• Tidak ada hasil yang ditemukan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "V. HASIL DAN PEMBAHASAN. 5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng 5.1.1 Populasi dan Penyebaran

5.1.1.1 Populasi

Keberadaan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami keterbatasan, baik dari segi informasi maupun penelitian mengenai kondisi bioekologi banteng maupun ukuran populasinya. Keterbatasan informasi ukuran populasi banteng disebabkan pula oleh kurangnya kegiatan inventarisasi dan pencatatan populasi secara berkala dari pengelola, sehingga pekembangan banteng setiap tahun sulit untuk diperoleh dan berakibat kurang optimalnya dalam proses pelaksanaan pengelolaan dan kelestariannya. Ukuran populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dari beberapa hasil penelitian, informasi dari petugas dan berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar kawasan yang telah berinteraksi dengan keberadan banteng dan kawasan cagar alam terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

Tahun Jumlah Individu (Ekor) Jumlah

(Ekor) Sumber

Jantan Betina Anak

1960 - - - ± 100 Hasil wawancara

1970 - - - ± 100 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat 2002

1972 - - - ± 100 Hasil wawancara

1974 - - - ± 100 Hasil wawancara

1978 - - - ± 100 Hasil wawancara

1980 - - - ± 90 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat 2002

1982 - - - ± 90 Hasil wawancara

1983 - - - ± 90 Hasil wawancara

1984 46 100 27 173 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1984 1988 27 57 11 96 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1988 1992 10 45 9 64 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1992

1996 4 7 1 12 Subroto 1996

2002 - - - 13 Inventarisasi BKSDA Jabar 2002

2003 - - - 0 Permenhut No.58 tahun 2011

Kondisi populasi pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perkembangan ukuran populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Data populasi banteng dari tahun 1960-1983 merupakan informasi dari masyarakat dan media masa yang menyatakan bahwa populasi banteng pada saat itu berjumlah ratusan ekor dan mengalami penurunan,

(2)

yaitu kurang dari seratus ekor, sehingga peneliti mengasumsikan bahwa minimal populasi banteng tersebut adalah 100 ekor dan 90 ekor, sedangkan pada tahun 1973- 1992 merupakan hasil inventarisasi petugas pada tahun tersebut. Populasi banteng dari tahun 1983 sampai 1984 terlihat ada peningkatan, hal ini diperkirakan karena adanya perbedaan perhitungan antara masyarakat yang menggunakan perkiraan, sedangkan petugas dengan metode inventarisasi satwa secara ilmiah atau berdasarkan imu inventarisasi satwa dengan metode terkonsentrasi (concentration count) di enam padang penggembalaan dengan beberapa pengamat dan line transek sampling. Ukuran populasi pada tahun 1996 berdasarkan penelitian Subroto (1996) merupakan jumlah populasi berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan di dalam Cagar Alam Leuweung Sancang, sedangkan pada tahun tersebut berdasarkan informasi masyarakat banteng yang ditemukan secara langsung berjumlah 17 ekor, terdiri dari 5 ekor jantan, 10 ekor betina dan 2 ekor anak.

Populasi banteng dari tahun 1984 sampai tahun 2003 terlihat menurun bahkan mencapai angka nol. Mustari (2007) melakukan pengamatan terhadap keberadaan banteng di dalam kawasan pada bulan Juli 1997 tidak menemukan banteng maupun jejak banteng, demikian pula pada bulan Juli 2005 dan Juli 2006 dengan masing-masing pengamatan selama sepuluh hari. Penurunan populasi banteng di dalam kawasan diperkirakan terjadi karena banyaknya banteng yang ke luar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu perkebunan milik masyarakat dan PTPN VIII Mira Mare yang diduga akibat rusaknya padang penggembalaan di dalam kawasan cagar alam sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pakan banteng, sedangkan di perkebunan PTPN VIII Mira Mare dapat menyediakan kebutuhan pakan banteng, termasuk anakan pohon karet (Hevea brasiliensis), pohon kelapa dan rumput yang tumbuh di dalamnya sehingga banteng bebas beraktivitas dan melakukan perilaku sosialnya sampai berkembangbiak. Kondisi tersebut menyebabkan pihak perkebunan dan masyarakat merasa terganggu, sehingga dilakukan beberapa kegiatan, seperti penjeratan, pembuatan parit bahkan perburuan untuk mengurangi keberadaan populasi banteng tersebut yang akhirnya mencapai populasi nol pada tahun 2003.

(3)

Alikodra (1983) menyatakan bahwa fluktuasi populasi banteng dapat disebabkan oleh beberapa parameter populasi seperti angka kelahiran, angka kematian, kepadatan populasi, struktur umur dan struktur kelamin. Hal lainnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, seperti aktivitas manusia dan daya dukung kawasan. Populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang jika dilihat dari angka kelahirannya pada tahun 1984-1988, 1988-1992 terus mengalami penurunan dengan masing-masing proporsi jenis kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 2, hanya pada tahun 1992-1995 mencapai 1 : 5, sedangkan laju pertumbuhan tiap tahunnya berturur-turut adalah -19, -8, dan -13 ekor/tahun.

Kondisi populasi banteng tersebut berarti menuju kepunahan yang diduga akibat angka kematian tinggi atau laju pertumbuhan banteng terganggu yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) perburuan sebagaimana yang akan dibahas pada bab sosial ekonomi masyarakat, (2) menurunnya kualitas dan kuantitas rumput di padang penggembalaan karena tidak terpelihara dan telah berubah fungsinya menjadi ladang garapan serta penggembalaan ternak masyarakat, (3) aktivitas manusia yang mempengaruhi keadaan kualitas dan kuantitas makanan, air, pelindung dan ruang, seperti pemukiman di dalam kawasan, pencurian kayu dan dan aktivitas masyarakat di dalam kawasan lainnya, dan (4) kematian karena umur yang sudah tua. Penyebab lainnya diduga kurangnya informasi mengenai struktur umur dan kepadatan banteng sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya pengelolaan terhadap populasi dan habitatnya yang berakibat keberadaan banteng terancam dan memungkinkan terjadinya kepunahan dengan cepat.

5.1.1.2 Penyebaran

Penyebaran banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang dari hasil informasi wawancara dengan masyarakat tersebar di dalam dan di luar kawasan. Banteng di dalam kawasan tersebar di padang penggembalaan, sedangkan di luar kawasan tersebar di kebun dan halaman rumah masyarakat serta perkebunan karet milik PTPN VIII Mira Mare. Mardi (1995) dan Subroto (1996) menyatakan bahwa penyebaran banteng selain di enam padang penggembalaan yang telah dibuat, masih ditemukan juga di blok Meranti, blok 23, blok 20, blok Cibunigeulis,

(4)

Bantarlimus, blok Ciniti dan blok Bekanta yang merupakan batas dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan PTPN Mira Mare yang saat ini masuk ke dalam kawasan PTPN Mira Mare. Padang penggembalaan yang menjadi penyebaran banteng terdapat di enam lokasi padang penggembalaan, antara lain Blok Cipalawah, Cijeruk, Cibako, Ciporeang, Cipadaruum dan Cidahon (SBKSDA II 1993a).

5.1.2 Habitat

Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa liar (Alikodra 2002). Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan kawasan yang memiliki 4 tipe hutan, yaitu hutan mangrove, pantai, dataran rendah dan padang penggembalaan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa kelangsungan hidup banteng ditentukan oleh keberadaan hutan, padang penggembalaan dan air. Komponen habitat banteng tersebut dapat menyediakan berbagai kebutuhan banteng, seperti pakan, air dan pelindung atau yang biasa dikenal dengan cover.

1. Pakan

Jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang masih ada sampai saat ini berdasarkan pengamatan dan informasi dari beberapa hasil penelitian, baik di Cagar Alam Leuweung Sancang (hasil penelitian Durahman 1998) maupun di habitat banteng lainnya yang secara ekologi hampir memiliki kesamaan dengan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon serta informasi dari petugas cagar alam terdiri dari beberapa jenis tumbuhan yang biasa dimakan oleh banteng, yaitu terdapat pada Tabel 6.

Jenis pakan banteng berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa dari tahun 1998 sampai saat ini masih tumbuh bahkan terdapat jenis lainnya, yaitu kirinyuh (Eupatorium inulifolium), kuciat (Ficus grossularioides), harendong (Melastoma malabatricum) dan kapol (Amonum cordomonum). Hal ini membuktikan bahwa jenis pakan banteng masih beragam dan dapat memenuhi kebutuhan pakan banteng.

