• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Kondisi Populasi, Penyebaran dan Habitat Banteng

5.1.1 Populasi dan Penyebaran

5.1.1.1 Populasi

Keberadaan populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami keterbatasan, baik dari segi informasi maupun penelitian mengenai kondisi bioekologi banteng maupun ukuran populasinya. Keterbatasan informasi ukuran populasi banteng disebabkan pula oleh kurangnya kegiatan inventarisasi dan pencatatan populasi secara berkala dari pengelola, sehingga pekembangan banteng setiap tahun sulit untuk diperoleh dan berakibat kurang optimalnya dalam proses pelaksanaan pengelolaan dan kelestariannya. Ukuran populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dari beberapa hasil penelitian, informasi dari petugas dan berdasarkan informasi dari masyarakat sekitar kawasan yang telah berinteraksi dengan keberadan banteng dan kawasan cagar alam terdapat pada Tabel 5.

Tabel 5 Populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

Tahun Jumlah Individu (Ekor) Jumlah

(Ekor) Sumber

Jantan Betina Anak

1960 - - - ± 100 Hasil wawancara

1970 - - - ± 100 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat 2002

1972 - - - ± 100 Hasil wawancara

1974 - - - ± 100 Hasil wawancara

1978 - - - ± 100 Hasil wawancara

1980 - - - ± 90 Hasil wawancara; Pikiran Rakyat 2002

1982 - - - ± 90 Hasil wawancara

1983 - - - ± 90 Hasil wawancara

1984 46 100 27 173 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1984

1988 27 57 11 96 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1988

1992 10 45 9 64 Inventarisasi BKSDA Jabar II 1992

1996 4 7 1 12 Subroto 1996

2002 - - - 13 Inventarisasi BKSDA Jabar 2002

2003 - - - 0 Permenhut No.58 tahun 2011

Kondisi populasi pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perkembangan ukuran populasi banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dari tahun ke tahun mengalami penurunan. Data populasi banteng dari tahun 1960-1983 merupakan informasi dari masyarakat dan media masa yang menyatakan bahwa populasi banteng pada saat itu berjumlah ratusan ekor dan mengalami penurunan,

yaitu kurang dari seratus ekor, sehingga peneliti mengasumsikan bahwa minimal populasi banteng tersebut adalah 100 ekor dan 90 ekor, sedangkan pada tahun 1973- 1992 merupakan hasil inventarisasi petugas pada tahun tersebut. Populasi banteng dari tahun 1983 sampai 1984 terlihat ada peningkatan, hal ini diperkirakan karena adanya perbedaan perhitungan antara masyarakat yang menggunakan perkiraan, sedangkan petugas dengan metode inventarisasi satwa secara ilmiah atau berdasarkan imu inventarisasi satwa dengan metode terkonsentrasi (concentration count) di enam padang penggembalaan dengan

beberapa pengamat dan line transek sampling. Ukuran populasi pada tahun 1996

berdasarkan penelitian Subroto (1996) merupakan jumlah populasi berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan di dalam Cagar Alam Leuweung Sancang, sedangkan pada tahun tersebut berdasarkan informasi masyarakat banteng yang ditemukan secara langsung berjumlah 17 ekor, terdiri dari 5 ekor jantan, 10 ekor betina dan 2 ekor anak.

Populasi banteng dari tahun 1984 sampai tahun 2003 terlihat menurun bahkan mencapai angka nol. Mustari (2007) melakukan pengamatan terhadap keberadaan banteng di dalam kawasan pada bulan Juli 1997 tidak menemukan banteng maupun jejak banteng, demikian pula pada bulan Juli 2005 dan Juli 2006 dengan masing-masing pengamatan selama sepuluh hari. Penurunan populasi banteng di dalam kawasan diperkirakan terjadi karena banyaknya banteng yang ke luar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu perkebunan milik masyarakat dan PTPN VIII Mira Mare yang diduga akibat rusaknya padang penggembalaan di dalam kawasan cagar alam sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan pakan banteng, sedangkan di perkebunan PTPN VIII Mira Mare dapat menyediakan kebutuhan pakan banteng, termasuk anakan pohon karet (Hevea brasiliensis),

pohon kelapa dan rumput yang tumbuh di dalamnya sehingga banteng bebas beraktivitas dan melakukan perilaku sosialnya sampai berkembangbiak. Kondisi tersebut menyebabkan pihak perkebunan dan masyarakat merasa terganggu, sehingga dilakukan beberapa kegiatan, seperti penjeratan, pembuatan parit bahkan perburuan untuk mengurangi keberadaan populasi banteng tersebut yang akhirnya mencapai populasi nol pada tahun 2003.

