• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di sekitar Kawasan

5.2.1 Jumlah Penduduk

Jumlah penduduk sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga mempengaruhi terhadap keberadaan banteng karena dengan banyaknya jumlah penduduk di sekitar kawasan cagar alam dikhawatirkan akan mendorong masuk ke dalam kawasan semakin tinggi, sehingga mengancam keberadaan banteng baik dari segi populasi maupun habitatnya. Hal ini terlihat bahwa pada tahun 1993 jumlah penduduk mencapai 12300 jiwa mengakibatkan luas tutupan lahan perkebunan mencapai 738.34 ha dan rusaknya padang penggembalaan serta populasi mengalami penurunan dari tahun 1984 sebanyak 173 ekor menjadi 64 ekor pada tahun 1992 bahkan pada tahun 2003 telah dinyatakan punah atau tidak ditemukan lagi. Jumlah penduduk di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 9.

Keberadaan masyarakat di sekitar habitat banteng sangat menentukan terhadap keberadaan banteng. Imron et al. (2007) mengukur populasi banteng di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusia lebih rendah. Suhadi (2009) dan Pudyatmoko et al. (2007) menambahkan bahwa populasi banteng di Taman Nasional Baluran dari tahun ke tahun mulai tahun 2003 sampai 2006 mengalami penurunan yang disebabkan tingginya aktivitas manusia.

Tabel 9 Jumlah penduduk sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang

No. Desa Jumlah Penduduk (Jiwa)

1993 1994 1996 2011

1 Karyamukti 3497 3520 4208 3196

2 Sagara 3676 3835 3912 6029

3 Sancang 5127 5108 5863 6519

Jumlah 12300 12463 13983 15744

Sumber : Monografi Desa-desa di Kecamatan Cibalong Tahun 1993, 1994, 1996 dan 2011

5.2.2 Karakteristik Masyarakat

Karakteristik adalah sifat-sifat yang melekat dan dimiliki masyarakat yang berhubungan dengan aspek kehidupan dan lingkungan hidup. Karakteristik masyarakat sangat penting diketahui untuk menentukan hubungan antara

59

keberadaaan masyarakat dengan kepunahan banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Karakteristik masyarakat diketahui dari hasil wawancara secara mendalam dengan jumlah responden sebanyak 64 orang. Karakteristik yang diamati meliputi umur, asal, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan (Tabel 10).

Tabel 10 Karakteristik Masyarakat Cagar Alam Leuweung Sancang

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)

1. Asal a. Desa Sancang b. Desa Karyamukti c. Cibalong d. Pameungpeuk 52 1 5 6 81 2 8 9 2. Kelas umur a. < 40 tahun b. 40-50 tahun c. 50-60 tahun d. 60-70 tahun e. > 70 tahun 4 26 13 15 6 6 41 20 24 9 e. 3. Tingkat Pendidikan a. SD b. SMP/sederajat c. SMA/sederajat 60 2 2 94 3 3 4. Pekerjaan a. Nelayan b. Petani c. Juru kunci d. Pedagang e. Pensiunan PPA f. Pensiunan 47 6 8 1 1 1 73 9 12 2 2 2

5. Pendapatan rata-rata per bulan

a. < Rp. 500000,- b. Rp. 500000 – 1000000,- > Rp. 1.000.000,- 2 54 8 3 84 13

Mayoritas responden berasal dari Desa Sancang (81%) yang merupakan masyarakat asli dari daerah sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang telah tinggal semenjak tahun 1960an dan berinteraksi langsung dengan keberadaan banteng. Desa Sancang khususnya blok Plang merupakan salah satu kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang yang dirambah menjadi pemukiman dan perkebunan masyarakat dengan luas ± 33.7910 ha (SSKSDA Garut 1995). Kampung Sancang atau yang dikenal dengan blok Plang juga memberikan kemudahan akses untuk masuk ke dalam kawasan cagar alam, baik untuk

pengunjung yang akan berziarah maupun untuk masyarakat sekitar dan luar kawasan.