(5)

Tabel 6 Jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

Jenis Sumber Jenis yang

Ditemukan Tumbuhan Bawah

Alang-alang (Imperata cylindrical) Durahman (1998) √

Tepus (Ammomum coccineum) Durahman (1998) √

Langkap (Arenga obtusifolia) Durahman (1998) √

Rumput pait (Axonopus compressus) Durahman (1998) - Donax caniformis

Kirinyuh (Eupatorium inulifolium) Kuciat (Ficus grossularioides)

Durahman (1998) Informasi petugas lapang Informasi petugas lapang

- √ √ Harendong (Melastoma malabatricum) Alikodra (1983); Muntasib et

al. (2000); BTNUK & WWF (2010)

Pancang

Kapol (Amonum cordomonum) Alikodra (1983); Muntasib et al. (2000)

Kanyere badak (Bridelia glauca) Durahman (1998); BTNUK

& WWF (2010)

√ Keterangan : √ (Ada); - (Tidak ada)

Alikodra (1983) menyatakan bahwa jenis pakan yang sering dimakan oleh banteng di Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari jampang kawat (Ischaemum muticum), rumput blabahan (Panicum rapens), rumput pait (Axonopus compressus), rumput alang-alang (Imperata cylindrica), padi (Oryza sativa) dan teki (Cyperus bravifolia), sedangkan jenis bukan rumput, yaitu susuukan (Alysicarpus numumlarifolia). Jika dibandingkan dengan jenis pakan di Cagar Alam Leuweung Sancang, maka jenis pakan di kedua kawasan tersebut hanya memiliki dua jenis yang sama, yaitu rumput alang-alang (Imperata cylindrica) dan rumput pait (Axonopus compressus), sedangkan yang lainnya merupakan jenis-jenis pakan yang berbeda.

Alikodra (1983) menambahkan bahwa perbedaan komposisi jenis pakan banteng juga terjadi di Taman Nasional Baluran dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, demikian Santosa et al. (2007) menambahkan bahwa komposisi jenis di Taman Nasional juga berbeda dengan di kawasan lainnya, sehingga hal ini menggambarkan bahwa banteng merupakan satwa yang memiliki adaptasi tinggi terhadap makanannya. Perbedaan ini juga diperkirakan karena adanya perbedaan lokasi yang dapat mempengaruhi terhadap pertumbuhan jenis pakan yang akan dimakan banteng.

(6)

Tingkatan vegetasi jenis pakan yang ditemukan pada saat penelitian terdiri dari tingkat tumbuhan bawah dan pancang (lihat Tabel 6), sedangkan Durahman (1998) menyatakan bahwa jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari beberapa tingkatan vegetasi, yaitu tumbuhan bawah (23 jenis), pancang (19 jenis), tiang (14 jenis) dan pohon (18 jenis). Hal ini terlihat bahwa tingkatan vegetasi pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang, baik dari jenis yang ditemukan pada saaat penelitian maupun dari penelitaian Durahman (1998) masih didominasi oleh tumbuhan bawah, sehingga membuktikan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang bersifat grazer.

Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Hoogerwerf (1970), Alikodra (1983) bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon bersifat grazer, demikian Pudyatmoko (2005) dan Santosa et al. (2007) bahwa banteng di Taman Nasional Alas Purwo. Akan tetapi hal ini berbeda dengan Pairah (2007) yang menyatakan bahwa diperkirakan memiliki kecenderungan sebagai browser yang terlihat dari jumlah komposisi pakannya di Taman Nasional Alas Purwo yang cenderung lebih banyak non rumput hingga mencapai 55 jenis dari 22 jenis rumput. Pendapat banteng bersifat browser dikuatkan pula oleh Muntasib et al. (2000) juga bahwa di Taman Nasional Ujung Kulon jenis non rumput hampir mencapai 48.2 %, dengan demikian hal tersebut tergantung dengan kondisi ekologi keberadaan banteng untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Sumber pakan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berasal dari padang penggembalaan yang telah ada sejak tahun 1960 dan pada tahun 1983 mulai dilakukan penanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan pemeliharaan yang intensif sampai tahun 1987. Pemeliharaan intensif hanya dilakukan di blok Cipalawah dan Cibako karena kedua blok tersebut merupakan lokasi yang berbatasan langsung dengan PTPN VIII Mira Mare, sehingga pemeliharaan bertujuan untuk menyediakan kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan cagar alam dan mencegah banteng tidak masuk ke areal perkebunan PTPN VIII Mira Mare.

Kegiatan yang dilakukan untuk mengawasi atau memonitoring keberadaan populasi banteng tersebut, pengelola cagar alam yang bekerjasama dengan PTPN VIII Mira Mare membuat menara pengamatan banteng di dua blok padang

(7)

penggembalaan tersebut. Menara pengamatan tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat sekitar kawasan dan tamu yang PTPN VIII Mira Mare yang sengaja ingin melihat secara langsung populasi banteng di dalam cagar alam.

Sumber pakan lainnya diperoleh dari luar kawasan cagar alam, yaitu di dalam kawasan PTPN VIII Mira Mare dan kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan cagar alam yaitu anakan pohon atau semai karet, pucuk kelapa, kulit karet muda dan tanaman masyarakat, seperti pisang dan singkong. Hal ini sama halnya dalam penelitian Alikodra (1983) bahwa pada daerah yang berbatasan dengan pemukiman penduduk di Taman Nasional Ujung Kulon, banteng menyukai tanaman padi dengan memakan daun dan buahnya, sehingga banteng tersebut dianggap sebagai hama oleh masyarakat setempat. Santosa et al. (2007) mendapatkan bahwa banteng di Taman Nasional Alas Purwo mencari makan sampai luar kawasan, yaitu hutan tanaman milik Perhutani yang berbatasan dengan dengan kawasan tersebut. Oleh karena itu untuk mencegah keluarnya banteng keluar kawasan diperlukan pemeliharaan habitat terutama padang penggembalaan yang dapat menyediakan kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan.

Kurangnya pemeliharaan padang penggembalaan akan berakibat rusaknya padang penggembalaan sehingga tidak mampu menyediakan kebutuhan pakan banteng dan mendukung aktivitas lainnya yang biasa dilakukan di padang penggembalaan tersebut. Rusaknya kondisi padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang selain disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan juga diakibatkan karena debu letusan Gunung Galunggung pada tahun 1983 dan adanya tekanan gangguan masyarakat, seperti penebangan liar, perambahan hutan dan penggembalaan ternak sapi masyarakat di dalam kawasan, sehingga pertumbuhan tumbuhan/rumput terganggu dan mengalami suksesi dari tumbuhan bawah menjadi semak belukar bahkan tumbuh menjadi pohon. Jenis pohon yang tumbuh baik sampai saat ini dan yang baru tumbuh akibat tidak terpeliharanya padang penggembalaan, antara lain gebang (Corypha utan), mara (Macaranga tanarius), lame (Alstonia scholaris), pangsor (Ficus callosa), teureup (Artocarpus elastic). Suksesi tersebut diperkirakan terjadi selama tujuh tahun jika dihitung dari tahun 2003-2011.

(8)

Penebangan kayu ilegal dan perambahan hutan yang terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang terjadi pada tahun 1998-2002 baru dapat dihentikan pada tahun 2003 dan langsung mulai dilakukan kegiatan rehabilitasi, yaitu penanaman kembali jenis-jenis yang ada di kawasan bekas penebangan/perambahan, seperti kipahang (Pongamia pinnata), teureup (Artocarpus elastica), kenanga (Canangium odoratum), bayur (Pterospermum javanicum), hantap (Sterculia oblongata) dan salam (Syzygium polyanthum). Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang dari hasil beberapa penelitian dapat dilihat Tabel 7.

Jumlah padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang tersebar di enam lokasi dengan luas keseluruhan 130 ha, yaitu Blok Cipalawah 30 ha, Cijeruk 10 ha, Cibako 20 ha, Ciporeang 20 ha, Cipadaruum 20 ha dan Cidahon 30 ha (SBKSDA Jabar II 1993a; Subroto 1996; Kusnandar 1997). Alikodra (1983) menyatakan bahwa padang penggembalaan merupakan habitat yang digunakan oleh banteng setiap harinya secara tetap untuk berkumpul, makan, istirahat, mengasuh dan membesarkan anak, kawin dan interaksi sosial lainnya dari jam 11.00-18.00 WIB, sedangkan jam 18.00 WIB kembali ke hutan untuk bersembunyi dan jam 21.00-24.00 WIB mengunjungi tempat minum yang berdekatan dengan tempat bersembunyi.

Penggunaan padang penggembalaan ini berbeda dengan Priyatmono (1996) yang menyatakan bahwa banteng yang berada di Taman Nasional Alas Purwo secara umum berada di padang penggembalaan pada pukul 06.00-07.00 WIB untuk merumput di samping terdapat juga kelompok banteng lain dari banteng yang masuk ke padang penggembalaan pada pukul 10.00-11.00 WIB, sedangkan Santosa et al. (2007) banteng sudah ditemukan di padang penggembalaan pada pukul 05.00 WIB dan terlihat masih istirahat di bawah pohon yang terdapat di padang penggembalaan tersebut, bahkan terdapat kelompok banteng yang tidur semalam di padang penggembalaan dan mulai melakukan seluruh aktivitasnya pada pukul 06.30 WIB dan keluar dari padang penggembalaan menuju hutan dataran rendah pada pukul 09.00 WIB.