39

Alikodra (1983) menyatakan bahwa fluktuasi populasi banteng dapat disebabkan oleh beberapa parameter populasi seperti angka kelahiran, angka kematian, kepadatan populasi, struktur umur dan struktur kelamin. Hal lainnya dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, seperti aktivitas manusia dan daya dukung kawasan. Populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang jika dilihat dari angka kelahirannya pada tahun 1984-1988, 1988-1992 terus mengalami penurunan dengan masing-masing proporsi jenis kelamin antara jantan dan betina adalah 1 : 2, hanya pada tahun 1992-1995 mencapai 1 : 5, sedangkan laju pertumbuhan tiap tahunnya berturur-turut adalah -19, -8, dan -13 ekor/tahun.

Kondisi populasi banteng tersebut berarti menuju kepunahan yang diduga akibat angka kematian tinggi atau laju pertumbuhan banteng terganggu yang disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu (1) perburuan sebagaimana yang akan dibahas pada bab sosial ekonomi masyarakat, (2) menurunnya kualitas dan kuantitas rumput di padang penggembalaan karena tidak terpelihara dan telah berubah fungsinya menjadi ladang garapan serta penggembalaan ternak masyarakat, (3) aktivitas manusia yang mempengaruhi keadaan kualitas dan kuantitas makanan, air, pelindung dan ruang, seperti pemukiman di dalam kawasan, pencurian kayu dan dan aktivitas masyarakat di dalam kawasan lainnya, dan (4) kematian karena umur yang sudah tua. Penyebab lainnya diduga kurangnya informasi mengenai struktur umur dan kepadatan banteng sehingga menyebabkan tidak terkontrolnya pengelolaan terhadap populasi dan habitatnya yang berakibat keberadaan banteng terancam dan memungkinkan terjadinya kepunahan dengan cepat.

5.1.1.2 Penyebaran

Penyebaran banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang dari hasil informasi wawancara dengan masyarakat tersebar di dalam dan di luar kawasan. Banteng di dalam kawasan tersebar di padang penggembalaan, sedangkan di luar kawasan tersebar di kebun dan halaman rumah masyarakat serta perkebunan karet milik PTPN VIII Mira Mare. Mardi (1995) dan Subroto (1996) menyatakan bahwa penyebaran banteng selain di enam padang penggembalaan yang telah dibuat, masih ditemukan juga di blok Meranti, blok 23, blok 20, blok Cibunigeulis,

Bantarlimus, blok Ciniti dan blok Bekanta yang merupakan batas dari kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan PTPN Mira Mare yang saat ini masuk ke dalam kawasan PTPN Mira Mare. Padang penggembalaan yang menjadi penyebaran banteng terdapat di enam lokasi padang penggembalaan, antara lain Blok Cipalawah, Cijeruk, Cibako, Ciporeang, Cipadaruum dan Cidahon (SBKSDA II 1993a).

5.1.2 Habitat

Habitat merupakan suatu kawasan yang terdiri dari beberapa kawasan, baik fisik maupun biotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembangbiaknya satwa liar (Alikodra 2002). Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan kawasan yang memiliki 4 tipe hutan, yaitu hutan mangrove, pantai, dataran rendah dan padang penggembalaan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa kelangsungan hidup banteng ditentukan oleh keberadaan hutan, padang penggembalaan dan air. Komponen habitat banteng tersebut dapat menyediakan berbagai kebutuhan banteng, seperti pakan, air dan pelindung atau yang biasa dikenal dengan cover.