Responden lainnya berasal dari Desa Karyamukti (2%), Desa Cibalong (8%) dan Desa Pameungpeuk (9%). Desa Cibalong dan Pameungpeuk merupakan desa yang tidak berbatasan langsung dengan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Responden yang berasal dari Desa Cibalong dan Pameungpeuk merupakan para nelayan yang setiap harinya sengaja datang untuk mengambil hasil laut, seperti ikan dan rumput laut.

Umur responden secara keseluruhan bervariasi mulai dari di bawah 40 tahun sampai di atas 70 tahun, dengan mayoritas berusia 40-50 tahun sebanyak 41%. Sebagian masyarakat berumur di bawah 40 tahun (%), umur 5-60 tahun (20%), umur 60-70 tahun (24%) dan umur di atas 70 Tahun (9%). Rata-rata responden melihat langsung keberadaan banteng, baik di dalam kawasan cagar alam maupun di luar kawasan, yaitu di sekitar PTPN VIII Mira Mare bahkan ada yang pernah diseruduk dan dihalau oleh banteng sebanyak 5 orang, sehingga hal ini mendukung informasi mengenai banteng lebih dapat dipercaya.

Tingkat pendidikan masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang mayoritas 94% adalah lulusan SD, 31% lulusan SMP dan 3% lulusan SMA. Hal ini dikarenakan masyarakat pada jaman dahulu tidak mementingkan pendidikan dan terbatasnya biaya, sehingga mendorong anak-anak untuk membantu orang tuanya mencari uang untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Alasan lain adalah akses terhadap pendidikan dinilai cukup jauh sehingga mendorong masyarakat tidak mau untuk menempuh perjalanan tersebut. Kondisi tersebut mendorong masyarakat untuk tetap tinggal di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan memanfaatkan sumber daya alam sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Tingkat pendidikan juga berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni oleh masyarakat tersebut, bahkan sekarang ini menjadi salah satu syarat bagi tenaga kerja untuk memperoleh kesempatan kerja yang lebih besar. Pekerjaan masyarakat sekitar kawasan pada umumnya (73%) adalah nelayan, sedangkan sebagian lagi adalah petani (9%), juru kunci (12%), pedagang (2%), pensiunan perkebunan (2%) dan pensiunan kehutanan atau PPA (2%). Kondisi pekerjaan ini

61

menunjukkan bahwa pekerjaan yang masyarakat lakukan memang tidak membutuhkan tingkat pendidikan formal yang tinggi, kecuali pensiunan perkebunan dan kehutanan yang membutuhkan pendidikan formal minimal Sekolah Menengah Atas.

Pendapatan masyarakat sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang sebanyak 84% memiliki pendapatan rata-rata antara Rp 500 000.00 (lima ratus ribu rupiah) sampai Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) per bulan, 13% berpendapatan lebih dari Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) per bulan dan sebanyak 3% berpendapatan kurang dari Rp 500 000.00 (lima ratus rupiah) per bulan. Mayoritas masyarakat yang memiliki pendapatan antara Rp 500 000.00 (lima ratus ribu rupiah) sampai Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) merupakan masyarakat nelayan yang tergantung pada hasil tangkapannya di laut, sehingga mayoritas pendapatan masyarakat ini berdasarkan informasi dari petugas PT Perkebunan Nusantara VIII Mira Mare dan petugas Kecamatan Cibalong, Kabupaten Garut tidak dapat dikatakan berada di atas Upah Minimum Kabupaten Garut tahun 2010 sebesar Rp 735 000.00 (tujuh ratus tiga puluh lima ribu rupiah) dan tahun 2011 sebesar Rp 802 000.00 (delapan ratus dua ribu rupiah).