(9)

Tabel 7 Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang Padang Penggembalaan Kondisi (Tahun) 1982 (Jenuyanti 2002) 1993 (Jenuyanti 2002) 1996 (Subroto 1996) 2011 Cijeruk - 7 m dpl - rumput yang sengaja ditanam - menara dalam keadaan baik - pemeliharaan secara berkala - 7 m dpl; - masih ada tanaman rumput gajah - Sebagian semak belukar - menara rusak berat; - 7 m dpl; - masih ada tanaman rumput gajah - Sebagian semak belukar 1 – 1.5 m; - menara rusak berat; - 7 m dpl; - semak belukar dan pohon dengan tinggi 4 – 5 m - terdapat penggembal aan ternak masyarakat Cipalawah - 10 m dpl; - posisi di tengah-tengah hutan primer; - sumber air cukup; - pemeliharaan secara berkala - 10 m dpl; - posisi di tengah-tengah hutan primer; - sumber air cukup; - sebagian ditumbuhi semak belukar - 10 m dpl; - posisi di tengah-tengah hutan primer; - sumber air cukup; - semak belukar 1.5 – 2 m - 10 m dpl; - ditumbuhi oleh semak belukar dan pepohonan dengan tinggi rata-rata > 4 m Cibako - 58 m dpl; - Padang rumput; - pinggir hutan sekunder muda - 58 m dpl; - semak belukar; - pinggir hutan sekunder muda - 58 m dpl; - mayoritas semak belukar; - pinggir hutan sekunder muda - 58 m dpl; - semak belukar dan pepohonan dengan tinggi rata-rata > 5 m Ciporeang - 42 m dpl; - Padang rumput - 42 m dpl; - sebagian ditumbuhi semak belukar - 42 m dpl; - semak belukar 1.5 – 2 m - 42 m dpl; - Semak dan pohon dengan tinggi > 4 m Cipadaruum - 44 m dpl; - Padang rumput - sumber air cukup; - 44 m dpl; - mayoritas ditumbuhi semak belukar - sumber air cukup; - 44 m dpl; - hutan sekunder; - sumber air cukup; - 44 m dpl; - semak belukar dan pepohonan dengan tinggi rata-rata > 4 m Cidaon - 75 m dpl; - Padang rumput - sumber air di tengah kawasan - 75 m dpl; - Semak belukar - 75 m dpl; - hutan sekunder - 75 m dpl; - semak belukar dan pepohonan rata-rata > 5 m

Perbedaan mengenai keberadaan padang penggembalaan yang digunakan oleh banteng berbeda pula dengan Lekagul & McNeely (1977) yang menjelaskan bahwa banteng mengalami perubahan dari merumput di daerah terbuka pada pagi

(10)

hingga sore hari menjadi merumput pada malam hari karena adanya gangguan. Sementara itu Halder (1976) berpendapat bahwa ada juga banteng yang tidak pernah berada di areal penggembalaan, karena ditemukan jejak banteng di hampir seluruh wilayah semenanjung Ujung Kulon kecuali di daerah rawa dan daerah bergunung yang curam, Hommel (1987) melaporkan sering melihat kawanan banteng di semak dan komunitas tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) yang lebat.

Perbedaan penggunaan padang penggembalaan dapat disebabkan adanya perbedaan habitat yang menyebabkan perbedaan pola aktivitas banteng dalam penggunaan habitat. Santosa et. al. (2007) berdasarkan penelitiannya di Taman Nasional Alas Purwo, menjelaskan bahwa aktivitas banteng pada setiap tipe vegetasi relatif berbeda, yaitu aktivitas istirahat lebih banyak di lakukan di dataran rendah, mengasin di hutan pantai, dan aktivitas makan yang paling dominan dilakukan di hutan tanaman dan padang penggembalaan. Kontroversi tersebut dapat disebabkan pula oleh kegagalan dalam membedakan habitat yang disukai (prefered habitat) dan habitat yang dimanfaatkan (used habitat).

2. Ketersediaan Air

Kebutuhan banteng terhadap air tawar dipenuhi dari sumber-sumber air alami, yaitu dari sungai-sungai yang berada di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang khususnya yang dekat dengan padang penggembalaan. Beberapa sungai dari arah barat sampai ke timur, antara lain: Sungai Cisanggiri, S. Cimerak, S. Cibaluk, S. Cikiray, S. Cijeruk, S. Cipangikis, S. Cikolomberan, S. Cipalawah, S. Cipanyawungan, S. Cipunaga, S. Cisakoja, S. Cibako, S. Cicukangjambe, S. Ciporeang, S. Cipangikisan, S. Cipadaruum dan S. Cikaengan. Sungai-sungai yang sering digunakan oleh banteng berdasarkan informasi dari petugas adalah Sungai Cijeruk, Sungai Cipangikis, Sungai Cikolomberan, Sungai Cibako dan Sungai Cipadaruum. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian (Subroto 1996) bahwa beberapa sungai yang sering digunakan oleh banteng dan berdekatan dengan padang penggembalaan, yaitu Sungai Cipadaruum, anak Sungai Cipangikisan dan Sungai Cikolomberan.

(11)

Kondisi air sungai maupun sumber air lainnya termasuk genangan air yang dijadikan sumber air yang digunakan banteng sampai saat ini masih terbilang jernih dan selalu ada di setiap musim, hanya saja air sungai tersebut akan sedikit berwarna kecoklatan pada saat terjadi hujan yang diperkirakan akibat adanya pengikisan tanah yang terbawa oleh air. Hal ini berbeda dengan kondisi genangan air yang berada di tengah padang penggembalaan Cijeruk walaupun terjadi hujan, akan tetapi kondisi airnya masih terlihat jernih.

Mardi (1995) dan Durahman (1998) menyatakan bahwa sumber air lainnya berasal dari bak (tempat) penampungan air minum dengan lebar 90 cm, panjang 180 cm dan kedalaman 60 cm. Bak penampungan air tersebut pada saat penelitian sudah tidak ditemukan lagi dan berdasarkan informasi dari petugas cagar alam bak tersebut sudah tidak berfungsi sejak tahun 1998.

Alikodra (1983) mengemukakan bahwa kebutuhan air yang diperlukan oleh banteng tidak hanya air tawar, tetapi diperlukan pula air laut untuk memenuhi kebutuhan garam/mineralnya atau yang biasa disebut dengan istilah pengasinan diperoleh dari pantai yang berada di sekitar habitatnya. Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan suatu kawasan yang terdiri dari daratan dan lautan, sehingga kebutuhan banteng terhadap garam/mineral dapat dipenuhi langsung dari pantai yang berada di sekitarnya. Selain itu, keberadaan sungai-sungai sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan air tawarnya merupakan bagian hulu yang mengalirkan air ke laut. Kondisi ini menggambarkan kemudahan akses banteng terhadap kebutuhan air.

Kebutuhan banteng terhadap garam diperkirakan bahwa tumbuhan di hutan hujan tropika termasuk hutan Cagar Alam Leuweung Sancang, pada umumnya memiliki kandungan sodium (Na) yang rendah menyebabkan hewan-hewan herbivora memerlukan tambahan mineral yang biasanya diperoleh dari tempat pengasinan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon memnuhi kebutuhan mineralnya dari pantai, sedangkan banteng di Taman Nasional Baluran diketahui minum air payau di kubangan air sepanjang pantai yang dilakukan pada malam hari setelah jenis-jenis lain seperti babi hutan, rusa dan kerbau air selesai minum dan berkubang.

(12)

Peranan air ini sangat penting dalam tubuh agar dapat memperlancar reaksi kimia dan merupakan medium ionisasi dan hidrolisa zat makanan yang sangat baik. Asam-asam amino yang terdapat dalam air akan mengalami ionisasi sehingga zat makanan akan lebih reaktif. Selain itu, Alikodra (1983) menyatakan bahwa air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air berkurang akan mempengaruhi kelangsungan kehidupan satwa liar tersebut, dengan demikian kebutuhan banteng akan garam pun sangat penting untuk pertumbuhannya.

3. Pelindung/ Cover

Alikodra (2002) menyatakan bahwa pelindung atau cover adalah struktur lingkungan yang dapat melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai kegiatan satwa liar lainnya, oleh karena itu dapat diartikan sebagai areal atau tegakan yang dapat berfungsi sebagai pelindung atau tempat bersembunyi dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Alikodra dan Sastradipradja (1983) menyatakan bahwa hutan di Taman Nasional Ujung Kulon seluas 330.2 ha merupakan areal yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Hal ini berbeda dengan Santosa et al. (2007) bahwa banteng menggunakan hutan dataran rendah di Taman Nasional Alas Purwo sebagai tempat beristirahat dan mencari makanan tambahan. Perbedaan penggunaan hutan ini diperkirakan adanya adaptasi banteng dengan kondisi lingkungan sekitarnya.

Tipe vegetasi hutan di Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari hutan mangrove, hutan pantai, hutan dataran rendah dan padang penggembalaan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa tempat yang ideal bagi banteng merupakan suatu kesatuan (ekosistem) yang terdiri dari hutan, padang penggembalaan dan sumber-sumber air (Gambar 4).

(13)

Gambar 4. Kondisi pelindung ideal banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang (Modifikasi dari Alikodra 1983, 2010)

Kesatuan ekosistem banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang terdiri dari sumber air laut, padang penggembalaan, sumber air tawar dan hutan telah mengalami perubahan yang disebabkan oleh berubahnya tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang, terutama padang penggembalaan yang biasa digunakan oleh banteng menjadi tempat penggembalaan ternak masyarakat (Gambar 5a) dan menjadi semak belukar bahkan sebagian menjadi hutan sekunder (Gambar 5b).