1. Pakan

Jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang yang masih ada sampai saat ini berdasarkan pengamatan dan informasi dari beberapa hasil penelitian, baik di Cagar Alam Leuweung Sancang (hasil penelitian Durahman 1998) maupun di habitat banteng lainnya yang secara ekologi hampir memiliki kesamaan dengan Cagar Alam Leuweung Sancang, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon serta informasi dari petugas cagar alam terdiri dari beberapa jenis tumbuhan yang biasa dimakan oleh banteng, yaitu terdapat pada Tabel 6.

Jenis pakan banteng berdasarkan Tabel 6 terlihat bahwa dari tahun 1998 sampai saat ini masih tumbuh bahkan terdapat jenis lainnya, yaitu kirinyuh (Eupatorium inulifolium), kuciat (Ficus grossularioides), harendong (Melastoma malabatricum) dan kapol (Amonum cordomonum). Hal ini membuktikan bahwa

jenis pakan banteng masih beragam dan dapat memenuhi kebutuhan pakan banteng.

41

Tabel 6 Jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang

Jenis Sumber Jenis yang

Ditemukan Tumbuhan Bawah

Alang-alang (Imperata cylindrical) Durahman (1998) √

Tepus (Ammomum coccineum) Durahman (1998) √

Langkap (Arenga obtusifolia) Durahman (1998) √

Rumput pait (Axonopus compressus) Durahman (1998) -

Donax caniformis

Kirinyuh (Eupatorium inulifolium) Kuciat (Ficus grossularioides)

Durahman (1998) Informasi petugas lapang Informasi petugas lapang

-

√ √

Harendong (Melastoma malabatricum) Alikodra (1983); Muntasib et al. (2000); BTNUK & WWF (2010)

Pancang

Kapol (Amonum cordomonum) Alikodra (1983); Muntasib et

al. (2000) √

Kanyere badak (Bridelia glauca) Durahman (1998); BTNUK

& WWF (2010) √

Keterangan : √ (Ada); - (Tidak ada)

Alikodra (1983) menyatakan bahwa jenis pakan yang sering dimakan oleh banteng di Taman Nasional Ujung Kulon terdiri dari jampang kawat (Ischaemum muticum), rumput blabahan (Panicum rapens), rumput pait (Axonopus compressus), rumput alang-alang (Imperata cylindrica), padi (Oryza sativa) dan teki (Cyperus bravifolia), sedangkan jenis bukan rumput, yaitu susuukan (Alysicarpus numumlarifolia). Jika dibandingkan dengan jenis pakan di Cagar Alam Leuweung Sancang, maka jenis pakan di kedua kawasan tersebut hanya memiliki dua jenis yang sama, yaitu rumput alang-alang (Imperata cylindrica) dan

rumput pait (Axonopus compressus), sedangkan yang lainnya merupakan jenis-

jenis pakan yang berbeda.

Alikodra (1983) menambahkan bahwa perbedaan komposisi jenis pakan banteng juga terjadi di Taman Nasional Baluran dan Cagar Alam Pananjung Pangandaran, demikian Santosa et al. (2007) menambahkan bahwa komposisi

jenis di Taman Nasional juga berbeda dengan di kawasan lainnya, sehingga hal ini menggambarkan bahwa banteng merupakan satwa yang memiliki adaptasi tinggi terhadap makanannya. Perbedaan ini juga diperkirakan karena adanya perbedaan lokasi yang dapat mempengaruhi terhadap pertumbuhan jenis pakan yang akan dimakan banteng.

Tingkatan vegetasi jenis pakan yang ditemukan pada saat penelitian terdiri dari tingkat tumbuhan bawah dan pancang (lihat Tabel 6), sedangkan Durahman (1998) menyatakan bahwa jenis pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari beberapa tingkatan vegetasi, yaitu tumbuhan bawah (23 jenis), pancang (19 jenis), tiang (14 jenis) dan pohon (18 jenis). Hal ini terlihat bahwa tingkatan vegetasi pakan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang, baik dari jenis yang ditemukan pada saaat penelitian maupun dari penelitaian Durahman (1998) masih didominasi oleh tumbuhan bawah, sehingga membuktikan bahwa banteng merupakan salah satu satwa yang bersifat grazer.