Kondisi masyarakat yang memiliki pendapatan dibawah Upah Minimum Kabupaten diperkirakan dapat mendorong mereka untuk mengeksploitasi sumber daya alam yang ada di sekitarnya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hal ini berbeda dengan juru kunci yang memiliki pendapatan lebih dari Rp 1000 000.00 (satu juta rupiah) jika pengunjung/peziarah tidak terlalu banyak, akan tetapi sebaliknya jika musim pengunjung banyak, yaitu setiap malam jumat kliwon pada perhitungan kalender jawa dan bulan Maulud tahun Hijriyyah penghasilan juru kunci dapat mencapai 10 juta rupiah.

Pendapatan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap intensitas interaksi ke dalam kawasan dan penggunaan sumber daya alam yang berada di sekitarnya karena pada dasarnya masyarakat memerlukan nilai ekonomi dari suatu sumber daya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengaruh dari kondisi demikian dapat terjadi pada banteng, jika masyarakat tidak mampu untuk membeli daging yang dinilai harganya cukup mahal dan keberadaan banteng dianggap mengganggu kebun yang dijadikan sebagai sumber pendapatannya, maka hal ini

tidak dapat dipungkiri bahwa masyarkat akan mengambil atau berusaha memburu keberadaan banteng tersebut, baik untuk dikonsumsi ataupun dijual sebagai sumber pendapatannya.

5.2.3 Pengetahuan mengenai Banteng

Masyarakat sekitar Cagar Alam Leuweung Sancang rata-rata memiliki pengetahuan terhadap keberadaan banteng sejak tahun 1960 sampai 2002 dan pernah diseruduk dan dihalau oleh banteng tersebut, baik di dalam kawasan maupun di luar kawasan yaitu ke dalam kawasan PTPN VIII Mira Mare bahkan ke halaman rumah atau perkebunan pisang masyarakat. Pengetahuan keberadaan banteng lainnya, yaitu melihat banteng secara langsung di padang penggembalaan dan yang sedang melintas/berada di tengah jalan. Pengetahuan masyarakat mengenai banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang meliputi keberadaan, perburuan, distribusi daging dan konflik atau permasalahan dengan banteng. Persentase pengetahuan mengenai banteng dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Pengetahuan masyarakat mengenai banteng

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)

Pengetahuan mengenai banteng

1. Keberadaan banteng 2. Perburuan banteng 3. Distribusi daging banteng

a. Dimakan b. Dijual 4. Konflik banteng 64 64 29 35 64 100 100 45 55 100

Keberadaan banteng saat ini berdasarkan informasi masyarakat tidak pernah lagi ditemukan sejak tahun 2003, begitu pula dengan hasil inventarisasi petugas pada tahun yang sama tidak ditemukan jejak keberadaan banteng. Akan tetapi sebagian masyarakat mengaku bahwa beberapa bulan pada tahun 2011, yaitu bulan April dan Mei memperkirakan masih memperkirakan keberadaan banteng dari suara dan jejak kaki di blok Cipalawah dan Cijeruk, yaitu 3 ekor banteng jantan, akan tetapi keberadaan jejak banteng berdasarkan informasi dari masyararakat tersebut selama penelitian tidak ditemukan. Hal ini menguatkan bahwa banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang mengalami kepunahan karena walaupun berdasarkan informasi masyarakat masih terdapat 3 ekor banteng jantan

63

tersebut telah dianggap sebagai mitos karena selalu ditemukan di pemakaman sekitar kawasan cagar alam tidak akan dapat berkembangbiak.

Masyarakat juga mengetahui mengenai adanya perburuan banteng, baik yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan, pihak PTPN VIII Mira Mare maupun tamu yang datang ke dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dan PTPN VIII Mira Mare. Pengetahuan mengenai perburuan ini tidak sepenuhnya disertai dengan pengakuan bahwa masyarakat tersebut pernah terlibat dalam perburuan. Hal ini diperkirakan masayarakat masih memiliki rasa takut untuk mengakui keterlibatannya dalam perburuan banteng, akan tetapi sebagian masyarakat (27%) mengakui keterlibatannya dan mengunggkapkannya secara terbuka, sedangkan 73% tidak mengakui keterlibatan perburuan.

