c. Penanaman dan pemeliharaan pohon-pohon pelindung dan pohon-pohon

sumber makanan satwa. d. Penjarangan populasi satwa.

e. Penambahan tumbuhan atau satwa asli.

f. Pemberantasan jenis tumbuhan dan satwa pengganggu.

Kawasan Suaka Margasatwa dapat dimanfaatkan untuk keperluan:

a. Penelitian dan pengembangan, meliputi penelitian dasar dan penunujang pemanfaatan dan budidaya.

b. Ilmu pengetahuan. c. Pendidikan.

d. Wisata alam terbatas.

(41)
(42)

III. METODOLOGI

3.1 Lokasi dan Waktu

Penelitian dilakukan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat, Bidang Konservasi Sumber Daya Alam Wilayah III, Seksi Konservasi Wilayah V, Resort Konservasi Sumber Daya Alam Sancang yang secara administrasi termasuk ke dalam Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut, Provinsi Jawa Barat (Gambar 3). Penelitian dan penulisan tesis berlangsung selama ± 10 bulan, yaitu mulai bulan Agustus 2011 sampai Mei 2012.

Gambar 3. Lokasi penelitian Cagar Alam Leuweung Sancang

3.2 Jenis dan Metode Pengumpulan Data

3.2.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat

(43)

digunakan adalah tahun 1996 dan tahun 2003. Jenis dan metode pengumpulan data dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Pengumpulan data populasi, penyebaran dan habitat

No Jenis Data Metode Analisis Data Keluaran

1 Perkembangan populasi

2 Jejak habitat banteng - Studi literatur

1960-2011

3.2.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan

Data sosial, ekonomi masyarakat secara umum dilakukan dengan wawancara. Wawancara yang dilakukan yaitu wawancara mendalam (indepth

interview) dengan menggunakan instrumen penelitian (daftar pertanyaan

terstruktur), sehingga diperoleh sebanyak 64 responden. Informan ditentukan dengan metode snowball melalui dua tahapan, yaitu (1) Pemilihan informan kunci

(44)

berziarah, berdagang dan sebagainya, sedangkan para nelayan adalah nelayan yang berada di blok Cipangikisan, Cikabodasan, Cikolomberan, Cipunaga, Cibako, Ciporeang, dan Karang Jambe. Pengumpulan data sosial ekonomi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 3, sedangkan kuisioner wawancara dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 3 Pengumpulan data sosial dan ekonomi masyarakat

No Jenis Data Metode Analisis Data Keluaran

1 Jumlah dan karakteristik

Data pengelolaan kawasan dilakukan dengan studi literatur dan wawancara. Pengambilan contoh pengelola yang diwawancarai dilakukan dengan pendekatan

Purposive Sampling, yaitu teknik yang menggunakan persyaratan yang lebih ketat

(45)

Tabel 4 Pengumpulan data pengelolaan kawasan

No Jenis Data Metode Analisis Data Keluaran

1 Sejarah penunjukkan dan

Status kawasan

-Studi literatur Tabulasi, analisis deskriptif

Permasalahan

dan alasan

pengelolaan

2 Tata batas kawasan -Studi literatur

-Wawancara

9 Sarana dan prasarana -Studi literatur

-Survey lapang

3.2.4 Faktor Penentu Penyebab Kepunahan

(46)

3.3 Analisis Data

Tahapan-tahapan analisis yang dilakukan untuk merumuskan faktor-faktor penyebab proses kepunahan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang sebagai berikut:

1. Uji reliabilitas instrumen penelitian

Instrumen penelitian adalah daftar pertanyaan yang berisi sejumlah pertanyaan yang dijabarkan dari peubah penelitian, sedangkan realibilitas artinya mempunyai sifat dapat dipercaya. Uji realibilitas digunakan untuk mengetahui konsistensi alat ukur, apakah alat ukur yang digunakan dapat diandalakan dan tetap konsisten jika pengukuran tersebut diulang (Sulistyo 2010).

Kuisioner yang dilakukan uji reliabilitas dilakukan pada anggota masyarakat yang mempunyai karakteristik relatif sama dengan objek penelitian, yaitu para nelayan yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dengan pengolahan data menggunakan software SPSS 16.0. Nilai hasil uji realibilitas sebesar 0.75 apabila dibandingkan dengan r tabel berdasarkan uji statistik kuisioner penelitian ini sudah valid dan reliabel digunakan (Lampiran 4). Hal ini berarti kuisioner tersebut dapat digunakan berkali-kali oleh peneliti yang sama atau peneliti lain dengan tetap memberikan hasil yang sama.

