• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Stroke

2.1.3. Faktor Risiko Stroke

Seseorang menderita stroke karena memiliki faktor risiko stroke. Faktor risiko stroke dibagi menjadi dua, yaitu faktor risiko yang tidak dapat diubah dan faktor risiko yang dapat diubah.

Tabel 2.1. Faktor Risiko Stroke

Faktor yang Tidak Dapat Diubah Faktor yang Dapat Diubah

Usia tua Hipertensi

Jenis kelamin laki-laki Diabetes Melitus

Ras Dislipidemia

Riwayat keluarga Merokok

Riwayat stroke sebelumnya Obesitas

Sumber : Pinzon & Asanti, 2010

Untuk lebih jelasnya faktor-faktor risiko stroke tersebut diuraikan sebagai berikut (Wahyu, 2009) dan (Pinzon&Asanti, 2010) :

a. Faktor risiko yang tidak dapat diubah a.1. Usia

Meskipun stroke dapat menyerang segala usia, diketahui bahwa mereka yang berusia lanjut lebih berisiko terserang penyakit yang berpotensi mematikan dan menimbulkan kecacatan tetap. Setelah mencapai usia 55 tahun, risiko stroke meningkat dua kali lipat setiap pertambahan usia 10 tahun. Dua pertiga kasus stroke diidap oleh mereka yang berusia 65 tahun. Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Pinzon&Asanti (2010) bahwa semakin tua usia seseorang

akan semakin mudah terserang stroke. Stroke dapat terjadi pada semua usia, namun lebih dari 70% kasus stroke terjadi pada usia di atas 65 tahun.

a.2. Jenis Kelamin

Stroke lebih banyak dijumpai pada laki-laki. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki berisiko terserang stroke dibandingkan wanita. Namun, kematian akibat stroke lebih banyak dijumpai pada wanita dibandingkan laki-laki karena umumnya wanita terserang stroke pada usia yang lebih tua. Pinzon & Asanti (2010) juga mengatakan bahwa laki-laki lebih mudah terkena stroke. Hal ini dikarenakan lebih tingginya angka kejadian faktor risiko stroke (hipertensi) pada laki-laki.

a.3. Riwayat Keluarga

Faktor genetik di dalam keluarga juga merupakan faktor risiko stroke. Beberapa penyakit seperti diabetes mellitus dan hipertensi diketahui dapat diturunkan secara genetik dari seseorang kepada keturunannya. Hertzberg, dkk dalam Pinzon & Asanti (200) mengungkapkan bahwa risiko stroke meningkat pada seseorang dengan riwayat keluarga stroke. Seseorang dengan riwayat keluarga stroke lebih cenderung menderita diabetes dan hipertensi. Hal ini mendukung hipotesis bahwa peningkatan kejadian stroke pada keluarga penyandang stroke adalah akibat diturunkannya faktor risiko stroke. a.4. Ras atau Etnis

Insidensi dan kematian akibat stroke di Amerika Serikat lebih tinggi pada kelompok ras Afro-Amerika dibandingkan ras Eropa-Amerika. Namun, di

Indonesia pengaruh perbedaan faktor ras terhadap stroke tidak diketahui dengan pasti. Pinzon & Asanti (2010) mengatakan bahwa kejadian stroke pada ras kulit berwarna lebih tinggi dari kaukasoid.

b. Faktor Risiko yang Dapat Diubah b.1. Hipertensi

Pada kondisi tertentu, tekanan darah dapat meningkat melebihi batas normal. Kondisi ini dikenal sebagai hipertensi. Hipertensi yang berlangsung dalam jangka waktu lama dan tidak diobati dapat berisiko menimbulkan berbagai penyakit, seperti kegagalan jantung kongestif, kelainan saraf mata, gagal ginjal maupun stroke (Wahyu, 2009).

Seseorang disebut mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih dari 140/90 mmHg atau lebih dari 135/85 mmHg pada individu yang mengalami gagal jantung, insufisiensi ginjal, atau diabetes mellitus. Hipertensi meningkatkan risiko stroke 2-4 kali lipat tanpa tergantung pada factor risiko lainnya (Pinzon&Asanti, 2010).

b.2. Merokok

Berbagai penelitian menghubungkan kebiasaan merokok dengan peningkatan risiko penyakit pembuluh darah (termasuk stroke). Merokok memacu peningkatan kekentalan darah, pengerasan dinding pembuluh darah, dan penimbunan plak di dinding pembuluh darah. Merokok meningkatkan risiko stroke sampai dua kali lipat. Ada hubungan yang linier antara jumlah batang rokok yang diisap per hari dengan peningkatan risiko stroke. Menurut Olsen

dalam Pinzon&Asanti (2010), risiko stroke akan bertambah 1,5 kali setiap penambahan 10 batang rokok per hari.

b.3. Penyakit jantung

Jenis penyakit atau kelainan jantung yang meningkatkan risiko stroke adalah aritmia jantung. Aritmia merupakan kelainan yang ditandai oleh detak jantung yang tidak teratur. Kelainan detak jantung ini berpotensi menimbulkan suatu bekuan sel trombosit (tromboemboli), yang dapat bermigrasi dari jantung dan menyumbat arteri di otak, menimbulkan stroke tipe iskemik tromboemboli. b.4. Diabetes Mellitus

Diabetes mellitus tipe 2 (DM tipe 2) meningkatkan faktor risiko terjadinya stroke. Hal ini disebabkan oleh penyakit metabolisme ini mengakibatkan terjadinya kerusakan dinding arteri, baik yang berukuran besar (makroangiopati) maupun kecil (mikroangiopati). Dinding arteri yang mengalami kerusakan ini akan menjadi lokasi penimbunan lemak, sel-sel trombosit, kolesterol, dan terjadi penebalan lapisan otot polos di dinding arteri. Kondisi ini disebut sebagai aterotrombotik.

