• Tidak ada hasil yang ditemukan

Prinsip kerja dari alat rancimat ini adalah penghembusan oksigen secara terus menerus ke dalam sampel sambil dipanaskan sehingga dihasilkan ion-ion hasil oksidasi. Ion-ion ini akan menghasilkan nilai konduktivitas tertentu yang terukur di dalam air bebas ion. Sistem kerja alat rancimat dapat dilihat pada Gambar 13. Tujuan penggunaan air bebas ion (demineralisasi) adalah agar konduktivitas yang terukur hanyalah berasal dari ion produk degradasi volatil saja. Jika digunakan air aquades biasa, dikhawatirkan masih

terdapat ion-ion dari air yang dapat menyebabkan kesalahan positif di dalam pengukurannya.

Produk

O2 degradasi volatil

Sampel Konduktivitas

Pemanas 100oC Air demineralisasi

Gambar 13. Sistem kerja AOM dengan alat rancimat

Waktu induksi diukur sebagai waktu yang diperlukan untuk meraih titik akhir oksidasi yang berhubungan dengan tingkat ketengikan yang dapat dideteksi atau perubahan tiba-tiba tingkat oksidasi, dan biasanya berhubungan dengan umur simpan produk. (Pressa-Owens et al., 1995). Makanan yang ditambahkan antioksidan bertujuan untuk menghambat dekomposisi oksidatif lemak dan minyak yang terkadung di dalamnya. Metode AOM dengan alat rancimat ini dapat menghitung keefektifan antioksidan.

Tabel 1. Pemilihan minyak awal menggunakan alat rancimat (100oC) Jenis Minyak Periode induksi (jam)

Happy Salad Oil 7.67

Tropicana Corn Oil 12.60

Mazola Corn Oil 19.85

Berrio Olive Oil(Extra Virgin) > 22.6

Pemilihan jenis minyak yang digunakan didasarkan pada periode induksi terendah. Dasar dari pemilihan awal jenis minyak ini adalah kepada sifat minyak yang memiliki jumlah asam lemak jenuh yang banyak. Menurut sifatnya, asam lemak tak jenuh lebih cepat dioksidasi ikatannya dibandingkan asam lemak jenuh sehingga waktu oksidasi juga semakin singkat. Minyak

yang mengandung asam lemak tak jenuh banyak, misalnya minyak jagung, minyak biji bunga matahari, minyak kedelai, minyak zaitun, dan lain sebagainya.

Keempat jenis minyak yang digunakan antara lain Happy Salad oil, Tropicana Corn Oil, Mazola Corn Oil, dan Berrio Olive Oil. Masing-masing minyak diuji periode induksinya dengan menggunakan alat rancimat pada suhu 100oC. Dari keempat jenis minyak tersebut, periode induksi yang didapatkan adalah 7.67 jam untuk Happy Salad Oil, 12.60 jam untuk Tropicana Corn Oil, 19.85 jam untuk Mazola Corn Oil, dan lebih dari 22.6 jam untuk Berrio Olive Oil (Tabel 2). Minyak dengan periode induksi terendah adalah minyak kedelai Happy Salad Oil, sehingga untuk penggunaan minyak untuk uji selanjutnya menggunakan minyak kedelai. Gambar empat jenis minyak untuk uji AOM dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14. Empat jenis minyak untuk uji AOM dengan alat rancimat

Minyak kedelai merupakan hasil ekstraksi kacang kedelai dengan cara

solvent extraction meggunakan heksana. Kelebihan dari minyak kedelai,

antara lain minyak tetap dalam kondisi cair pada kisaran suhu ruang, memiliki kandungan asam lemak tak jenuh yang tinggi, dapat dihidrogenasi secara selektif dalam pencampuran dengan minyak cair atau semi padatan, dan ketika dihidrogenasi secara parsial, dapat digunakan sebagai minyak tuang semi padatan. Selain itu, fosfatid, trace metal, dan sabun di dalam minyak kedelai dapat dihilangkan sehingga didapatkan minyak dengan kualitas yang baik. Kelemahan dari minyak ini adalah jumlah fosfatid yang relatif besar (2%) yang harus dihilangkan selama poses dan mengandung asam linolenat yang

tinggi (7-8%) yang berperan dalam flavor dan odor reversion (Sipos dan Szuhaj, 1996).