2. Analisis hubungan atau korelasi dan pengelompokan antara faktor penyebab kepunahan

Analisis hubungan faktor penyebab kepunahan dilakukan dengan memberikan nilai bobot dan skor 1-4 dimana nilai 4 memiliki arti bahwa faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap penurunan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang. Pemberian bobot dan skor dilakukan oleh para ahli dan praktisi, sehingga diperoleh nilai tertimbang (Lampiran 6 dan Lampiran 7), kemudian dianalisis dengan menggunakan software Statistica 7. Tujuan analisis

(47)
(48)

IV. KONDISI UMUM

4.1 Sejarah Penunujukan dan Administrasi Kawasan 4.1.1 Sejarah Penunjukan

Sejarah penunjukan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan laporan Seksi Konservasi Sumber Daya Alam Garut tahun 1995 terdiri dari beberapa tahapan antara lain:

1. Pengajuan

Pengajuan permohonan dilakukan oleh Kepala Daerah Hutan Garut kepada Bupati Kepala Daerah Tingkat II Garut pada tahun 1954 dengan suratnya nomor 1493/I/6/Gar tanggal 5 Mei 1954. Isi permohonan tersebut adalah agar hutan Leuweung Sancang yang terletak di atas tanah seluas ± 2250 ha ditunjuk sebagai kawasan Suaka Margasatwa.

2. Persetujuan Pemerintahan Daerah Garut

Permohonan Kepala Daerah Hutan Garut agar hutan Leuweung Sancang ditunjuk sebagai kawasan Suaka Margasatwa mendapat persetujuan Wedana Pameungpeuk dengan suratnya nomor 1922/9/5A tanggal 26 Juni 1954 dan persetujuan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Garut dengan suratnya nomor 16948/54 tanggal 2 Juli 1954. Permohonan tersebut diproses melalui urusan Perlindungan dan Pengawetan Alam (PPA) dengan suratnya nomor 3804/EP/Pta Menteri Pertanian Nomor KA.32/1/31 tanggal 19 Juni 1957 dengan meminta persetujuan dari Menteri Agraria.

3. Penunjukkan dan Penetapan Kawasan

Pada tanggal 1 Juli 1959 terbit Surat Keputusan Menteri Pertanian nomor 116/Um/1959 yang menyatakan bahwa tanah seluas ± 2157 ha yang berstatus tanah negara bebas yang terletak yang di wilayah Kawedanan Pameungpeuk Kabupaten Garut ditunjuk sebagai Kawasan Cagar Alam dan Suaka Margasatwa Leuweung Sancang.

4. Perubahan Status Kawasan

(49)

Sancang seluas ± 2157 ha dengan batas-batas sebelah timur dibatasi oleh Sungai Cikaengan, sebelah selatan dibatasi oleh Samudera Hindia, sebelah barat dibatasi oleh Sungai Cisanggiri dan sebelah utara dibatasi oleh perkebunan Mira Mare. 5. Penambahan Luas Kawasan

Penambahan kawasan dilakukan berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 682/Kpts-II/1990 tanggal 17 Nopember 1990 tentang Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 92/Kpts-II/1990 tentang Penunjukkan Perairan Pantai di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang yang Terletak di Kabupaten Daerah Tingkat II Garut, Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Barat Seluas ± 683 ha sebagai cagar alam laut sebesar 1150 ha yang memanjang dari muara Sungai Cimerak sampai muara Sungai Cikaengan (BBKSDA 2007).

4.1.2 Administrasi Kawasan

Administrasi kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang menurut pengelolaannya berada pada Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) II Jawa Barat, sub seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) Garut, sedangkan secara administrasi pemerintahan terletak di Desa Sancang, Sagara, Maroko, Mekarsari, Karyamukti, Simpang dan Karyasari, Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut.