b.5. Dislipidemia

Kolesterol dibentuk di dalam tubuh, yang terdiri dari dua bagian utama yaitu kolesterol LDL dan kolesterol HDL. Kolesterol LDL disebut sebagai

“kolesterol jahat”, yang membawa kolesterol dari hati ke dalam sel. Jumlah

kolesterol LDL yang tinggi akan menyebabkan penimbunan kolesterol di dalam sel. Hal ini akan memacu munculnya proses atherosklerosis

(pengerasan dinding pembuluh darah arteri). Proses atherosclerosis akan menimbulkan komplikasi pada organ target (jantung, otak, dan ginjal). Proses tersebut pada otak akan meningkatkan risiko terkena stroke (Pinzon&Asanti, 2010).

b.6. Obesitas

Seseorang dengan berat badan berlebih memiliki risiko yang tinggi untuk menderita stroke. Penelitian Oki, dkk (2006) menyimpulkan bahwa seseorang

dengan indeks massa tubuh ≥ 30 memiliki risiko stroke 2,46 kali disbanding

yang memiliki indeks massa tubuh < 30 (Pinzon&Asanti, 2010).

Berbagai faktor risiko stroke harus dikenali dan diobati pada saat pasien masuk RS. Pengendalian faktor risiko mutlak diperlukan untuk mencegah serangan stroke ulang. Hipertensi, diabetes, dislipidemia, merokok, dan faktor lain harus dikenali dan dicari penanganannya.

2.2. Perilaku Kesehatan Dalam Upaya Pencegahan Stroke 2.2.1. Perilaku Kesehatan

Perilaku kesehatan pada dasarnya adalah suatu respons seseorang (organisme) terhadap stimulus yang berkaitan dengan sakit dan penyakit, sistem pelayanan kesehatan, makanan, serta lingkungan.

Secara lebih rinci perilaku kesehatan itu mencakup ; (1) perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit; (2) perilaku terhadap sistem pelayanan kesehatan; (3)

perilaku terhadap makanan (nutrition behavior); dan (4) perilaku terhadap lingkungan kesehatan (environmental health behavior).

Dari empat cakupan perilaku kesehatan tersebut di atas, perilaku yang terkait dengan penelitian ini adalah perilaku seseorang terhadap sakit dan penyakit. Orang yang sakit akan menyebabkan perubahan peranannya di dalam masyarakat maupun di dalam lingkungan keluarga. Jelasnya, orang yang sakit memasuki posisi baru menurut suatu peranan yang baru pula. Peranan baru bagi orang sakit (pasien) harus mendapat pengakuan dan dukungan dari anggota masyarakat dan anggota keluarga yang sehat secara wajar. Sebab dengan sakitnya salah satu anggota keluarga atau anggota masyarakat maka akan ada lowongan posisi yang berarti juga mekanisme sistem di dalam keluarga atau masyarakat tersebut akan terganggu (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Becker (1979) yang dikutip dalam Notoatmodjo (2003), perilaku sakit ini merupakan respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsi terhadap sakit, pengetahuan tentang penyebab dan gejala sakit, pengobatan penyakit, dan usaha-usaha untuk mencegah penyakit (Maulana, 2009). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa usaha pencegahan penyakit merupakan salah bentuk dari perilaku kesehatan.

Menurut Notoatmodjo (2007) terdapat faktor-faktor yang memengaruhi perilaku, khususnya perilaku yang berhubungan dengan kesehatan, antara lain dijelaskan dari Teori Lawrence Green (1980), Snehandu B.Kar (1983) dan WHO (1984).

a. Teori Lawrence Green

Perilaku itu ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :

a.1. Faktor yang mempermudah (presdisposing factor) yang mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.

a.2. Faktor pendukung (Enabling factor) antara lain ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat.

a.3. Faktor pendorong (Reinforcing factor) yaitu faktor yang memperkuat perubahan perilaku seseorang yang dikarenakan sikap suami/istri, orang tua tokoh masyarakat atau petugas kesehatan.

b. Teori Snehandu B. Kar

Kar mencoba menganalisis perilaku kesehatan dengan bertitik tolak bahwa perilaku itu merupakan fungsi dari :

b.1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan kesehatannya (behavior intention).

b.2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social-support).

b.3. Ada atau tidak adanya informasi tentang kesehatan atau fasilitas kesehatan (accessibility of information).

b.4. Otonomi pribadi yang bersangkutan dalam hal ini mengambil tindakan atau keputusan (personal autonomy).

b.5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak atau tidak bertindak (action situation).

c. Teori WHO

Tim kerja dari WHO mengenalisis bahwa yang menyebabkan seseorang itu berprilaku tertentu karena adanya 4 alasan pokok. yaitu :

c.1. Sikap akan terwujud didalam suatu tindakan tergantung pada situasi saat itu. c.2. Sikap akan diikuti atau tidak diikuti oleh tindakan yang mengacu kepada

pengalaman orang lain.

c.3. Sikap diikuti atau tidak diikuti oleh suatu tindakan berdasarkan pada banyak atau sedikitnya pengalaman seseorang.

c.4. Nilai (value).

Dari ketiga teori perilaku kesehatan tersebut, teori Snehandu B. Kar jelas menyebutkan bahwa salah satu faktor yang memengaruhi perilaku kesehatan seseorang adalah adanya dukungan sosial (social-support) dari masyarakat sekitar. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keluarga merupakan orang terdekat yang dapat memberi dukungan pada penderita pasca stroke.