Masyarakat yang mengakui keterlibatannya dalam perburuan mengaku bahwa hanya sebagai pengantar dari para tamu yang akan berburu dan membantu apa yang bisa dilakukannya, seperti sebagai penunggu mobil para tamu dan pembawa senjata yang digunakan oleh tamu tersebut. Upah atau bayaran yang masyarakat terima dari keterlibatan perburuan itu tidak disebutkan secara rupiah, akan tetapi masyarakat mengakui dari hasil perburuan tersebut mendapatkan daging banteng dan membagikannya ke masyarakat sekitarnya karena pemburu biasanya hanya mengambil bagian kepalanya untuk dijadikan hiasan. Pengakuan lainnya diungkapkan bahwa masyarakat pernah membantu untuk memasang kawat jerat dan membuat parit untuk mencegah banteng ke luar kawasan. Akibat dari upaya pencegahan tersebut masyarakat sering menemukan banteng yang mati dan terdapat bekas kawat jerat pada bagian tubuh banteng tersebut.

Pendistribusian daging banteng berdasarkan informasi dan pengakuan dari masyarakat yaitu 55% dikonsumsi langsung oleh masyarakat dan 45% dijual di pasar sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dengan harga lebih rendah dari pada harga daging sapi pada waktu itu. Konsumsi daging oleh masyarakat hampir semuanya menyatakan pernah memakan daging banteng secara bersama- sama di masjid pada perayaan-perayaan besar islam, seperti maulid nabi dan idul adha dari hasil pemberian yang ikut berburu.

Pengetahuan mengenai konflik banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terdapat beberapa kejadian antara lain yaitu terjadi dua kasus yang

meninggal karena diseruduk oleh banteng pada tahun 1980an dan beberapa orang luka serta adanya gangguan terhadap tanaman perkebunan milik masyarakat dan PTPN VIII Mira Mare, sehingga dilakukan beberpa upaya pencegahan seperti yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya. Upaya pencegahan banteng tersebut ada yang menyebabkan kematian banteng baik secara langsung maupun tidak langsung, akan tetapi masyarakat telah menemukan beberapa banteng yang mati karena terluka dan terdapat bekas jeratan bahkan yang ditemukan hanya tulang belulang. Hal demikian dapat menyebabkan berkurangnya populasi banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang.

5.2.4 Persepsi mengenai Banteng

Dyah (1983) menyatakan bahwa persepsi merupakan suatu pandangan, pengertian dan interpretasi seseorang mengenai suatu objek yang diinformasikan kepadanya dengan cara mempertimbangkan hal tersebut dengan diri dan lingkungannya. masyarakat terhadap segala aktivitas dalam kehidupannya. Persepsi masyarakat yang berada di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, meliputi (1) status dan manfaat keberadaan banteng dan (2) pelestarian banteng dan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang. Persentase persepsi masyarakat dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Persepsi masyarakat

Karakteristik Jumlah (Orang) Persentase (%)

Persepsi mengenai banteng 1. Status banteng

a. Dilindungi b. Tidak dilindungi

2. Manfaat keberadaan banteng

a. Hama b. Netral

3. Konservasi atau pelestarianbanteng

a. Perlu b. Tidak perlu 4. Status kawasan a. Bermanfaat b. Netral 64 0 44 20 22 42 22 42 100 0 69 31 34 66 34 66

Mayoritas masyarakat telah mengetahui status banteng yang dilindungi oleh undang-undang dan peraturan pemerintah yang harus dilestarikan keberadaannya, akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa banteng merupakan salah satu jenis

65

satwa yang telah dikategorikan ke dalam status konservasi “Terancam Kepunahan” yang diakibatkan terjadinya penurunan populasinya. Hal ini menyebabkan masyarakat beranggapan bahwa banteng merupakan satwa bebas yang dapat dimanfaatkan atau termasuk satwa yang dapat diburu, dan mereka tidak memiliki kesadaran untuk tetap melestarikan keberadaan banteng.