Hal ini juga dikuatkan dengan pendapat Hoogerwerf (1970), Alikodra (1983) bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon bersifat grazer, demikian Pudyatmoko (2005) dan Santosa et al. (2007) bahwa banteng di Taman Nasional Alas Purwo. Akan tetapi hal ini berbeda dengan Pairah (2007) yang menyatakan bahwa diperkirakan memiliki kecenderungan sebagai browser yang terlihat dari jumlah komposisi pakannya di Taman Nasional Alas Purwo yang cenderung lebih banyak non rumput hingga mencapai 55 jenis dari 22 jenis rumput. Pendapat banteng bersifat browser dikuatkan pula oleh Muntasib et al. (2000) juga bahwa di Taman Nasional Ujung Kulon jenis non rumput hampir mencapai 48.2 %, dengan demikian hal tersebut tergantung dengan kondisi ekologi keberadaan banteng untuk beradaptasi dengan lingkungannya.

Sumber pakan di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang berasal dari padang penggembalaan yang telah ada sejak tahun 1960 dan pada tahun 1983 mulai dilakukan penanaman rumput gajah (Pennisetum purpureum) dengan

pemeliharaan yang intensif sampai tahun 1987. Pemeliharaan intensif hanya dilakukan di blok Cipalawah dan Cibako karena kedua blok tersebut merupakan lokasi yang berbatasan langsung dengan PTPN VIII Mira Mare, sehingga pemeliharaan bertujuan untuk menyediakan kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan cagar alam dan mencegah banteng tidak masuk ke areal perkebunan PTPN VIII Mira Mare.

Kegiatan yang dilakukan untuk mengawasi atau memonitoring keberadaan populasi banteng tersebut, pengelola cagar alam yang bekerjasama dengan PTPN VIII Mira Mare membuat menara pengamatan banteng di dua blok padang

43

penggembalaan tersebut. Menara pengamatan tersebut juga dapat digunakan oleh masyarakat sekitar kawasan dan tamu yang PTPN VIII Mira Mare yang sengaja ingin melihat secara langsung populasi banteng di dalam cagar alam.

Sumber pakan lainnya diperoleh dari luar kawasan cagar alam, yaitu di dalam kawasan PTPN VIII Mira Mare dan kebun masyarakat yang berbatasan langsung dengan kawasan cagar alam yaitu anakan pohon atau semai karet, pucuk kelapa, kulit karet muda dan tanaman masyarakat, seperti pisang dan singkong. Hal ini sama halnya dalam penelitian Alikodra (1983) bahwa pada daerah yang berbatasan dengan pemukiman penduduk di Taman Nasional Ujung Kulon, banteng menyukai tanaman padi dengan memakan daun dan buahnya, sehingga banteng tersebut dianggap sebagai hama oleh masyarakat setempat. Santosa et al.

(2007) mendapatkan bahwa banteng di Taman Nasional Alas Purwo mencari makan sampai luar kawasan, yaitu hutan tanaman milik Perhutani yang berbatasan dengan dengan kawasan tersebut. Oleh karena itu untuk mencegah keluarnya banteng keluar kawasan diperlukan pemeliharaan habitat terutama padang penggembalaan yang dapat menyediakan kebutuhan pakan banteng di dalam kawasan.

Kurangnya pemeliharaan padang penggembalaan akan berakibat rusaknya padang penggembalaan sehingga tidak mampu menyediakan kebutuhan pakan banteng dan mendukung aktivitas lainnya yang biasa dilakukan di padang penggembalaan tersebut. Rusaknya kondisi padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang selain disebabkan oleh kurangnya pemeliharaan juga diakibatkan karena debu letusan Gunung Galunggung pada tahun 1983 dan adanya tekanan gangguan masyarakat, seperti penebangan liar, perambahan hutan dan penggembalaan ternak sapi masyarakat di dalam kawasan, sehingga pertumbuhan tumbuhan/rumput terganggu dan mengalami suksesi dari tumbuhan bawah menjadi semak belukar bahkan tumbuh menjadi pohon. Jenis pohon yang tumbuh baik sampai saat ini dan yang baru tumbuh akibat tidak terpeliharanya padang penggembalaan, antara lain gebang (Corypha utan), mara (Macaranga tanarius), lame (Alstonia scholaris), pangsor (Ficus callosa), teureup (Artocarpus elastic). Suksesi tersebut diperkirakan terjadi selama tujuh tahun jika dihitung dari