Minyak kedelai rendah kandungan lemak jenuh dan kaya akan

monounsaturated fat dan polysaturated fat. Selain itu minyak ini kaya akan asam lemak esensial linoleat dan linolenat. Total asam lemak jenuh minyak kedelai sebesar 15.0% dan total asam lemak tak jenuh sebesar 80.7%. Menurut Sipos dan Szuhaj (1996), minyak kedelai memiliki kestabilan yang paling rendah dibandingkan dengan minyak bunga matahari dan minyak kacang, dikarenakan kandungan lemak tak jenuhnya yang tinggi dan sedikitnya jumlah komponen alami yang memberikan efek protektif antioksidan. Jumlah tokoferol alami di dalam minyak kedelai adalah sebesar 937 mg/ kg minyak (Kolb et al., 2002).

Jika dibandingkan dengan minyak jagung dan minyak zaitun, periode induksi minyak kedelai adalah yang terendah. Menurut Anonim (1996), minyak jagung memiliki jumlah monounsaturated dan polyunsaturated fatty acid sebesar 84%, dan minyak zaitun sebesar 81%. Walaupun kadar asam lemak tak jenuhnya tinggi, minyak jagung alami memiliki stabilitas superior karena mengandung antioksidan alami yang tinggi seperti asam ferulat dan tokoferol (Strecker et al., 1996) sehingga lebih sulit teroksidasi. Jumlah tokoferol alami dalam minyak jagung adalah 1006 mg/kg minyak dan dalam minyak zaitun adalah 133 mg/ kg minyak (Kolb et al., 2002).

Gambar 15. BHT (Butylated Hydroxy Toluene)

Sebagai perbandingan, dilakukan juga pengukuran periode induksi terhadap antioksidan sintetik, yaitu BHT (Butylated Hydroxy Toluene). BHT, dengan rumus kimia C15H24O, adalah komponen organik tidak larut air

berbentuk kristal putih yang banyak digunakan sebagai bahan aditif antioksidan yang dihasilkan dari reaksi p-cresol dengan isobutilen. BHT bereaksi dengan radikal bebas, menghambat tingkat autooksidasi dalam pangan, dan mencegah perubahan warna, bau, dan rasa pangan.Struktur kimia BHT dapat dilihat pada Gambar 15.

Periode induksi dari BHT rata-rata setelah dukurangi dengan kontrol tanpa penambahan BHT adalah 15.71 jam. Nilai ini nantinya dibandingkan dengan periode induksi minyak yang ditambahkan ekstrak rempah sehingga didapat persentase faktor protektif. Nilai BHT dianggap memiliki faktor proteksi sebesar 100%. Menurut Domingos et al. (2007), BHT memiliki keefektifan terbesar pada kisaran konsentrasi 200 sampai 7000 ppm, BHA

(Butyl Hydroxy Anisol) pada konsentrasi tidak lebih dari 2000 ppm, dan

TBHQ (t-Butylated Hydroxy Quinone) dengan konsentrasi 8000 ppm pada minyak kedelai etil ester menggunakan alat rancimat.

Gambar 16. Perbandingan faktor protektif rempah pasar dan pabrik 0 10 20 30 40 50 60 70 % P ro te k Pasar Pabrik Pasar 10.69 1.40 0.70 13.38 58.98 2.40 Pabrik 10.88 4.58 5.82 2.16 50.88 3.68 Lada hitam Lada

putih Jinten Ketumbar Biji pala

Kayu manis

* Ekstrak hasil pemekatan dengan rotavapor ** Faktor protektif BHT (50000 ppm) = 100%

Masing-masing rempah yang ditambahkan ke dalam minyak adalah 150 mg dan dibandingkan dengan antioksidan sintetik BHT dengan jumlah yang sama. Berdasarkan uji dengan alat rancimat yang dilakukan pada suhu 100oC, urutan rempah pasar yang memiliki faktor protektif tertinggi sampai terendah adalah biji pala (58.98%), ketumbar (13.38%), lada hitam (10.69%), kayu manis (2.40%), lada putih (1.40%), dan jinten (0.70%). Sedangkan urutan rempah pabrik dari yang tertinggi sampai terendah adalah biji pala (50.88%), lada hitam (10.88%), jinten (5.58%), lada putih (4.58%), kayu manis (3.68%), dan ketumbar (2.16%). Perbandingan faktor protektif rempah pasar dan pabrik dapat dilihat pada Gambar 16.