Sebagian besar masyarakat (69%) berpendapat bahwa keberadan banteng di Cagar Alam Leuweung Sancang merupakan hama bagi perkebunan, baik milik masyarakat maupun PTPN VIII Mira Mare. Banteng dianggap masyarakat mengganggu kebun tanaman pisang dan tanaman yang berada di sekitar rumah masyarakat, sedangkan PTPN VIII Mira Mare mengganggap bahwa banteng merusak dan memakan anakan tanaman karet dan kelapa hibrida. Sebagian masyarakat juga merasa takut dengan keberadaan banteng karena pernah dihalau oleh banteng di tengah jalan. Persepsi lainnya masyarakat menganggap bahwa keberadaan banteng tidak terlalu mempengaruhi aktivitas dan kehidupannya masyarakat sehari-hari atau dikatakan netral (31%). Persepsi mengenai manfaat keberadaan banteng ini sangat mempengaruhi terhadap kelestarian populasi banteng, karena jika masyarakat beranggapan negatif terhadap keberadaan banteng maka diperkirakan masyarakat akan berusaha untuk mencegah atau mengurangi populasi banteng tersebut, begitu pun sebaliknya.

Persepsi masyarakat mengenai pelestarian banteng di kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang pada umunya (66%) beranggapan bahwa banteng tidak perlu dilestarikan, sedangkan sebagian masyarakat (34%) beranggapan bahwa banteng perlu dilestarikan keberadaannya. Persepsi masyarakat yang menyatakan tidak perlunya pelestarian terhadap keberadaan banteng merupakan masyarakat yang beranggapan bahwa banteng adalah pengganggu aktivitas manusia dan hama perkebunan serta beranggapan bahwa jika banteng dilestarikan dikhawatirkan kawasan hutan Cagar Alam Leuweung Sancang akan mengalami kerusakan kembali dengan adanya perambahan dan intensitas masyarakat masuk kawasan yang tinggi. Persepsi masyarakat yang mendukung pentingnya keberadaan banteng untuk dilestarikan mengemukakan bahwa perlunya kegiatan reintroduksi atau pengadaan kembali banteng dengan cara mendatangkan banteng dari habitat

lain karena keberadaannya dapat dijadikan sebagai objek wisata maupun sebagai warisan pengetahuan bagi generasi muda berikutnya.

Status dan keberadaan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang menurut sebagian besar masyarakat (66%) berpendapat bahwa keberadan kawasan tersebut tidak terlalu mempengaruhi aktivitas dan kehidupannya masyarakat sehari- harinya, sedangkan sebagian masyarakat (34%) beranggapan bahwa keberadaan status kawasan sebagai kawasan konservasi sangat bermanfaat untuk melestarikan segala komponen ekosistem didalamnya termasuk kelestarian banteng. Persepsi mengenai status kawasan ini dapat mempengaruhi terhadap kelestarian populasi banteng dan komponen ekosistem lain di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, karena jika masyarakat beranggapan negatif terhadap status kawasan, maka diperkirakan masyarakat akan tetap berusaha melakukan perambahan atau pengambilan sumber daya yang ada di dalam kawasan, seperti pengambilan satwa khususnya burung untuk diperjualbelikan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidupnya, begitu pun sebaliknya.

5.2.5 Interaksi terhadap kawasan

Alikodra (1993) menyebutkan bahwa selain adanya bencana alam, berubahnya kondisi ekologi atau habitat banteng disebabkan oleh kegiatan- kegiatan manusia. Interaksi atau kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dilihat dari uraian pekerjaan dan hasil analisis di lokasi penelitian tersebut terdiri dari beberapa kegiatan, seperti perburuan atau pengambilan satwa, perambahan, pemukiman, penangkapan hasil laut dan penggembalaan ternak. Kegiatan ini sangat berkaitan dengan penggunaan lahan kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang.