Cagar Alam Leuweung Sancang secara geografis terletak antara 7°40‟44”

-7°44‟47” LS dan 107°48‟17”-107°54‟44” BT dengan batas-batas kawasan sebagai berikut:

sebelah utara : Perkebunan Mira Mare sebelah timur : Sungai Cikaengan sebelah selatan : Samudera Hindia

sebelah barat : Samudera Hindia dan Sungai Cisanggiri

(50)

4.2 Kondisi Iklim

Kondisi iklim kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson termasuk ke dalam tipe iklim B, yaitu tipe basah dengan nilai Q (Quontient) sebesar 24.19 % dimana Q adalah persentase

perbandingan antara rata-rata jumlah bulan kering dengan rata-rata bulan basah, dengan temperatur udara berkisar 26-28°C. Data curah hujan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berdasarkan data yang diperoleh dari PTPN VIII Mira Mare adalah 1500-3500 mm/tahun, sehingga memiliki beberapa sumber air yang mengalir sepanjang tahun, antara lain Sungai Cisanggiri, S. Cimerak, S. Cibaluk, S. Cijeruk, S. Cipanyawungan, S. Cipalawah, S. Cipangikisan, S. Cipunaga, S. Cisakoja, S. Cicukangjambe, S. Cipadaruum, S. Ciporeang, S. Cikaengan dan S. Cipanglemuan.

4.3 Potensi Kawasan 4.3.1 Flora

Flora dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari beberapa tipe vegetasi, yaitu hutan payau, hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan sekunder dan semak belukar. Penggolongan ini berdasarkan pada penyebaran, sifat dan bentuk vegetasi yang tersebar di daerah tersebut.

Pohon yang khas yang berada di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang adalah palahlar (Dipterocarpus gracilis), meranti merah (Anisoptera

cristata) dan meranti putih (Shorea javanica) yang merupakan spesies pohon dari

famili Dipterocarpaceae. Tumbuhan khas lainnya adalah kaboa (Aegiceras

corniculatum), warejit (Excoecoria agalocha) yang merupakan pohon yang

mengandung racun dan berbahaya bagi manusia, rumput-rumputan (Graminae)

dan lain-lain. Terdapat pula tumbuhan langka, yaitu Rafflesia patma yang tumbuh

(51)

4.3.2 Fauna

Fauna yang berada di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang antara lain banteng (Bos javanicus) yang telah dinyatakan telah hilang populasinya, rusa

(Rusa timorensis), merak (Pavo muticus), burung julang (Aceros undulates),

macan tutul (Panthera pardus), owa jawa (Hylobates moloch), kalong (Pterupus

vampirus), elang jawa dan lain sebagainya. Jenis-jenis burung yang berada di

hutan pantai diantaranya kangkareng (Anthracoceros albirostris), cekakak sungai

(Todirhamphus chloris), saerang batu (Dicrurus paradiseus), burung cabe

(Dicaeum trocileum), cipoh (Aegithinia tiphia), pijantung kecil (Arachnothera

longirostra) dan burung madu hitam (Nectarinia sperata).

4.4 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat

Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berada di wilayah Kecamatan Cibalong yang meliputi tujuh desa, yaitu Sancang, Sagara, Maroko, Mekarsari, Karyamukti, Simpang dan Karyasari (Departemen Kehutanan 2004). Desa yang berbatasan langsung dengan Cagar Alam Leuweung Sancang yaitu Desa Karyamukti, Sagara dan Sancang, selain itu berbatasan dengan PTPN VIII Mira Mare. Kawasan PTPN VII Mira Mare merupakan kawasan terluas dan terpanjang garis batasnya dengan Cagar Alam Leuweung Sancang, demikian pula dengan Desa Sancang yang memiliki penduduk terbanyak sebanyak 6511 jiwa (Monografi Desa Sancang 2011).

(52)
(53)
(54)

5.1.1 Populasi dan Penyebaran 5.1.1.1 Populasi

Keberadaan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami keterbatasan, baik dari segi informasi maupun penelitian mengenai kondisi bioekologi banteng maupun ukuran populasinya. Keterbatasan informasi ukuran populasi banteng disebabkan pula oleh kurangnya kegiatan inventarisasi dan pencatatan populasi secara berkala dari pengelola, sehingga pekembangan banteng setiap tahun sulit untuk diperoleh dan berakibat kurang optimalnya dalam proses pelaksanaan pengelolaan dan kelestariannya. Ukuran populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dari beberapa hasil penelitian, informasi dari petugas dan berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar kawasan yang telah berinteraksi dengan keberadan banteng dan kawasan cagar alam terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