Jika dibandingkan keduanya, rata-rata rempah pabrik memiliki faktor protektif lebih besar dibandingkan dengan rempah pasar. Hal ini mungkin disebabkan karena ukuran partikel sampel saat diekstrak, dimana semakin kecil ukuran partikel maka komponen yang terekstrak lebih besar. Sampel pabrik memiliki ukuran partikel yang sangat halus sehingga antioksidan yang terkandung di dalam sampel pabrik lebih banyak terekstrak oleh pelarut etanol dan menyebabkan tingginya faktor protektif rempah pabrik yang dihasilkan dari metode AOM dengan alat rancimat. Sedangkan rempah pasar lebih memiliki ukuran partikel yang lebih besar dibandingkan dengan rempah pabrik, sehingga saat diekstrak oleh etanol, mungkin antioksidan yang terlarut di dalam etanol lebih sedikit dibandingkan dengan rempah pabrik dan menyebabkan faktor protektif yang dihasilkan dari metode AOM dengan alat rancimat lebih kecil.

Dari keenam rempah tersebut, empat rempah pabrik memiliki faktor perotektif lebih besar daripada rempah pasar, antara lain lada hitam, lada putih, jinten, dan kayu manis. Lada hitam pasar dengan pabrik memiliki faktor protektif yang kurang lebih sama, hanya berbeda 0.19%. Lada putih pabrik memiliki faktor protektif lebih besar 3.3 kali lebih besar dari lada putih pasar. Jinten pabrik memiliki faktor protektif 8.3 kali lebih besar dibandingkan dengan jinten pasar. Kayu manis pabrik memiliki faktor protektif 1.5 kali bebih besar dibandingkan kayu manis pasar Sedangkan, dua rempah pasar yang lebih besar faktor protektifnya daripada rempah pabrik adalah ketumbar

dan biji pala. Ketumbar pasar memiliki faktor protektif lebih besar 6.2 kali dibandingkan dengan ketumbar pabrik. Biji pala pasar memiliki perbedaan faktor protektif lebih besar 1.2 kali dibandingkan dengan biji pala pabrik.

Meskipun lada hitam dan lada putih berasal dari jenis yang sama, faktor protektif lada hitam ternyata jauh lebih besar daripada lada putih, yang mungkin disebabkan karena adanya perbedaan saat proses pengolahannya, dimana lada putih tidak memiliki kulit luar seperti halnya lada hitam. Sehingga aktivitas antioksidan yang dimiliki lada putih lebih kecil dibandingkan lada hitam. Sesuai dengan Martinez et al. (2006) yang menyatakan bahwa secara signifikan lada hitam dan lada putih dapat menghambat oksidasi lemak dan menurunkan formasi off odor, terutama lada hitam. Hal ini didukung pula oleh Chipault et al. (1952) di dalam Farrell (1990), dimana lada hitam memiliki aktivitas antioksidan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lada putih.

Menurut Hirasa dan Takemasa (1998), periode induksi biji pala lebih besar tiga kalinya dibandingkan periode induksi lada hitam diukur dengan metode AOM. Hal ini juga ditunjukkan dari hasil penelitian dimana faktor protektif biji pala jauh lebih besar, yaitu hampir lima kali lipat dari faktor protektif lada hitam.

Dari Gambar 16, hasil penelitian menunjukkan bahwa persentase protektif rempah pasar yang dimiliki kayu manis ternyata lebih rendah dibandingkan dengan biji pala, lada hitam, dan ketumbar, sedangkan untuk rempah pabrik, persentsae faktor protektif dari yang tertinggi sampai terendah adalah biji pala, lada hitam, kayu manis, dan ketumbar. Hal ini didukung oleh hasil uji dengan alat rancimat yang dilakukan oleh Politeo et al. (2006) terhadap biji pala, kayu manis, lada hitam, dan ketumbar. Urutan nilai indeks aktivitas antioksidan tertinggi sampai terendah adalah biji pala, ketumbar, dan kayu manis, sedangkan lada hitam dan kayu manis memiliki indeks aktivitas antioksidan yang sama. Menurut Chipault et al. (1952) di dalam Farrell (1990), dari keenam jenis rempah tersebut, sampel kayu manis, ketumbar, dan jinten memiliki aktivitas antioksidan yang sama besarnya. Biji pala memiliki

aktivitas antioksidan terbesar dibandingkan dengan lima sampel lainnya yaitu sekitar tiga kali lebih besar.

Menurut Sumardi (1992), terdapat hubungan dimana jika kandungan asam lemak tidak jenuh yang tinggi di dalam rempah maka aktivitas antioksidannya juga tinggi. Kandungan asam lemak tidak jenuh biji pala antara lain asam miristoleat dan asam oleat sebesar 35.56% dan 7.89%, sedangkan asam lemak jenuhnya adalah asam stearat sebesar 32.46%. Asam lemak tidak jenuh di dalam jinten tidak terlalu tinggi, yaitu asam eikosadienoat sebesar 10.20% dibandingkan dengan asam lemak jenuhnya yaitu asam palmitat sebesar 32.51%.

Dokumen terkait