Bakosurtanal (2007) menyebutkan bahwa penggunaan lahan termasuk ke dalam komponen sosial budaya karena penggunaan lahan mencerminkan hasil kegiatan manusia atas lahan serta statusnya. Adanya aktivitas manusia dalam menjalankan kehidupan ekonomi, sosial, dan budaya sehari-hari berdampak pada perubahan penutupan lahan. Perubahan penggunaan lahan yang pesat terjadi apabila adanya investasi di bidang pertanian atau perkebunan, karena dalam

67

kondisi ini akan terjadi perubahan lahan hutan, semak, ataupun alang-alang menjadi lahan perkebunan.

Subiyakto (1990) menjelaskan bahwa perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah merupakan cerminan upaya manusia memanfaatkan dan mengelola sumber daya alam, khususnya lahan. Perubahan penggunaan lahan akan memberikan dampak pada masyarakat dan kondisi lingkungannya sehingga akan terjadi penyesuaian sistem sosial pada pemanfaatan alam, khususnya lahan. Interaksi masyarakat di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang, antara lain:

1. Pengambilan hasil laut

Pengambilan hasil laut yang dilakukan oleh masyarakat meliputi rumput laut, kerang-kerangan, ikan hias dan ikan konsumsi serta berbagai jenis udang. Aktivitas melaut ini telah dilakukan oleh masyarakat sejak tahu 1960an mulai dari pengambilan secara sederhana seperti menggunakan pancing, jaring hingga menggunakan perahu seperti yang ada sampai saat ini. Jumlah perahu di seluruh lokasi yang ada pada saat penelitian ± 24 buah yang diperoleh dari Dinas Perikanan setempat. Lokasi atau blok pengambilan hasil laut berada di daerah antara muara Sungai Cipangikisan hingga muara Cikolomberan, muara Cikabodasan, Cipunaga dan Ciporeang sampai Cipanglemuan.

Kegiatan pengambilan hasil laut selain pada musim barat dilakukan hampir setiap hari dari pagi sampai malam hari karena masyarakat nelayan bahwa pada musim tersebut aman dan dapat menghasilkan banyak tangkapannya. Hal ini berbeda dengan melaut pada musim barat yang kondisi angin dan gelombang lautnya tidak stabil dan diperkirakan dapat membahayakan keselamatan nelayan serta ikan, udang dan lainnya pada musim tersebut sangat sedikit, sehingga para nelayan cenderung hanya mengolah rumput laut mereka yang telah diperoleh sebelumnya untuk segera dijual kepada pengepul. Kegiatan melaut masyarakat juga didukung dengan adanya akses atau jalan yang dapat dilalui oleh kendaraan bermotor yang terhubung sampai pada lokasi pengambilan hasil laut tersebut, sehingga masyarakat nelayan mendapatkan kemudahan untuk langsung mendistribusikan hasil laut mereka ke tampat pelelangan untuk menjual hasil laut tersebut.

Aktivitas keluar dan masuknya kendaraan bermotor tersebut diduga dapat mengganggu keberadaan dan aktivitas banteng didalamnya sehingga banteng memilih dan menyebar ke kawasan yang lebih aman termasuk ke luar kawasan (perkebunan PTPN VIII Mira Mare), sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab berkurangnya kehadiran banteng di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dikarenakan banteng memiliki tingkat kepekaan tinggi terhadap keberadaan predator termasuk manusia. Kondisi seperti ini terjadi pada pengukuran populasi di Taman Nasional Alas Purwo berdasarkan jumlah jejak yang ditemukan, ternyata jumlah jejak banteng lebih banyak ditemukan di lokasi yang aktivitas manusianya lebih rendah (Imron et al. 2007).

2. Pemukiman

Pemukiman di sekitar kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang terdiri dari pemukiman permanen dan semi permanen. Pemukiman permanen terdapat di Kampung Cihurang dan Cimerak, Desa Karyamukti. Pemukiman ini berawal dari gubuk-gubuk menjadi semi permanen dan pemukiman permanen. SSKSDA (1995) menyatakan bahwa pemukiman di blok Cihurang pada tahun 1976 terdapat 30 Kepala Keluarga pada tanah seluas 25 ha, sedangkan lebih rincinya mengenai penggunaan lahan tersebut dapat dijelaskan pada sub bab permabahan.