Tahun Jumlah Individu (Ekor) Jumlah

(Ekor) Sumber

Jantan Betina Anak

1960 - - - ± 100 Hasil wawancara

1970 - - - ± 100 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat 2002

1972 - - - ± 100 Hasil wawancara

1974 - - - ± 100 Hasil wawancara

1978 - - - ± 100 Hasil wawancara

1980 - - - ± 90 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat 2002

1982 - - - ± 90 Hasil wawancara

1983 - - - ± 90 Hasil wawancara

1984 46 100 27 173 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1984

1988 27 57 11 96 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1988

1992 10 45 9 64 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1992

1996 4 7 1 12 Subroto 1996

2002 - - - 13 Inventarisasi BKSDA Jabar 2002

2003 - - - 0 Permenhut No.58 tahun 2011

(55)

yaitu kurang dari seratus ekor, sehingga peneliti mengasumsikan bahwa minimal populasi banteng tersebut adalah 100 ekor dan 90 ekor, sedangkan pada tahun 1973- 1992 merupakan hasil inventarisasi petugas pada tahun tersebut. Populasi banteng dari tahun 1983 sampai 1984 terlihat ada peningkatan, hal ini diperkirakan karena adanya perbedaan perhitungan antara masyarakat yang menggunakan perkiraan, sedangkan petugas dengan metode inventarisasi satwa secara ilmiah atau berdasarkan imu inventarisasi satwa dengan metode terkonsentrasi (concentration count) di enam padang penggembalaan dengan

beberapa pengamat dan line transek sampling. Ukuran populasi pada tahun 1996

berdasarkan penelitian Subroto (1996) merupakan jumlah populasi berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan di dalam Cagar Alam Leuweung Sancang, sedangkan pada tahun tersebut berdasarkan informasi masyarakat banteng yang ditemukan secara langsung berjumlah 17 ekor, terdiri dari 5 ekor jantan, 10 ekor betina dan 2 ekor anak.

Populasi banteng dari tahun 1984 sampai tahun 2003 terlihat menurun bahkan mencapai angka nol. Mustari (2007) melakukan pengamatan terhadap keberadaan banteng di dalam kawasan pada bulan Juli 1997 tidak menemukan banteng maupun jejak banteng, demikian pula pada bulan Juli 2005 dan Juli 2006 dengan masing-masing pengamatan selama sepuluh hari. Penurunan populasi banteng di dalam kawasan diperkirakan terjadi karena banyaknya banteng yang ke luar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu perkebunan milik masyarakat dan PTPN VIII Mira Mare yang diduga akibat rusaknya padang penggembalaan di dalam kawasan cagar alam sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pakan banteng, sedangkan di perkebunan PTPN VIII Mira Mare dapat menyediakan kebutuhan pakan banteng, termasuk anakan pohon karet (Hevea brasiliensis),

Gambar

Gambar 3.  Lokasi penelitian Cagar Alam Leuweung Sancang
Tabel 2  Pengumpulan data populasi, penyebaran dan habitat
Tabel 3  Pengumpulan data sosial dan ekonomi masyarakat
Tabel 4  Pengumpulan data pengelolaan kawasan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sehubungan telah dilaksanakan evaluasi dokumen prakualifikasi terhadap perusahaan yang saudara pimpin, maka dengan ini kami mengundang saudara Direktur/Kepala

Obat Kencing Nanah Herbal Dari Denature Indonesia Yaitu Berupa Gang Jie Dan Gho Siah Yang Diformulasikan Kusus Dengan Kandungan Herbal Alami Yang

Keil, Mann & Rai (2000) menggunakan teori tersebut untuk menjelaskan fenomena eskalasi dan di- temukan bahwa construct yang dihubungkan dengan teori tertentu

Peristiwa-peristiwa sejarah tersebut menggambarkan bahwa masalah K3 manusia pekerja menjadi perhatian para ahli waktu itu.Sejak revolusi industri di Inggris dimana

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada tanggal 1 Maret 2008, konsentrasi oksigen terlarut secara umum cenderung mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya

Dalam novel, menurut Bakhtin, terdapat lima dasar gaya bahasa atau komposisi: (i) narasi kepenulisan, (ii) bahasa (narasi) harian yang bersifat umum, (iii) sastra tertulis seperti

[r]

Prosedur Pengadaan Barang Habis Pakai Di Engineering Department Hotel Swiss-Belinn Tunjungan; Clara Viona Rosa Anjani; 4105017039; 2020; Prodi D- III Administrasi