(a) (b)

Gambar 5. Kondisi padang penggembalaan banteng saat ini (a) padang penggembalaan sebagai padang penggembalaan ternak kerbau (b) padang penggembalaan menjadi semak belukar

Perubahan padang penggembalaan tersebut dapat mempengaruhi tempat berlindung banteng terutama untuk mencari pakan dan kegiatan sosialnya yang biasa dilakukan di padang penggembalaan. Alikodra (2002) menyatakan bahwa peranan pelindung terdiri dari tempat persembunyian (hiding cover) dan tempat

(14)

penyesuaian terhadap perubahan temperatur (thermal cover). Hiding cover merupakan salah satu bentuk pelindung yang memiliki peranan bagi banteng bebas dari ancaman. Kerapatan hiding cover di Cagar Alam Leuweung Sancang yang digunakan oleh banteng sebagian besar di atas 40% (Durahman 1998), hal ini menunjukkan tingkat keamanan bagi banteng cukup baik. Hoogerwerf (1970) menyatakan bahwa tinggi hiding cover ini apabila dibandingkan dengan tinggi bahu banteng yang mencapai tinggi 170 cm sudah dapat menghilangkan intaian predator dari jarak jauh. Selain itu dalam kondisi demikian banteng dapat dengan mudah mengenali pemangsanya dan melakukan persembunyian.

Durahman (1998) menyatakan kerapatan tertinggi di Cagar Alam Leuweung Sacang adalah padang penggembalaan Cipalawah, yaitu mencapai 160 cm dan nilai persentase kerapatannya berkisar antara 47 – 100%. Hal ini menunjukkan bahwa Cagar Alam Leuweung Sacang memiliki hiding cover yang cukup baik. Basuni (1993) dan Alikodra (2002) menyatakan bahwa Thermal cover merupakan komponen yang sangat diperlukan oleh satwa untuk mencegah terbuangnya energi yang didapatkan atau penyesuaian terhadap perubahan temperatur. Hal ini menyebabkan banteng memerlukan struktur pohon yang memiliki kerapatan yang cukup untuk istirahat ataupun aktivitas lainnya. Hasil pengamatan terhadap thermal cover berdasarkan persen kerapatan penutupan vegetasi diperoleh bahwa padang penggembalaan Cijeruk mempunyai nilai kerapatan penutupan vegetasi 25%, Cipalawah 60% dan Cibako 54% (Durahman 1998). Kondisi hiding dan thermal cover ini didukung dengan pendapat masyarakat bahwa terdapat 3 ekor banteng jantan yang diperkirakan masih berada di Blok Cipalawah yang memiliki cover paling baik diantara padang penggembalaan lainnya.

4. Tutupan Lahan

Lillesand (1994) menyatakan bahwa tutupan lahan merupakan perwujudan fisik obyek-obyek yang menutupi lahan atau gambaran mengenai kondisi penutupan lahan berdasarkan persentasi tutupan tajuk pohon. Kondisi tutupan lahan yang dianalisis adalah kondisi tutupan lahan pada tahun 1996 dan 2003 berdasarkan citra landsat. Hal ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh aktivitas perambahan yang terjadi pada tahun 1998-2002 terhadap kondisi habitat dan

(15)

keberadaan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang. Tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 1996 terdiri dari hutan lahan kering primer, perkebunan dan pertanian, sedangkan pada tahun 2003 memiliki jenis tutupan lahan cukup beragam (Tabel 8).

Tabel 8 Luas tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang

Jenis Tutupan Lahan Luas (ha)

1996 2003

Hutan rawa sekunder - 77.29292

Hutan lahan kering primer 918.6987 -

Hutan lahan kering sekunder - 455.527

Areal rehabilitasi (HTI) - 851.7111

Semak belukar - 12.26363

Perkebunan 723.7157 11.171

Pertanian

Pertanian lahan kering

Pertanian lahan kering bercampur semak

514.5856 - 166.1317 467.8711 Tanah terbuka - 37.72583 Pemukiman Tubuh Air - 77.3056 Total 2157 2157

Perbedaan jenis tutupan lahan ini diperkirakan karena pada tahun 2003 telah dilakukan kegiatan rehabilitasi habitat dan adanya operasi wanalaga petugas cagar alam yang telah berhasil memberhentikan kegiatan perambahan yang berlangsung secara besar-besaran pada tahun 1998-2002 sehingga mengalami kerusakan sampai 1725.6 ha atau 80% dari total daratan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kegiatan rehabilitasi yang dilakukan oleh petugas adalah menanami kembali areal yang mengalami kerusakan dengan biji dan anakan pohon yang berada di dalam kawasan, seperti ketapang (Terminalia catappa), teureup (Artocarpus elastica), kenanga (Canangium odoratum), bayur (Pterospermum javanicum), hantap (Sterculia oblongata), salam (Syzygium polyanthum), kipahang (Pongamia pinnata), heras (Aleurites moluccana), nyamplung (Calophyllum inophyllum), putat (Barringtonia acutangula) yang memiliki jarak tanam hampir seragam, sehingga diinterpretasikan oleh citra landsat sebagai Hutan Tanaman Industri (HTI).

Luas tutupan lahan pada Tabel 6 terlihat bahwa luas perkebunan pada tahun 1996 adalah 723.7157, sedangkan pada tahun 2003 mengalami pengurangan luas berturut-turut menjadi 11.171 ha. Perkebunan tersebut terdiri dari perkebunan milik masyarakat dan perkebunan milik PTPN VIII Mira Mare yang didominasi

(16)

oleh pohon karet dan kelapa. Perkebunan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada tahun 1996 berada di blok pemusnahan amunisi, blok Cibaluk dan Cijeruk yang merupakan perkebunan masyarakat yang dilakukan dengan cara merambah, sedangkan di Blok Cipalawah dan Cipunaga adalah perkebunan karet dan kelapa milik PTPN VIII Mira Mare yang tata batas kawasannya masih tumpang tindih dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang (Gambar 6).

Gambar 7. Tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 1996

Gambar 6. Peta tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 1996

Batas perkebunan PTPN VIII Mira Mare pada tutupan lahan tahun 2003 terlihat berada di luar batas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, sedangkan tutupan lahan perkebunannya telah berubah menjadi areal pertanian lahan kering bercampur semak dan areal rehabilitasi yang dilakukan oleh petugas cagar alam pada tutupan lahan tahun 2003 (Gambar 7).

(17)

Gambar 7. Tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang tahun 2003

Luas tutupan lahan yang sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup banteng terutama pakan adalah padang penggembalaan. Luas total awal 6 lokasi padang penggembalaan adalah 130 ha, akan tetapi pada tahun 1982-1983 mengalami pengurangan menjadi 24.84 ha, sehingga pada tahun 1984 dilakukan kegiatan pembukaan dan pemeliharaan kembali 6 padang penggembalaan tersebut untuk mengurangi pergerakan banteng ke luar kawasan karena adanya peningkatan populasi banteng yang mencapai 173 ekor pada tahun 1984, sehingga luas padang penggembalan menjadi 130 ha.

Kondisi luasan padang penggembalaan tersebut tidak bertahan lama karena pada tahun 1988-1992 hanya dilakukan pemeliharan pada dua padang penggembalaan, yaitu blok Cijeruk (10 ha) dan Cipalawah (30 ha), sehingga luas total padang penggembalaan menjadi 40 ha (Subroto 1996). Luas total padang penggembalaan tersebut pada tahun 1993 mengalami penambahan menjadi 42 ha (Jenuyanti 2002). Luas padang penggembalaan berdasarkan tutupan lahan tahun 1996 telah berubah menjadi areal pertanian (blok Cijeruk), perkebunan (blok Cipalawah dan Cipunaga), dan hutan lahan kering primer (blok Ciporeang dan

(18)

Cidahon), sedangkan pada tahun 2003 blok Cijeruk, Cipalawah, Cipunaga dan Cidahon merupakan kawasan rehabilitasi bekas perambahan melalui operasi wanalaga, sedangkan sebagian pada blok Ciporeang telah menjadi pemukiman atau gubuk-gubuk tempat tinggal nelayan.

Perubahan tutupan lahan di Cagar Alam Leuweung Sancang terlihat diakibatkan karena adanya peralihan fungsi menjadi areal pertanian, perkebunan, pemukiman, maupun pembukaan lahan oleh masyarakat dan belum jelasnya tata batas antara kawasan cagar alam dengan pihak perkebunan PTPN VIII Mira Mare yang telah ada sejak tahun 1915 dengan luas 4057.08 ha. Adanya perubahan tutupan lahan ini diperkirakan dapat menjadi salah satu faktor atau gangguan terhadap penurunan populasi banteng.