Penggarapan lahan secara umum oleh masyarakat diakibatkan oleh ketidakjelasan dan perbedaan persepsi antara para pihak mengenai tata batas kawasan. Balai Konservasi Sumber Daya Alam III Bogor menyatakan bahwa awal terjadinya pemukiman terjadi pada bulan Juni tahun 1985 ketika dilakukan rekontruksi tanah batas pada tahun 1988. Saat itu Kepala Desa Maroko beserta petugas dari Sub Dit. Agraria beranggapan bahwa patok batas PA 230-291 adalah tanah negara yang diserahkan kepada masyarakat bekas PTP XIII (saat ini PTPN VIII Mira Mare) sehingga penataan batas terlambat. Akibat dari kejadian tersebut maka terjadilah penggarapan liar tersebut seluas ± 33.7910 ha yang dijadikan areal kebun dan perumahan penduduk sebanyak 38 Kepala Keluarga.

Saat ini blok sengketa tersebut dikenal dengan nama blok Plang atau Kampung Sukalaksana atau Kampung Sancang, Desa Sancang dan telah mengalami penambahan jumlah penduduk, yaitu mencapai 56 Kepala Keluarga.

69

Pemukiman juga terdapat di dalam kawasan berupa gubuk-gubuk liar atau tempat tinggal yang atapnya terbuat dari daun kelapa, sedangkan dinding dan tiang penyangganya dari bambu, yaitu di sepanjang pantai selatan cagar alam dari muara Sungai Cipangikisan sampai Cipalemuan (Gambar 8).

Gambar 8. Contoh gubuk-gubuk liar di blok Ciporeang

Gubuk-gubuk tersebut pada tahun 1997 tercatat sebanyak 94 gubuk liar yang tersebar di 9 lokasi, akan tetapi setahun kemudian tahun 1998 jumlah gubuk mulai bertambah mencapai ratusan. Pertambahan keberadaan gubuk-gubuk ini berhasil ditekan oleh operasi Lodaya yang dilakukan oleh pengelola Cagar Alam Leuweung Sancang, sehingga pada tahun 2006 keberadaan gubuk mulai berkurang menjadi 87 gubuk. Penurunan jumlah gubuk tersebut tidak bertahan lama, sehingga pada tahun 2011 bertambah kembali mendekati jumlah gubuk pada tahun 1997, yaitu 93 gubuk. Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Perkembangan keberadaan gubuk-gubuk liar di dalam kawasan Cagar Alam Leuweung Sancang

Lokasi Jumlah Gubuk 1997 (Mustari 2007) 2006 (Mustari 2007) 2011 Cipangikisan 10 6 11 Cikabodasan 10 7 11 Cetut 3 4 4 Cikolomberan 30 29 23 Cipunaga 9 9 9 Cibako 6 6 11 Ciporeang 12 12 10 Karang Jambe 3 3 3 Cipalemuan 11 11 11 Jumlah 94 87 93

Fungsi gubuk tersebut sebagai tempat tinggal masyarakat nelayan, pelelangan ikan dan penyimpanan alat-alat untuk melaut bahkan beberapa dijadikan sebagai warung atau tempat jualan makanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat yang berada di dalam kawasan tersebut. Akibat adanya aktivitas masyarakat nelayan tersebut diperkirakan dapat mengganggu aktivitas banteng, terutama untuk mengasin (salt lick), sehingga banteng akan mencari tempat lain

untuk mengasin atau merubah waktunya pada saat tidak ada atau sedikit gangguan termasuk gangguan dari aktivitas masyarakat. Alikodra (2010) menyatakan bahwa banteng memiliki tingkat kepekaan yang sangat tinggi terhadap gangguan.

Dokumen terkait