Penebangan kayu ilegal dan perambahan hutan yang terjadi di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang terjadi pada tahun 1998-2002 baru dapat dihentikan pada tahun 2003 dan langsung mulai dilakukan kegiatan rehabilitasi, yaitu penanaman kembali jenis-jenis yang ada di kawasan bekas penebangan/perambahan, seperti kipahang (Pongamia pinnata), teureup

(Artocarpus elastica), kenanga (Canangium odoratum), bayur (Pterospermum javanicum), hantap (Sterculia oblongata) dan salam (Syzygium polyanthum).

Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang dari hasil beberapa penelitian dapat dilihat Tabel 7.

Jumlah padang penggembalaan di Cagar Alam Leuweung Sancang tersebar di enam lokasi dengan luas keseluruhan 130 ha, yaitu Blok Cipalawah 30 ha, Cijeruk 10 ha, Cibako 20 ha, Ciporeang 20 ha, Cipadaruum 20 ha dan Cidahon 30 ha (SBKSDA Jabar II 1993a; Subroto 1996; Kusnandar 1997). Alikodra (1983) menyatakan bahwa padang penggembalaan merupakan habitat yang digunakan oleh banteng setiap harinya secara tetap untuk berkumpul, makan, istirahat, mengasuh dan membesarkan anak, kawin dan interaksi sosial lainnya dari jam 11.00-18.00 WIB, sedangkan jam 18.00 WIB kembali ke hutan untuk bersembunyi dan jam 21.00-24.00 WIB mengunjungi tempat minum yang berdekatan dengan tempat bersembunyi.

Penggunaan padang penggembalaan ini berbeda dengan Priyatmono (1996) yang menyatakan bahwa banteng yang berada di Taman Nasional Alas Purwo secara umum berada di padang penggembalaan pada pukul 06.00-07.00 WIB untuk merumput di samping terdapat juga kelompok banteng lain dari banteng yang masuk ke padang penggembalaan pada pukul 10.00-11.00 WIB, sedangkan Santosa et al. (2007) banteng sudah ditemukan di padang penggembalaan pada

pukul 05.00 WIB dan terlihat masih istirahat di bawah pohon yang terdapat di padang penggembalaan tersebut, bahkan terdapat kelompok banteng yang tidur semalam di padang penggembalaan dan mulai melakukan seluruh aktivitasnya pada pukul 06.30 WIB dan keluar dari padang penggembalaan menuju hutan dataran rendah pada pukul 09.00 WIB.

45

Tabel 7 Perkembangan padang penggembalaan Cagar Alam Leuweung Sancang Padang Penggembalaan Kondisi (Tahun) 1982 (Jenuyanti 2002) 1993 (Jenuyanti 2002) 1996 (Subroto 1996) 2011 Cijeruk - 7 m dpl - rumput yang sengaja ditanam - menara dalam keadaan baik - pemeliharaan secara berkala - 7 m dpl; - masih ada tanaman rumput gajah - Sebagian semak belukar - menara rusak berat; - 7 m dpl; - masih ada tanaman rumput gajah - Sebagian semak belukar 1 – 1.5 m; - menara rusak berat; -7 m dpl; -semak belukar dan pohon dengan tinggi 4 – 5 m -terdapat penggembal aan ternak masyarakat Cipalawah - 10 m dpl; - posisi di tengah- tengah hutan primer; - sumber air cukup; - pemeliharaan secara berkala - 10 m dpl; - posisi di tengah- tengah hutan primer; - sumber air cukup; - sebagian ditumbuhi semak belukar -10 m dpl; -posisi di tengah- tengah hutan primer; -sumber air cukup; -semak belukar 1.5 – 2 m - 10 m dpl; - ditumbuhi oleh semak belukar dan pepohonan dengan tinggi rata- rata > 4 m Cibako - 58 m dpl; - Padang rumput; - pinggir hutan sekunder muda - 58 m dpl; - semak belukar; -pinggir hutan sekunder muda - 58 m dpl; - mayoritas semak belukar; - pinggir hutan sekunder muda - 58 m dpl; - semak belukar dan pepohonan dengan tinggi rata- rata > 5 m Ciporeang - 42 m dpl; - Padang rumput - 42 m dpl; -sebagian ditumbuhi semak belukar - 42 m dpl; - semak belukar 1.5 – 2 m - 42 m dpl; - Semak dan pohon dengan tinggi > 4 m Cipadaruum - 44 m dpl; - Padang rumput - sumber air cukup; - 44 m dpl; - mayoritas ditumbuhi semak belukar -sumber air cukup; - 44 m dpl; - hutan sekunder; - sumber air cukup; - 44 m dpl; - semak belukar dan pepohonan dengan tinggi rata- rata > 4 m Cidaon -75 m dpl; -Padang rumput -sumber air di tengah kawasan - 75 m dpl; - Semak belukar - 75 m dpl; - hutan sekunder - 75 m dpl; - semak belukar dan pepohonan rata-rata > 5 m