5. Bentuk dan Luas Kawasan

Faktor lain yang dapat mempengaruhi keberadaan banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang selain tutupan lahan adalah bentuk kawasan dan luas kawasan. Bentuk kawasan yang hampir membentuk persegi panjang memiliki tingkat kecepatan kepunahan spesies lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk lain, yaitu persegi dan bulat karena bentuk yang kompak dan teratur, misalnya lingkaran atau persegi empat, mempunyai garis keliling lebih kecil dari bentuk yang memanjang dan teratur mempunyai kementakan mengandung keanekaragaman jenis yang lebih besar (MacKinnon et al. 1990; MacArrthur et al. 1963; Soemarwoto 2004 dan Indrawan et al. 2007).

Kawasan Cagar Alam leuweung Sancang yang hanya memiliki luas sebesar 2 157 ha dapat mempengaruhi keberadaan dan pergerakan harian banteng di dalam kawasan tersebut karena banteng yang memiliki wilayah jelajah yang cukup luas. Alikodra (1983) dan Long (2003) menyatakan bahwa wilayah jelajah banteng, baik dalam keadaan berkelompok maupun soliter dapat mencapai > 1-2 km, bahkan banteng tua yang soliter dapat mencapai 2-3.5 km. Dengan demikian, kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang jika dilihat dari wilayah jelajahnya yang diasumsikan sebagai jari-jari dalam sebuah lingkaran, sehingga digunakan rumus Πr² hanya dapat menampung kurang lebih 2-7 kelompok banteng ( dan

(19)

; 2157 ha = 21.57 km²), sedangkan untuk kelompok banteng tua hanya

dapat menampung kurang lebih 1 ekor ( ).

Satu kelompok banteng biasanya terdiri dari individu-individu jantan, betina dan anak-anaknya (Alikodra 1983) maka jika diasumsikan 1 kelompok terdiri dari jantan, betina dan anak, luas kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang hanya mampu menampung 6-24 ekor, terlebih jika dihitung dari luasan total kawasan padang penggembalaan (130 ha), maka daya tampung jelajah banteng kurang lebih hanya 1 kelompok banteng. Oleh karena itu, luasan seharusnya agar keberadaan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang ketika populasinya masih ada diperlukan perluasan kawasan secara keseluruhan maupun padang penggembalaan untuk menampung populasi banteng yang tertinggi (lihat Tabel 5), yaitu 173 ekor, maka penambahan luasnya sebesar 20.68 km² atau 2 086 ha ( ) x 173 ekor)- 21.57 km²).

MacArrthur et al. (1963) dan Soemarwoto (1997) menyatakan bahwa luas dan bentuk kawasan sangat mempengaruhi terhadap keberadaan spesies di dalamnya termasuk banteng karena jika terdapat tekanan/gangguan dari luar kawasan, termasuk aktivitas manusia berdasarkan teori tepi dan teori pulau maka akan membuat efek terhadap populasi dan ekologi spesies di dalamnya dan mendorong banteng tersebut ke luar dari dalam kawasan untuk mencari tempat yang lebih aman dan menghindari terjadinya kompetisi antar kelompok banteng dalam memperoleh pakan dan air. Pergerakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang terbagi menjadi dua kategori, yaitu pergerakan harian dan pergerakan pada waktu tertentu. Subroto (1996) menyatakan bahwa contoh pergerakan harian yang dilakukan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang untuk memenuhi hidupnya adalah mencari pakan dari dalam kawasan cagar alam ke daerah PTPN VIII Mira Mare, sedangkan pergerakan pada waktu tertentu adalah pergerakan dari Sancang Timur yang meliputi blok Pos Bantarlimus dan daerah sekitar Cipadaruum, ke daerah Sancang Tengah, yaitu daerah sekitar Cipalawah, blok Meranti dan Blok Bekanta yang biasa dilakukan pada malam hari samapai menjelang pagi hari terutama saat bulan purnama untuk mencari pakan dan menghindari gangguan manusia.

(20)

MacKinnon et al. (1990) menyatakan bahwa jumlah spesies yang dapat dipertahankan suatu cagar pada tingkat keseimbangan akan bergantung pada ukuran, jarak ke kawasan lain yang sama habitatnya dan kemampuan penyebaran spesies tersebut, sehingga jika kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang akan dipertahankan sebagai habitat banteng dengan cara diadakan kegiatan reintroduksi banteng dari habitat banteng yang hampir memiliki kesamaan baik secara geografis maupun biotik dan abiotik kawasan, seperti banteng yang berada di Taman Nasional Ujung Kulon, maka diperlukan penambahan kawasan penyangga yang dapat mendukung keberadaan atau kelangsungan hidup banteng jika terdapat gangguan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Kawasan penyangga tersebut dapat bekerjasama dengan kawasan perkebunan yang berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu PTPN VIII Mira Mare untuk bekerjasama menjaga dan melestarikan keberadaan banteng dengan cara kegiatan ekowisata banteng atau kegiatan lainnya, sehingga para pihak termasuk masyarakat yang berada di sekitar kawasan dapat dilibatkan secara langsung dalam kegiatan tersebut dan diharapkan dapat mengurangi interaksi masyarakat ke dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.

5.1.3 Daya Dukung Kawasan

Daya dukung banteng didalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang diperoleh dengan membandingkan dengan nilai produktivitas padang penggembalaan di Taman Nasional Ujung Kulon. Hal ini dilakukan karena Cagar Alam Leuweung Sancang tidak memiliki data yang lengkap mengenai produktivitas rumput secara berkala dan pada saat penelitian tidak memungkinkan untuk dilakukan pengukuran produktivitas rumput karena kondisinya yang telah menjadi semak belukar dan hutan sekunder (Tabel 7), sehingga dilakukan perbandingan dengan kawasan yang memiliki kondisi ekologi hampir mirip dengan Cagar Alam Leuweung Sancang.

Taman Nasional Ujung Kulon berdasarkan kondisi biofisik kawasan dan iklim mikro memiliki beberapa persamaan dengan Cagar Alam Leuweung Sancang, antara lain: kondisi topografi kawasan yang sama, yaitu kombinasi dataran landai dan perbukitan, klasifikasi iklim berdasarkan Schmidt dan

(21)

Ferguson termasuk ke dalam tipe iklim B, yaitu tipe basah dengan nilai Q (Quontient) sebesar 24.19 % dimana Q adalah persentase perbandingan antara rata-rata jumlah bulan kering dengan rat-rata bulan basah, dengan temperatur udara berkisar 25-30°C dan data curah hujan kawasan adalah 1500-3500 mm/tahun (Renstra 2010). Iklim mikro ini merupakan salah satu komponen fisik habitat yang dapat mempengaruhi kehidupan satwaliar termasuk banteng, sehingga berpengaruh terhadap perilaku dan ukuran tubuh satwaliar (Alikodra 2002).

Banteng secara normal akan memakan hijauan setinggi 1/3 bagian dari pucuknya dan pertumbuhan yang diperlukan oleh rumput setelah dimakan banteng untuk mencapai kondisi sebelum dimakan banteng adalah 5 hari (Widyatna 1982), oleh karena itu untuk menghitung produktivitas banteng diperlukan perlakuan pemotongan terhadap rumput yang dimakan oleh banteng tersebut. Kebutuhan makan banteng rata-rata per hari adalah 24.67 kg, sehingga daya dukung banteng di padang penggembalaan adalah 2-3 ekor/ha (Alikodra 1983), maka daya dukung di enam lokasi padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang dengan luas total 130 ha dapat diasumsikan bahwa daya dukungnya adalah 130 ha x 2-3 ekor/ha = 260-390 ekor. Daya dukung banteng ini akan berbeda jika dihitung berdasarkan daya dukung di Cijungkulon yang memiliki luas 15 ha adalah 17 ekor (Dharmakalih 1997), maka daya dukung di Cagar Alam Leuweung Sancang adalah x 17 ekor = 147 ekor.

Populasi banteng tertinggi pada Tabel 5 terjadi pada tahun 1984 sebanyak 173 ekor, maka daya dukung banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang jika dibandingkan dengan pendapat Alikodra (1983) masih dalam kondisi normal. Hal ini berbeda jika dibandingkan dengan pendapat Dharmakalih (1997) bahwa terjadi over populasi karena melebihi daya dukungnya, yaitu sebanyak 26 ekor (173-147 ekor).

(22)

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan 5.2.1 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga mempengaruhi terhadap keberadaan banteng karena dengan banyaknya jumlah penduduk di sekitar kawasan cagar alam dikhawatirkan akan mendorong masuk ke dalam kawasan semakin tinggi, sehingga mengancam keberadaan banteng baik dari segi populasi maupun habitatnya. Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1993 jumlah penduduk mencapai 12300 jiwa mengakibatkan luas tutupan lahan perkebunan mencapai 738.34 ha dan rusaknya padang penggembalaan serta populasi mengalami penurunan dari tahun 1984 sebanyak 173 ekor menjadi 64 ekor pada tahun 1992 bahkan pada tahun 2003 telah dinyatakan punah atau tidak ditemukan lagi. Jumlah penduduk di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 9.

Keberadaan masyarakat di sekitar habitat banteng sangat menentukan terhadap keberadaan banteng. Imron et al. (2007) mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusia lebih rendah. Suhadi (2009) dan Pudyatmoko et al. (2007) menambahkan bahwa populasi banteng di Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006 mengalami penurunan yang disebabkan tingginya aktivitas manusia.

Tabel 9 Jumlah penduduk sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang

No. Desa Jumlah Penduduk (Jiwa)

1993 1994 1996 2011

1 Karyamukti 3497 3520 4208 3196

2 Sagara 3676 3835 3912 6029

3 Sancang 5127 5108 5863 6519

Jumlah 12300 12463 13983 15744 Sumber : Monografi Desa-desa di Kecamatan Cibalong Tahun 1993, 1994, 1996 dan 2011

5.2.2 Karakteristik Masyarakat

Karakteristik adalah sifat-sifat yang melekat dan dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungan hidup. Karakteristik masyarakat sangat penting diketahui untuk menentukan hubungan antara

(23)

keberadaaan masyarakat dengan kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Karakteristik masyarakat diketahui dari hasil wawancara secara mendalam dengan jumlah responden sebanyak 64 orang. Karakteristik yang diamati meliputi umur, asal, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (Tabel 10).

Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Cagar Alam Leuweung Sancang

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Asal a. Desa Sancang b. Desa Karyamukti c. Cibalong d. Pameungpeuk 52 1 5 6 81 2 8 9 2. Kelas umur a. < 40 tahun b. 40-50 tahun c. 50-60 tahun d. 60-70 tahun e. > 70 tahun 4 26 13 15 6 6 41 20 24 9 e. 3. Tingkat Pendidikan a. SD b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat 60 2 2 94 3 3 4. Pekerjaan a. Nelayan b. Petani c. Juru kunci d. Pedagang e. Pensiunan PPA f. Pensiunan 47 6 8 1 1 1 73 9 12 2 2 2

5. Pendapatan rata-rata per bulan

a. < Rp. 500000,- b. Rp. 500000 – 1000000,- > Rp. 1.000.000,- 2 54 8 3 84 13

Mayoritas responden berasal dari Desa Sancang (81%) yang merupakan masyarakat asli dari daerah sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang telah tinggal semenjak tahun 1960an dan berinteraksi langsung dengan keberadaan banteng. Desa Sancang khususnya blok Plang merupakan salah satu kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang dirambah menjadi pemukiman dan perkebunan masyarakat dengan luas ± 33.7910 ha (SSKSDA Garut 1995). Kampung Sancang atau yang dikenal dengan blok Plang juga memberikan kemudahan akses untuk masuk ke dalam kawasan cagar alam, baik untuk

(24)

pengunjung yang akan berziarah maupun untuk masyarakat sekitar dan luar kawasan.

Responden lainnya berasal dari Desa Karyamukti (2%), Desa Cibalong (8%) dan Desa Pameungpeuk (9%). Desa Cibalong dan Pameungpeuk merupakan desa yang tidak berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Responden yang berasal dari Desa Cibalong dan Pameungpeuk merupakan para nelayan yang setiap harinya sengaja datang untuk mengambil hasil laut, seperti ikan dan rumput laut.

Umur responden secara keseluruhan bervariasi mulai dari di bawah 40 tahun sampai di atas 70 tahun, dengan mayoritas berusia 40-50 tahun sebanyak 41%. Sebagian masyarakat berumur di bawah 40 tahun (%), umur 5-60 tahun (20%), umur 60-70 tahun (24%) dan umur di atas 70 Tahun (9%). Rata-rata responden melihat langsung keberadaan banteng, baik di dalam kawasan cagar alam maupun di luar kawasan, yaitu di sekitar PTPN VIII Mira Mare bahkan ada yang pernah diseruduk dan dihalau oleh banteng sebanyak 5 orang, sehingga hal ini mendukung informasi mengenai banteng lebih dapat dipercaya.

Tingkat pendidikan masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang mayoritas 94% adalah lulusan SD, 31% lulusan SMP dan 3% lulusan SMA. Hal ini dikarenakan masyarakat pada jaman dahulu tidak mementingkan pendidikan dan terbatasnya biaya, sehingga mendorong anak-anak untuk membantu orang tuanya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Alasan lain adalah akses terhadap pendidikan dinilai cukup jauh sehingga mendorong masyarakat tidak mau untuk menempuh perjalanan tersebut. Kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk tetap tinggal di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat tersebut, bahkan sekarang ini menjadi salah satu syarat bagi tenaga kerja untuk memperoleh kesempatan kerja yang lebih besar. Pekerjaan masyarakat sekitar kawasan pada umumnya (73%) adalah nelayan, sedangkan sebagian lagi adalah petani (9%), juru kunci (12%), pedagang (2%), pensiunan perkebunan (2%) dan pensiunan kehutanan atau PPA (2%). Kondisi pekerjaan ini

(25)

menunjukkan bahwa pekerjaan yang masyarakat lakukan memang tidak membutuhkan tingkat pendidikan formal yang tinggi, kecuali pensiunan perkebunan dan kehutanan yang membutuhkan pendidikan formal minimal Sekolah Menengah Atas.

Pendapatan masyarakat sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang sebanyak 84% memiliki pendapatan rata-rata antara Rp 500 000.00 (lima ratus ribu rupiah) sampai Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) per bulan, 13% berpendapatan lebih dari Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) per bulan dan sebanyak 3% berpendapatan kurang dari Rp 500 000.00 (lima ratus rupiah) per bulan. Mayoritas masyarakat yang memiliki pendapatan antara Rp 500 000.00 (lima ratus ribu rupiah) sampai Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) merupakan masyarakat nelayan yang tergantung pada hasil tangkapannya di laut, sehingga mayoritas pendapatan masyarakat ini berdasarkan informasi dari petugas PT Perkebunan Nusantara VIII Mira Mare dan petugas Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut tidak dapat dikatakan berada di atas Upah Minimum Kabupaten Garut tahun 2010 sebesar Rp 735 000.00 (tujuh ratus tiga puluh lima ribu rupiah) dan tahun 2011 sebesar Rp 802 000.00 (delapan ratus dua ribu rupiah).

Kondisi masyarakat yang memiliki pendapatan dibawah Upah Minimum Kabupaten diperkirakan dapat mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berbeda dengan juru kunci yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) jika pengunjung/peziarah tidak terlalu banyak, akan tetapi sebaliknya jika musim pengunjung banyak, yaitu setiap malam jumat kliwon pada perhitungan kalender jawa dan bulan Maulud tahun Hijriyyah penghasilan juru kunci dapat mencapai 10 juta rupiah.

Pendapatan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap intensitas interaksi ke dalam kawasan dan penggunaan sumber daya alam yang berada di sekitarnya karena pada dasarnya masyarakat memerlukan nilai ekonomi dari suatu sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengaruh dari kondisi demikian dapat terjadi pada banteng, jika masyarakat tidak mampu untuk membeli daging yang dinilai harganya cukup mahal dan keberadaan banteng dianggap mengganggu kebun yang dijadikan sebagai sumber pendapatannya, maka hal ini

(26)

tidak dapat dipungkiri bahwa masyarkat akan mengambil atau berusaha memburu keberadaan banteng tersebut, baik untuk dikonsumsi ataupun dijual sebagai sumber pendapatannya.

5.2.3 Pengetahuan mengenai Banteng

Masyarakat sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang rata-rata memiliki pengetahuan terhadap keberadaan banteng sejak tahun 1960 sampai 2002 dan pernah diseruduk dan dihalau oleh banteng tersebut, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan yaitu ke dalam kawasan PTPN VIII Mira Mare bahkan ke halaman rumah atau perkebunan pisang masyarakat. Pengetahuan keberadaan banteng lainnya, yaitu melihat banteng secara langsung di padang penggembalaan dan yang sedang melintas/berada di tengah jalan. Pengetahuan masyarakat mengenai banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang meliputi keberadaan, perburuan, distribusi daging dan konflik atau permasalahan dengan banteng. Persentase pengetahuan mengenai banteng dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Pengetahuan masyarakat mengenai banteng

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)

Pengetahuan mengenai banteng 1. Keberadaan banteng

2. Perburuan banteng 3. Distribusi daging banteng

a. Dimakan b. Dijual 4. Konflik banteng 64 64 29 35 64 100 100 45 55 100

Keberadaan banteng saat ini berdasarkan informasi masyarakat tidak pernah lagi ditemukan sejak tahun 2003, begitu pula dengan hasil inventarisasi petugas pada tahun yang sama tidak ditemukan jejak keberadaan banteng. Akan tetapi sebagian masyarakat mengaku bahwa beberapa bulan pada tahun 2011, yaitu bulan April dan Mei memperkirakan masih memperkirakan keberadaan banteng dari suara dan jejak kaki di blok Cipalawah dan Cijeruk, yaitu 3 ekor banteng jantan, akan tetapi keberadaan jejak banteng berdasarkan informasi dari masyararakat tersebut selama penelitian tidak ditemukan. Hal ini menguatkan bahwa banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami kepunahan karena walaupun berdasarkan informasi masyarakat masih terdapat 3 ekor banteng jantan

(27)

tersebut telah dianggap sebagai mitos karena selalu ditemukan di pemakaman sekitar kawasan cagar alam tidak akan dapat berkembangbiak.