Perbedaan mengenai keberadaan padang penggembalaan yang digunakan oleh banteng berbeda pula dengan Lekagul & McNeely (1977) yang menjelaskan bahwa banteng mengalami perubahan dari merumput di daerah terbuka pada pagi

hingga sore hari menjadi merumput pada malam hari karena adanya gangguan. Sementara itu Halder (1976) berpendapat bahwa ada juga banteng yang tidak pernah berada di areal penggembalaan, karena ditemukan jejak banteng di hampir seluruh wilayah semenanjung Ujung Kulon kecuali di daerah rawa dan daerah bergunung yang curam, Hommel (1987) melaporkan sering melihat kawanan banteng di semak dan komunitas tumbuhan langkap (Arenga obtusifolia) yang

lebat.

Perbedaan penggunaan padang penggembalaan dapat disebabkan adanya perbedaan habitat yang menyebabkan perbedaan pola aktivitas banteng dalam penggunaan habitat. Santosa et. al. (2007) berdasarkan penelitiannya di Taman

Nasional Alas Purwo, menjelaskan bahwa aktivitas banteng pada setiap tipe vegetasi relatif berbeda, yaitu aktivitas istirahat lebih banyak di lakukan di dataran rendah, mengasin di hutan pantai, dan aktivitas makan yang paling dominan dilakukan di hutan tanaman dan padang penggembalaan. Kontroversi tersebut dapat disebabkan pula oleh kegagalan dalam membedakan habitat yang disukai (prefered habitat) dan habitat yang dimanfaatkan (used habitat).

2. Ketersediaan Air

Kebutuhan banteng terhadap air tawar dipenuhi dari sumber-sumber air alami, yaitu dari sungai-sungai yang berada di sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang khususnya yang dekat dengan padang penggembalaan. Beberapa sungai dari arah barat sampai ke timur, antara lain: Sungai Cisanggiri, S. Cimerak, S. Cibaluk, S. Cikiray, S. Cijeruk, S. Cipangikis, S. Cikolomberan, S. Cipalawah, S. Cipanyawungan, S. Cipunaga, S. Cisakoja, S. Cibako, S. Cicukangjambe, S. Ciporeang, S. Cipangikisan, S. Cipadaruum dan S. Cikaengan. Sungai-sungai yang sering digunakan oleh banteng berdasarkan informasi dari petugas adalah Sungai Cijeruk, Sungai Cipangikis, Sungai Cikolomberan, Sungai Cibako dan Sungai Cipadaruum. Hal ini sama dengan dengan hasil penelitian (Subroto 1996) bahwa beberapa sungai yang sering digunakan oleh banteng dan berdekatan dengan padang penggembalaan, yaitu Sungai Cipadaruum, anak Sungai Cipangikisan dan Sungai Cikolomberan.