Masyarakat juga mengetahui mengenai adanya perburuan banteng, baik yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan, pihak PTPN VIII Mira Mare maupun tamu yang datang ke dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan PTPN VIII Mira Mare. Pengetahuan mengenai perburuan ini tidak sepenuhnya disertai dengan pengakuan bahwa masyarakat tersebut pernah terlibat dalam perburuan. Hal ini diperkirakan masayarakat masih memiliki rasa takut untuk mengakui keterlibatannya dalam perburuan banteng, akan tetapi sebagian masyarakat (27%) mengakui keterlibatannya dan mengunggkapkannya secara terbuka, sedangkan 73% tidak mengakui keterlibatan perburuan.

Masyarakat yang mengakui keterlibatannya dalam perburuan mengaku bahwa hanya sebagai pengantar dari para tamu yang akan berburu dan membantu apa yang bisa dilakukannya, seperti sebagai penunggu mobil para tamu dan pembawa senjata yang digunakan oleh tamu tersebut. Upah atau bayaran yang masyarakat terima dari keterlibatan perburuan itu tidak disebutkan secara rupiah, akan tetapi masyarakat mengakui dari hasil perburuan tersebut mendapatkan daging banteng dan membagikannya ke masyarakat sekitarnya karena pemburu biasanya hanya mengambil bagian kepalanya untuk dijadikan hiasan. Pengakuan lainnya diungkapkan bahwa masyarakat pernah membantu untuk memasang kawat jerat dan membuat parit untuk mencegah banteng ke luar kawasan. Akibat dari upaya pencegahan tersebut masyarakat sering menemukan banteng yang mati dan terdapat bekas kawat jerat pada bagian tubuh banteng tersebut.

Pendistribusian daging banteng berdasarkan informasi dan pengakuan dari masyarakat yaitu 55% dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan 45% dijual di pasar sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dengan harga lebih rendah dari pada harga daging sapi pada waktu itu. Konsumsi daging oleh masyarakat hampir semuanya menyatakan pernah memakan daging banteng secara bersama-sama di masjid pada perayaan-perayaan besar islam, seperti maulid nabi dan idul adha dari hasil pemberian yang ikut berburu.

Pengetahuan mengenai konflik banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terdapat beberapa kejadian antara lain yaitu terjadi dua kasus yang

(28)

meninggal karena diseruduk oleh banteng pada tahun 1980an dan beberapa orang luka serta adanya gangguan terhadap tanaman perkebunan milik masyarakat dan PTPN VIII Mira Mare, sehingga dilakukan beberpa upaya pencegahan seperti yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya. Upaya pencegahan banteng tersebut ada yang menyebabkan kematian banteng baik secara langsung maupun tidak langsung, akan tetapi masyarakat telah menemukan beberapa banteng yang mati karena terluka dan terdapat bekas jeratan bahkan yang ditemukan hanya tulang belulang. Hal demikian dapat menyebabkan berkurangnya populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang.

5.2.4 Persepsi mengenai Banteng

Dyah (1983) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang diinformasikan kepadanya dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan diri dan lingkungannya. masyarakat terhadap segala aktivitas dalam kehidupannya. Persepsi masyarakat yang berada di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, meliputi (1) status dan manfaat keberadaan banteng dan (2) pelestarian banteng dan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Persentase persepsi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Persepsi masyarakat

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%) Persepsi mengenai banteng

1. Status banteng

a. Dilindungi b. Tidak dilindungi

2. Manfaat keberadaan banteng

a. Hama b. Netral

3. Konservasi atau pelestarianbanteng

a. Perlu b. Tidak perlu 4. Status kawasan a. Bermanfaat b. Netral 64 0 44 20 22 42 22 42 100 0 69 31 34 66 34 66

Mayoritas masyarakat telah mengetahui status banteng yang dilindungi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah yang harus dilestarikan keberadaannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa banteng merupakan salah satu jenis

(29)

satwa yang telah dikategorikan ke dalam status konservasi “Terancam Kepunahan” yang diakibatkan terjadinya penurunan populasinya. Hal ini menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa banteng merupakan satwa bebas yang dapat dimanfaatkan atau termasuk satwa yang dapat diburu, dan mereka tidak memiliki kesadaran untuk tetap melestarikan keberadaan banteng.

Sebagian besar masyarakat (69%) berpendapat bahwa keberadan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan hama bagi perkebunan, baik milik masyarakat maupun PTPN VIII Mira Mare. Banteng dianggap masyarakat mengganggu kebun tanaman pisang dan tanaman yang berada di sekitar rumah masyarakat, sedangkan PTPN VIII Mira Mare mengganggap bahwa banteng merusak dan memakan anakan tanaman karet dan kelapa hibrida. Sebagian masyarakat juga merasa takut dengan keberadaan banteng karena pernah dihalau oleh banteng di tengah jalan. Persepsi lainnya masyarakat menganggap bahwa keberadaan banteng tidak terlalu mempengaruhi aktivitas dan kehidupannya masyarakat sehari-hari atau dikatakan netral (31%). Persepsi mengenai manfaat keberadaan banteng ini sangat mempengaruhi terhadap kelestarian populasi banteng, karena jika masyarakat beranggapan negatif terhadap keberadaan banteng maka diperkirakan masyarakat akan berusaha untuk mencegah atau mengurangi populasi banteng tersebut, begitu pun sebaliknya.

Persepsi masyarakat mengenai pelestarian banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada umunya (66%) beranggapan bahwa banteng tidak perlu dilestarikan, sedangkan sebagian masyarakat (34%) beranggapan bahwa banteng perlu dilestarikan keberadaannya. Persepsi masyarakat yang menyatakan tidak perlunya pelestarian terhadap keberadaan banteng merupakan masyarakat yang beranggapan bahwa banteng adalah pengganggu aktivitas manusia dan hama perkebunan serta beranggapan bahwa jika banteng dilestarikan dikhawatirkan kawasan hutan Cagar Alam Leuweung Sancang akan mengalami kerusakan kembali dengan adanya perambahan dan intensitas masyarakat masuk kawasan yang tinggi. Persepsi masyarakat yang mendukung pentingnya keberadaan banteng untuk dilestarikan mengemukakan bahwa perlunya kegiatan reintroduksi atau pengadaan kembali banteng dengan cara mendatangkan banteng dari habitat

(30)

lain karena keberadaannya dapat dijadikan sebagai objek wisata maupun sebagai warisan pengetahuan bagi generasi muda berikutnya.

Status dan keberadaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang menurut sebagian besar masyarakat (66%) berpendapat bahwa keberadan kawasan tersebut tidak terlalu mempengaruhi aktivitas dan kehidupannya masyarakat sehari-harinya, sedangkan sebagian masyarakat (34%) beranggapan bahwa keberadaan status kawasan sebagai kawasan konservasi sangat bermanfaat untuk melestarikan segala komponen ekosistem didalamnya termasuk kelestarian banteng. Persepsi mengenai status kawasan ini dapat mempengaruhi terhadap kelestarian populasi banteng dan komponen ekosistem lain di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, karena jika masyarakat beranggapan negatif terhadap status kawasan, maka diperkirakan masyarakat akan tetap berusaha melakukan perambahan atau pengambilan sumber daya yang ada di dalam kawasan, seperti pengambilan satwa khususnya burung untuk diperjualbelikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, begitu pun sebaliknya.

5.2.5 Interaksi terhadap kawasan

Alikodra (1993) menyebutkan bahwa selain adanya bencana alam, berubahnya kondisi ekologi atau habitat banteng disebabkan oleh kegiatan-kegiatan manusia. Interaksi atau kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dilihat dari uraian pekerjaan dan hasil analisis di lokasi penelitian tersebut terdiri dari beberapa kegiatan, seperti perburuan atau pengambilan satwa, perambahan, pemukiman, penangkapan hasil laut dan penggembalaan ternak. Kegiatan ini sangat berkaitan dengan penggunaan lahan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.

Bakosurtanal (2007) menyebutkan bahwa penggunaan lahan termasuk ke dalam komponen sosial budaya karena penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta statusnya. Adanya aktivitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutupan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan, karena dalam

(31)

kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan.

Subiyakto (1990) menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam, khususnya lahan. Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak pada masyarakat dan kondisi lingkungannya sehingga akan terjadi penyesuaian sistem sosial pada pemanfaatan alam, khususnya lahan. Interaksi masyarakat di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, antara lain:

1. Pengambilan hasil laut

Pengambilan hasil laut yang dilakukan oleh masyarakat meliputi rumput laut, kerang-kerangan, ikan hias dan ikan konsumsi serta berbagai jenis udang. Aktivitas melaut ini telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahu 1960an mulai dari pengambilan secara sederhana seperti menggunakan pancing, jaring hingga menggunakan perahu seperti yang ada sampai saat ini. Jumlah perahu di seluruh lokasi yang ada pada saat penelitian ± 24 buah yang diperoleh dari Dinas Perikanan setempat. Lokasi atau blok pengambilan hasil laut berada di daerah antara muara Sungai Cipangikisan hingga muara Cikolomberan, muara Cikabodasan, Cipunaga dan Ciporeang sampai Cipanglemuan.

Kegiatan pengambilan hasil laut selain pada musim barat dilakukan hampir setiap hari dari pagi sampai malam hari karena masyarakat nelayan bahwa pada musim tersebut aman dan dapat menghasilkan banyak tangkapannya. Hal ini berbeda dengan melaut pada musim barat yang kondisi angin dan gelombang lautnya tidak stabil dan diperkirakan dapat membahayakan keselamatan nelayan serta ikan, udang dan lainnya pada musim tersebut sangat sedikit, sehingga para nelayan cenderung hanya mengolah rumput laut mereka yang telah diperoleh sebelumnya untuk segera dijual kepada pengepul. Kegiatan melaut masyarakat juga didukung dengan adanya akses atau jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor yang terhubung sampai pada lokasi pengambilan hasil laut tersebut, sehingga masyarakat nelayan mendapatkan kemudahan untuk langsung mendistribusikan hasil laut mereka ke tampat pelelangan untuk menjual hasil laut tersebut.

(32)

Aktivitas keluar dan masuknya kendaraan bermotor tersebut diduga dapat mengganggu keberadaan dan aktivitas banteng didalamnya sehingga banteng memilih dan menyebar ke kawasan yang lebih aman termasuk ke luar kawasan (perkebunan PTPN VIII Mira Mare), sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab berkurangnya kehadiran banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dikarenakan banteng memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap keberadaan predator termasuk manusia. Kondisi seperti ini terjadi pada pengukuran populasi di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah (Imron et al. 2007).

2. Pemukiman

Pemukiman di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari pemukiman permanen dan semi permanen. Pemukiman permanen terdapat di Kampung Cihurang dan Cimerak, Desa Karyamukti. Pemukiman ini berawal dari gubuk-gubuk menjadi semi permanen dan pemukiman permanen. SSKSDA (1995) menyatakan bahwa pemukiman di blok Cihurang pada tahun 1976 terdapat 30 Kepala Keluarga pada tanah seluas 25 ha, sedangkan lebih rincinya mengenai penggunaan lahan tersebut dapat dijelaskan pada sub bab permabahan.

Penggarapan lahan secara umum oleh masyarakat diakibatkan oleh ketidakjelasan dan perbedaan persepsi antara para pihak mengenai tata batas kawasan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam III Bogor menyatakan bahwa awal terjadinya pemukiman terjadi pada bulan Juni tahun 1985 ketika dilakukan rekontruksi tanah batas pada tahun 1988. Saat itu Kepala Desa Maroko beserta petugas dari Sub Dit. Agraria beranggapan bahwa patok batas PA 230-291 adalah tanah negara yang diserahkan kepada masyarakat bekas PTP XIII (saat ini PTPN VIII Mira Mare) sehingga penataan batas terlambat. Akibat dari kejadian tersebut maka terjadilah penggarapan liar tersebut seluas ± 33.7910 ha yang dijadikan areal kebun dan perumahan penduduk sebanyak 38 Kepala Keluarga.

Saat ini blok sengketa tersebut dikenal dengan nama blok Plang atau Kampung Sukalaksana atau Kampung Sancang, Desa Sancang dan telah mengalami penambahan jumlah penduduk, yaitu mencapai 56 Kepala Keluarga.

(33)

Pemukiman juga terdapat di dalam kawasan berupa gubuk-gubuk liar atau tempat tinggal yang atapnya terbuat dari daun kelapa, sedangkan dinding dan tiang penyangganya dari bambu, yaitu di sepanjang pantai selatan cagar alam dari muara Sungai Cipangikisan sampai Cipalemuan (Gambar 8).

Gambar 8. Contoh gubuk-gubuk liar di blok Ciporeang

Gubuk-gubuk tersebut pada tahun 1997 tercatat sebanyak 94 gubuk liar yang tersebar di 9 lokasi, akan tetapi setahun kemudian tahun 1998 jumlah gubuk mulai bertambah mencapai ratusan. Pertambahan keberadaan gubuk-gubuk ini berhasil ditekan oleh operasi Lodaya yang dilakukan oleh pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang, sehingga pada tahun 2006 keberadaan gubuk mulai berkurang menjadi 87 gubuk. Penurunan jumlah gubuk tersebut tidak bertahan lama, sehingga pada tahun 2011 bertambah kembali mendekati jumlah gubuk pada tahun 1997, yaitu 93 gubuk. Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang

Lokasi Jumlah Gubuk 1997 (Mustari 2007) 2006 (Mustari 2007) 2011 Cipangikisan 10 6 11 Cikabodasan 10 7 11 Cetut 3 4 4 Cikolomberan 30 29 23 Cipunaga 9 9 9 Cibako 6 6 11 Ciporeang 12 12 10 Karang Jambe 3 3 3 Cipalemuan 11 11 11 Jumlah 94 87 93

(34)

Fungsi gubuk tersebut sebagai tempat tinggal masyarakat nelayan, pelelangan ikan dan penyimpanan alat-alat untuk melaut bahkan beberapa dijadikan sebagai warung atau tempat jualan makanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di dalam kawasan tersebut. Akibat adanya aktivitas masyarakat nelayan tersebut diperkirakan dapat mengganggu aktivitas banteng, terutama untuk mengasin (salt lick), sehingga banteng akan mencari tempat lain untuk mengasin atau merubah waktunya pada saat tidak ada atau sedikit gangguan termasuk gangguan dari aktivitas masyarakat. Alikodra (2010) menyatakan bahwa banteng memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi terhadap gangguan.

3. Ziarah

Pengunjung/peziarah adalah orang yang mengunjungi tempat-tempat tertentu di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang dianggap keramat oleh pengunjung, seperti blok Cikayaan yang dianggap sebagai air untuk mendapat kesuksesan dan dipercaya terdapat harimau jadi-jadian dan dapat diakses melalui blok Plang yang berada di Kampung Sancang. Kedatangan pengunjung tersebut tergantung terhadap cuaca dan bulan pada kalender islam atau tahun hijriah, seperti pada musim hujan biasanya jumlah pengunjung cenderung lebih sedikit dibandingkan pada cuaca yang cerah. Pada bulan Maulud biasanya pengunjung mencapai lebih dari 100 orang dan hampir setiap hari pada bulan tersebut, sedangkan pada bulan lainnya pengunjung lebih banyak pada malam jumat rata-rata mencapai ± 20 orang, sehingga dalam satu bulan rata-rata 80-100 orang.

Pengunjung tersebut dikenakan bayaran (tiket masuk) sebesar Rp 3000.00 (tiga ribu rupiah) per orang kepada pos jaga yang dibentuk oleh masyarakat. Hasil dari tiket tersebut berdasarkan informasi dari petugas pos jaga dan beberapa masyarakat bahwa 40% untuk penjaga pos, 30% untuk kesejahteraan Desa Sancang dan 30% untuk pihak BKSDA, akan tetapi pihak BKSDA menegaskan tidak menerima persentase dari pendapatan tersebut.Pihak desa juga menegaskan bahwa 30% tersebut digunakan oleh warga yang berada di Kampung Sancang/blok Plang untuk memperbaiki jalan menuju tempat ziarah dan laut berdasarkan kesepakatan antar warga setempat dan pihak desa tidak pernah

Gambar

Tabel 6  Jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang
Tabel 7  Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung  Sancang  Padang  Penggembalaan  Kondisi (Tahun) 1982  (Jenuyanti 2002)  1993  (Jenuyanti 2002)  1996  (Subroto 1996)  2011  Cijeruk  -  7 m dpl   -  rumput  yang  sengaja ditanam  -  menara  d
Gambar  4.  Kondisi  pelindung  ideal  banteng  di  Cagar  Alam  Leuweung  Sancang (Modifikasi dari Alikodra 1983, 2010)
Tabel 8  Luas tutupan lahan Cagar Alam Leuweung Sancang
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kinerja karyawan BMT BIF lebih dipengaruhi oleh faktor internal karyawan yaitu efikasi diri, efikasi diri memiliki peranan yang besar dalam mewujudkan engagement karyawan

Berdasarkan rumusan di atas maka dapat dikatakan bahwa perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang melanggar hak (subyektif) orang lain atau perbuatan (atau tidak berbuat)

Untuk memudahkan perbandingan tanggapan peralihan berbagai macam sistem, hal yang biasa dilakukan adalah menggunakan syarat awal standard yaitu sistem mula-mula keadaan

Pompa adalah suatu alat mekanis yang digunakan untuk memindahkan fluida dari suatu tempat ke tempat yang lain melalui suatu media perpipaan dengan cara menambahkan

terdiri dari faktor fisiologis yaitu kondisi fisik yang sehat atau tidak sehat dan faktor psikologis misalnya bakat, minat, motivasi dan kecerdasan. Sebagaimana

Prosedur Pengadaan Barang Habis Pakai Di Engineering Department Hotel Swiss-Belinn Tunjungan; Clara Viona Rosa Anjani; 4105017039; 2020; Prodi D- III Administrasi

* Buka cap saat memanaskan makanan dalam microwave * Berlaku harga khusus produk dan tasd. * Garansi tidak termasuk tas, strap &amp;

Pada perencanaan bendung tetap Gunung Nago tersebut dilakukan perhitungan seperti analisa hidrologi menggunakan metode aritmatik, perhitungan debit banjir rencana