47

Kondisi air sungai maupun sumber air lainnya termasuk genangan air yang dijadikan sumber air yang digunakan banteng sampai saat ini masih terbilang jernih dan selalu ada di setiap musim, hanya saja air sungai tersebut akan sedikit berwarna kecoklatan pada saat terjadi hujan yang diperkirakan akibat adanya pengikisan tanah yang terbawa oleh air. Hal ini berbeda dengan kondisi genangan air yang berada di tengah padang penggembalaan Cijeruk walaupun terjadi hujan, akan tetapi kondisi airnya masih terlihat jernih.

Mardi (1995) dan Durahman (1998) menyatakan bahwa sumber air lainnya berasal dari bak (tempat) penampungan air minum dengan lebar 90 cm, panjang 180 cm dan kedalaman 60 cm. Bak penampungan air tersebut pada saat penelitian sudah tidak ditemukan lagi dan berdasarkan informasi dari petugas cagar alam bak tersebut sudah tidak berfungsi sejak tahun 1998.

Alikodra (1983) mengemukakan bahwa kebutuhan air yang diperlukan oleh banteng tidak hanya air tawar, tetapi diperlukan pula air laut untuk memenuhi kebutuhan garam/mineralnya atau yang biasa disebut dengan istilah pengasinan diperoleh dari pantai yang berada di sekitar habitatnya. Kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan suatu kawasan yang terdiri dari daratan dan lautan, sehingga kebutuhan banteng terhadap garam/mineral dapat dipenuhi langsung dari pantai yang berada di sekitarnya. Selain itu, keberadaan sungai- sungai sebagai tempat untuk memenuhi kebutuhan air tawarnya merupakan bagian hulu yang mengalirkan air ke laut. Kondisi ini menggambarkan kemudahan akses banteng terhadap kebutuhan air.

Kebutuhan banteng terhadap garam diperkirakan bahwa tumbuhan di hutan hujan tropika termasuk hutan Cagar Alam Leuweung Sancang, pada umumnya memiliki kandungan sodium (Na) yang rendah menyebabkan hewan-hewan herbivora memerlukan tambahan mineral yang biasanya diperoleh dari tempat pengasinan. Alikodra (1983) menyatakan bahwa banteng di Taman Nasional Ujung Kulon memnuhi kebutuhan mineralnya dari pantai, sedangkan banteng di Taman Nasional Baluran diketahui minum air payau di kubangan air sepanjang pantai yang dilakukan pada malam hari setelah jenis-jenis lain seperti babi hutan, rusa dan kerbau air selesai minum dan berkubang.

Peranan air ini sangat penting dalam tubuh agar dapat memperlancar reaksi kimia dan merupakan medium ionisasi dan hidrolisa zat makanan yang sangat baik. Asam-asam amino yang terdapat dalam air akan mengalami ionisasi sehingga zat makanan akan lebih reaktif. Selain itu, Alikodra (1983) menyatakan bahwa air merupakan faktor pembatas bagi kehidupan banteng dan satwa liar lainnya. Oleh karena itu, apabila ketersediaan air berkurang akan mempengaruhi kelangsungan kehidupan satwa liar tersebut, dengan demikian kebutuhan banteng akan garam pun sangat penting untuk pertumbuhannya.

3. Pelindung/ Cover

Alikodra (2002) menyatakan bahwa pelindung atau cover adalah struktur lingkungan yang dapat melindungi kegiatan reproduksi dan berbagai kegiatan satwa liar lainnya, oleh karena itu dapat diartikan sebagai areal atau tegakan yang dapat berfungsi sebagai pelindung atau tempat bersembunyi dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Alikodra dan Sastradipradja (1983) menyatakan bahwa hutan di Taman Nasional Ujung Kulon seluas 330.2 ha merupakan areal yang berfungsi sebagai tempat berlindung dari segala macam gangguan baik cuaca, manusia maupun pemangsa. Hal ini berbeda dengan Santosa et al. (2007) bahwa banteng menggunakan hutan dataran rendah di Taman Nasional Alas Purwo sebagai tempat beristirahat dan mencari makanan tambahan. Perbedaan penggunaan hutan ini diperkirakan adanya adaptasi banteng

Dokumen terkait